Selasa, 14 Agustus 2012

Malam Ganjil (Dimana Kau Berada?)

Aku duduk pada sebuah bangku menghadap meja belajar yang berantakan. Sembari melihat tumpukan kertas—entah tertumpuk dari tahun berapa—aku tak henti-hentinya berpikir dan berpikir. Aku sadar ini bukan sebuah renungan yang melankolis, lebih-lebih puitis. Hanya kegundahan yang timbul karena kekacauan pola pikir manusia yang semakin hari semakin “cerdas”.
Balon itu pun takkan indah bila hanya satu warna.

Sedari sore tadi, aku banyak mendengarkan ceramah baik melalui televisi atau bahkan mendengar kultum langsung ketika jeda sholat tarawih. Dengan tema sama: Lailatul Qadar, hanya penyampaiannya yang beda.

Dari ceramah-ceramah itulah pikiranku terbang melayang entah kemana. Sekarang (Senin, 13 Agustus 2012) memang malam ganjil –malam ke 25 Ramadhan 1433—bagiku, tapi bagaimana dengan mereka yang berpuasa sehari lebih cepat dariku? Dengan kata lain mereka telah melewati malam 25 Ramadhan kemarin.

Lucu dan menggelitik. Mengingat malam Lailatul Qadar dalam surat Al-Qadar ayat 2 “Lailatul Qadri Khairun min Alfi Syahr”  yang jika di-Indonesiakan berarti malam yang lebih baik dari seribu bulan ini, di negeri kita akan terjadi pembenaran kapan turunnya malam tersebut, tentunya oleh mereka yang berbeda pendapat tentang kapan 1 Ramadhan tiba.

*
Sebuah percakapan antara santri dengan ustad hadir dalam menanggapi hal ini. Ketika menjelang waktu berbuka, ada sebuah diskusi kecil antara keduanya dan disaksikan oleh santri-santri yang lain.

“Jika memang harus malam ganjil perintah Allah diturunkan melalui para Malaikat dan Jibril sampai terbitnya fajar, berarti salah satu dari sekian kelompok tersebut akan sia-sia untuk meraih yang lebih baik dari seribu bulan, ya ustad?” tanya santri penasaran.

Dengan agak gelagapan sang ustad menjawab, “Bukan, bukan begitu kesimpulannya. Jangan terlalu terburu-buru. Karena tak ada sebuah ibadah yang sia-sia jika memang manusia paham hakekat ibadah sebagai apa.”

“Namun setidak-tidaknya mereka kurang beruntung ustad,” sahut santrinya cepat. Lalu sang ustad tersenyum dan menunduk ke kiri, sepertinya ustad ragu: antara akan mengangguk atau menggeleng.

Kemudian ustad menerangkan panjang lebar bahwa perbedaan adalah rahmat, yang harus dijaga dan dihormati. “Ini masalah kepercayaan, tak perlu mencari kambing hitam, toh kita juga tak tahu selama ini apa yang kita kerjakan diterima atau tidak? Yang penting dengan iman kita wajib sadar akan hakekat manusia,” jawab ustad.

Murid tersebut merasa jawaban sang guru tidak menjawab substansi pertanyaannya, terlalu melebar kearah perbedaan secara umum bukan mengupas perbedaan jatuhnya malam Lailatul Qadar. Hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang sebelum si santri mengeluarkan kata-kata lagi. Dan ustad pun segera mengakhiri diskusi tersebut, tentunya dengan hati yang tegang, salah-salah ia yang kewalahan jika waktu berbuka tak segera tiba.

“Ayah, ayah bangun ayah sudah ashar. Santri-santri sudah siap sholat, tinggal menunggu Ayah untuk imam,” ujar istri ustad membangunkan dari tidur siang.
“Astagfirullah, adzan maghrib. Sudah buka Umi, kok masih terang?” sahutnya.
“Belum, baru Ashar.”
“Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Berarti yang aku dengarkan dalam mimpi suara adzan Ashar ini.”
“Ayah mungkin kecapekan, mari wudlu, kasihan kalau santri-santri menunggu terlalu lama,” ajak istri dan sang ustad mengikutinya.

Ternyata pertanyaan-pertanyaan tadi hanyalah mimpi, dari kegalauan pikiran seorang ustad terhadap persoalan perbedaan penentuan Ramadhan, hingga berujung kebingungannya terhadap kapan malam ganjil datang.

