Selasa, 13 Desember 2011

Takut, Segan, atau Kasihan?

Catatan ringan. Perjalanan pulang dari Semarang menuju Yogyakarta. Ada saja kenangan yang sulit terlupakan, mulai dari hujan sampai berurusan dengan Polisi Lalu Lintas Resort Sleman.

Ilutrasi: Jalan Searah
Senin, 12 Desember 2011. Langit sudah berselimut mendung kala bus Nusantara yang aku tumpangi mulai masuk kawasan Yogyakarta. Gerimis tipis membuat jendela bus dipenuhi bintikan air, untungnya kondisi seperti itu tak bertahan lama. Setibanya di terminal Jombor, walaupun angkasa masih menyisakan mendung yang hitam legam, namun hujan tak lagi turun.

Semua penumpang turun, kebanyakan melanjutkan perjalanan dengan ojek, bus, atau angkutan umum lainnya. Sementara aku bergegas menuju tempat penitipan sepeda yang masih berada di dalam kompleks terminal. Aku menyerahkan karcis pada penjaga penitipan. “Motor e opo, Mas (Sepeda motornya apa, Mas)?” ujarnya. Dengan menunjuk salah satu motor, pria muda itu bukan hanya tahu apa motorku, melainkan juga tahu yang mana motorku.

Aku mulai menyalakan mesin motor setelah sebelumnya penjaga penitipan membersihkan debu di bodi. Ku tarik tuas chuck, sembari melihat ke arah mana aku harus keluar—pasalnya baru sekali ini aku berada di kawasan terminal Jombor. Benakku sempat ingin bertanya pada orang di sekitar, namun niat itu ku urungkan. Terbesit pikiran untuk mengikuti kemana arah para pengendara lainnya, tapi nyaris tak ada seorang pun yang bisa dibuntuti. Wanita dengan motor matik dibelakangku pun tak kunjung keluar dari penitipan, padahal itu satu-satunya pengendara yang bisa aku kuntit.

Akhirnya dengan semangat wani teros (berani terus), aku kembalikan tuas chuck, lalu menarik handpart gas, kemudian mengarahkan laju motor keluar penitipan dan membelokkan ke kiri serta ke kiri lagi.

Baru melaju kira-kira selemparan batu dari kawasan terminal, seorang Polisi Lalu Lintas (Polantas) menghentikan laju motorku. Ia mengucapkan salam sambil hormat, lalu menanyakan surat-surat. Eitz, tak semudah itu aku berikan? Pasalnya jika tak ada razia resmi, jangan sekali-kali menyerahkan surat sebelum tahu apa kesalahan kita. Maka dari itu, aku bertanya pada Polantas itu apa kesalahanku? Disertai nada ketus dan sedikit membentak ia katakan bahwa aku menerobos jalan satu arah. Dengan santai kembali ku tanyakan, mana rambu-rambu yang melarang? Dan Polantas itu menunjuk tangan ke arah plang rambu yang memang benar-benar tak terlihat olehku. “Itu loh, Mas. Dari sana ada, sebelumnya juga ada,” ujarnya.

Kuberikan SIM dan STNK padanya, lalu aku digiring untuk menepi. Nampaknya ia tak sendiri, seorang kawan sesama Polantas sudah berada di dalam kios—sepertinya itu kios penjual plat nomor yang dialih-fungsikan Polantas sebagai kantor, lucu sekali bukan? Heuheu. Menurut pendapatku Polantas sengaja berjaga di situ—walau tak ada pos Polisi—karena daerah tersebut berpotensi menjadi lahan basah bagi Polantas, semacam jebakan yang menguntungkan.

Polantas yang menstop aku tadi mempersilahkan masuk ke kios. Tanpa pikir panjang aku lepas helm lalu masuk ke kiosnya Polantas. Upz, salah? Maksudnya kios yang digunakan Polantas untuk bertugas.

“Selamat siang, Mas Bobby,” Polantas itu mengawali pembicaraan.
“Iya Pak, siang,” jawabku tak kalah lantang.
“Mas Bobby melanggar jalan satu arah, sidangnya besok tanggal 30 Desember ya?”
“Siap Pak.”
“Di Pengadilan Negeri Sleman”
“Beres.”

Entah mengapa aku tak ada niatan sedikit pun untuk menawar atau istilahnya bayar di tempat, aku benar-benar begitu yakin untuk menyidangkan perkara ini.

“Dari mana?”
“Semarang.”
“Kok lewat sini?”
“Ya kan dari terminal, Pak. Saya tadi naik bus, terus turun Jombor. Saya nggak tahu kalau jalan ini satu arah, rambunya juga gak kelihatan. Lha emang kalau dari terminal keluarnya harus lewat mana Pak? Saya masuknya lewat sini kemarin, gak tahu kalau ini bukan jalan keluar yang tepat.”
“Kuliahnya dimana? Semester berapa?”
“UII, semester 5.”

Kemudian dengan nada sedikit halus Polantas itu bertanya apakah aku baru sekali ini ke daerah ini, aku pun sontak menjawabnya iya. Entah apa yang ada di pikiran Polantas itu, tiba-tiba ia bertanya pada kawan seprofesinya yang di depan kios. “409 yo, Lek,” kurang lebih begitu tanyanya. Aku juga tak paham apa artinya, yang jelas itu sandi Kepolisian.

“Mas Bobby, ini nggak usah sidang saja,” katanya. Pikiranku sempat bertanya-tanya, apakah Polantas ini akan meminta uang damai? Mengingat apa yang dikatakannya tadi. “Silahkan melanjutkan perjalanan, tapi harus lewat jalan yang benar, bukan lewat sini,” tambahnya. “Owh, gitu Pak? sahutku. Dengan perasaan yang sedari awal tadi tenang, tidak gugup, dan selalu memberi jawaban lantang, akhirnya kini berubah jadi sedikit senang sembari melempar senyuman. Setidaknya tak ada uang yang mubadzir (sia-sia) karena masalah konyol.

Ku taruh SIM dan STNK ke dompet lagi. Dengan salam komando ala militer aku mengajak kedua Polantas itu untuk berjabat tangan.

Dengan menyisakan beribu-ribu pertanyaan aku mulai mengarahkan laju motor ke arah yang menurut Polantas benar, pertanyaan itu tak lain tak bukan adalah mengapa aku tak jadi ditilang?

