Sabtu, 30 Maret 2013

Liburmu bukan Liburku, Kawan


Liburan silahkan, tidak pun tak jadi soal. Karena liburan bukan sebuah kewajiban.
Selama Februari, pikiran Icuk diselimuti kegundahan. Masalahnya sepele, bukan karena ia harus melewati Valentine tanpa kekasih—karena setiap tahun pun juga demikian—tapi karena recent updates di Blackberry Messager, time line di Twitter dan beranda di Facebooknya selalu penuh dengan status tentang destinasi liburan.
Bahkan yang lebih membuatnya kesal, foto-foto narsis di lokasi liburan turut meramaikan Instagram. Pengunggahnya beragam, mulai dari kawan hingga orang yang sama sekali tidak ia kenal. Tak cukup sampai di situ, kuliner dan tempat perbelanjaan yang di-share ke beberapa media sosial di atas juga membuatnya semakin ngiler tak karuan.
Sedari awal bulan, Icuk sudah mulai menyadari bahwa semua ini gara-gara smartphone yang dibeli dengan duit pemberian orangtuanya sebulan yang lalu. Karena akses ke media sosial tersebut selalu ia dapat dari smartphone tersebut  Ia tak pernah menduga, barang yang selama ini dipamer-pamerkan ke teman kuliah berkat kecanggihannya, kini justru jadi biang kegalauan.
Icuk memang tergolong orang yang suka berpetualang, meskipun dengan mental dan uang yang pas-pas’an, jadi wajar jika di waktu libur kuliah semester ganjil ini, pikirannya sedang diselimuti mendung hitam yang tak berawan bernama liburan.
Ia tak memikirkan biaya, karena tabungannya cukup untuk sekali liburan, bahkan ke luar negeri sekalipun. Permasalahannya cuma satu: waktu. Di balik kata itu, terdapat sejuta alasan yang tak memberinya banyak ruang untuk sekedar menikmati liburan. Meski kalender akademik kampusnya jelas-jelas mengisyaratkan libur, namun sebuah tanggungjawab besar sudah menanti Icuk jauh-jauh hari, malahan bisa dibilang komitmen Icuk untuk hal ini sudah hadir sebelum 2013 datang.
Kegundahannya semakin menjadi-jadi ketika Ucik—sahabat karib di kampus sekaligus kawan backpacker-an—meminta diantarkan ke terminal Giwangan untuk melakukan ekspedisi tunggal ke tempat yang masih dirahasiakan. Biasanya mereka berangkat berdua, namun kali ini Icuk tak bisa ikut serta karena komitmen dan tugasnya.
“Cuk,” ucap Ucik, setibanya di terminal. “Dua sampai tiga minggu lagi gue baru balik.”
“Emang lu mau nglancong kemana sih?”
“Kan udah gue bilang rahasia, nanti bakal gue bikin tulisan, dan lu bisa nikmatin tulisan gue. Gue akan buktiin bukan hanya anak sastra saja yang bisa bikin tulisan indah.”
“Okey, terserah lu aja deh, yang penting ati-ati. Kalau udah otw pulang, lu sms aja biar gue jemput lagi di mari,” timpal Icuk.
“Gak usah, Cuk. Gue udah banyak ngrepotin lu, gue bisa ngojek.”
“Woey Anj*ng,” sahut Icuk, suaranya meninggi. “Lu udah gue anggep saudara, Man. Gak nganggep gue lu? Lu udah berapa tahun kenal gue sih?”
“Sorry, Sob. Bukan maksud gue gitu. Oke deh kalau lu maksa, besok gue sms kalau udah otw Yogya. Makasih ya, Sob. Lu emang sahabat gue yang ciamik dech.”
“Santai aja, Man. Titipin salamku untuk semua orang yang kau temui,” titip Icuk sok formal.
