Rabu, 27 April 2011

Pendakian Tanpa Tanda Jasa

          Sabtu pagi, 23 April 2011 yang lalu. Kulihat jam di dinding telah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Kala itu pagi sangat cerah, sampai-sampai sinar mentari memadati seisi kamar tidurku. Sinar itu sekaligus pertanda bagiku untuk sesegera mungkin bergegas menuju kamar mandi, setelah itu mempersiapkan apa saja yang perlu dibawa. Hari ini aku akan mendaki. Mendaki? Ya, mendaki gunung tepatnya. Aku serta beberapa sahabatku—Indra, Damar, Alan, Luqman, Ory, Yanuar, serta Punk—memang  sudah merencanakan hal ini. Gunung Lawu via salah satu jalur ekstrimnya yang tidak ingin disebut namanya menjadi pilihan pendakian kami.

Alan, Ory, dan Damar mempersiapkan peralatan dan logistik di depan base camp Pualam.
          Luqman, pemuda berkulit putih itu sudah menjemputku. Kami berdua berboncengan menuju pos induk—setelah sebelumnya kami sempatkan berkumpul di base camp Pualam (Perkumpulan Pecinta Alam SMAN 1 Sragen), untuk melengkapi bekal dan menunggu sahabat yang lainnya—dengan empat sepeda motor.

          Perjalanan ke pos induk bukan tanpa halangan. Motor plat merah yang dikendarai Damar menemui sedikit masalah, oli mesinnya habis. Untung saja rombongan kami sudah berada di kawasan pos induk, hanya beberapa meter dari kami berhenti. Setelah Yanuar dan Punk turun bukit untuk membeli sebotol oli, semua itu bisa teratasi.

Ory dan Damar kembali memeriksa perlengkapan sebelum memulai pendakian.
          Jajanan khas pos induk menggoda selera kami, nafsu untuk menikmatinya sudah tak terbendung lagi. Sembari mempersiapkan ulang segala keperluan pendakian, kami sisihkan uang untuk membeli jajanan itu.

          Saat matahari tepat berada di atas kepala, tapi waktu belum menunjukkan pukul 12.00 WIB. Tanpa berdoa pendakian kami lakukan, aku tak tahu entah karena lupa atau disengaja. Owh ya, mungkin karena berdoa adalah urusan manusia dengan Tuhannya? Jadi tak perlu untuk terlalu diperlihatkan.

{Dari kiri ke kanan} Aku, Punk, Ory, Luqman, Damar, Yanuar (berdiri), dan Indra.
          Diawali dengan menapaki tangga satu demi satu, lalu sampai di tebing dengan turunan yang curam, kemudian berujung pada sungai yang jernih airnya. Dari sungai kami harus menaiki tebing yang berbeda, intinya kami harus menyeberangi sungai. Setelah itu sampailah di Reca Kethek (Candi Monyet:Jawa). Walaupun tempuh normalnya 60 menit, kami hanya membutuhkan waktu selama kurang lebih 45 menit untuk mencapai pos 1. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sempatkan beristirahat sejenak di pos ini. Sembari menikmati indahnya kabut tipis yang menyelimuti bukit di sekeliling pos 1.

Pos 2 setelah turun hujan, sejuknya menentramkan.
          Menuju pos 2, medan yang kami tempuh sama seperti medan antara pos induk dengan pos 1 tadi. Jalan setapak dengan dasar tanah liat, berundak layaknya tangga. Terjalnya sama, waktu tempuhnya-pun tak jauh berbeda. Hanya hujan ditengah perjalanan menuju pos 2 yang membedakannya. Dengan pertimbangan barang yang ku bawa, maka aku putuskan memakai mantel yang kebetulan berwarna cokelat muda. Sesampainya di pos 2 kami berteduh di bawah atap yang sederhana, berteduh yang hampir tak ada bedanya dengan tak berteduh. Bocor di sana-sini, mungkin karena saking sederhananya. Setengah jam kami menunggu, hujan akhirnya reda dengan sendirinya. Tak ada salahnya melanjutkan kembali perjalanan, walaupun sudah pasti jalan licin tak kepalang.