Ada dua hipotesis yang bisa aku simpulkan, takut, segan dan kasihan. Sudah aku katakan sebelumnya bahwa aku sedari awal tak ada perasaan gugup, aku pun selalu menjawab pertanyaan dengan lantang dan meyakinkan. Ditambah penampilanku yang urakan—gondrong, pakaian tak terlalu bersih, dan terkesan sangar. Itulah alasanku yang menyimpulkan Polantas itu takut dan segan.

Kemudian mengapa aku juga simpulkan Polantas itu kasihan? Mungkin ia melihat SIM dan STNK, di situ terpampang jelas alamat asal. Terminal Jombor tak terdapat satu pun bus menuju kota asalku, jadi ia percaya bahwa aku tak berbohong ketika aku berkata baru sekali ke daerah di mana aku melakukan kesalahan ini.

Takut dan segan, atau memang kasihan? Anda sendiri yang menyimpulkan, yang jelas aku bebas dari tilang dan sidang. [*]
Baca Selengkapnya...

Rabu, 23 November 2011

Rahasia Kaum Falasha

Rahasia Kaum Falasha merupakan novel petualangan muslim yang menceritakan perburuan filolog—ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip—Muslim Indonesia, di bawah bayang-bayang Zionis.

Novel Rahasia Kaum Falasha
            Novel ini didasarkan pada sebuah riset selama 3 tahun yang dilakukan oleh penulisnya, Mahardhika Zifana. Di sampul belakang tertulis bahwa novel ini ialah novel petualangan Muslim pertama dalam sejarah kasusastraan Indonesia dengan kemasan memikat, merangkai fakta dan informasi tentang sejarah harta karun Nabi Sulaiman. Rahasia Kaum Falasha merupakan novel pertama dari Trilogi Battle for Solomon’s Treasure.

Lima Lembar Manuskrip Kuno
            Berawal dari ditemukannya lima lembar manuskrip—peninggalan tertulis masa lalu—kuno, tentang orang-orang Beta Israel (Kaum Falasha) oleh prajurit Angkatan Darat Amerika Serikat dari kesatuan Airbone Rangers, yang saat itu sedang bertugas di Somalia. Prajurit keturunan Afro-Amerika itu datang pada Indra untuk menjual manuskrip yang ia temukan. Ia menemui orang yang tepat, karena pekerjaan Indra adalah mencari barang-barang antik dan kuno dari berbagai penjuru dunia lalu menjualnya kembali.

            Indra mengira barang yang baru dibelinya itu hanya sebuah manuskrip biasa, ternyata tidak. Heri, salah seorang sahabat dekat Indra di Universitas Monash Australia. Secara tak sengaja melihat manuskrip itu di perpustakaan Indra saat akan meminjam buku. Sangat kebetulan karena disertasi Heri membutuhkan penelitian pada manuskrip-manuskrip kuno untuk menyingkap fakta sejarah.

            Manuskrip-manuskrip itu dibawa oleh Heri untuk ditanyakan pada seorang ahli arkeologi di Universitas Monash, Jack Towesend namanya. Jack Towesand memperkirakan manuskrip itu berasal lebih dari tiga ribu tahun. Jack memperlihatkan pada Moses Goldstein, seorang Yahudi yang tergabung dalam The Knights of Zion—perkumpulan Zionis paling rahasia yang konon sangat berpengaruh di dunia.

            Manuskrip itu menceritakan asal-usul Beta Israel yang sesungguhnya dan sebuah penemuan besar. Sebenarnya ini cerita lama yang sudah diketahui turun-temurun. Orang Beta Israel meyakini bahwa mereka adalah keturunan Menelik—putra Raja Sulaiman dan Ratu Saba. Ada juga yang meyakini bahwa Beta Israel keturunan suku Dan—satu dari sepuluh suku yang hilang sebelum bangsa Yahudi tercerai-berai. Sebagian kecil meyakini Beta Israel adalah orang-orang Yahudi yang lari dari Mesir ke selatan saat masa perbudakan Fir’aun. Beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa Beta Israel merupakan anak cucu kaum Yahudi yang datang dari Yaman. Benar atau tidaknya beberapa pendapat di atas juga diulas dalam novel ini, tentunya dengan melihat isi manuskrip tersebut.

            Pada lembar pertama berisi kisah Menelik saat merawat dan memindahkan lokasi penyimpanan tabut perjanjian tanpa menyebut di mana lokasinya. Tabut itu berisi perjanjian Nabi Musa as dengan Allah di bukit Tursina beserta ukiran sepuluh perintah Allah. Lembar kedua dan ketiga menceritakan perjalanan Menelik ke tanah yang sekarang disebut Ethiopia. Tak ada masalah memang, namun masalah baru timbul di lembar keempat dan kelima, yang menceritakan lokasi penyimpanan dan menjelaskan kunci sebuah kuil yang lokasinya disamarkan oleh peta berwujud syair. Nach, kuil itulah tempat penyimpanan harta karun Nabi Sulaiman as dan tabut perjanjian yang hilang.

Orang yang Salah
            Sayangnya Heri menceritakan isi dari manuskrip itu pada Goldstein, padahal secara matematis Goldstein ingin menguasai harta tersebut. Salah satunya dengan meminta Indra dan Heri untuk membantu memuluskan rencananya, namun mereka enggan.

            Dalam usahanya untuk menolak permintaan Goldstein, Heri tewas karena berhasil dihabisi oleh anak buah Goldstein setelah sempat lari namun terjatuh karena tersandung. Sementara Indra berhasil lolos, lalu membakar manuskrip yang ada di lemari penginapannya agar tak jatuh pada orang Yahudi tersebut. Indra hafal terjemahan manuskrip dan membawa segitiga yang ditemukannya bersama Heri, oleh karenanya Indra-lah yang sekarang dicari oleh Goldstein beserta anak buahnya. Lebih-lebih, Goldstein juga memutar-balikkan fakta agar seolah-olah Indra yang telah membunuh Heri. Sekarang Indra menjadi buronan oleh pihak Goldstein dan Kepolisian.

Selalu Bernasib Baik
            Nach, beberapa paragraph di atas mencerminkan sumber dari segala masalah yang ada dalam buku Rahasia Kaum Falasha ini. Letaknya berada di bagian 36, halaman 215 sampai 228.

            Novel ini juga menegaskan tidak semua Yahudi itu Zionis dan berambisi mendirikan The Kingdom of Heaven di Israel seperti The Knights of Zion yang memainkan peran besar di dunia.  Buktinya ada The American Jews Alternatives for Zionism, organisasi ini aktif mengampanyekan penetantangan atas berdirinya negara Israel dan pembantaian manusia-masnuia tak berdosa di Palestina. Banyak diceritakan tentang beberapa kawan Yahudi yang bukan Zionis, dan mereka menyenangkan.

