Kamis, 28 Agustus 2014

Perang Media Pendukung Capres*

Pemilihan umum capres dan cawapres tinggal menghitung hari, namun kedua kandidat belum berhenti berebut hati melalui televisi. Keduanya tak segan-segan untuk mencekoki masyarakat melalui frekuensi udara yang nyaris tak terkendali. Framing media bisa diatur sedemikian rupa, mengunggulkan yang satu dan menjatuhkan satunya.

Peringatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak pernah dihiraukan. Sudah bukan rahasia lagi jika TV Merah lebih condong ke nomor satu, sering menyudutkan nomor dua. Sedangkan Biru TV lebih cenderung memihak nomor dua, jarang menampilkan berita tentang nomor satu. Pemilik kedua media tersebut sama-sama ketua partai politik, dengan pandangan politik (yang setidaknya dalam pilpres kali ini) berbeda. Bukan hanya perang dua televisi, media mainstream lainnya bahkan media bodong pun juga turut ambil bagian menyebar propaganda.

Masyarakat (setidak-tidaknya saya) dibuat jengkel, emosi, dan muak terhadap pemberitaan yang sudah mengesampingkan kaidah-kaidah jurnalistik. Media massa yang seharusnya memberi informasi untuk mencerdaskan masyarakat, kini berubah jadi sarana cuci otak. Mirisnya, frekuensi publik yang seyogyanya digunakan untuk kepentingan publik, justru dipolitisir sesuai kemauan dan kepentingan pemilik media.

Demokrasi dan kebebasan pers akan terancam secara laten ketika pemberitaan yang tidak berimbang seperti sebulan terakhir ini dianggap biasa oleh masyarakat, pemilik media akan semakin menjadi-jadi menyetir arah pemberitaan medianya. Kehadiran pers yang digadang-gadang memberikan keseimbangan dalam iklim demokrasi, karena dewasa ini pers menjadi pilar keempat dalam sistem demokrasi, pilar yang tidak tercantum dalam Trias Politica milik Montesquieu (1689-1755). Edmund Burke (1729-1797), negarawan Inggris, orang pertama yang menyatakan bahwa pers menjadi pilar keempat demokrasi.

Mengutip pernyataan Mahfud MD dalam konten Antara News, ketika diskusi dengan Persatuan Wartawan Indonesia di Pekanbaru, Desember tahun 2012 lalu, ia pernah mengatakan bahwa peran pers sebagai pilar ke empat demokrasi dapat memberikan tekanan positif terhadap kebijakan pemerintah. Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi kontrol sosial.

Sembilan Elemen Jurnalisme
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menginstruksikan bahwa pers nasional mempunyai peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi; mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Dari kutipan undang-undang di atas, dapat ditarik garis besar jika pemelintiran berita untuk kepentingan pemilik media atau golongan merupakan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang antara lain hak masyarakat untuk tahu dan kepentingan umum.

Bill Kovach (Wartawan senior, yang pernah menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika: Pulitzer Prize) dan Tom Rosenstiel (Committe of Corcerned Journalist, sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media) dalam bukunya berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme merumuskan bahwa kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran. Dalam hal ini kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran fungsional, bukan kebenaran filosofis yang penuh dengan perdebatan. Artinya, dalam jurnalisme kebenaran selalu dibentuk sedikit demi sedikit, bahkan tak jarang sering direvisi atau diperbaiki.

Bill Kovach sendiri mengatakan bahwa kebenaran adalah sebuah konsep yang paling membingungkan dalam dunia jurnalisme. Karena kebenaran dalam ranah pers tidak bisa dipisahkan dari padangan wartawan yang meliput lalu menuliskan atau menayangkannya sebagai berita. Pandangan tersebut terbentuk karena berbagai faktor seperti latar belakang sosial, pendidikan, suku, agama, bahkan pandangan politik wartawan dan dapur redaksinya.

Jika merujuk pada elemen pertama tersebut, rasa-rasanya kedua televisi “pendukung” kedua kandidat yang berseberangan itu sangat menyimpang dari nilai-nilai jurnalisme. Bahkan ada media bodong, baik cetak maupun elektronik, melempar fitnah berbau propaganda. Dalam hal ini, kerugian sepenuhnya ada di kalangan masyarakat, bukan tim sukses kedua kandidat yang memang gemar saling sikut dan sikat. Mengingat elemen kedua jurnalisme: loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara.

Dalam menyajikan berita, seorang wartawan harus memposisikan masyarakat sebagai subjek. Berita yang disajikan ditujukkan untuk mencerdaskan masyarakat, dan membiarkan masyarakat mengambil kesimpulan sendiri secara berdaulat. Bukan objek untuk melenggangkan kepentingan pemilik media melalui black campaign, negatif campaign, positif campaign secara tidak proporsional.

Media yang dengan sengaja menyalahgunakan tujuan loyalitasnya merupakan panu dalam kulit demokrasi. Terlebih, (meloncat ke elemen delapan) elemen ke delapan jurnalisme mengharuskan media membuat berita yang komperehensif dan proporsional, bukan berat sebelah.

Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, elemen ketiga jurnalisme. Sudah sejauh mana media memverifikasi sebuah isu yang menyatakan salah satu kandidat merupakan bagian dari dosa masa lalu atau salah satunya lagi didakwa komunis secara sepihak? Ujung-ujungnya masyarakat menjadi korban tidak terima, lalu melawan tidak secara intelektual, lebih-lebih konstitusional. Seperti penyerangan kepada kantor pusat dan kantor biro TV Merah beberapa waktu lalu. Pers yang salah menyebabkan masyarakat terbelah, marah, dan kalap. Padahal mekanisme keberatan terhadap pemberitaan sudah diatur dalam undang-undang, yakni melalui hak jawab.

Elemen keempat jurnalisme mengisyaratkan bahwa jurnalisme harus independen dari pihak yang mereka liput. Independen artinya bebas dari desakan manapun, tanpa dikendalikan pihak atau golongan siapa pun. Independensi tidak sama dengan netralitas. Contohnya jurnalis yang menulis opini atau tajuk rencana bersikap tidak netral, tapi ia harus independen dalam ketidaknetralan tersebut. Wartawan pun boleh berpihak, berpihak pada kebenaran, kredibilitasnya terletak pada dedikasi pada akurasi, verifikasi, kepentingan kepada publik, dan hasrat untuk memberi informasi secara berimbang.

