Selasa, 13 Desember 2011

Takut, Segan, atau Kasihan?

Catatan ringan. Perjalanan pulang dari Semarang menuju Yogyakarta. Ada saja kenangan yang sulit terlupakan, mulai dari hujan sampai berurusan dengan Polisi Lalu Lintas Resort Sleman.

Ilutrasi: Jalan Searah
Senin, 12 Desember 2011. Langit sudah berselimut mendung kala bus Nusantara yang aku tumpangi mulai masuk kawasan Yogyakarta. Gerimis tipis membuat jendela bus dipenuhi bintikan air, untungnya kondisi seperti itu tak bertahan lama. Setibanya di terminal Jombor, walaupun angkasa masih menyisakan mendung yang hitam legam, namun hujan tak lagi turun.

Semua penumpang turun, kebanyakan melanjutkan perjalanan dengan ojek, bus, atau angkutan umum lainnya. Sementara aku bergegas menuju tempat penitipan sepeda yang masih berada di dalam kompleks terminal. Aku menyerahkan karcis pada penjaga penitipan. “Motor e opo, Mas (Sepeda motornya apa, Mas)?” ujarnya. Dengan menunjuk salah satu motor, pria muda itu bukan hanya tahu apa motorku, melainkan juga tahu yang mana motorku.

Aku mulai menyalakan mesin motor setelah sebelumnya penjaga penitipan membersihkan debu di bodi. Ku tarik tuas chuck, sembari melihat ke arah mana aku harus keluar—pasalnya baru sekali ini aku berada di kawasan terminal Jombor. Benakku sempat ingin bertanya pada orang di sekitar, namun niat itu ku urungkan. Terbesit pikiran untuk mengikuti kemana arah para pengendara lainnya, tapi nyaris tak ada seorang pun yang bisa dibuntuti. Wanita dengan motor matik dibelakangku pun tak kunjung keluar dari penitipan, padahal itu satu-satunya pengendara yang bisa aku kuntit.

Akhirnya dengan semangat wani teros (berani terus), aku kembalikan tuas chuck, lalu menarik handpart gas, kemudian mengarahkan laju motor keluar penitipan dan membelokkan ke kiri serta ke kiri lagi.

Baru melaju kira-kira selemparan batu dari kawasan terminal, seorang Polisi Lalu Lintas (Polantas) menghentikan laju motorku. Ia mengucapkan salam sambil hormat, lalu menanyakan surat-surat. Eitz, tak semudah itu aku berikan? Pasalnya jika tak ada razia resmi, jangan sekali-kali menyerahkan surat sebelum tahu apa kesalahan kita. Maka dari itu, aku bertanya pada Polantas itu apa kesalahanku? Disertai nada ketus dan sedikit membentak ia katakan bahwa aku menerobos jalan satu arah. Dengan santai kembali ku tanyakan, mana rambu-rambu yang melarang? Dan Polantas itu menunjuk tangan ke arah plang rambu yang memang benar-benar tak terlihat olehku. “Itu loh, Mas. Dari sana ada, sebelumnya juga ada,” ujarnya.

Kuberikan SIM dan STNK padanya, lalu aku digiring untuk menepi. Nampaknya ia tak sendiri, seorang kawan sesama Polantas sudah berada di dalam kios—sepertinya itu kios penjual plat nomor yang dialih-fungsikan Polantas sebagai kantor, lucu sekali bukan? Heuheu. Menurut pendapatku Polantas sengaja berjaga di situ—walau tak ada pos Polisi—karena daerah tersebut berpotensi menjadi lahan basah bagi Polantas, semacam jebakan yang menguntungkan.

Polantas yang menstop aku tadi mempersilahkan masuk ke kios. Tanpa pikir panjang aku lepas helm lalu masuk ke kiosnya Polantas. Upz, salah? Maksudnya kios yang digunakan Polantas untuk bertugas.

“Selamat siang, Mas Bobby,” Polantas itu mengawali pembicaraan.
“Iya Pak, siang,” jawabku tak kalah lantang.
“Mas Bobby melanggar jalan satu arah, sidangnya besok tanggal 30 Desember ya?”
“Siap Pak.”
“Di Pengadilan Negeri Sleman”
“Beres.”

Entah mengapa aku tak ada niatan sedikit pun untuk menawar atau istilahnya bayar di tempat, aku benar-benar begitu yakin untuk menyidangkan perkara ini.

“Dari mana?”
“Semarang.”
“Kok lewat sini?”
“Ya kan dari terminal, Pak. Saya tadi naik bus, terus turun Jombor. Saya nggak tahu kalau jalan ini satu arah, rambunya juga gak kelihatan. Lha emang kalau dari terminal keluarnya harus lewat mana Pak? Saya masuknya lewat sini kemarin, gak tahu kalau ini bukan jalan keluar yang tepat.”
“Kuliahnya dimana? Semester berapa?”
“UII, semester 5.”

Kemudian dengan nada sedikit halus Polantas itu bertanya apakah aku baru sekali ini ke daerah ini, aku pun sontak menjawabnya iya. Entah apa yang ada di pikiran Polantas itu, tiba-tiba ia bertanya pada kawan seprofesinya yang di depan kios. “409 yo, Lek,” kurang lebih begitu tanyanya. Aku juga tak paham apa artinya, yang jelas itu sandi Kepolisian.

“Mas Bobby, ini nggak usah sidang saja,” katanya. Pikiranku sempat bertanya-tanya, apakah Polantas ini akan meminta uang damai? Mengingat apa yang dikatakannya tadi. “Silahkan melanjutkan perjalanan, tapi harus lewat jalan yang benar, bukan lewat sini,” tambahnya. “Owh, gitu Pak? sahutku. Dengan perasaan yang sedari awal tadi tenang, tidak gugup, dan selalu memberi jawaban lantang, akhirnya kini berubah jadi sedikit senang sembari melempar senyuman. Setidaknya tak ada uang yang mubadzir (sia-sia) karena masalah konyol.

Ku taruh SIM dan STNK ke dompet lagi. Dengan salam komando ala militer aku mengajak kedua Polantas itu untuk berjabat tangan.

Dengan menyisakan beribu-ribu pertanyaan aku mulai mengarahkan laju motor ke arah yang menurut Polantas benar, pertanyaan itu tak lain tak bukan adalah mengapa aku tak jadi ditilang?

Ada dua hipotesis yang bisa aku simpulkan, takut, segan dan kasihan. Sudah aku katakan sebelumnya bahwa aku sedari awal tak ada perasaan gugup, aku pun selalu menjawab pertanyaan dengan lantang dan meyakinkan. Ditambah penampilanku yang urakan—gondrong, pakaian tak terlalu bersih, dan terkesan sangar. Itulah alasanku yang menyimpulkan Polantas itu takut dan segan.

Kemudian mengapa aku juga simpulkan Polantas itu kasihan? Mungkin ia melihat SIM dan STNK, di situ terpampang jelas alamat asal. Terminal Jombor tak terdapat satu pun bus menuju kota asalku, jadi ia percaya bahwa aku tak berbohong ketika aku berkata baru sekali ke daerah di mana aku melakukan kesalahan ini.

Takut dan segan, atau memang kasihan? Anda sendiri yang menyimpulkan, yang jelas aku bebas dari tilang dan sidang. [*]
Baca Selengkapnya...