            Kelemahan buku ini adalah ketika jalan ceritanya banyak yang tidak irasional, salah satunya keberuntungan-keberuntungan yang selalu menaungi para tokoh ketika menghadapi suatu masalah besar, singkatnya para tokoh selalu bernasib baik. Sangat datar, mungkin karena bahasa yang digunakan penulis sangat sederhana dan kurang menggigit. Sehingga pembaca tidak merasakan konflik yang diusung penulisnya.

            Kelebihannya lebih pada konsep yang ditampilkan buku ini. Novel Rahasia Kaum Falasha bukan hanya bagus, melainkan juga berguna karena muatannya yang ensiklopedis. Hal itu menjadikan novel ini menghibur dan sekaligus member pengetahuan bagi para pembacanya. Novel ini menarik untuk dibaca oleh berbagai kalangan yang menginginkan pengetahuan serta hiburan baginya. 
Baca Selengkapnya...

Jumat, 04 November 2011

Ngangsu, Ngungsi, dan Siti

Susah, berat dan mahalnya mendapatkan air bersih pasca erupsi Merapi 2010.


Ilustrasi
Siti 43 tahun, penjaga salah satu penginapan di Kaliurang, kaki gunung Merapi. Badannya kurus, berkulit sawo matang, gaya bicaranya lucu, terlebih ketika menggunakan bahasa Indonesia. Terdengar cedal dan medok. Dari pakaianya tercium aroma yang khas, menandakan bahwa Ibu dari dua putri ini sering berada di dapur. Setelah erupsi merapi, wanita paruh baya ini terpaksa merelakan jatah pompa air pengganti yang seharusnya ia miliki, untuk dipasang di tempatnya bekerja.

          Sepulang dari barak pengungsian, permasalahan air menjadi permasalahan pelik bagi eks-pengungsi erupsi Merapi,. Saat itu saluran air yang biasanya disuplai PT. Arga Jasa mati total. Tak ada pilihan lain bagi Siti, kecuali menunggu hujan.

          Ngangsu—mengambil air dari mata air dengan gentong, gallon, jerigen, dll—di Telaga Putri juga sering dilakukan Siti dan tetangganya ketika mengetahui saluran air tak mengalir lagi . Bantuan dari pemerintah hanya berjalan beberapa bulan pasca erupsi. Antrian panjang ketika mobil tangki yang membawa air bersih datang sudah tak terelakan lagi, paling cepat Siti membutuhkan waktu tigapuluh menit. Ini khusus untuk dikonsumsi, lainnya tidak diperkenankan.

          Setelah tangki-tangki bantuan pemerintah habis masa kontraknya, Siti mulai gelisah. “Bantuan dari pemerintah itu cuma kontrak untuk beberapa bulan saja,”  kata Siti. PT. Arga Jasa sempat berjanji perbaiki saluran mati selama tiga bulan. Seiring waktu, janji itu hanya isapan jempol. Kabar yang santer beredar, ada batu besar yang membuat saluran macet. PT. Arga Jasa tak sanggup menanggung biaya untuk memecah batu itu.

          Hujan sudah jarang, namun Siti tak habis akal. Ia berusaha menyediakan air bersih di tempatnya bekerja. Satu-satunya alternatif adalah membelinya dari mobil tangki secara pribadi. Satu kali kirim 5.000 Liter, harganya berkisar antara Rp 50.000-70.000.

          Penduduk sekitar Kaliurang harus rela merogoh kocek lebih dalam untuk  urusan ini, termasuk Siti. Siti adalah pelanggan jasa tangki air tersebut, oleh karena itu dia sedikit mendapat keringanan biaya. “Kalau saya kan langganan, jadi cuma Rp 50.000 per tangki, kalau yang lain bisa 70.000,” Siti tertawa.

          Ngungsi, bukan hanya pas Merapi sedang bergejolak. Beberapa bulan pasca erupsi, Siti juga harus ngungsi ke sungai untuk sekedar mencuci baju. “Pokoknya hanya ngangsu dan ngungsi,” ceritanya.

          Kini untuk mencukupi kebutuhan air di penginapan yang ia kelola, Siti memang sudah tak repot lagi. Pasalnya sudah ada saluran air baru, walaupun tidak mengalir setiap saat seperti dulu. “Sekarang sudah ada saluran baru, tapi beda PT., bukan Arga Jasa lagi. Katanya biar rata, mengalirnya pas jam enam sampai sembilan pagi saja,” jelas Siti. Itupun sebenarnya jatah untuk rumah Siti—hanya warga asli Kaliurang yang mendapat jatah saluran—letaknya tak jauh dari penginapan yang ia kelola. “Saya rela saluran dipasang di sini, mau bagaimana lagi? Saya kerjanya di sini,” ungkapnya.

          Untuk keperluan sehari-hari di rumah, senenarnya Siti juga memerlukan air bersih. Mertuanya yang sakit stroke kini tinggal di rumah bersama suami, mertuanya membutuhkan sarana dan pra-sarana yang sehat. Salah satunya air, baik untuk dikonsumsi atau keperluan lain. Padahal jika ada tamu yang menyewa penginapan, ia harus meniggalkan segala urusan rumah. Mau tak mau semua urusan diserahkan suaminya.

          Siti hanyalah satu di antara seluruh penduduk lereng Merapi yang harus bersusah payah mendapatkan air bersih. Pegunungan identik dengan airnya yang melimpah, namun kini harus belanja untuk urusan yang satu ini. Bantuan pemerintah hanya sebatas kontrak bulanan, selebihnya tak ada lagi. Walau kini sudah mengalir, tapi intensitasnya tak seperti dulu lagi. Jarak antara berhentinya bantuan pemerintah dengan jadinya saluran baru adalah masa-masa dimana Siti harus bersusah-payah untuk mendapat air demi kelangsungan pekerjaannya sebagai pengelola penginapan. Besar harapan Siti agar saluran yang baru kembali mengalir 24 jam non-stop.#

Baca Selengkapnya...

Senin, 31 Oktober 2011

Memori yang Tertinggal

Cerita perjalanan ringan hingga akhirnya menyadari ada sebuah memori yang tertinggal.

