Kamis, 17 Oktober 2013

Kampung Halaman, Seberapa Penting Kau Memilikinya?

“Indonesia adalah bagian dari desa saya – Emha Ainun Najib”

AKU TAK TAHU, apakah masih relevan di hari pembacaan karya pada sore hari ini, tetap mengambil tema kampung halaman, apalagi jika hasil tulisan kita tak lebih dari sekedar buku diary. Maaf, bagiku alangkah baiknya kalian simpan sebagai catatan pribadi, dan membacanya sendiri sebelum tidur nanti. Belum lagi, meskipun aku bukan dukun, perkenankan aku mencoba sedikit menebak: sebagian besar di antara kita pasti baru menulis barang satu atau dua hari yang lalu, bahkan hari ini.

Dan aku juga tak paham, mengapa pihak penyelenggara tetap mempertahankan tema yang pada dasarnya—jika sesuai jadwal—akan dibacakan pada jauh-jauh hari sebelum sekarang? Malas berpikir, sudah berpikir tapi tak ada ide atau kah memang ini pilihan terbaik, jujur aku belum menemukan jawabnya.

Baiklah, acuhkan sejenak dua paragraf di atas, karena mungkin sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan judul dan lead, tapi entah mengapa aku merasa perlu untuk menuliskannya sebagai pembuka tulisan, mohon dimaklumi.

Sekarang mari kita bincangkan tentang sesuatu yang telah menjadi tema.

Bicara kampung halaman, bicara tentang polosnya masa kecil dan sejuta kenangan. Tak peduli manis, asam, bahkan pahit sekalipun. Semakin beranjak dewasa, otak kita semakin didikte oleh prestige dan kemauan pasar, kecuali bagi yang tidak, dan persetan, itu urusan pribadi masing-masing.

Aku membaca tulisan ini di hadapan beberapa mahasiswa perantau, ada kalanya kita—karena aku juga mahasiswa rantau—akan dipaksa kembali ke kota asal, entah sebentar atau pada suatu saat nanti akan tetap di sana sampai menua, kemudian tutup usia.
Ketika pulang, takkan kita dapati sesuatu yang benar-benar sama seperti sedia kala, pasti ada sesuatu yang berubah, berbeda, bahkan tiada. Lalu, seberapa penting kau memilikinya?

Puisi Emha Ainun Najib dengan judul Antara Tiga Kota pun pasti berbanding terbalik dengan kondisi sekarang yang dulu pernah ditujukkan untuk Yogyakarta. Ia pernah menulis begini:

Di Yogya aku lelap tertidur
Angin di sisiku mendengkur
Seluruh kota pun bagai dalam kubur
Pohon-pohon semua mengantuk
Di sini kamu harus belajar berlatih
Tetap hidup sambil mengantuk

Bagi mereka yang pernah muda sejaman dengan Emha Ainun Najib, sudah pasti akan mengamini puisi indah di atas. Tapi masihkah mereka setuju ketika pada detik ini juga, mereka dihadirkan di Yogyakarta yang benar-benar sedang dilanda tsunami pembangunan tapi minus perencanaan dan pengendalian serta akan berdampak pada mengikisnya identitas secara terencana dan laten? Mungkin puisi Emha akan sedikit berubah, berlanjut dengan pelintiran seperti ini:

Jakarta (Yogyakarta) menghardik nasibku
Melecut menghantam pundakku
Tiada ruang bagi diamku
Matahari memelototiku
Bising suaranya mencampakkanku
Jatuh bergelut debu

Yogya kini, sedang menuju pertumbuhan ekonomi yang hanya didasari pada ambisi investor—yang kebanyakan bukan warga asli Yogya—dan antisipasi pasar, bukan kebutuhan riil kota pelajar. Aku memang tak lebih dari pendatang, tapi aku tetap tak rela jika Yogyakarta berubah  dan sedikit demi sedikit luntur keistimewaannya. Lalu seberapa pentingkah kau memilikinya?

Tapi mengapa Emha Ainun Najib tak menetap di Jombang? Bukankah di sana kampung halamannya? Mengapa pula ia lebih memilih membuat rumah singgah di Kadipiro, Yogyakarta? Meski di satu sisi ia sering berkelana ke berbagai wilayah di nusantara? Apakah karena di sini ia bisa hidup dengan mengantuk seperti puisi yang ia buat di atas? Dan bukankah kini semua hampir berbanding terbalik menuju lanjutan puisi yang membuat jatuh bergelut debu? Agh, aku tak perlu tahu alasan apa di balik itu semua.