Bahkan dengan sinis McNair Brian (1995) pernah mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak”. Ini realita tentang media di Indonesia pasca reformasi. Kekuatan ekonomi dan kepentingan politik pemilik modal sangat mereduksi independensi media.

Jika sampai akhirnya nanti, entah nomor satu atau dua yang terpilih. Tapi pemberitaan masih seperti sekarang ini, bisa diprediksi salah satu dari kedua media tivi akan menjadi corong penguasa. Padahal dalam elemen kelima jurnalisme, pers harus menjadikan dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Artinya kedekatan antara penguasa dengan pemilik media yang saling berkepentingan bisa berpeluang menjadi lubang di gigi demokrasi.

Jurnalisme pun harus menyediakan forum kritik dan komentar dari publik, elemen keenam jurnalisme. Agar jurnalisme bukan hanya berperan sebagai penyalur informasi satu arah, mengingat masyarakat adalah subjek.  Elemen ketujuh mengamanahkan agar media membuat berita menarik tapi relevan. Bukan sensasionalitas yang memojokkan salah satu kandidat tanpa konfirmasi, tidak cover both side.

Pada tingkat ini, Bill Kovach dan Tom Rosential buku berjudul BLUR mengatakan bahwa jurnalisme harus berubah dari sekedar menggurui—mengatakan publik apa yang ia perlu tahu—menjadi dialog publik, dengan wartawan menginformasikan dan memfasilitasi diskusi. Ide pentingnya adalah: pers ke depan akan memperoleh integritas berdasarkan jenis konten yang disampaikan dan kualitas pekerjaan, bukan dari fungsi eksklusifnya sebagai penyedia informasi tunggal atau perantara antara sumber berita dengan publik.

Pemilik media juga harus menghormati betul suara nurani setiap wartawan, karena sesuai dengan elemen ke sembilan jurnalisme, setiap wartawan mempunyai kewajiban pribadi untuk menyuarakan hati nurani sekuat-kuatnya. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel akhirnya menambahkan elemen ke sepuluh, tentang hak dan tanggungjawab warga dalam hal-hal yang berkaitan dengan berita. Karena di era tekhnologi informasi, masyarakat bukan hanya sekedar penikmat, tapi juga bisa menjadi bagian dari penyaji informasi melalui koneksi internet dengan berbagai media sosial.

Literasi Media
Sudah saatnya masyarakat belajar untuk melek media. Dari sepuluh elemen yang sudah dikupas secara singkat di atas, ada beberapa elemen yang bisa kita manfaatkan untuk menganalisa, menilai, dan memilih media yang telah menerapkan kaidah-kaidah jurnalistik secara benar untuk kita jadikan referensi. Pun kita mempunyai hak untuk menyampaikan kritik terhadap media yang sudah benar-benar menyalahgunakan kebebasan pers.

Sikap skeptis (meragukan) informasi dari media mutlak diperlukan sebagai modal awal agar masyarakat tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang sengaja diciptakan untuk membutakan kesadaran logika. Alangkah indahnya jika cita-cita untuk menjadikan pers sebagai pilar keempat demokrasi juga diaplikasikan sebagaimana mestinya dalam kehidupan bernegara, tidak hanya sebatas retorika di bangku-bangku kuliah dan di forum-forum diskusi semata.

Sesungguhnya apakah demokrasi benar-benar tidak tepat untuk Indonesia? Atau demokrasi sedang dijalankan oleh orang yang salah: intelektual bebal pemburu kekuasaan? Mari kita renungkan bersama-sama. Tabik.
*) Tulisan ini dimuat di rubrik Gagasan dalam Harian Solopos tanggal 8 Juli 2014.
Baca Selengkapnya...

Kamis, 29 Mei 2014

Terima Kasih Gondrong

Jika ibumu masih nyuruh aku potong, bilang saja meskipun aku gondrong aku tak pernah nyolong dan sudah insyaf jadi pembohong.

            Rabu dini hari, 30 April 2013. Sudah dua hari ini aku puasa. sedikit bermasalah setelah buka hari pertama, pasti karena terlalu serakah. Setelah menenggak beberapa gelas air putih di kamar kos, aku menuju warung makan langganan. Terong, lele, dan sambel korek bersatu-padu menggoyang lidah. Dua kali aku tambah nasi, di sini nasi ambil sendiri, jadi rugi kalau cuma nyentong sekali.

            Selesai makan aku tak pulang, kampuslah yang jadi tujuan. Dua potong roti bakar tergeletak di atas kertas minyak, roti itu milik teman, tanpa pikir panjang aku telan sepotong. Ternyata satu gigit bikin ketagihan, akhirnya kita beli lagi dengan uang iuran. Tak hanya roti bakar, ada juga dua plastik bakso tusuk. Aku kembali membabi-buta, perut dan mulut saling sikut.

Hanya beberapa menit setelah itu, perut berasa melilit, berujung sakit. Akumulasi dari semua rasa itu meledak menjelang dini hari, beberapa menit sebelum sahur untuk puasa hari kedua. Dua kali aku bolak-balik ke kamar mandi, rasanya tak karuan, untuk duduk saja susah bukan kepalang.

Pengalaman hari pertama membuatku lebih berhati-hati di hari kedua, kini aku mencoba buka secukupnya. Saat ini aku sedang bersiap santap sahur untuk hari ketiga, sembari melihat tayangan Liga Champion Eropa di layar kaca. Dua tim ibukota beda negara sedang berlaga.

Rencananya puasa ini akan kontinyu sampai hari ke tujuh. Setelah itu, aku akan memotong rambut. Sudah hampir lima tahun aku tak pernah ke tukang cukur, panjangnya sudah hampir sepinggul.

*

Niat untuk memanjangkan rambut datang begitu saja, tak pernah dirancang serius. Seingatku, saat itu kuliah baru memasuki semester satu. Rambutku masih pendek seperti umumnya mahasiswa baru. Lalu sampailah pada suatu ketika, seorang dosen pengantar ilmu hukum yang kini sudah profesor, bercerita tentang masa-masa ia menjadi mahasiswa. Mulai dari kegiatan-kegiatan yang ia jalani, dinamika kuliah yang dilalui, sampai tentang penampilan dari ujung rambut sampai sekitar mata kaki. Ia bercerita dengan intonasi yang menggebu-gebu, sembari memberitahukan jika rambutnya pernah panjang sebahu.