Sepeninggalan Ucik, Icuk kembali tenggelam dalam kesibukannya, tiada hari tanpa duduk melingkar untuk menumpahkan isi otak alias pikiran bersama kawan-kawan seperjuangan. Tapi entah kenapa ia menikmatinya, hari-hari di bulan kedua 2013 ia lalui dengan senang, meski tanpa liburan. Meminjam judul lagu Sheila on 7, Icuk menilai apa yang dilakukannya kini adalah sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Pada suatu Sabtu malam di pertengahan Februari, ia memilih menyendiri, merenungi tentang segala apa yang terjadi. Kuliahnya, tentang mau dibawa kemana hidupnya, dan tentang siapa yang akan berada di sampingnya kelak.
“Hey gelap malam, apakah orang-orang hebat itu masa mudanya hanya berleha-leha?” tanya Icuk pada malam. “Agh, tak usah kau jawab pun aku sudah tahu jawabannya, pasti tidak kan?” jawabnya sendiri sekaligus menimbulkan pertanyaan baru. Bukan tanpa alasan ia bertanya pada malam, karena malam selalu tahu siapa yang masih terjaga dan siapa yang sudah terlena karena gelapnya.
Orang yang melihat akan mengatakan ia gila, karena sedari tadi ia bergumam sendiri, bertanya tapi selalu memberi jawaban sendiri, kadang memaki kadang memuji. “Kau malam, selalu mengajariku tentang kehidupan. Terlebih gelapmu, sudah menjadi barang tentu jika kegelapanmu akan selalu melahirkan Matahari setelah subuh nanti. Uyyyyeeeeee…….!” ucap Icuk setengah berteriak seakan-akan ingin menggantikan tugas ayam jantan berkokok.
Dalam renungannya, ia mulai sadar jika Yogyakarta bukanlah Jakarta—kota asal dan tempat Icuk dibesarkan. Ibukota mewajibkan manusianya untuk berlibur ketika liburan, setelah menjadi robot saat hari biasa. Wajar jika mereka menempatkan berlibur saat liburan adalah suatu keniscayaan. Sekarang ia sedang di Yogya, di kota pelajar sekaligus budaya ini liburan hanya untuk mereka yang perlu, karena baginya “everyday is holiday in Yogya City”. “Jogja memang berhati nyaman,” gumamnya pelan.
Hampir tak ia sadari tengah malam telah lewat jauh sekali, kopi-susu instan dan sebungkus jagung goreng sudah tak bersisa, ia segera mangakhiri persetubuhannya dengan kegelapan. “Hidup ini lucu, kita diberi kehidupan tapi suatu saat nanti kehidupan ini akan dicabut kembali,” tulisnya pada buku catatan harian yang baru ia beli sore tadi. Entah apa yang sedang dipikirkannya, hingga ia tulis kalimat itu.
***
Menjelang tengah malam ketika Maret mulai menyambut, cahaya purnama dan angin musim penghujan menemani Icuk yang tengah mencoba memejamkan mata. “Tilululut…tilululut…tilulululut…,” telepon genggam Icuk berdering disertai getar berkali-kali. Ia sedikit terkejut, hingga akhirnya ia mengerutkan dahi ketika mulai membaca pesan singkat yang baru saja masuk. “Kurang ajar ini si Ucik, malam-malam gini pamer ke gue,” gerutunya kesal. Ternyata Ucik memberitakan bahwa besok hari terakhir ekspedisinya di Pulau Dewata, karena ia harus melanjutkan perjalanan ke Lombok.
Tapi kesal Icuk tak sampai hati, karena ia tahu benar sifat Ucik: bukan tukang pamer. Ucik hanya sekedar meminta doa restu seperti yang tertulis di akhir pesan singkatnya. “Hati-hati, kawan. Jaga dirimu baik-baik, suatu saat kita pasti akan backpakeran bareng lagi. Jangan lupa titipanku: titip salam untuk semua yang kau temui di sana,” balas Icuk saat itu juga.
Icuk kembali berbaring di kasur tipisnya, matanya menerawang ke langit-langit dan hanya sesekali berkedip. Seperti penjaga gawang yang baru saja kebobolan. “Liburmu kali ini bukan liburku, kawan,” ucapnya pelan seperti tak bersuara. Lambat laun matanya mulai sayu, lalu terpejam, kini mulutnya yang terbuka, kemudian suara dengkur mulai memenuhi kamar kos-nya. (Bobby A. Andrean/Awal Tahun 2013)
Baca Selengkapnya...