Minggu, 27 Maret 2011

Manusia Penyembah Benda

            Keris, senjata tikam tradisional yang beralih fungsi menjadi sarana budaya di kawasan Nusantara, khususnya bagian tengah dan timur (Jawa). Bagiku keris Jawa berbeda dengan senjata tajam lainnya. Cukup sulit untuk membedakan antara yang satu dengan lainnya, tapi setidak-tidaknya unsur keris Jawa bisa dijadikan alasan tentang berbagai pertanyaaan-pertanyaan di luar sana.

         Bentuknya khas, tiada dua di dunia. Terdiri dari berbagai bagian: bilah, gagang, dan sarung atau pembungkus. Bilah (wilah:Jawa atau daun keris) dibuat berkelok-kelok, berkeloknya bilah dipercaya untuk meminimalkan penderitaaan sang tertikam. Ini menandakan bahwa orang Jawa begitu lembut, sekalipun dalam peperangan.

            Bilah tak dapat berdiri sendiri tanpa adanya penopang, atau gagang keris, dan juga sering disebut hulu keris. Keris yang menawan tak bisa dipisahkan dengan nilai estetika, karena itulah ukiran indah selalu menghiasi gagang keris. Salah satu ciri peradaban seni Jawa, terlepas semua itu terdapat campur tangan budaya asing atau tidak.

Ilustrasi Keris
        Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris  (warangka:Jawa). Sebagai pertanda ketidak-seronokan masyarakat Jawa, sebuah keris-pun harus dibungkus sedemikian rupa. Kesan menyeramkan dan tak elok (saru:Jawa) pada senjata tajam akan luntur, ketika keris berada dalam sarung yang berukir indah dan dilengkapi padanan warna yang tepat. Hanya keindahan yang tersisa.

            Masyarakat jawa memang tak bisa dipisahkan dengan mitos, begitupun juga dalam pembuatan keris. Konon masyarakat Jawa percaya pembuatan keris sebagai senjata tajam membutuhkan berbagai syarat yang pelik, diantaranya prihatin. Prihatin dalam Jawa biasa diartikan perih yang hanya disimpan dan dirasakan di dalam batin. Bentuknya bermacam-macam -puasa, bertapa, atau hanya sekedar membakar dupa-. Ini memang mitos, suatu keseimbangan yang rawan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.

            Setelah bagian-bagian serta berbagai hal yang bersyarat menjadi satu kesatuan dengan nama keris. Dari situlah keris sering dipercaya memiliki kekuatan gaib. Tidak sedikit yang menilai kekuatan gaib berada di luar ranah kelogikaan manusia. Memang benar, tetapi aku-pun juga berhak beranggapan jika kelogikaan manusia itu ada batasnya.

            Banyak kalangan yang selalu menertawakan, mencibir, bahkan menyalahkan mitos Jawa, tapi siapa yang berhak menyebut kepercayaan orang lain itu takhayul? Bagiku sah-sah saja ketika kita beranggapan diri sendiri benar, tapi bukan paling benar, dan yang terpenting tidak menilai orang lain salah.

           Ketika anda beranggapan jika tulisan di atas hanya imajinasi penulis, itu benar. Tapi ketika anda menilai tulisan itu salah, sepertinya anda harus membuat tulisan tandingan sebagai pencerahan, untuk mencari sesuatu yang hilang dalam mimpi yang sempurna. Sekian dan terima kasih.         
Baca Selengkapnya...

Rabu, 23 Maret 2011

Bonekmania, Mari Tinggalkan Kekerasan Menuju Persaudaraan

         Mendung yang menyelimuti langit Kota Sleman sore itu (20/3) tak sedikitpun menyurutkan nyali ribuan Bonekmania. Kelompok suporter asal Surabaya ini memang tergolong pendukung fanatik klub Persebaya 1927 yang berlaga di Liga Primer Indonesia (LPI). Apapun akan mereka lakukan untuk Persebaya 1927. Termasuk datang ke Yogyakarta yang hanya berbekal dengan keberanian, atas dasar itulah tak ayal mereka menamakan dirinya sebagai Bondo Nekat (bermodal nekat). 


          Keberadaan Bonekmania dinilai meresahkan kenyamanan publik, karena terkadang ulah para Bonek sudah tidak dapat ditolerir oleh masyarakat. Bagiku kelakuan menyimpang Bonek tak terlepas dari provokasi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Saat mereka bergabung menjadi satu dalam lautan massa dan menamakan dirinya sebagai Bonekmania, saat itulah mereka sangat rentan dengan provokasi-provokasi yang menyesatkan.