Awalnya cerita dosen itu aku anggap angin lalu, tak lebih dari seorang pejuang yang sedang bernostalgia dengan romantisme perjuangan di medan laga. Tapi entah sejak kapan dan karena apa, setahun setelah itu panjang rambutku sudah sebahu. Perlu diketahui, aku sempat dua kali meluruskan rambut. Pertama, ketika panjang rambut kurang-lebih 10cm. Kedua, ya ketika sebahu itu. Pelurusan itu bukan untuk gaya-gayaan, tapi perawatan (kamuflase).

Menjadi gondrong adalah sebuah pilihan. Pilihan mudah namun implementasinya sulit. Penilaian bahkan penghakiman orang lain akan menghukum kegondrongan kita tanpa proses pengadilan.

Ruwet, nakal, dan tidak mapan. Tiga kata yang cukup mewakili gambaran lelaki gondrong, meski masih banyak konotasi negatif lainnya. Gondrong memang membuat setiap lelaki terlihat sangar, tak terkecuali diriku waktu itu. Tapi percayalah, tampilan fisik hanya 20% mewakili isi jiwa seseorang. Banyak manusia hidup dengan topeng kepalsuan.

Lead yang membuka tulisan ini (bergaris miring setelah judul) tidak datang dari ruang kosong. Kalimat yang sudah pernah aku tulis di media sosial Twitter itu ibarat eksepsi (jawaban tergugat atau terdakwa atas gugatan atau dakwaan Jaksa). Pernah ada seorang perempuan, selalu membujuk untuk mengakhiri kegondronganku, ia pernah bilang bahwa ibunya juga berpesan demikian. Namun sampai kita tak dekat lagi, saling menjauh atau salah satu menjauh—bisa jadi karena aku tak mau potong rambut atau mungkin ada yang lebih rapi dan mapan—aku tak tahu. Sampai kita tak bersama-sama lagi, niat untuk potong rambut belum juga tumbuh dari jiwaku.

Bagiku, jika suatu saat nanti aku harus potong rambut. Niat itu harus berangkat dari hati yang tulus dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Dan terbukti di awal bulan empat tahun ini. Setelah berdiskusi dengan bapak, akhirnya ada beberapa hal yang harus aku persiapkan untuk berpisah dengan mahkota yang lima tahun menjadi sahabat bagi tulang belakang.

*

            Sabtu dini hari, 24 Mei 2014. Sudah dua puluh empat hari tulisan ini tanpa proggres, kesibukan dan rasa malas menjadi penyebab utama. Jemari, pikiran, dan niat memudar. Padahal, delapan belas hari yang lalu aku telah memotong rambut, tepatnya pada Seloso Kliwon kemarin: 6 Mei 2014.

            Sore itu, menjelang asyar. Aku diantar delapan teman menuju Adam Barber, Jalan Kaliurang. Aku terakhir potong lima tahun yang lalu, bulan puasa 2009, tanggalnya lupa, yang jelas sehari setelah kelahiran Aira, cucu dari pakdhe Wijo—kakak ipar bapakku. Awalnya kami sempat bingung untuk menentukan tempat pangkas mana yang akan menjadi tempat bersejarah.  Niatnya aku ingin memotong rambut di tukang cukur bawah pohon, tapi setelah observasi kesana-kemari, hasilnya nihil. Adam Barber di Jalan Kaliurang ini tak begitu besar, dan hanya ada dua kapster didalamnya.

            “Mau ngapain, mas?” tanya salah satu kapster sembari melempar senyum. Senyuman dan kernyitan dahinya menyiratkan bahwa ia sedang bertanya-tanya penasaran. Aku sampaikan niatku, tapi ia malah terheran-heran dan tak percaya. Lalu ku ulangi sampai tiga kali maksud kedatanganku sore itu. Dengan senyum lebar tanda puas dengan jawaban, akhirnya ia mempersilahkan aku duduk di kursi empuk menghadap kaca besar. Nama kapster itu Erik, masih muda, jika ku taksir umur kita tak jauh beda, tapi lebih tua dia.

            Proses potong rambut sangat singkat. Pertama rambut aku ikat satu di belakang kepala, biasa orang menyebutnya ikat kuncir-kuda. Erik menutupi tubuhku dengan kain biru, agar potongan rambut tak mengotori pakaian. Ada seorang teman, namanya Sadhan, dari dulu pengen banget jadi jagal untuk rambutku, alasannya gemes dan gregetan. Setelah Erik memberi Sadhan gunting, akhirnya rambut yang sudah aku rawat selama lima tahun, hilang tak lebih dari lima menit. Lalu Erik mulai merapikan bagian-bagian tertentu, dan dalam sekejap wajahku berubah menjadi lima tahun lebih muda.

            Banyak pertanyaan muncul setelah aku potong rambut. Kebanyakan tentang alasan, penyesalan, dan bahkan keberadaan rambutku yang dulu. Awalnya aku semangat menjawab pertanyaan seperti itu, meski akhirnya bosan menjelaskan sesuatu secara berulang-ulang.

            Puasa tujuh hari sebelum potong rambut membuat aku lebih menerima keadaan yang sekarang, tanpa penyesalan. Selain mangklingi (membuat orang lain tidak mengenali karena perbedaan sebelum dan sesudah potong cukup signifikan), suasana secara keseluruhan juga ikut berganti. Seperti hidup, ia harus dinamis bukan stagnan pada suatu titik nyaman.

            Dahulu di zaman pasca Majapahit, ketika Islam mulai masuk ke Nusantara dan berkembang di daerah pesisir utara Jawa. Buku Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer menggambarkan betapa pada masa itu lelaki gondrong sudah tak sebanyak masa Hindu-Buddha. Buku bertebal 760 halaman itu bercerita tentang hancurnya kedigdayaan kerajaan Tuban dan perjalanan hidup Wiranggaleng, pemuda desa yang diangkat menjadi senopati Tuban dan beristrikan Idayu, penari pujaan Tuban.