Track yang terjal membuat kami sering berhenti untuk sekedar mengatur napas.
          Jarak antara pos 2 dan pos 3 ini terhitung paling jauh. Selain itu, medan yang semakin terjal membuat kami harus sering-sering berhenti untuk menghela nafas. Apalagi track menjadi licin karena hujan. Tapi menurut Indra, kami hanya menempuhnya selama 35 menit. Padahal sewajarnya lebih dari 60 menit, dengan tidak meragukan kemampuan Indra menurutku ini—penghitungannya—human error. Pos 3 letaknya strategis, dekat dengan sumber air. Konstruksinya pun jauh lebih baik dari pos 2. Sayang, dari pos ini tak terlihat indahnya senja. Karena sekitar pukul 15.00  WIB, kabut tebal mulai menutupi jarak pandang kami.


          Pos 3 ini menjadi tempat istirahat sekaligus bersantap. Semua peralatan masak dan makan, lengkap dengan logistik—beras, mie instan, telur, kopi—kami keluarkan dari tas. Diawali Ory yang menanak beras menjadi nasi, lalu kami semua sibuk membuat kudapan seadanya. Hash, tanpa sengaja Luqman menyenggol kocokan telur yang sudah siap goreng. Kejadian itu mengakibatkan jatah telur goreng untuk tiap orangnya berkurang, bagian telur kami jadi tipis sekali. Setelah perut kenyang, kami sempatkan untuk bergaya di depan kamera. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 16.30 WIB, kami harus melanjutkan perjalanan. Agar tak terlalu malam sampai di rumah sekaligus warung Mbok Yem, tempat kami akan bermalam nanti.

Beberapa dari kami sengaja melepas baju karena basah kehujanan.
          Perjalanan menuju pos 4 tak menemui cobaan yang berarti, tapi terjalnya track membuat kami harus menguras tenaga yang tak sedikit. Sesampainya di pos 4 perasaan kami menjadi gundah-gulana, bagaimana tidak? Petir dan kilat saling bersahutan, seakan badai akan menerjang Lawu bagian barat laut ini. “Aigh, apa-apaan ini? Mengapa cuaca tak bersahabat dengan kami?” pekikku dalam hati. “Hash, mana bangunan pos 4 sudah rata dengan tanah lagi. Mau berteduh dimana ni?” lanjutku memekik tapi sekali lagi masih dalam hati.

          “Sek, enteni teko jam setengah pitu. Engko nek enek bintang lanjut, tapi nek gak nge-camp nang kene po mundhun nang pos 3 wae yo(sebentar, tunggu sampai jam setengah tujuh. Nanti kalau muncul bintang kita lanjut, tapi kalau tidak kita bermalam di sini atau turun ke pos 3 saja)?” ajak Ory pada kami semua. Kami pun menyetujuinya dengan serempak.

          Sebelum hujan turun dan keadaan menjadi lebih menyerankan, Ory berinisiatif mendirikan pos berbentuk tenda seadanya. Memang anak yang satu ini sudah terlatih untuk hidup di alam, menurutku mulutnya yang cerewet  sebanding dengan kinerja dan pengetahuannya tentang alam. Aku hanya bisa melihat teman-teman membangun kembali pos yang rusak, maafkan aku teman, tak ada keahlian sedikitpun dalam hal yang satu ini. Hujan terlalu cepat datang sebelum tenda sederhana kami jadi, hujan yang datang kala itu cukup membuat kami panik. Dengan sigap kami masukan segala bawaan, termasuk raga kami masing-masing.