          Bonek memang anarkis. Tapi di balik anarkismenya terdapat rasa kekeluargaan yang begitu kuat. Militansi Bonek untuk mendukung Persebaya tak perlu diragukan lagi. Selama sinyal wani tetap menjadi lecutan di hati. Selama salam satu nyali tetap terucap dari satu Bonek dengan Bonek, serta kelompok suporter lainnya. Selama itu pula Bonekmania akan tetap eksis. Bonekmania, mari tinggalkan kekerasan menuju persaudaraan.


Dua Bonek membentangkan spanduk sebelum menempelkannya di dinding stadion Maguwoharjo, Sleman (20/3).
Pemain Persebaya menggempur pertahanan Real Mataram.

Bonekmania menguasai separuh stadion Maguwoharjo yang berkapasitas 40.000 penonton.
 Selalu bernyanyi dan menari demi kemenangan Persebaya 1927
Laga sore itu berkesudahan 2-6 untuk kemenangan Persebaya 1927.
Bonekmania tak mengenal usia.
Panggil aku Bonekmania.
Meninggalkan kekerasan menuju persaudaraan.
Selama sinyal wani tetap menjadi lecutan di hati, selama itu pula Bonek takkan mati.
Baca Selengkapnya...

Rabu, 16 Maret 2011

Kampanye Pemilukada Sragen yang Tidak Bertoleransi

          Sragen memanas. Panasnya bukan karena musim kemarau, melainkan karena pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Sragen 2011. Situasi kabupaten yang berada sekitar 30 km sebelah timur Kota Surakarta memang sedang tidak kondusif seperti biasanya. Hingar-bingar pemilukada terlihat jelas di seluruh pelosok kabupaten dengan kepadatan penduduk 909 jiwa/km² ini.

Siapapun di antara mereka yang naik tahta, wajib melunasi hutang-janji pada rakyatnya.
          Seminggu yang lalu, ketika aku pulang. Aku melihat keanehan demokrasi di kota kelahiranku itu. Sebentar, aku lupa tanggalnya. Tapi yang jelas hari itu adalah hari libur nasional, hari raya nyepi tahun baru Saka 1933 tepatnya. Nach, pada saat itulah keanehan itu muncul. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, iring-iringan kendaraan bermotor dengan pakaian serba kuning melambaikan tangannya. Lambaian yang akhirnya ku ketahui mengisyaratkan angka 5 (lima), dapat anda bayangkan sendiri lambaian itu.

          Ketika toleransi diabaikan, bangsa plural akan kehilangan panjinya. Dahulu sewaktu sekolah dasar (SD) diajarkan tentang tri kerukunan umat beragama dan toleransi, tragisnya saat melihat kekuasaan pelajaran itu seakan sirna. Ingat, minoritas bukan berarti tak ada dan jangan pernah dianggap tiada.

          Owh, betapa pilunya pemilukada ini? Hari yang seharusnya difungsikan untuk memberi ruang beribadah bagi umat beragama lain harus tercoreng oleh kejadian itu. Aku menghujat manusia penuh lambaian yang serasa tak berdosa itu, jangankan ketika beribadah? Saat bekerja-pun pasti akan merasa terganggu dengan raungan knalpot motor dan dentuman soundsystem. Sekarang hujatanku tak lagi tertuju pada manusia dengan jersey tertentu lagi. Tapi, pada aparat yang berwenang, hati ini menggugat.

          Bagaimana tidak? Mengacu dengan Peraturan KPU No14/2010, masing-masing peserta Pilkada wajib memberitahukan agenda kampanye mereka dan izin kepolisian kepada Panwaskab. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan kampanye bisa terpantau serta mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan yang mungkin terjadi selama kampanye.

          Sepertinya aparat tidak pernah mau belajar tentang keberagaman bangsa Indonesia, keberagaman yang bisa menyulut konflik berkepanjangan. Isu SARA yang selalu memicu gejolak sosial hanya seperti angin lalu. Ketika semua ini dipelihara, bukan tidak mungkin suatu saat nanti kita dan bangsa Indonesia menerima akibatnya. Layaknya bom waktu, dimana dan kapan saja bisa diledakkan.

          Bagiku toleransi bukan hanya tanggungjawab negara, tapi juga internal pemeluk agama dan antar kerukunan umat beragama secara eksternal. Dengan demikian kebebasan beragama dan berkeyakinan akan lebih terjamin di negeri yang plural ini.
Baca Selengkapnya...