Pada suatu ketika Wiranggaleng mendapat tugas untuk menerjemahkan isi surat berbahasa Arab. Sampailah ia di Gresik. Keberadaannya menjadi pusat perhatian karena rambutnya panjang. Setelah berpikir tiga hari, ia berpuasa mohon ampun dari para dewa dan leluhur, lalu dimintanya seseorang untuk mencukur rambutnya. Ternyata tak mudah, tak ada seorang pun yang mau menjadi tukang cukur, karena pada saat itu tempat pangkas rambut yang sah dan meyakinkan adalah pesantren, sementara ia masih Hindu.

Ketika itu masyarakat Gresik mempunyai kepercayaan jika memotong rambut bukan oleh orang dan tempat yang sudah ditentukan, leluhur akan gusar, akibatnya yang memangkas dan yang dipangkas bisa kena kutukan.

Seorang kenalan di pelabuhan menemaninya menghadap kiai di sebuah pesantren. Semestinya sebagai seorang yang berambut panjang, ia datang bersama sanak-keluarga untuk ikut menyatakan kerelaan akan pemotongan rambut itu. Jika keluarga menolak, bisa membawa teman-temannya sebagai saksi. Syarat lainnya: seekor ayam jantan putih, beras tujuh tempurung, dan tiga depa bahan pakaian putih. Tapi Wiranggaleng bebas dari syarat-syarat itu, sang kiai tahu ia berasal jauh dari luar Gresik.

Rambut Wiranggaleng dipotong dan pada saat itu pula ia diharuskan meniru syahadad dari sang kiai. Tak butuh waktu lama, karena memang ala kadarnya. Setelah selesai, ia punguti rambut dan disimpannya dalam sarung. Ia akan menanamnya setelah membuat upacara yang patut. “Kau sudah sepenuhnya Islam, pergunakanlah sekarang nama Islam, Salasa. Bisa menghafalnya? Salasa, karena kau datang kemari di hari ketiga,” pesan sang kiai. Di masa itu memotong rambut adalah simbol bagi seseorang yang berniat masuk Islam.

Sejak membaca buku itu, aku sudah berniat jika potong rambut nanti, setidak-tidaknya harus ada penghormatan bagi mahkota yang sudah lima tahun menghiasi kepala. Dan selain puasa tujuh hari, aku juga puasa tak makan nasi dan garam tiga hari, lalu menutupnya dengan syukuran nasi tumpeng sederhana bersama teman-teman Lembaga Pers Mahasiswa Keadilan (LPM Keadilan) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, dua hari setelah hari pemangkasan. Kebetulan juga pada waktu itu tepat di hari ulang tahun LPM Keadilan, jadi ada dua tumpeng yang kita santap bersama.

Rangkain foto sebelum dan sesudah potong rambut di Adam Barber, Jalan Kaliurang. Setidaknya ada delapan kawan yang ikut menemaniku sore itu, mereka mengabadikan momen melalui foto dan video. Aku haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada kalian: Dimas, Alam, Jefri, Ucup, Meila, Mail, Rini, Sadhan.
Dan tulisan ini merupakan penghormatan utamaku. Mungkin tak sesakral yang dilakukan Wiranggaleng, membuat upacara sebelum menanamnya rambutnya. Tapi tulisan ini Akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari, takkan padam ditelan angin.

Terima kasih gondrong, kau berikan kenangan di masa kuliah yang mengasikkan. Kau menjadikan aku contoh buruk agar tak ditiru oleh orang lain. Rambut gondrong, celana sobek-sobek, kaos oblong, dan sendal jepit akan membuat semua ibu-ibu mewanti-wanti anak kecilnya untuk tidak menirukan gayaku jika mereka besar nanti. Bagiku, jika kita tak bisa menjadi contoh baik, jadilah contoh yang buruk, tapi hatimu jangan.

Kini biarkan aku menikmati suasana baru, kelak jika aku rindu, izinkanlah aku kembali padamu: gondrong. Sembah hormatku padamu, dari seseorang yang menemukan dirinya sendiri bersamamu. Terima kasih, restui aku untuk tetap bertahan menjadi diri sendiri. Tabik.
Baca Selengkapnya...

Selasa, 29 April 2014

Buku

Bisu dan tuli, tapi banyak arti

Sudah seminggu lebih buku ini ada di tangan, pinjaman dari seorang pemuda Banten yang berhasil memprovokasiku malam itu. Ia memang gemar bercerita tentang apa yang baru ia baca, sebuah hobi yang bermanfaat untuk teman dungu sepertiku. Meski harus diakui wawasan kita terbatas, lebih-lebih setelah aku membaca buku pinjaman darinya sekarang. Selama ini aku merasa seperti terlalu menikmati lucunya warna-warni ikan dan terumbu karang indah di dasar laut, tanpa pernah ingin tahu dunia apa yang ada di permukaan air.

Terima kasih kawan, kegemaranmu mencerahkan. Ya, setidaknya nongkrong sampai pagi tak hanya sebatas forum haha-hihi. Selalu ada sesuatu yang bisa dikupas secara mendalam, sesederhana apapun objeknya.

Buku dengan sampul warna putih, dan bergambar mawar yang terinjak jejak sepatu tentara itu menceritakan perjalanan seorang aktivis. Dari mulai masa kanak-kanak, hingga menjadi pemberontak, sampai kini menjadi bagian dari partai oposisi. Bukan tentang siapa dia saat ini yang membuatku kagum, tapi tentang cita-cita dan perjuangan yang ia lakukan untuk cita-cita tersebut.

“Momentum saat seorang bertemu buku itu adalah saat dirinya sedang ditinggikan melebihi ukuran badannya,” bunyi salah satu kalimat yang menginspirasi dalam buku itu. Ada beberapa perumpamaan lagi selain ditinggikan melebihi ukuran badan, meski substansinya sama: momentum bertemunya manusia dengan buku.

Sayang, selesai membaca saja belum, lebih-lebih mengembalikan. Maafkan aku, kawan. Anak-Anak Revolusi itu aku pinjam terlalu lama, akan ku kembalikan secepatnya setelah tamat.