Ketika waktu mulai beranjak tiga puluh menit dari pukul empat sore, aku mulai bergegas mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) di Kaliurang. Tapi sejuknya putaran kipas angin di dalam kamar kos ukuran 3X4 meter membuat aku malas untuk berkemas. Mungkin karena kaca ventilasi kamar yang ada di lantai dua ini telah memberitahuku tentang betapa masih panasnya suhu di luar sana. Namun lambat-lambat kuambil juga sebuah ransel.

          Hanya butuh beberapa menit untuk membuat ransel yang aku miliki sejak zaman SMA itu penuh akan barang bawaan. Tiga potong baju ganti, lalu empat celana-dalam siap pakai berada di susunan paling bawah. Mayoritas berwarna gelap. Laptop merk MSI lengkap dengan chargernya ada di atas tumpukan baju, barang elektronik itu ku atur berdiri agar menempel di punggung ketika dicangklong nanti. Disusul sebuah kamera D-SLR tipe 450D keluaran Canon—aku berharap bisa hunting foto dan mengabadikan kegiatan pelatihan nanti. Agar terlindung dari air hujan, semua barang bawaan aku bungkus dengan satu plastik putih transparan, bekas wadah laundry.

          Selesai mandi dan aku rasa tak ada barang yang tertinggal lagi, mulailah ku langkahkan kaki menuju tangga. Sesampainya di depan kamar Arif—mahasiswa ekonomi semester lima, berambut kribo, kulitnya putih, dan murah senyum—aku lambaikan tangan pada beberapa teman kos yang sedang asik bermain game.
Metu sek yow (keluar dulu ya),” pamitku pada mereka.
Ameh nang ndi rika? Muleh opo, Bob (mau kemana kamu? Pulang ya, Bob)?” teriak Arif dengan logat ngapak khas Cilacap.
Ameh dolan, sek yow (mau main, duluan ya).”
Owh yo, ati-ati Bob (owh iya, ati-ati Bob).”

          Setelah bertele-tele karena terkendala berbagai masalah, akhirnya aku sampai juga di lokasi PJTL berada. Wisma Al-Kindi namanya, berada tepat di depan laboratorium tumbuhan hutan milik Perhutani. Aku parkirkan mesin rakit buatan Jepang yang sering disebut sepeda motor di sebelah kanan wisma.

          Hmm. Jika dilihat, wisma yang terletak di Jalan Boyong ini umurnya sudah tua. Bangunannya belum ada sentuhan modernitas seperti perumahan-perumahan masa kini. Dengan halaman parkir yang tidak terlalu luas, di bagian depan pojok kiri wisma terdapat kolam ikan yang warna airnya sudah menghijau seperti lumut.

          Ketika masuk ke dalam, kulihat ada dua orang yang menurutku asing. Ternyata dialah pemateri PJTL malam ini hingga beberapa hari ke depan. Mas Fahri  Salam. Seorang wartawan independent yang bekerja di Yayasan Pantau. Badannya kurus, dan berperawakan sedikit jangkung. Rambutnya hampir mirip dengan temanku Arif, namun masih sedikit rapi Mas Fahri. Matanya sedikit melotot ketika berbicara. Dari logat bicaranya, aku tak mampu menebak dari mana asalnya. Jawa bukan Sumatera juga bukan? Apalagi Sulawesi, lebih ngaco lagi.

          Malam itu hanya diisi dengan perkenalan, baik dari Mas Fahri ataupun peserta. Setelah itu bebas, terserah peserta mau apa.

          “Ayo ke pocian, yuk,” ajak seorang teman. Tak ragu lagi, dengan anggukan kepala aku menyanggupi ajakannya. Dengan beberapa motor kami menembus dinginnya angin pegunungan, membuat tubuh menggigil jika berlama-lama berada di jalanan, kabut yang membawa tetesan air membuat pakaian kami sedikit basah.

          “Puh, sepi benar malam ini,” batinku dalam hati. Baru semenit berada di warung poci, kabut tipis yang membalut tubuh kami di jalan tadi sudah berubah jadi hujan. Tuntas sudah harapan warga Yogya pada umumnya, awan jenuh yang tak kuat menahan beban akhirnya memuntahkan butiran air yang biasa kita sebut hujan. Semoga di kota Yogya juga demikian, agar debu-debu liar jalanan tersingkirkan. Seperti di Kaliurang ini.

          Intensitas hujan bervariasi. Kadang gerimis, yang hanya menimbulkan suara tik tik tik…. saat menyentuh atap. Kadang bisa segede biji jagung, trang trang trang…bresssssssssss…. Derasnya luar biasa.

          Warung yang dominan dengan ornamen warna merah muda itu juga sepi sekali. Ruangannya berkisar antara 5X9 meter. Hanya ada kami, aku tak ingat berapa banyaknya kami. Ada satu meja di pojok kanan warung yang dikelilingi kursi sofa, duduklah kami di situ.

          Kurang lebih sejam berada di warung yang hanya punya meja tak lebih dari delapan buah itu. Kami putuskan untuk pulang setelah selesai menikmati pesanan yang telah habis kami lahap. Lagi-lagi harus berhadapan dengan angin pegunungan, kali ini sehabis hujan.

          Setelah sampai di wisma. Aku ingat lagi kejadian sore tadi. Ceritanya begini, ketika salah seorang teman membuka file-file foto di laptop aku sempat berpikir, tak lebih dari lima detik aku bisa menyimpulkan ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu itu adalah kartu memori kamera. Payah benar ingatanku. Sebenarnya bisa, tapi tak mungkin juga jika aku harus kembali ke kos hanya untuk mengambil sebuah kartu memori. Aku memang pelupa, justru hal-hal kecil seperti ini yang sering terlupakan. Rencana untuk hunting dan mengabadikan momen harus tertunda, sayang sekali.

          Ugh, kesal sekali rasanya. Memangnya bisa apa kamera digital tanpa kartu memori? Ibarat kata bagaikan macan ompong dan tak berkuku, hanya meraung, jika lelah akan membisu. Hal ini mengingatkan aku pada kinerja di organisasi, tentang semua elemen itu penting. Tak ada satupun yang dianggap pelengkap, semua adalah bagian sekalipun tidak berperan sentral. “Agh, melantur apa aku ini?” batinku sembari berharap cepat sadar dari lamunan.

