Kamis, 06 Desember 2012

Kopi-Susu Instan

Habis tak selalu berujung manis, kopi-susu instan yang mengajariku

Senja mulai menua kalau aku sruput kopi-susu instan tanpa gula. Manisnya pas, karena cangkir kecil ini diisi air sesuai takaran. Setelah cicipan pertama, aku mulai berpikir pelan mengikuti rintihan hujan akhir tahun yang terlihat dari jendela kamar.

Tak salah kiranya jika aku mengandaikan hidup bagaikan kopi-susu instan, tanpa pemanis buatan pun, ia akan manis ketika takaran airnya tepat. Seperti harapan yang harus sesuai dengan kemampuan. Nampaknya manis tak perlu dibuat-buat, manis bisa terjadi begitu saja dan apa adanya. Terdapat pelajaran penting dari kopi-susu instan sore ini, yakni, perpaduan yang tepat akan membuat semua menjadi hebat dan nikmat.

Semenjak sudah tak ada lagi yang melarangku untuk menikmati wanginya seduhan kopi, aku justru merasa ada sesuatu yang hilang kala bibirku bercumbu dengan cangkir. Dulu ku pikir kopiku akan lebih nikmat tanpa omelannya, tapi kini ku sadari jika pikiranku terlalu sempit kala itu. Sekarang justru aku menanti larangan itu, selalu menunggu celotehan yang nyata-nyata kurindu.

Kopi-susu instanku tinggal setengah ketika suara guntur menggelegar sebagai tanda hujan masih menjadi raja di luar sana, seperti auman singa yang kelaparan. Gemericik air memenuhi indera pendengaran, mengalahkan lantunan lagu yang sedang diputar oleh seorang penyiar radio ternama kota Yogya.

Jejaring sosial sudah penuh dengan tulisan tentang hujan, tapi tak ada satu pun yang menulis mengenai kopi-susu instan.

Menikmati kopi-susu instan saat hujan memang nikmat, namun tak ada yang lebih bahagia selain duduk berdua menikmati  isi cangkir kecil ini bersamamu yang kini jauh di sana. Agh, bukannya kamu tak suka kopi? Maaf aku lupa, baiknya memang aku nikmati sendiri kopi-susu instan ini bersama hujan yang sudah tak buas lagi.

Langit petang tetap gelap meskipun hujan mulai reda, bagaikan konser musik metal, semua serba hitam. Ternyata kopi-susu instan di cangkir tinggal satu cegukan, tanpa ampas. Aku terkejut ketika tiba-tiba seorang kawan datang dengan baju basah, nafasnya terengah-engah.

          “Bagi kopinya donk, sob.”

Cangkir yang sudah berada di genggaman tangan dan siap minum aku relakan, join kopi katanya. Kopi-susu instanku telah habis, ada rasa bersalah ketika aku tak bisa berbagi terlalu banyak dengannya. Tapi kilat putih menyadarkanku, bak foto-model baru yang silau karena belum terbiasa kena blitz kamera. Bagiku sedikit berbagi lebih baik daripada banyak namun untuk sendiri, semua hanya akan sia-sia, dan kakekat hidup bakal tereduksi karenanya.

Kopi dalam cangkir sudah habis, meski apa yang kita lakukan selama ini tak berujung manis. Tapi tak apa, manis pun jika dipaksakan hanya akan jadi manis buatan, dan itu lebih menyakitkan dari pahit yang alami, pahit yang benar-benar pahit sekalipun.

Esok ku seduh lagi, esok ku nikmati lagi, esok kan ku cumbui lagi dengan cangkir-cangkir mini. Tanpa larangan, meskipun aku merasa kehilangan. (*)

Baca Selengkapnya...