Aku sendiri bertemu dengan buku lalu akrab dengannya baru ketika menginjak semester satu, tepatnya lima tahun yang lalu. Awalnya aku meminjam dari kakak tingkat, sebuah tertralogi: empat buku. Aku berniat meminta keempat buku sekaligus, tapi ia melarang. “Satu dulu dirampungin, baru baca yang lain,” ujarnya jengkel.

Tampaknya larangan itu ada benarnya, untuk melahap satu buku saja aku butuh waktu lebih dari sebulan, dasar tak pernah membaca buku! Aku memang bukan kutu buku, dan itu pertama kalinya dalam hidup, aku baca buku dengan tebal lima ratus halaman. Masa kanak-kanak sampai habis remajaku tak pernah dekat dengan buku, mungkin karena orang tua tak pernah mengenalkannya padaku.

Bapak dan ibuku juga jauh dari buku, mereka hanya lulusan SMP yang gigih memperbaiki taraf hidup masa depan mereka: aku dan adikku. Justru tahun lalu akulah yang memperkenalkan buku dengan mereka, juga untuk adikku. Bagi bapak dan ibu, tiada hari tanpa bekerja, meski tanggal merah sekalipun. Semua dilakoni agar aku dan adikku melebihi pendidikan mereka. “Meski bapak ibumu hanya lulusan SMP, tapi kami bertekad untuk mengantarkanmu, juga adikmu sampai ke perguruan tinggi,” janji bapak dulu.

Tekad yang luar biasa, bahkan salah satu putranya sudah menyandang gelar sarjana dengan predikat cumlaude. Predikat yang ku yakini bapak dan ibu tak paham, sebelum akhirnya aku jelaskan. Aku pun sadar bahwa tak ada yang perlu dibanggakan dari predikat itu, karena bagiku: untuk apa cumlaude jika otak kita tetap saja kolot? Seperti yang tertulis di atas meja tivi kamar koskuc sejak setahun lalu. Posisinya persis di dinding ujung kasur, harapannya agar selalu terbaca saat hendak terpejam sekaligus ketika nanti aku membuka mata.

Buku memang jendela dunia. Pernah suatu ketika, aku berjumpa dengan seorang teman lama dalam acara buka bersama. Ia teman SMP, lalu melanjutkan sekolah di pondok pesantren ternama di kota Solo, lantas aku tanyakan padanya tentang apakah ustad-ustad ini (ada dua nama ustad besar) masih mengajar di sana? Sambil aku sisipi pertanyaan tentang misi dua ustad itu selain mendakwah? Ia kaget bukan kepalang, seketika itu pula ia tanya balik, apa aku jadi santri juga di sana? Setidaknya jadi santri di kawasan kota Solo?

Jelas tidak mungkin, nyata-nyata aku tak pernah sekolah atau kuliah di sana. Aku tahu nama dua ustad itu dari buku: Temanku Teroris? Karya Noor Huda Ismail. Novel non-fiksi tentang perjalanan hidup penulis dengan teman-temannya saat dan setelah menjadi santri di salah satu pondok pesantren di Solo bagian selatan. Hingga akhirnya Noor Huda mengetahui salah satu terdakwa bom Bali adalah temannya kala menjadi santri. Mereka dipertemukan lagi setelah lama berpisah, tapi dengan atmosfer yang beda. Huda menjadi jurnalis, sementara temannya divonis mati.

Sejak peristiwa tiga tahun lalu tersebut, aku benar-benar merasakan ternyata buku bisa mengantarkan kita satu tingkat lebih awal dari kenyataan, luar biasa. Aku ingin menularkan kegemaran baru ini pada bapak, ibu, adik, pun juga untuk bekas teman dekat. Keluargaku tertarik, bahkan bapak dan adikku mulai kecanduan membaca. Tapi sayang, sepertinya bekas teman dekatku tak bernasib sama, ia tak suka. Mungkin sampai sekarang buku yang aku beri belum ditamatkannya, maaf ya hadiah ulang tahunmu kala itu terlalu biasa, beda dengan lainnya. Mungkin aku terlalu memaksamu untuk suka membaca sastra.

Jangan besar kepala ya, karena aku ingin memperkenalkan sastra bukan hanya padamu saja, namun pada semua manusia, mengingat Pramoedya Ananta Toer pernah bilang bahwa kita boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kita tinggal hanya hewan yang pandai. Anis Baswedan pun pernah menulis di twitter pada 3 Juli 2013: Baca buku teks itu harus, baca buku bidang studi-nya itu baik dan perlu, tapi baca karya sastra itu baru mantap.#bacaan kuliah. Sekian.
Baca Selengkapnya...

Kamis, 26 Desember 2013

Tungku

“Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
(Soe Hok Gie - Sebuah Tanya, 1969)”

Salam Persma!

Petikan bait pertama puisi Sebuah Tanya di atas tergolong dalam majas alusio, artinya ungkapan yang dapat diketahui secara mudah, bahkan untuk orang awam sekalipun. Dan kalimat tersebut sekaligus menjadi legitimasi untuk pelantikan kepengurusan baru di sore ini—sore gerimis tapi romantis, yang suatu saat nanti akan terjadi lagi, lagi, dan lagi.

Senin dini hari, delapan hari yang lalu, setelah melalui mekanisme pemilihan, pimpinan sidang musyawarah anggota melalui surat keputusan No. 13/TUS/MA/LPM FH UII/XII/2013 menetapkan seorang mandataris baru LPM KEADILAN periode 2013-2014. Seminggu kemudian, melalui rapat formatur, terbentuklah Struktur Kepengurusan LPM KEADILAN FH UII Periode 2013-2014 seperti yang telah dibacakan tadi.

Banyak sekali dinamika yang terjadi dalam periode 2012-2013 yang lalu. Awalnya kita bagaikan sayur segar yang siap dipetik, berwarna-warni—merah, putih, hijau, bahkan abu-abu—lalu bertemu di sebuah tungku yang tidak terlalu besar bernama KEADILAN. Di tungku tersebut kita larut dalam air kekeluargaan yang memang benar-benar mencairkan. Ketika nyala api dialektika di bawah tungku semakin besar, intrik dan konflik menjadi bumbu penyedap agar sayur ini matangnya tak berasa hambar. Dan semua ini akan terulang, dengan bahan baku dan bumbu penyedap yang berasal dari tempat yang berbeda, tapi tidak dengan kualinya.