          Di ruang tamu, ada dua bantal putih yang ditumpuk di atas karpet usang. Tanpa perlu pikir panjang, tak peduli aroma apa yang melekat pada karpet 2X3 meter itu. Aku merebahkan diri untuk sejenak melepas lelah. Semakin lama mata semakin berat, rasanya seperti diganduli besi satu kilo saja. “Hoe, emange bantale nyepakne koe po (Hey, memangnya bantal itu nyediain kamu)?” teriak temanku Yeyen. Dia yang sebenarnya menyiapkan bantal itu untuk tidurnya. Namun aku tak ambil peduli, mata yang tinggal 5 watt ini sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Memori yang tertinggal juga sudah tak ku hiraukan lagi.

          Lalu lepas dari terjaga, terlelaplah aku.*

Baca Selengkapnya...

Senin, 24 Oktober 2011

Anak Kuliahan atau Mahasiswa

          Teriknya sinar matahari menghadirkan  pengetahuan dalam sesi formal di siang hari, pengetahuan yang terbatas akan sekat-sekat ruangan dan atap kelas. Realitanya, hanya sebagai rutinitas. Masuk kelas, lalu duduk sembari menanti namanya dipanggil dalam presensi. Sebagian besar berorientasi pada sebuah penilaian formal—izinkan aku untuk menyebut mereka anak kuliahan.

          Sementara di sisi lain, ada yang ingin terbebas dari semua itu. Tak peduli waktu terus berputar dari pagi sampai ke pagi lagi. Hari-harinya dihabiskan di luar kelas, tak ayal ilmu serta pengetahuan yang diperoleh jauh lebih nyata dibanding teori-teori. Tidak berlebihan jika aku menyebutnya mahasiswa—inilah aktivis.

          Perbedaan diantara keduanya sangatlah jelas. Dimana yang pertama hanya memikirkan pendidikan untuk dirinya sendiri, sementara yang kedua secara tidak langsung masih menyisakan harapan bagi kelangsungan hidup orang lain, berkat sebuah rasa kepedulian yang mereka miliki.

          Kata “maha” setelah “siswa” berarti menandakan sesuatu yang lebih. Ketika seorang mahasiswa masih menjalani rutinitas pendidikan layaknya anak sekolah dasar dan menengah, apakah sudah “pantas” mereka disebut mahasiswa? Sebuah pertanyaan yang menyimpan tanda tanya besar.

          Sesuai dengan dua paragraph awal, dapat diasumsikan bahwa mahasiswa adalah bagian dari anak kuliahan, tapi anak kuliahan belum tentu menjadi mahasiswa. Karena pada dasarnya mahasiswa tidak hanya membaca buku untuk diri sendiri, namun mereka juga harus mampu membaca hati dan tangis manusia yang terpinggirkan.

          Paradigma pendidikan di negeri kita memang sudah sedemikian mawut-nya, semua dilihat dari segi keformalan. Parahnya lagi biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyak mahasiswa menjadi pragmatis, yang dikejar hanya indeks prestasi dan cepat lulus, terkadang tak peduli dengan kemampuan yang dimilikinya. Terkait biaya memang tak bisa dipungkiri, sistem telah membuat mahasiswa mempunyai pola pikir seperti itu.

Agen perubahan dan Kontrol Sosial

          Ada sebuah jargon yang selalu hadir saat kampus menyambut mahasiswa baru. Mahasiswa itu harus jadi agen of change and control social. Dua peranan penting tersebut wajib ada dalam sanubari mahasiswa baru, lebih-lebih yang ingin jadi aktivis. Perubahan untuk siapa? Setidak-tidaknya perubahan untuk dirinya sendiri dalam mengambil sudut pandang berpikir—sebagai mahasiswa, bukan anak kuliahan—syukur-syukur perubahan itu bagian dari pencerahan untuk orang lain.

          Mahasiswa harus tahu jika hidup bukanlah sebuah dikotomi, hitam-putih ataupun benar-salah saja. Hidup merupakan perjalanan dinamika, rasa kepedulian yang diawali dari dunia kampus niscaya akan membawa kita menjadi manusia yang dapat memanusiakan manusia.

          Kampus didirikan tidak bertujuan untuk menciptakan robot-robot kapitalis, tapi untuk mereka yang kritis terhadap potensi diri dan gejolak sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Tak usah ragu untuk menjadi seorang aktivis. Aktivis memang rentan kena DO, namun itu hanya berlaku bagi aktivis yang malas dan disorientasi. DO merupakan resiko yang harus ditanggung bukan hanya oleh mahasiswa aktivis, tapi semua mahasiswa bisa mengalaminya.

          Aku lebih memilih mendapat predikat indeks prestasi (IP) rendah dengan skill tinggi daripada sebaliknya. Karena dengan kemampuan, kita dapat membuat berkarya yang nantinya tidak menutup kemungkinan akan mempekerjakan mahasiswa dengan predikat lulus cumlaude.

          Namun, menjadi aktivis juga perlu perhitungan. Tidak sedikit aktivis yang dis-orientasi tehadap apa yang ia lakukan di organisasinya. Sikap selektif untuk memilih organisasi mutlak diperlukan, agar hal-hal yang sekiranya tidak mencerminkan tingkah-laku mahasiswa dapat dihindari. (Boy). [#]
Baca Selengkapnya...

Minggu, 25 September 2011

Malam, Menyajikan Pengalaman dan Kewaspadaan

          Ketika jam di telepon genggamku sudah menunjukkan sekitar pukul 03.00 dinihari, ku putuskan untuk enyah dari ruangan 5 X 10 yang penuh dengan asap rokok para penghuninya. Bersama dua orang teman yang semuanya mengendarai vespa kami melaju menuju sebuah tempat makan 24 jam nonstop, tak lain dan tak bukan adalah warung burjo. Warung spesial bagi para mahasiswa. Mudah ditemui di kota pelajar seperti Yogyakarta, karena hampir-hampir di setiap tikungan ada.


         Setelah bingung menentukan warung burjo mana yang akan kami sambangi, akhirnya kami putuskan untuk melaju ke salah satu burjo di sekitar UGM. Aku sempat bertanya pada temanku Rama karena kendaraan mereka melaju ke arah jalan kampung. "Bang, tutup ya tempatnya?" teriakku dari atas jok sepeda motorku. "Loe bingung ya pasti, keliatan muka lu tuh", jawab Rama dengan logat yang tidak medok (jawa) sepertiku. Namun tak selang lama akhirnya kami parkirkan dua vespa milik Rama dan Noval serta satu shogun pinjaman dari temanku di samping burjo bernama Sangkuriang—setiap burjo memiliki nama tersendiri.