*
Hal tersebut barulah sebagian kecil dari upaya pencarian kebenaran kapan datangnya malam ganjil, itu pun bagi mereka yang paham tentang seluk-beluk ilmu agama. Jika seperti aku yang tak begitu pandai dalam hal keagamaan ini, perasaan galau akan lebih menyayat batin tentang kekacauan berpikir. Mau ikut siapa? Dan bisa berbuat apa tentang ketidakpahaman yang dicampur dengan kekacauan seperti ini.

Sebagai manusia biasa, aku hanya bisa berharap, dan tak lebih dari sebuah harapan. Semoga perbedaan ini memang atas dasar keyakinan, bukan karena gengsi golongan atau maksud politis lainnya. Mengingat hal-hal seperti ini sangat mungkin dipolitisasi oleh mereka yang memang punya kesempatan untuk itu, lebih-lebih ada dua ormas yang sering menyuplai paham dalam hal ini.

Seperti apa yang diungkapkan ustad dalam mimpinya di atas tadi, bahwa perbedaan adalah rahmat, dan kita sebagai manusia harus paham tentang hakekat manusia dalam hal keimanan: terciptanya manusia adalah sebuah misteri, begitu juga dengan keberadaan Tuhan. Jadi selama misteri itu tetap menjadi misteri, selama itu pula kita perlu Tuhan. Maka kita pasrahkan hidup kita pada-Nya, melalui iman dan takwa.

Mataku mulai lelah, namun waktu sahur sudah tiba. Kumatikan alat pengetik tulisan ini untuk segera bergegas membangungkan keluarga. {*}
Baca Selengkapnya...

Jumat, 10 Agustus 2012

Tertusuk Kenangan

Sembari duduk bersandar almari, suara televisi menemani aktivitasku memainkan jemari di komputer lipat buatan Taiwan. Sedari siang tadi pikiranku terus melayang dan terbayang pada suatu daerah di ujung barat daya propinsi D.I. Yogyakarta. Tak terasa sudah dua hari aku telah meninggalkannya, daerah dengan suasana yang nyaman kala malam datang menjelang. Aku tak tahu mengapa aku begitu rindu akan hari-hari di Kalibuko 1—sebuah dusun yang aku sambangi barang 30 hari yang lalu. Sepertinya segala sesuatu yang aku lakukan di dusun itu begitu membekas jauh di sanubari.

Matahari terbit dari celah-celah bukit mampu membuka harapan baru bagi masyarakat Kalibuko 1.
Angin Kalibuko 1 telah mengajari aku betapa nikmatnya kehangatan kamar kost yang biasanya ku sebut panas, karena baling-baling kipas harus berputar setiap aku ada di dalam ruangan 3x4 meter ini. Kesederhanaan masyarakatnya begitu luar biasa, bagaimana bisa mereka bertahan dengan kondisi geografis seperti itu jika tanpa keteguhan dan kebersihan hati? Indah sekali.

Sekolah menengah hanya ada di kecamatan. Tak ada angkutan umum, hanya sebagian berkendaraan pribadi roda dua, selebihnya jalan kaki berpayung terik mentari. Sungguh luar biasa tekad masyarakatnya untuk terus berkembang.

Melimpahnya pohon kelapa di Kalibuko 1 membuat hampir seluruh penduduk menyadap nira, biasanya mereka mneyebutnya nderes. Ada sebuah filosofi kehidupan yang mendasar pada pekerjaan ini: ketika naik, mereka sadar betul suatu saat harus turun lagi. Nilai ini selalu diabaikan oleh sebagian besar manusia, ketika jaya manusia akan memanfaatkan segalanya demi ambisi dan tak menggubris sekitarnya masih meringis menahan lapar.

Aku takkan cerita banyak tentang Kalibuko 1, itu hanya akan semakin memperburuk kegalauan perasaanku, mengingat saat-saat tersebut merupakan waktu yang istimewa sekali bagi pengalaman sekaligus pendidikan mental.

Masa-masa itu memang telah kadaluwarsa, tapi begitu berbekas. Sementara tugas berat menuju masa depan gemilang sudah menanti kapan datangnya masa-masa bertoga, lalu kerasnya kehidupan telah menunggu tenaga dan curahan pikiran kita.

Aigh, nampaknya aku lupa. Selama aku masih menjadi anak kuliah—label mahasiswa sepertinya terlalu berat dipundakku—fungsi  sosial-kemasyarakatan sebagai anak kuliah tak boleh dianggap remeh: Lakukan apa yang kita bisa untuk mereka yang dirampas hak-haknya. Selama rembulan masih berada di langit, selama itu pula keletihan hanya akan menjadi candu dalam hidup kita.
Baca Selengkapnya...