Terima kasih atas kepercayaan dan kerjasamanya selama 15 yang lalu, mari kita songsong kepengurusan baru dengan jiwa yang sehat tanpa dibuat-buat, kuat tanpa harus berkarat, serta solid tanpa musti berkelit-kelit. Terima kasih juga untuk KEADILAN yang telah mengajari kami tentang profesionalisme, pergerakan, juga arti kekeluargaan. Satu pelajaran penting yang akan kami bawa sampai kapan pun juga, yakni tentang beraneka ragamnya sayur di kebun akan terasa lebih nikmat ketika dimasak matang dengan bumbu yang pas, api cukup, dan tungku yang proporsional.

Jika esok harus lebih baik dari sekarang: rawatlah kebun sayur, perhatikan komposisi bumbu dan pertahankan nyala api, agar tungku KEADILAN tetap menghasilkan sumber daya manusia dan produk-produk sesuai dengan yang kita cita-citakan. Kini sepenuhnya KEADILAN telah berada di pundak kawan-kawan, tak akan ada yang mati di sini, mungkin hanya sedikit menepi. Seperti bait terakhir puisi Sebuah Tanya milik Gie:

Manisku, aku akan berjalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru

Idealisme bukan hanya sekedar perkataan dan tulisan di pakaian, tapi juga tindakan dan kelakuan. Percuma saja jika mulut gagah tapi komitmen payah. Memelihara kemalasan, ujung-ujungnya cari alasan. Lihat Rumah Kaca halaman 409 milik Pram, kurang lebih begini bunyinya: Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. Kawan, baca tetralogi sekali lagi!
Baca Selengkapnya...

Kamis, 19 Desember 2013

Cerita

Sekarang adalah waktu dimana aku sudah berada di ujung masa kuliah. Melahirkan gelisah, takut menentukan arah, meski pasrah hanya akan berujung kalah.

SELASA DINI hari tanggal ketiga bulan Desember. Rembulan sembunyi di balik mendung, burung peliharaan menekuk kepala dalam kandang. Sejam yang lalu ayam tetangga berkokok berkali-kali. Kini suara jangkrik mulai berisik, meski muadzin sedang mengumandangkan adzan Subuh semerdu mungkin.

Aku masih terjaga, sepertinya mata ingin melihat fajar yang sebentar lagi tiba. Kantuk yang sedari tengah malam tadi terasa, kini sudah lenyap. Pikiran yang mustinya diistirahatkan, dikecualikan untuk mengusir kegundahan. Sebuah aplikasi di komputer lipat menjadi sarana untuk bercerita, Cerita ini mudah dimengerti oleh orang yang mudah paham, namun bukan konsumsi untuk kalian yang tak pernah mau tahu apa yang sedang orang lain lakukan. Mungkin begini awalnya:

Setelah pindahnya tali toga di kepala, satu per satu dari mereka mulai angkat kaki, namun entah mengapa aku merasa masih harus tetap berdiri di posisi ini. Lalu komentar selalu datang bertubi, dari kanan juga kiri, dan hampir semua tak paham dengan penjelasan yang memang sulit dimengerti.

Ini bukan tentang gengsi atau eksistensi, tapi terlalu berlebihan jika dikatakan tentang isi hati, takutnya dibilang sok suci atau sok punya komitmen tinggi. Meski pada nyatanya, hidup hanyalah mampir sok-sok’an semata. Kita pun tinggal pilih mau jadi sok apa, karena tulus yang katanya berasal dari hati itu juga sulit diukur, terlebih ketika semua bisa dibungkus dengan kepalsuan.

Kurang dari dua minggu lagi, semua akan berakhir. Bukan lepas, hanya sedikit berubah. Baru dua bulan setelah bulan kedua tahun depan semua akan benar-benar hilang, lalu jadi kenangan. Ya, sulit dimengerti bukan? Baiknya anda sudahi saja membaca cerita ini.

Hari pertama Desember kemarin membuatku merasa terharu, ada kejadian dimana aku merasa bangga menjadi bagian dari kalian, dan begitu takut untuk kehilangan. Mungkin ini berlebihan, tapi jujur itu yang benar-benar aku rasakan. Walaupun aku tahu ini tak lebih dari sekedar melankolia, dramatisasi, dan konsekuensi dari berpikir dengan perasaan.

Aku pernah merasa tersesat di sini, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku sedang tersesat di jalan yang benar dan masuk akal. Semua berjalan begitu saja, cepat sekali, dan lagi-lagi sulit dimengerti. Inilah cerita yang tak bisa bercerita selama empat setengah tahun ini, dan harus ku akhiri di sini karena tak semua layak untuk diceritakan, juga aku tak mumpuni untuk menceritakan.

Terima kasih untuk kepercayaan selama ini, aku berhutang untuk semua. Maaf bila aku tak bisa menjadi lilin ketika gelap, karena aku percaya kegelapan akan melahirkan matahari: selalu memberi tak harap kembali.

Langit mulai memerah, kokok ayam bersahutan di pekarangan. Suara air yang beradu dengan gayung dan badan manusia sudah terdengar di sana-sini. Selamat beraktivitas. (*)
Baca Selengkapnya...

Kamis, 17 Oktober 2013

Kampung Halaman, Seberapa Penting Kau Memilikinya?

“Indonesia adalah bagian dari desa saya – Emha Ainun Najib”

AKU TAK TAHU, apakah masih relevan di hari pembacaan karya pada sore hari ini, tetap mengambil tema kampung halaman, apalagi jika hasil tulisan kita tak lebih dari sekedar buku diary. Maaf, bagiku alangkah baiknya kalian simpan sebagai catatan pribadi, dan membacanya sendiri sebelum tidur nanti. Belum lagi, meskipun aku bukan dukun, perkenankan aku mencoba sedikit menebak: sebagian besar di antara kita pasti baru menulis barang satu atau dua hari yang lalu, bahkan hari ini.