          Aku merasa sedikit aneh, dini hari seperti ini di warung burjo ada seorang tukang parkir. Di burjo ada tukang parkir saja bagiku tak biasa, lebih-lebih diwaktu dini hari seperti ini. Aigh, kenapa harus aku permasalahkan? Toh demi kebaikan dan keselamatan motor-motor kami juga. Mungkin karena negara yang selama ini tak mampu memberi lapangan pekerjaan membuatnya jadi tukang parkir sepagi ini.

           Dini hari seperti ini tetap saja ada pembeli yang datang dan pergi, luar biasa. Kurang-lebih sejam kami sudah berada di Sangkuriang, mie dok-dok dan es kopi yang dipesan pun juga tiada sisa lagi. Akhirnya kami putuskan untuk cabut dari warung itu, sebelum pergi tak lupa kami bayar apa saja yang kami makan tadi.

          Kurogoh kantongku untuk membayar jasa bapak tukang parkir setengah baya itu. Di sini aku melihat service yang diberikan bapak parkir itu luar biasa. Ketika datang tadi  ia mempersilahkan kami sembari mengarahkan posisi motor kami, kini saat kami akan pulang ia meminta kunci untuk mengeluarkan motor kami. Sempat aku berikan kunci yang salah, hingga ia kesulitan memasukanya. Maklum, ini motor pinjaman. Wajar jika aku salah memberikan kunci. Kami mulai terpisah, dua temanku dengan vespanya melaju ke arah barat untuk selanjutnya menuju Jl. Kaliurang, kos mereka. Sementara aku sendirian menuju ke timur Jl. Gejayan.

       Bermotor sendirian sepagi ini memaksa aku menikmati angin pagi dengan penuh kekhawatiran. Sesampainya di selokan mataram, tepat dipertigaan yang menghubungkan Jl. Gejayan dengan kampus Teknik UNY aku dihentikan oleh seseorang. Kulitnya hitam, kepala plontos, berkaos dan bercelana pendek.
"Boleh numpang, Mas"
"Aku mau kesana", sembari tanganku menunjuk arah utara.
"Iya, boleh mas boleh?"
Jujur saja, entah mengapa sedari perjalanan tadi pikiranku selalu teringat-ingat dengan pemerasan dan penusukan yang terjadi di Jogja akhir-akhir ini. Intuisiku mengatakan aku harus menarik gas secepatnya dan mengabaikan perkataannya, dan aku melakukannya.

        Sebenarnya tujuanku ke arah selatan, menuju Jl. Solo. Namun karena di pertigaan itu tak terdapat pemotongan batas jalan—batas jalannya beton dengan banyak pohon disela-selanya. Jadi mau tak mau aku harus ambil kiri untuk berputar arah menuju selatan. Mungkin karena perasaanku sudah tak karuan, tanganku menunjuk arah yang salah saat menjawab permintaan lelaki itu.
        
        Kegugupanku semakin menjadi-jadi, satu potongan batas jalan sudah ku lalui namun aku tak juga berbalik arah. Aku benar-benar takut, dan tak bisa berpikir bersih lagi. Akhirnya di potongan batas jalan selanjutnya aku berputar lalu menarik gas sekencang-kencangnya. Kala melintas tempat tadi, ku toleh pria itu masih berdiri di situ, untungnya tak sedikitpun menoleh padaku.


       Tak beberapa lama sampailah di kost Aldi untuk menjemput Linggar—pemilik motor yang ku kendarai, hari itu aku tak berniat pulang ke kos sendiri. Tak mungkin mengajaknya pulang sepagi ini.


      Inilah malam, menyajikan pengalaman serta kewaspadaan. Pengalaman mendapat ilmu dari aktivitas non-formal yang terpujiaktivitas ini lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan ilmu yang kita dapatkan di meja perkuliahan saja. Sedangkan kewaspadaan menuntut kita untuk selalu berhati-hati baik lisan maupun tingkah laku.

          Aku dan Linggar tak sengaja tidur di kost Aldi, ceritanya malam tadi kami menjual salah satu onderdil motor di Klithikan—pasar maling. Ketika perjalanan pulang ada pesan singkat di telepon genggam yang membuatku harus ke salah satu kampus swasta di perbatasan Yogya-Sleman, untuk sebuah persoalan advokasi yang penting. Akhirnya Linggar setuju untuk main di kos Aldi sementara aku meminjam motornya, kebetulan kos Aldi dekat dengan kampus itu. Prediksiku hanya sejam saja urusan itu selesai, ternyata salah. Untuk kesalahanku ini aku minta maaf teman, benar-benar tak ada kesengajaan dalam hatiku. Sekali lagi maafkan aku, teman.

          Selain pada temanku. Aku juga minta maaf sebesar-besarnya pada pria hitam yang ingin nebeng di pertigaan tadi, dengan catatan jika niatnya memang benar-benar untuk mendapat tumpangan. Bila niatnya buruk, semoga diberi kesadaran dan ampunan dari Tuhan berdasarkan kepercayaannya.

          Di dalam kamar, kulihat Linggar dan Aldi sudah terlelap. Aku juga menyusulnya dengan berbaring ditempat yang aku anggap nyaman meletakkan tubuh, perlahan-lahan rasa kantuk menyerang kemudian terlelap dengan meninggalkan semua kisah di malam itu.
Baca Selengkapnya...

Jumat, 26 Agustus 2011

Ramadhan, Bulan Penuh Paksaan

              Malam ini angin berhembus begitu pelan, hampir-hampir tak sanggup bikin daun pisang bergoyang. Namun suasana seperti ini justru sangat bersahabat dengan manusia-manusia kegelapan, manusia yang mencari penghidupan seiring datangnya malam.


          Hiruk-pikuk kota kecamatan—yang sering menjadi transit para pemudik pengguna jasa bus dari luar kota—benar-benar sudah terasa. Mulai dari tukang ojek, penjemput keluarga, hingga tukang parkir dadakan disibukkan dengan rutinitas menjelang lebaran ini. Maklum, tepat di malam ini Ramadhan sudah menginjak malam ke-26. Artinya, tinggal menghitung hari lebaran akan tiba.

          Seluruh aktivitas seketika itu padam oleh sebuah suara manusia. Melalui pengeras suara, seorang muadzin tengah mengumandangkan adzan sholat isya’. Ia tak sendiri, dari Masjid lain juga terdengar adzan mulai dikumandangkan. Mereka saling bersahutan, seakan-akan beradu dalam sebuah lomba. Ketika mendengarnya muslimin dan muslimah berbondong-bondong menembus pendar lampu jalanan kampung untuk menuju Masjid Al-Ikhlas. Tak peduli tua-muda, kecil-besar, rakyat-pejabat, begitu juga denganku.