Bergaya setelah terguncang badai semalam suntuk.
          Sampai pagi, yang dinanti—hujan, petir, dan kilat—tak kunjung padam. Malang nian nasib kami, harus bermalam di pos 4 ini. Tenda yang ku sebut gubuk derita ini tak mampu melindungi kami, yang ada hanya tidur berkasur air dan berselimut angin. Memang banyak pelajaran yang kami dapatkan di pos 4 ini, salah satunya tentang keharusan menikmati sesuatu yang tak nikmat. Bagiku tak ada salahnya belajar hidup sulit, asalkan tidak mempersulit hidup.

          Hari sudah berganti, dan pagi pun telah menjelang. Layaknya manusia biasa kami butuh apa? Ya, sarapan. Secepat mungkin kami mempersiapkan sarapan, sementara Indra masih tertidur dengan posisinya yang menurutku tidak nyaman sama sekali. Pukul 09.00 WIB kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah Mbok Yem, setelah sempat terjadi tarik-ulur pertimbangan antara turun atau melanjutkan pendakian.

Mempersiapkan sarapan di depan gubuk derita.
          Hanya membutuhkan waktu 30-an menit untuk sampai di Cemara Dua. Kemarin jika tak terhalang hujan, sempat ada rencana untuk beristirahat di sini sebelum melanjutkan pendakian. Baru kemudian bermalam di warung Mbok Yem. Dan alam pun berkata lain, bertolak belakang dengan apa yang diangankan. Setelah beristirahat di sini, perjalanan kami lanjutkan menuju pos 5. Eksotisnya luar biasa, sabana sebelum dan sesudah pos 5 menjadi obat bagi keletihan kami. Di pos 5 hanya ada satu tugu kecil, menurut Yanuar itu batas antara Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Magetan. Letak tugu itu berada di sisi timur Gunung Lawu.

Setibanya kami di Cemara Dua.
          Padang sabana yang terhampar luas kami lalui, hingga akhirnya sampailah di Tapak Menjangan, konon di sini dahulunya menjadi tempat hewan bernama menjangan melepas dahaga (sejenis kijang). Ada dua cekungan kecil, dimana cekungan itu terdapat air—bukan sumber mata air, melainkan air hujan—yang menggenang. Mungkin anda harus memikirkannya berulang kali ketika ada seseorang yang mengatakan jika meminum air hujan mengakibatkan diare, buktinya setelah kami meminum langsung air tersebut sampai sekarang kami masih sehat-sehat saja. Apa harus menunggu air di dunia ini tak mengalir lagi, agar mereka sadar bahwa uang tak dapat dimakan dan diminum? Sangat memprihatinkan.

Alan melepas dahaga dengan meminum air genangan hasil  hujan semalam di Tapak Menjangan.
          Perjalanan kembali berlanjut, menyusuri tebing dengan pemandangan yang begitu indah. Terlebih kita hanya bertugas menjaga, bukan membuatnya. Tak lama kemudian tibalah kami di Pasar Dieng atau Pasar Demit. Mitosnya jika anda mendengar ucapan, ”tumbas nopo dek(beli apa dek)?”. Segeralah membuang uang berapa-pun juga nilainya, lalu petiklah daun atau rumput seolah-olah kita berbelanja. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kita akan memperoleh kembalian uang dalam jumlah yang sangat banyak.

          Warung Mbok Yem sudah terlihat begitu kami keluar dari Pasar Dieng, mantel yang aku pakai sebelum Pasar Dieng tadi ku lepas karena air hujan tak lagi menetes. Hanya dalam hitungan menit sampailah kami di warung puncak Mbok Yem, tepat di pukul 11.59 WIB. Seperti biasa, nasi pecel dengan lauk telur dadar menjadi menu istimewa bagi kami. Tapi berhubung sudah tak ada lauk lagi—telur dan kerupuk—kami ditawari Mas Muis—dahulunya peziarah Lawu yang akhirnya sekarang menemani Mbok Yem berjualan di warunnya—soto. Semangkok soto dan segelas teh anget menyambut lidah dan tenggorokan kami. Setelah akhirnya ku ketahui, kami hanya di suruh membayar sotonya saja, tidak dengan teh angetnya.