Dan aku juga tak paham, mengapa pihak penyelenggara tetap mempertahankan tema yang pada dasarnya—jika sesuai jadwal—akan dibacakan pada jauh-jauh hari sebelum sekarang? Malas berpikir, sudah berpikir tapi tak ada ide atau kah memang ini pilihan terbaik, jujur aku belum menemukan jawabnya.

Baiklah, acuhkan sejenak dua paragraf di atas, karena mungkin sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan judul dan lead, tapi entah mengapa aku merasa perlu untuk menuliskannya sebagai pembuka tulisan, mohon dimaklumi.

Sekarang mari kita bincangkan tentang sesuatu yang telah menjadi tema.

Bicara kampung halaman, bicara tentang polosnya masa kecil dan sejuta kenangan. Tak peduli manis, asam, bahkan pahit sekalipun. Semakin beranjak dewasa, otak kita semakin didikte oleh prestige dan kemauan pasar, kecuali bagi yang tidak, dan persetan, itu urusan pribadi masing-masing.

Aku membaca tulisan ini di hadapan beberapa mahasiswa perantau, ada kalanya kita—karena aku juga mahasiswa rantau—akan dipaksa kembali ke kota asal, entah sebentar atau pada suatu saat nanti akan tetap di sana sampai menua, kemudian tutup usia.
Ketika pulang, takkan kita dapati sesuatu yang benar-benar sama seperti sedia kala, pasti ada sesuatu yang berubah, berbeda, bahkan tiada. Lalu, seberapa penting kau memilikinya?

Puisi Emha Ainun Najib dengan judul Antara Tiga Kota pun pasti berbanding terbalik dengan kondisi sekarang yang dulu pernah ditujukkan untuk Yogyakarta. Ia pernah menulis begini:

Di Yogya aku lelap tertidur
Angin di sisiku mendengkur
Seluruh kota pun bagai dalam kubur
Pohon-pohon semua mengantuk
Di sini kamu harus belajar berlatih
Tetap hidup sambil mengantuk

Bagi mereka yang pernah muda sejaman dengan Emha Ainun Najib, sudah pasti akan mengamini puisi indah di atas. Tapi masihkah mereka setuju ketika pada detik ini juga, mereka dihadirkan di Yogyakarta yang benar-benar sedang dilanda tsunami pembangunan tapi minus perencanaan dan pengendalian serta akan berdampak pada mengikisnya identitas secara terencana dan laten? Mungkin puisi Emha akan sedikit berubah, berlanjut dengan pelintiran seperti ini:

Jakarta (Yogyakarta) menghardik nasibku
Melecut menghantam pundakku
Tiada ruang bagi diamku
Matahari memelototiku
Bising suaranya mencampakkanku
Jatuh bergelut debu

Yogya kini, sedang menuju pertumbuhan ekonomi yang hanya didasari pada ambisi investor—yang kebanyakan bukan warga asli Yogya—dan antisipasi pasar, bukan kebutuhan riil kota pelajar. Aku memang tak lebih dari pendatang, tapi aku tetap tak rela jika Yogyakarta berubah  dan sedikit demi sedikit luntur keistimewaannya. Lalu seberapa pentingkah kau memilikinya?

Tapi mengapa Emha Ainun Najib tak menetap di Jombang? Bukankah di sana kampung halamannya? Mengapa pula ia lebih memilih membuat rumah singgah di Kadipiro, Yogyakarta? Meski di satu sisi ia sering berkelana ke berbagai wilayah di nusantara? Apakah karena di sini ia bisa hidup dengan mengantuk seperti puisi yang ia buat di atas? Dan bukankah kini semua hampir berbanding terbalik menuju lanjutan puisi yang membuat jatuh bergelut debu? Agh, aku tak perlu tahu alasan apa di balik itu semua.

Satu yang menggajal dalam hatiku, bak sobekan daging yang nylilit di sela-sela dua gigi: Akankah Yogya, kampung halaman sekaligus denyut nadi dinamika mahasiswa di Indonesia, menjadi abu-abu dan, terlihat seperti lahan gersang yang dulunya pernah subur, tak bisa bertahan dari girasnya ambisi investor. Inilah penutup Antara Tiga Kota karya Emha:

Surabaya seperti di tengahnya
Tak tidur seperti kerbau tua
Tak juga membelalakkan mata
Tetapi di sana ada kasihku
Yang hilang kembangnya
Jika aku mendekatinya
Kemanakah harus ku hdapkan muka
Agar seimbang antara tidur dan jaga?

Emha pernah menulis buku berjudul Indonesia adalah Bagian dari Desaku. Desa yang tak lagi memilih siapa dan dimana keberadaannya. Dari situ ia yakin akan tercipta negeri kesabaran, propinsi ketekunan, kabupaten kerja keras, kecamatan mandiri, dan desa barokah kita sendiri. Dan itu semua bisa dilakukannoleh siapapun, tak hanya Emha.

Setiap orang pasti akan mempunyai kecintaan yang berbeda pada kampung halamannya, dan setiap orang bebas memilih mana kampung halaman yang ia sukai dan akan ia tinggali. Tapi, apapun yang terjadi, Indonesia akan tetap jadi bagian dari kampung halamanmu, kampung halamanmu, dan kampung halaman kita bersama. Maaf jika tulisan ini tak sesuai dengan tema, kesempurnaan (katanya) milik Tuhan, bukan manusia.


Agh, entahlah, tak perlu perdebatan si sini. Bagiku kampung halaman tak lebih dari gudang nostalgia dan tumpukkan album tua berisi trilyunan ruang rindu. Kampung halaman bagaikan angin yang menjadi pujaan hujan, yang selalu berkata tidurlah ketika malam mulai resah. Ia mampu bercerita tantang gunung, juga laut. Meski tak lagi berdua saja, kampung halaman tetap akan mengingatkan pada perempuan yang pernah dalam pelukan, meski kini tak lebih dari sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan. (*)
Baca Selengkapnya...

Gelisah Karena Dakwah

Ramadhan, masa sebelum lebaran, bulan ketika penceramah muncul bak suara katak sehabis hujan. Meski temanya selalu diulang, namun tak pernah ku lihat ada protes yang datang.