          Sarung coklat, kemeja, dan kopiah yang serba hitam menjadi pakaian setia guna mengikuti sholat tarawih di Masjid Al-Ihklas. Aku memang sering bertarawih di Masjid itu. Selain karena jaraknya yang dekat dengan rumah, kultur sholat di masjid ini cocok dengan kepercayaan hati nuraniku.

         Di dalam masjid, aku menemui manusia yang beragam. Tanpa melupakan sebuah keunikan. Keunikan itu tak lain tak bukan adalah, sedari awal Ramadhan kulihat kebanyakan anak-anak seusia SD datang membawa buku berwarna hijau lengkap dengan bolpoinnya, sama persis denganku sewaktu masih mengenyam SD dulu. Kalau tak salah itu buku kegiatan bulan ramadhan, wajib diisi oleh siswa-siswi muslim sebagai tugas di bulan suci seperti ini. Tiba-tiba intuisiku merasakan sebuah keganjilan dan kesalahkaprahannya. Dari beberapa minggu yang lalu aku sholat di sini, kebanyakan anak-anak seusia SD itu hanya tidur dan bercanda dengan kawan ketika orang di sekelilingnya sedang melaksanakan sholat. Terutama ketika sholat tarawih dan witir.
          
          Aku sempat berpikir, terlepas dulu apakah aku pernah seperti itu atau tidak? Aku mulai menyimpulkan bahwa anak-anak tersebut hanya mengejar tanda tangan dari imam atau penceramah (kultum). Ya, hanya mengejar materi tepatnya. Bagiku ini bukan salah mereka, sistem telah membuat calon pemuda penerus bangsa berpola-pikir sedemikian rupa. 

          Tapi bukannya terpelajar harus adil sejak dari pikiran, apalagi perbuatan? Simpulan yang aku buat di atas tak mencerminkan keterpelajaranku. Untuk sekedar ingin tahu, ku coba sedikit bincang-bincang dengan Rais, salah seorang siswa SD pegiat tanda tangan di buku hijaunya yang sedari tadi selalu tanya padaku “Judul kultumnya apa, Mas?”.

“Ameh sholat po golek tanda tangan (Mau sholat apa cari tanda tangan)?”
“Hehehehehe”
“Lek golek tanda tangan, sesok moro nang omahku wae! Tak tanda tangani kabeh ngko (Kalau cari tanda tangan, besok datang ke rumahku saja! Nanti aku tanda tangani semua)”.
“Berarti ngko jenenge Mas Bobby kabeh (Berarti nanti namanya Mas Bobby semua)?”
“Iyo. Wes ayo gek sholat tarweh sek, bukune diurusi engko (Iya. Sudah sekarang sholat tarawih dulu, bukunya diusrus nanti)!”
“Heheheheehehe”

          Fiufth, tujuannya memang brilian. Kegiatan ramadhan siswa jadi terkontrol, tapi apa daya ketika mereka datang ke masjid untuk sebuah keterpaksaan? Keterpaksaan yang melahirkan kebohongan. Sistem ini perlu dirubah, bagiku bagaimana lembaga pendidikan formal membuat siswa-siswinya mencintai agama secara batin. Bukan hanya sebatas lahiriah yang kebanyakan justru mengekang pikiran siswa, akhirnya mereka tak dapat menikmati indahnya ibadah. Tanpa buku hijau pun jika mereka sudah ditanamkan kecintaan—bukan keekstreman—agama, tanpa suruhan, iman mereka akan terbentuk dengan sendirinya. Karena urusan agama dan Tuhan itu urusan iman, bukan akal.

Baca Selengkapnya...

Minggu, 31 Juli 2011

Edan Tak Berarti Kedanan

            "Volline menang po kalah, mas?" tanya pria setengah tua itu padaku. Saat ia mendekat, aku kenal betul aroma minuman yang ia tenggak sebelumnya—sekalipun aku belum pernah meminumnya. Terlebih saat melihat jalannya yang sempoyongan, kata "mabuk" sudah mewakili kondisinya. Mungkin karena aku pakai jaket sport merk terkemuka, ia bertanya seperti itu. #Bersambung.

            Tulisan singkat di atas ku ambil dari status jejaring sosial Facebook beberapa hari yang lalu, semua pasti sudah dapat menebak dengan manusia yang bagaimana aku bercengkrama. Sayang, aku tak tahu nama pria bermandikan aroma ciu—minuman keras tradisional di Solo dan sekitarnya—itu.

            Ceritanya begini. Pada suatu sore di malam minggu yang diterangi temaram cahaya bulan purnama. Persis setelah makan malam bersama keluarga, aku menelepon seorang teman akrab—walaupun dalam hal apapun kita selalu berbeda pendapat—Senthit sapaannya. Tanpa kata halo ataupun salam ku awali percakapan singkat dengannya.
“Posisi Sob?”
“Ngomahi, ngopo (di rumah, ada apa)?”
“Yowes, aku tak rono (ya sudah, aku ke situ).”
“Yow (ya).”
Setelah percakapan itu aku segera meluncur dengan rakitan mesin Jepang a.k.a motor, berwarna silver. Dinginya angin pancaroba mulai ku rasakan. Aku memang sudah berjaket, tapi bukan jaket jeans kumel yang biasa ku kenakan. Terpaksa aku harus memakai jaket sport hadiah lomba tujuh belasan beberapa tahun yang lalu, pasalnya si kummel hilang entah kemana. Puh, rasa-rasanya hampir sama dengan tak berjaket.

            Dengan kecepatan sedang, akhirnya sampai juga di rumah teman yang ku telepon tadi. Ia duduk di bangku teras, celananya tak asing bagiku. Celana itu mengingatkan aku dengan lomba gerak jalan se-Jawa Tengah dalam rangka memperingati sumpah pemuda tahun 2008. Gerak yang hampir saja membunuh sebagian diantara rombongan kami itu berjarak 28 kilometer dari start sampai finish. Bayangkan, kabupaten lain mengirim perwakilan atlet atletik yang mempunyai kekuatan mumpuni di lomba itu. Sementara Kabupaten Sragen mengirim siswa SMA—dulu kala kami masih SMA—macam kami ini. Tak ayal, setelah lomba banyak luka yang kami derita. (Mungkin cerita tentang lomba gerak jalan ini akan aku lanjutkan dengan judul yang berbeda).