Alan, Aku, Damar, Indra, Luqman, Punk,  dan Ory berpose di depan warung puncak "Mbok Yem".
          Hanya sekitar satu jam kami menikmati suasana lereng Hargo Dumilah, tak sempat kami menyambangi Hargo Dumilah yang berjarak kurang lebih 500 M dari warung Mbok Yem ini. Karena keterbatasan waktu, esok Luqman ada ujian kompetensi di kampus, dan aku juga harus kembali ke perantauan. Maka kami putuskan warung Mbok Yem sebagai puncak idaman.


          Sebelum pulang kami bertemu dengan rombongan pendaki dari Ibukota, mayoritas memakai peralatan canggih dan lengkap. Berbeda dengan kami, serba minimal di ambang keterbatasan. Santai saja kawan ini hanya masalah prestige (gengsi), dengan segala keterbatasan bukan berarti kita harus berhenti mendaki. Bagiku, sejatinya bukanlah apa yang dimiliki tapi bagaimana kita memilikinya.

          Hujan masih setia menemani hingga perjalanan turun, itu sebabnya sampai di pos induk langit sudah gelap. Turun gunung hanya membutuhkan waktu sekitar lima jam, ini bisa lebih singkat jika hujan tak turun seperti tadi. Sesampainya di pos induk, tepat di depan gapura salah satu candi yang tak ingin disebut namanya kami mengistirahatkan kaki-kaki yang mulai kehilangan kekuatannya, sembari melihat temaram lampu kota dari pegunungan. Perjalanan pulang kembali terhambat, lagi-lagi motor plat merah yang dikendarai Damar mengalami masalah, kali ini bocor ban. Menurutku hakekat motor negara juga harus digunakan untuk melaksanakan tugas negara, logikanya seperti itu.

Kebersamaan itu indah, dan bagiku indah itu kebersamaan di atas perbedaan. 
          Sebelum pulang menuju rumah masing-masing, kami menyempatkan diri singgah di base camp Pualam. Hanya untuk menikmati nasi sayur berpiring daun pisang yang lebar, dengan lauk tempe mendoan. Kami makan, minum, dan tertawa bersama. Percayalah, suatu saat nanti kita akan merindukan saat-saat seperti ini. Biarkan malam itu menjadi kenangan untuk malam-malam selanjutnya. Selama rembulan masih bersinar di gelapnya malam, kita tetap menjadi sahabat selamanya.

          “Kebersamaan itu indah” sesuai dengan jargon Pualam, jika boleh menambahkan “indah itu kebersamaan di atas perbedaan”. Perjalanan ini bukan sekedar perjalanan biasa, menikmati sesuatu yang tidak nikmat hanya kita ber-delapan yang diizinkan merasakannya. Semoga apa yang kita lakukan kemarin tak menjadi sia-sia, hanya diri kita sendiri yang akan mengubah pola pikir serta kedewasaan kita. Selamat berkarya sahabat, apapun bentuknya, selalu ku rindukan kebersamaan itu lagi.
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 09 April 2011

Mobilitas

          Berkumis tebal, namun tak berjenggot. Rambutnya hitam dan lurus, tertata rapi dengan sibakan di pinggir. Matanya sipit. Hanya dengan melihatnya bicara, kesipitan itu akan tampak jelas bagi lawan bicara, lebih-lebih ketika tertawa. Bahkan, kacamata yang menggantung di atas hidung mancungnya, tak mampu menutupi mata sipit pria keturunan itu.

         Sore itu ia mengenakan kemeja putih, dasi bergaris, serta celana hitam legam. Gaya bicaranya khas, berintonasi tajam kemudian sesekali lembut. Bagiku, mengenai gayanya berbicara tak dapat dilepaskan dari tuntutan profesi sebagai seorang dosen hukum internasional.