SEBENARNYA TULISAN tentang peringatan hari kemerdekaan lebih menarik hati, mengapa tidak? Sekarang ini dan bahkan selama masa kemerdekaaan, negara selalu memperingati kemerdekaan dengan budaya militeristik nan formal, seolah-olah 17 Agustus hanya tentang mengibarkan dan menurunkan Sang Merah Putih semata, bukan tentang pemaknaan spiritualitas kemerdekaan. Agh, tapi tema kali ini tak ada hubungannya dengan itu, mungkin aku tulis sendiri di lain hari.

Sepekan sebelum hari kemerdekaan, umat muslim di pelosok negeri terlebih dahulu disibukkan dengan perayaan hari kemenangan pasca Ramadhan. Selama sebulan itu pula, ritual-ritual wajib maupun sunnah mereka jalankan, entah dengan ikhlas atau pakasaan bukan urusan, bukan hak kita untuk ikut campur, biarkan hanya person dan Tuhan yang tahu.

Selalu ada cerita saat Ramadhan, bisa menyenangkan, tak jarang juga mengusik hati, tinggal bagaimana perasaan dan keadaaan dalam menjalani.

Aku menikmati separuh awal Ramadhan di kota pelajar, lalu menghabiskannya di kampung halaman, meski sebenarnya niatan untuk pulang tak benar-benar bulat, entah karena apa, rasa-rasanya berlebaran di kota asal tak semenarik dua atau tiga tahun yang lalu.

Di rumah, aku baru sadar ternyata televisi begitu heboh dengan segala tayangan berbau Ramadhan. Mengingat selama di perantauan aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama kawan-kawan seperjuangan. Televisi menyajikan siaran beraneka-ragam, mulai dari iklan-iklan makanan dan minuman yang menggoda kala siang, laporan langsung arus-mudik menjelang lebaran, serta ceramah-ceramah dari ustad dadakan dengan intensitas yang meningkat signifikan. Aku mengurutkan dari yang aku senangi hingga yang tidak.

Aku beranggapan bahwa iklan makanan dan minuman yang tiap detik menggoda kita dan warung yang tetap buka di siang hari, justru merupakan sebenar-benarnya ujian bagi umat Islam yang sedang berpuasa.

Aku juga sempat terusik dengan kata-kata yang berbaris rapi di jalanan: “hormatilah orang yang berpuasa”, lucu sekali bukan? Terlepas diterima atau tidaknya puasa mereka, bukankah orang yang sedang berpuasa itu di mata Tuhan sudah terhormat tanpa harus dihormati dan tanpa harus meminta penghormatan dari orang yang tidak berpuasa? Justru di sinilah esensi tentang menahan diri harus lebih dikembangkan oleh umat Islam secara keseluruhan, bukan setengah-setengah.

Kemudian mengapa aku suka laporan arus-mudik? Karena laporan langsung atau bahasa bekennya live report bagiku seksi sekali, sedari kecil aku memang suka dengan yang satu ini. Jika kau tanyakan mengapa? Maaf, aku tak punya jawaban pasti tentang hal ini, dan aku rasa sangat tidak penting untuk dibahas di sini.

Bagiku lebih menarik kita bincangkan tentang meningkatnya volume ceramah di layar kaca saat bulan puasa, bukan begitu, bukan?

Pernah dalam suatu sahur, sebuah stasiun televisi swasta menayangkan kompetisi da’i. Bukannya senang, aku justru sedikit mengernyitkan dahi. Pesan yang disampaikan begitu datar, tak terlalu sampai ke hati, yang dipentingkan hanya penampilan dan pembawaan diri, bagiku isinya jauh panggang dari api, materinya kaku sekali, seakan-akan hanya ada agama Islam di muka bumi ini. Mungkin iya seperti itu yang terjadi, atau bisa saja aku yang terlalu kemaki.

Sebenarnya aku tak terlalu mempermasalahkan isi dan apa yang dibawakan oleh para da’i, hanya saja ada sebuah pertanyaan kecil yang mengganjal hati: pantaskah dakwah dijadikan kompetisi? Bila iya, wajar saja kini muncul banyak penceramah yang komersial nan eksis bak artis di televisi, begitu miris menyayat hati.

Ramadhan kemarin, tiap kali mendengarkan ceramah keagamaan—entah di masjid, televisi, atau forum keagamaan—aku lebih banyak mendengar tentang azab, kutukan, serta hal-hal menakutkan yang akan datang dari Tuhan suatu ketika nanti jika aku tak menjalankan perintah-Nya. Tuhan digambarkan begitu angkuh dan gila hormat, seperti kebanyakan raja nusantara pada jamannya. Padahal, bukankah Tuhannya orang Islam itu Rahman-Rahim, pengasih dan penyayang? Lalu kenapa yang ditonjolkan selalu sisi kemurkaannya? Apakah umat Islam sebegitu terpaksanya memeluk Islam, sehingga harus diintimidasi dengan bahasa yang sedemikian rupa agar mau menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya?

Aku jadi ingat, perbedaan perkataan Rama Cluring dan Liem Mo Han pada Wiranggaleng dalam Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Pengetahuan dari Rama Cluring masuk dengan begitu binal menjompak-jompak, sehingga kebanyakan penduduk Awis Krambil geram dengannya, sementara pengetahuan yang datang dari Liem Mo Han begitu tenang dan seakan-akan tak terjadi apa-apa, maka masuklah pengetahuan itu dalam hati Wiranggaleng.

Mungkin bukan sebuah perbandingan yang mudah dipahami, namun intinya aku lebih tertarik dengan dakwah yang lebih mengedepankan tentang bagaimana umat Islam beribadah dengan ikhlas karena penuh cinta, dan kasih sayang kepada Tuhan, bukan karena takut pada Tuhan.

Aku bukannya ingin menyangkal tentang azab dan kemurkaan Tuhan, aku hanya ingin para penceramah memposisikan cinta dan kasih sayang kepada Tuhan pada garda terdepan, sehingga umat Islam menjalankan ibadah tanpa rasa takut, melainkan rasa cinta dan kasih sayang pada Tuhannya.

Tuhanku Maha Pengasih dan Penyayang. Maka, Tuhanku adalah destinasi yang tepat sebagai sandaran hati, sampai nanti sampai mati. Tuhanku merupakan tujuan yang tidak salah untuk menuruti permintaan hati, sampai nanti sampai mati. (*)
Baca Selengkapnya...