Jumat, 26 Agustus 2011

Ramadhan, Bulan Penuh Paksaan

              Malam ini angin berhembus begitu pelan, hampir-hampir tak sanggup bikin daun pisang bergoyang. Namun suasana seperti ini justru sangat bersahabat dengan manusia-manusia kegelapan, manusia yang mencari penghidupan seiring datangnya malam.


          Hiruk-pikuk kota kecamatan—yang sering menjadi transit para pemudik pengguna jasa bus dari luar kota—benar-benar sudah terasa. Mulai dari tukang ojek, penjemput keluarga, hingga tukang parkir dadakan disibukkan dengan rutinitas menjelang lebaran ini. Maklum, tepat di malam ini Ramadhan sudah menginjak malam ke-26. Artinya, tinggal menghitung hari lebaran akan tiba.

          Seluruh aktivitas seketika itu padam oleh sebuah suara manusia. Melalui pengeras suara, seorang muadzin tengah mengumandangkan adzan sholat isya’. Ia tak sendiri, dari Masjid lain juga terdengar adzan mulai dikumandangkan. Mereka saling bersahutan, seakan-akan beradu dalam sebuah lomba. Ketika mendengarnya muslimin dan muslimah berbondong-bondong menembus pendar lampu jalanan kampung untuk menuju Masjid Al-Ikhlas. Tak peduli tua-muda, kecil-besar, rakyat-pejabat, begitu juga denganku.

          Sarung coklat, kemeja, dan kopiah yang serba hitam menjadi pakaian setia guna mengikuti sholat tarawih di Masjid Al-Ihklas. Aku memang sering bertarawih di Masjid itu. Selain karena jaraknya yang dekat dengan rumah, kultur sholat di masjid ini cocok dengan kepercayaan hati nuraniku.

         Di dalam masjid, aku menemui manusia yang beragam. Tanpa melupakan sebuah keunikan. Keunikan itu tak lain tak bukan adalah, sedari awal Ramadhan kulihat kebanyakan anak-anak seusia SD datang membawa buku berwarna hijau lengkap dengan bolpoinnya, sama persis denganku sewaktu masih mengenyam SD dulu. Kalau tak salah itu buku kegiatan bulan ramadhan, wajib diisi oleh siswa-siswi muslim sebagai tugas di bulan suci seperti ini. Tiba-tiba intuisiku merasakan sebuah keganjilan dan kesalahkaprahannya. Dari beberapa minggu yang lalu aku sholat di sini, kebanyakan anak-anak seusia SD itu hanya tidur dan bercanda dengan kawan ketika orang di sekelilingnya sedang melaksanakan sholat. Terutama ketika sholat tarawih dan witir.
          
          Aku sempat berpikir, terlepas dulu apakah aku pernah seperti itu atau tidak? Aku mulai menyimpulkan bahwa anak-anak tersebut hanya mengejar tanda tangan dari imam atau penceramah (kultum). Ya, hanya mengejar materi tepatnya. Bagiku ini bukan salah mereka, sistem telah membuat calon pemuda penerus bangsa berpola-pikir sedemikian rupa. 

          Tapi bukannya terpelajar harus adil sejak dari pikiran, apalagi perbuatan? Simpulan yang aku buat di atas tak mencerminkan keterpelajaranku. Untuk sekedar ingin tahu, ku coba sedikit bincang-bincang dengan Rais, salah seorang siswa SD pegiat tanda tangan di buku hijaunya yang sedari tadi selalu tanya padaku “Judul kultumnya apa, Mas?”.

“Ameh sholat po golek tanda tangan (Mau sholat apa cari tanda tangan)?”
“Hehehehehe”
“Lek golek tanda tangan, sesok moro nang omahku wae! Tak tanda tangani kabeh ngko (Kalau cari tanda tangan, besok datang ke rumahku saja! Nanti aku tanda tangani semua)”.
“Berarti ngko jenenge Mas Bobby kabeh (Berarti nanti namanya Mas Bobby semua)?”
“Iyo. Wes ayo gek sholat tarweh sek, bukune diurusi engko (Iya. Sudah sekarang sholat tarawih dulu, bukunya diusrus nanti)!”
“Heheheheehehe”

          Fiufth, tujuannya memang brilian. Kegiatan ramadhan siswa jadi terkontrol, tapi apa daya ketika mereka datang ke masjid untuk sebuah keterpaksaan? Keterpaksaan yang melahirkan kebohongan. Sistem ini perlu dirubah, bagiku bagaimana lembaga pendidikan formal membuat siswa-siswinya mencintai agama secara batin. Bukan hanya sebatas lahiriah yang kebanyakan justru mengekang pikiran siswa, akhirnya mereka tak dapat menikmati indahnya ibadah. Tanpa buku hijau pun jika mereka sudah ditanamkan kecintaan—bukan keekstreman—agama, tanpa suruhan, iman mereka akan terbentuk dengan sendirinya. Karena urusan agama dan Tuhan itu urusan iman, bukan akal.

Baca Selengkapnya...