Selasa, 31 Mei 2011

Pandangan Mata Turun ke Hati


          Setelah membaca pesan singkat beberapa waktu yang lalu, aku hanya bisa termangu dan membisu. Memang bukan tanpa sebab, sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat disertai ketertarikan pribadi atau yang kebanyakan orang menyebutknya dengan kata “C.I.N.T.A” menjadi garis besar untuk tulisan selanjutnya dalam kegiatan menulis. Yang menjadi masalah besar bukan bagaimana aku harus menulisnya tapi, tentang apa yang harus aku tulis? Terlebih kurangnya kesadaran dan konsistensi diantara kami sendiri, membuat aku semakin berpikir untuk menulis sesuatu yang sifatnya pribadi ini.

          Cinta itu bak politik. Berawal dari kebaikan tertinggi bernama kenikmatan, tapi bisa berujung dengan kebaikan terendah yang disebut penderitaan. Seperti yang telah aku tulis sebelumnya dalam blog ini, dengan judul Realita Politik dan Cinta. Cinta dan politik itu mempunyai inti yang sama, indah diawal tapi berakhir pilu. Initinya “Saling mengumbar rasa, menyatakan Aku milikmu dan Kau milikku. Betapa indahnya dunia serasa saat itu, jangankan hanya dunia? Seluruh alam semesta—seluruh tata surya bahkan surga dan neraka—serasa milik berdua. Sungguh disayangkan, jika telah terjadi sebuah prahara dalam cinta, tapi tiada keseimbangan antara rasa pengertian dan saling menghargai. Maka cinta itu akan melebur tersapu waktu, dan kemudian terciptalah sakit hati. Hingga akhirnya berlabuh pada hati yang lain, hati yang berbeda. Karena itulah<span class="fullpost">Panglima Tian Feng berkata, "itulah cinta, deritanya tiada akhir".”

            Aku memang sempat merasakan indahnya saat-saat itu. Sekolah Menengah Atas (SMA) memberiku banyak pengalaman tentang arti cinta—mencintai dan dicintai—yang kebanyakan mereka menyebutnya cinta monyet. Entah dari mana asal-muasal kata monyet setelah cinta, yang jelas intinya cinta yang ada ketika masa remaja dan biasanya hanya untuk kesenangan semata. Eitz, itu menurut beberapa orang di luar sana. Bagiku semua itu adalah pengalaman, yang kelak akan menjadikan kita semakin matang dalam hidup dan menjalani kehidupan.

            Aigh, sebenarnya jauh sebelum menginjak dunia SMA aku telah merasakan ketertarikanku pada lawan jenis. Rasa itu telah ada, hanya nyali yang menciut membuatku harus memendam segala apa yang aku rasa. Tak hanya satu atau-pun dua lawan jenis saja. Mungkin lebih dari itu wanita yang telah aku jatuhi hati lalu aku tak berani mengungkapkannya, betapa lucunya mengingat masa-masa itu. Mungkin sampai sekarang perasaan itu masih menempel ketat di benakku, walaupun hanya tinggal beberapa persen saja.

            Banyak manusia yang terlena akan awal kebaikan tertinggi ini, mereka lebih sibuk dengan kamuflase cinta daripada hal primer mereka. Tak ada patokan pasti memang, karena hal primer tiap manusia itu berbeda. Tapi setidaknya mereka bisa berpikir lebih jauh tentang cinta tidak sama dengan nafsunya, walaupun itu sulit menurutku.

            Selama ada ikatan, kebebasan pasti akan berkurang. Saat itu pula kita dituntut untuk merefleksi kembali makna kebaikan tertinggi tersebut. Sama seperti yang aku alami dari masa-masa aku pacaran dulu. Menurut keterangan seorang sahabat facebook melalui update statusnya menuliskan bahwa cemburu adalah tanda posesif, pertanda bahwa kamu takut jika ada orang yang mencuri hati orang yang kamu cintai. Dari kalimat di atas memang wajar jika seseorang itu membatasi gerak-gerik kekasihnya, tapi menurutku harus ada batasan tentang arti dan perbedaan antara cinta dengan pengekangan.

            Mungkin hanya itu, selebihnya biarlah menjadi angin lalu dalam keheningan kalbu. Memang tak ada sesuatu yang menarik dalam kisah ini, terlebih yang tersurat dalam tulisan di atas. Mungkin kehambaran tulisan, sama seperti kebaikan terburukku saat menjalani kisah-kisah dari pandangan turun ke hati terdahulu. Sekian dan terima kasih.</span>
Baca Selengkapnya...