Minggu, 25 September 2011

Malam, Menyajikan Pengalaman dan Kewaspadaan

          Ketika jam di telepon genggamku sudah menunjukkan sekitar pukul 03.00 dinihari, ku putuskan untuk enyah dari ruangan 5 X 10 yang penuh dengan asap rokok para penghuninya. Bersama dua orang teman yang semuanya mengendarai vespa kami melaju menuju sebuah tempat makan 24 jam nonstop, tak lain dan tak bukan adalah warung burjo. Warung spesial bagi para mahasiswa. Mudah ditemui di kota pelajar seperti Yogyakarta, karena hampir-hampir di setiap tikungan ada.


         Setelah bingung menentukan warung burjo mana yang akan kami sambangi, akhirnya kami putuskan untuk melaju ke salah satu burjo di sekitar UGM. Aku sempat bertanya pada temanku Rama karena kendaraan mereka melaju ke arah jalan kampung. "Bang, tutup ya tempatnya?" teriakku dari atas jok sepeda motorku. "Loe bingung ya pasti, keliatan muka lu tuh", jawab Rama dengan logat yang tidak medok (jawa) sepertiku. Namun tak selang lama akhirnya kami parkirkan dua vespa milik Rama dan Noval serta satu shogun pinjaman dari temanku di samping burjo bernama Sangkuriang—setiap burjo memiliki nama tersendiri.

          Aku merasa sedikit aneh, dini hari seperti ini di warung burjo ada seorang tukang parkir. Di burjo ada tukang parkir saja bagiku tak biasa, lebih-lebih diwaktu dini hari seperti ini. Aigh, kenapa harus aku permasalahkan? Toh demi kebaikan dan keselamatan motor-motor kami juga. Mungkin karena negara yang selama ini tak mampu memberi lapangan pekerjaan membuatnya jadi tukang parkir sepagi ini.

           Dini hari seperti ini tetap saja ada pembeli yang datang dan pergi, luar biasa. Kurang-lebih sejam kami sudah berada di Sangkuriang, mie dok-dok dan es kopi yang dipesan pun juga tiada sisa lagi. Akhirnya kami putuskan untuk cabut dari warung itu, sebelum pergi tak lupa kami bayar apa saja yang kami makan tadi.

          Kurogoh kantongku untuk membayar jasa bapak tukang parkir setengah baya itu. Di sini aku melihat service yang diberikan bapak parkir itu luar biasa. Ketika datang tadi  ia mempersilahkan kami sembari mengarahkan posisi motor kami, kini saat kami akan pulang ia meminta kunci untuk mengeluarkan motor kami. Sempat aku berikan kunci yang salah, hingga ia kesulitan memasukanya. Maklum, ini motor pinjaman. Wajar jika aku salah memberikan kunci. Kami mulai terpisah, dua temanku dengan vespanya melaju ke arah barat untuk selanjutnya menuju Jl. Kaliurang, kos mereka. Sementara aku sendirian menuju ke timur Jl. Gejayan.

       Bermotor sendirian sepagi ini memaksa aku menikmati angin pagi dengan penuh kekhawatiran. Sesampainya di selokan mataram, tepat dipertigaan yang menghubungkan Jl. Gejayan dengan kampus Teknik UNY aku dihentikan oleh seseorang. Kulitnya hitam, kepala plontos, berkaos dan bercelana pendek.
"Boleh numpang, Mas"
"Aku mau kesana", sembari tanganku menunjuk arah utara.
"Iya, boleh mas boleh?"
Jujur saja, entah mengapa sedari perjalanan tadi pikiranku selalu teringat-ingat dengan pemerasan dan penusukan yang terjadi di Jogja akhir-akhir ini. Intuisiku mengatakan aku harus menarik gas secepatnya dan mengabaikan perkataannya, dan aku melakukannya.

        Sebenarnya tujuanku ke arah selatan, menuju Jl. Solo. Namun karena di pertigaan itu tak terdapat pemotongan batas jalan—batas jalannya beton dengan banyak pohon disela-selanya. Jadi mau tak mau aku harus ambil kiri untuk berputar arah menuju selatan. Mungkin karena perasaanku sudah tak karuan, tanganku menunjuk arah yang salah saat menjawab permintaan lelaki itu.
        
        Kegugupanku semakin menjadi-jadi, satu potongan batas jalan sudah ku lalui namun aku tak juga berbalik arah. Aku benar-benar takut, dan tak bisa berpikir bersih lagi. Akhirnya di potongan batas jalan selanjutnya aku berputar lalu menarik gas sekencang-kencangnya. Kala melintas tempat tadi, ku toleh pria itu masih berdiri di situ, untungnya tak sedikitpun menoleh padaku.


       Tak beberapa lama sampailah di kost Aldi untuk menjemput Linggar—pemilik motor yang ku kendarai, hari itu aku tak berniat pulang ke kos sendiri. Tak mungkin mengajaknya pulang sepagi ini.


      Inilah malam, menyajikan pengalaman serta kewaspadaan. Pengalaman mendapat ilmu dari aktivitas non-formal yang terpujiaktivitas ini lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan ilmu yang kita dapatkan di meja perkuliahan saja. Sedangkan kewaspadaan menuntut kita untuk selalu berhati-hati baik lisan maupun tingkah laku.

          Aku dan Linggar tak sengaja tidur di kost Aldi, ceritanya malam tadi kami menjual salah satu onderdil motor di Klithikan—pasar maling. Ketika perjalanan pulang ada pesan singkat di telepon genggam yang membuatku harus ke salah satu kampus swasta di perbatasan Yogya-Sleman, untuk sebuah persoalan advokasi yang penting. Akhirnya Linggar setuju untuk main di kos Aldi sementara aku meminjam motornya, kebetulan kos Aldi dekat dengan kampus itu. Prediksiku hanya sejam saja urusan itu selesai, ternyata salah. Untuk kesalahanku ini aku minta maaf teman, benar-benar tak ada kesengajaan dalam hatiku. Sekali lagi maafkan aku, teman.

          Selain pada temanku. Aku juga minta maaf sebesar-besarnya pada pria hitam yang ingin nebeng di pertigaan tadi, dengan catatan jika niatnya memang benar-benar untuk mendapat tumpangan. Bila niatnya buruk, semoga diberi kesadaran dan ampunan dari Tuhan berdasarkan kepercayaannya.

          Di dalam kamar, kulihat Linggar dan Aldi sudah terlelap. Aku juga menyusulnya dengan berbaring ditempat yang aku anggap nyaman meletakkan tubuh, perlahan-lahan rasa kantuk menyerang kemudian terlelap dengan meninggalkan semua kisah di malam itu.
Baca Selengkapnya...