        Sekalipun bisa dikatakan ia seorang pakar hukum internasional, namun ketertarikan pada antropologi terlihat jelas dalam bukunya Hukum Kekerasan dan Kearifan Lokal. Ia mengambil Sulawesi Selatan sebagai sample penelitian, empat tahun silam. Sebagai muslim, sepertinya tak cukup jika hanya menguasai dua kecenderungan ilmu itu saja. Terbukti yang bersangkutan juga intens memantau peradaban islam, tidak sedikit tulisannya menanggapi permasalahan seputar Islam. Islam, Neo-Imperialisme dan Terorisme menjadi salah satu tulisan tentang Islam yang ia buku-kan.

            Dibandingkan dengan dosen lain secara umum, terkait dengan rutinitas, memang terkesan “hiperaktif”. Ia memiliki mobilitas tinggi, tak jemu untuk melalang buana dari satu universitas ke universitas lain. Entah mengajar, berburu ilmu, atau berkarir. Karena itulah tugasnya yang utama sering terlewatkan. Ia sering absen mengajar, padahal sejatinya ia dosen tetap Fakultas Hukum-Universitas Islam Indonesia (FH-UII) Yogyakarta. Tapi semua itu tak jadi masalah ketika pria paruh baya kelahiran Bandung, 8 September 1956 ini mengganti pertemuan yang terlewatkan dilain waktu.

            Hhm. Hari ini merupakan hari terakhir kelas kami bertatap muka dengannya, sebelum ujian tengah semester (UTS) yang akan dilaksanakan minggu depan. Sial, ia selalu memberikan banyak tugas untuk dikumpulkan saat UTS. Mayoritas mahasiswa FH-UII tahu betul tentang ini. Dan sebagian besar mengeluhkan tanggungan tugas yang ia berikan, tapi itulah cirinya. Ciri yang tak ditemukan pada dosen FH-UII lain, sekalipun sama gelarnya.

            Kegagalannya menjadi anggota komisi yudisial seakan terlupakan dengan mobilitas. Setelah perkuliahan selesai, aku mencoba berbincang-bincang. “Minggu ini perkuliahan kita habiskan karena minggu depan saya harus mengajar di Unair Surabaya”, kurang lebih begitu jawabannya terhadap beberapa pertanyaanku tentang mobilitas sang dosen itu sendiri. Akibat dari semua itu perkuliahan diringkas dalam waktu seminggu, keletihan begitu terasa bagi mahasiswa, tapi tidak untuknya. Seperti inikah semangat pria paruh baya? Bukannya lebih indah menikmati suasana senja di Yogyakarta? Upz maaf, ini hanya celotehan-ku saja.

            Langit sore semakin merah, sepertinya matahari ingin segera beristirahat di singgasana ufuk barat. Senja meninggalkan pelajaran penting tentang mobilitas, mobilitas teratur dengan tujuan tertentu, namun pasti. Semakin tinggi mobilitas, maka semakin banyak pula pengalaman yang didapatkan. Namun, mobilitas idealnya memang harus terkontrol. Agar apa yang menjadi kewajiban utama tak dikesampingkan begitu saja. Dan setidak-tidaknya Profesor yang berumur 56 tahun ini memiliki tanggung jawab yang begitu besar di balik mobilitasnya yang luar biasa. Buktinya tujuh kali peertemuan tetap ia penuhi, walaupun rasa-rasanya tetap berbeda.

            Mobil sedan hitam yang dikemudikan sopir berekemeja hitam itu mengantarnya pulang, mungkin sopir itu pula yang sering mendapatkan keluh-kesahnya. Owh iya, nama pria paruh baya itu Prof. Jawahir Thontowi, S.H, Ph.D.

Baca Selengkapnya...