            Selesai bercengkerama, kami bersepakat untuk keluar malam ini. Tapi sebelumnya aku minta izin ke kamar mandi di rumahnya untuk sekedar buang air kecil, dan ia mempersilahkan. Masih dengan rakitan mesin Jepang kami berpuutar-putar arah tanpa tujuan, dari jalanan kota yang ramai hingga jalan persawahan yang sepi—tempat para remaja menghabiskan malam minggunya—kami sambangi semua. Hingga akhirnya sebuah jalan menuju rel kereta api jadi pilihan laju motor kami, aku sempat bertanya dengan temanku yang aku boncengkan kala sampai di desa Teguhan.
“Enek opo iku Sob (ada apa itu)?”
“Emboh. Egh, voli yak-e (Tak tahu, mungkin pertandingan voli)”
“Po ho’o, nonton yoh! Mbayare piro (Iya kah, nonton yuk! Bayar berapa masuknya)?”
“Lha nonton yo ayo ok. Paling mbayar parkir tok, sewu (Kalau mau nonton ya ayo, paling cuma bayar parkir seribu)”
“Koe po wes tau nonton (Emang kamu udah pernah liat)?”
“Uwes (udah).”

            Berbalik arah menuju tempat keramaian tadi, seorang panitia menghentikan sejenak laju kami guna menunggu giliran pemberian karcis parkir. Kini giliran kami dikarcisi, perkiraan temanku meleset, ongkos parkir sekarang dua ribu. Ketika selesai memarkir motor, kami berjalan ke arah pintu masuk. Aigh, Senthit terkejut ketika melihat tulisan HTM Rp 10.000,- yang terpampang jelas di pintu masuk. Sebenarnya aku sudah melihat tulisan itu saat hendak memarkir motor tadi, tapi aku tak mengatakan padanya. Kami berdua masuk ke lapangan, setelah karcis plus empat batang dan dua bungkus rokok kami dapat secara terpisah—bungkus itu gepeng belum berbentuk, kami harus membentuknya sendiri. Lebih lucunya lagi, bungkus yang diberikan berbeda dengan rokoknya.

            Kami berputar, mengelilingi setengah lapangan untuk mencari tempat duduk yang masih tersisa. Hanya sisi utara yang masih bisa di duduki, lainnya penuh. Itupun kami harus berdiri agar dapat melihat lapangan. Hampir setengah jam berlalu, tapi para pemain belum hadir. Penonton sudah berteriak agar pertandingan segera dimulai, MC senantiasa menenangkan penonton dan juga meminta pemain untuk segera masuk ke lapangan.

            Malam ini ternyata malam semifinal, mempertandingkan dua partai bergengsi antara empat klub bola voli ternama di Sragen. Lumayan seru, cukup menghibur, walaupun hanya kelas tarkam. Kira-kira ketika waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 pertandingan itu memasuki tahapan akhir, aku dan Senthit keluar sebelum permainan partai kedua usai.

            Dengan motor kami bergegas menuju angkringan  di sekitar terminal lama, tempat biasa kami berkumpul dengan teman-teman sekolah dulu untuk sekedar menghabiskan malam. Terkadang saat libur kuliah jumlahnya hampir melebihi dua team futsal. Malam ini-pun begitu, sesampainya di sana setelah memesan minuman aku terhanyut dengan obrolan ngalor-ngidul tak menentu.

            Beberapa saat kemudian, ada pengendara sepeda motor berboncengan datang di angkringan ini. Tak ada yang aneh memang, namun jika diperhatikan lebih seksama keanehan itu akan muncul dengan sendirinya. Pengendara tanpa helm, itu biasa. Tapi pengendara yang satu ini tanpa baju di tengah malam ketika bulan purnama, bagiku sedikit aneh, seperti bukan mau dirinya sendiri. Jalannya sempoyongan, walaupun tidak separah si pembonceng.

             Tiba-tiba si pembonceng menyapa kami, sementara pengendara tak berbaju sibuk memilih makanan yang akan dibeli. "Volline menang po kalah, mas?" tanya pria setengah tua itu padaku. Saat ia mendekat, aku kenal betul aroma minuman yang ia tenggak sebelumnya—sekalipun aku belum pernah meminumnya. Terlebih saat melihat kelakuan dan caranya berjalan, kata "mabuk" sudah mewakili kondisinya. Mungkin karena aku pakai jaket sport merk terkemuka, ia bertanya seperti itu.

            “Kulo niki mas, mbiyen pas dereng edan ngeten niki. Kulo kerep nantangi senggel voli, sok ngluruk ten pundi-pundi, estu mas (Saya dulu sebelum gila seperti ini sering menantang bermain single bola voli. Kadang mendatangi di kampung lain, serius mas)”, ujarnya padaku dengan kata-kata yang sedikit diseret. Caranya berkata sudah berbeda dari manusia sehat, ia terlihat sudah di bawah kuasa alkohol jadi tak bisa menguasai dirinya sendiri. Ia berulang kali meminta maaf karena kondisinya yang seperti itu, aku pun mengiyakan apapun yang ia katakan.

            Ketika ia mengatakan dirinya wong edan (orang gila), aku semakin tertarik untuk terus ngobrol dengannya. Aku suka gayanya berbicara secara terang-terangan, seperti tak ada yang disembunyikan. Bagiku menjadi edan karena menggunakan cara berpikir yang edan lebih mulia daripada menjadi edan karena kedanan (menggilai) sesuatu. Seperti uang, jabatan, ataupun kekuasaan. Hal ini juga aku utarakan padanya.

            Ia pamit pergi setelah temannya selesai memilih makanan. Ia juga sempat menawariku untuk ikut bergabung dengannya untuk minum alkohol bersama, tapi aku menolaknya. Tolakan itu tak membuatnya jera, ia bahkan akan mengirim minuman itu ke tempat kami mengobrol saat ini. Lagi-lagi aku menolaknya.

            Dari obrolanku dengannya aku sedikit membayangkan, bagaimana jika para koruptor sebelum diperiksa oleh aparat sebelumnya di beri minuman beralkohol terlebih dahulu. Mungkin para tersangka akan bicara lebih blak-blakan mengenai apa yang ia lakukan terhadap yang didakwakan. Upz. Ini Cuma gurauan, sedikit merealisasikan menjadi edan dengan menggunakan cara berpikir yang edan. Jika terbukti mampu menjembatani kepentingan rakyat bersama, apa hal tersebut tetap dilarang? Coba pikirkan!
Baca Selengkapnya...