Kamis, 30 Mei 2013

Telat

Bisa jadi tabiat, bisa juga siasat

Sorry, Bro. Aku telat,” kata yang sering terucap ketika terlambat. Dalam segi apapun, keterlambatan mulai jadi hal yang lumrah. Semua bisa jadi korban, tapi tak menutup kemungkinan, semua juga bisa jadi pelaku keterlambatan. Awas, kawan! Virus terlambat bisa menyerang otak kita tepat pada waktunya, atau justru lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Yang jelas, virus itu takkan datang telat meskipun namanya virus terlambat.

Bukannya ingin menyalahkan, tapi semua keterlambatan berpangkal dari waktu. Waktu memang hebat, bisa jadi patokan setiap umat. Secara tidak sadar, kita tunduk padanya. Sesuatu yang tak bisa terulangi lagi, namun kenapa musti ada kata telat jika memang waktu hanya datang sekali? Jangan jawab tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena dangdut sedang tidak diputar.

Bayangkan jika tak ada waktu—lebih-lebih waktu yang telah dipastikan—keterlambatan pasti takkan datang. Namun, pantaskah kita salahkan waktu? Yang kehadirannya justru lebih memberikan kepastian. Coba renungkan, bagaimana kita bisa merayakan tahun baru jika tiada waktu? Lalu bisakah kita menentukan kapan puasa dan kapan lebaran jika waktu tak hadir membantu.

Bandung Bondowoso pernah kalah oleh waktu, ia diberi waktu semalam untuk membuat seribu candi, sebagai syarat mempersunting Roro Jonggrang. Namun melihat kecurangan Bandung Bondowoso—meminta bantuan mahkluk halus—Roro Jonggrang pun tak habis akal, ia bersama para koleganya membuat siasat seolah-olah pagi sudah datang menjelang. Bandung Bondowoso telat, ia pun gagal dalam misinya membuat seribu candi. Ternyata, waktu bisa dikelabuhi. Namun sejauhmana kita bisa mengelabuhi waktu? Dengan siasat seperti Roro Jonggrang? Jangan salah, ia berbuat demikian karena Bandung Bondowoso curang, selalu ada api ketika ada asap, tak mungkin tidak.

Meskipun bisa dikelabuhi, tapi apakah kita bisa merubah waktu? Ia akan tetap bergulir, tanpa perlu kita percepat atau perlambat. Lalu siapa yang harus disalahkan ketika kita terlambat karena waktu? Masihkah sang waktu jadi pesakitan? Sungguh, ia teramat kasihan.

Telat beserta alasannya bagaikan lokomotif dengan dua belas gerbong—rangkaian maksimal kereta api. Bukan rahasia lagi jika tak seluruh gerbong diisi oleh penumpang bertiket, sebut saja penumpang gelap. Juga dengan telat, tak seluruhnya diikuti alasan yang logis dan bertanggung jawab, ada juga alasan yang dibuat-buat bak penumpang gelap tanpa tiket.

Telat adalah lokomotif, alasan logis dan bertanggungjawab adalah penumpang bertiket, sementara alasan dibuat-buat karena kemalesan adalah penumpang gelap yang harus diturunkan di stasiun berikutnya. Ketidakhadiran adalah mereka yang datang setelah kereta diberangkatkan, benar-benar ditinggal. Jangan sampai kita diturunkan di stasiun yang bukan menjadi tujuan.

Sampai kapan kita akan selalu terlambat? Jangan lagi kau tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena selain dangdut tak sedang diputar, ia juga sedang menikmati air hujan ketika kemarau sudah datang, sebuah kelangkaan, jangan ganggu sang rumput karena keterlambatan. Apalagi mencarikambing hitam, karena mereka telah membeli pemutih, baik krim m’alam atau krim siang.

Telat itu bukan siapa-siapa, bukan kamu, kalian, atau mereka. Telat itu aku, yang selalu telat untuk mengerti keterlambatan itu sendiri. Benar-benar telat, atau cuma dibuat-buat; kita pelaku kita yang tahu.

Jangan biarkan tubuhmu membiru tragis karena telat, hingga menjadikan kau dan aku menuju ruang hampa. Keterlambatan ini, suatu saat nanati akan membentuk sebuah mosi tidak percaya di kamar gelap. Satu pesanku, jangan bakar buku agar tak banyak asap di sana. Sampai kapan telat akan membuat hidup bagai sebuah ballerina, telat juga akan membuatmu abnormal. (Bobby A. Andrean)
Baca Selengkapnya...