Satu yang menggajal dalam hatiku, bak sobekan daging yang nylilit di sela-sela dua gigi: Akankah Yogya, kampung halaman sekaligus denyut nadi dinamika mahasiswa di Indonesia, menjadi abu-abu dan, terlihat seperti lahan gersang yang dulunya pernah subur, tak bisa bertahan dari girasnya ambisi investor. Inilah penutup Antara Tiga Kota karya Emha:

Surabaya seperti di tengahnya
Tak tidur seperti kerbau tua
Tak juga membelalakkan mata
Tetapi di sana ada kasihku
Yang hilang kembangnya
Jika aku mendekatinya
Kemanakah harus ku hdapkan muka
Agar seimbang antara tidur dan jaga?

Emha pernah menulis buku berjudul Indonesia adalah Bagian dari Desaku. Desa yang tak lagi memilih siapa dan dimana keberadaannya. Dari situ ia yakin akan tercipta negeri kesabaran, propinsi ketekunan, kabupaten kerja keras, kecamatan mandiri, dan desa barokah kita sendiri. Dan itu semua bisa dilakukannoleh siapapun, tak hanya Emha.

Setiap orang pasti akan mempunyai kecintaan yang berbeda pada kampung halamannya, dan setiap orang bebas memilih mana kampung halaman yang ia sukai dan akan ia tinggali. Tapi, apapun yang terjadi, Indonesia akan tetap jadi bagian dari kampung halamanmu, kampung halamanmu, dan kampung halaman kita bersama. Maaf jika tulisan ini tak sesuai dengan tema, kesempurnaan (katanya) milik Tuhan, bukan manusia.


Agh, entahlah, tak perlu perdebatan si sini. Bagiku kampung halaman tak lebih dari gudang nostalgia dan tumpukkan album tua berisi trilyunan ruang rindu. Kampung halaman bagaikan angin yang menjadi pujaan hujan, yang selalu berkata tidurlah ketika malam mulai resah. Ia mampu bercerita tantang gunung, juga laut. Meski tak lagi berdua saja, kampung halaman tetap akan mengingatkan pada perempuan yang pernah dalam pelukan, meski kini tak lebih dari sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan. (*)
Baca Selengkapnya...

Gelisah Karena Dakwah

Ramadhan, masa sebelum lebaran, bulan ketika penceramah muncul bak suara katak sehabis hujan. Meski temanya selalu diulang, namun tak pernah ku lihat ada protes yang datang.

SEBENARNYA TULISAN tentang peringatan hari kemerdekaan lebih menarik hati, mengapa tidak? Sekarang ini dan bahkan selama masa kemerdekaaan, negara selalu memperingati kemerdekaan dengan budaya militeristik nan formal, seolah-olah 17 Agustus hanya tentang mengibarkan dan menurunkan Sang Merah Putih semata, bukan tentang pemaknaan spiritualitas kemerdekaan. Agh, tapi tema kali ini tak ada hubungannya dengan itu, mungkin aku tulis sendiri di lain hari.

Sepekan sebelum hari kemerdekaan, umat muslim di pelosok negeri terlebih dahulu disibukkan dengan perayaan hari kemenangan pasca Ramadhan. Selama sebulan itu pula, ritual-ritual wajib maupun sunnah mereka jalankan, entah dengan ikhlas atau pakasaan bukan urusan, bukan hak kita untuk ikut campur, biarkan hanya person dan Tuhan yang tahu.

Selalu ada cerita saat Ramadhan, bisa menyenangkan, tak jarang juga mengusik hati, tinggal bagaimana perasaan dan keadaaan dalam menjalani.

Aku menikmati separuh awal Ramadhan di kota pelajar, lalu menghabiskannya di kampung halaman, meski sebenarnya niatan untuk pulang tak benar-benar bulat, entah karena apa, rasa-rasanya berlebaran di kota asal tak semenarik dua atau tiga tahun yang lalu.

Di rumah, aku baru sadar ternyata televisi begitu heboh dengan segala tayangan berbau Ramadhan. Mengingat selama di perantauan aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama kawan-kawan seperjuangan. Televisi menyajikan siaran beraneka-ragam, mulai dari iklan-iklan makanan dan minuman yang menggoda kala siang, laporan langsung arus-mudik menjelang lebaran, serta ceramah-ceramah dari ustad dadakan dengan intensitas yang meningkat signifikan. Aku mengurutkan dari yang aku senangi hingga yang tidak.

Aku beranggapan bahwa iklan makanan dan minuman yang tiap detik menggoda kita dan warung yang tetap buka di siang hari, justru merupakan sebenar-benarnya ujian bagi umat Islam yang sedang berpuasa.

Aku juga sempat terusik dengan kata-kata yang berbaris rapi di jalanan: “hormatilah orang yang berpuasa”, lucu sekali bukan? Terlepas diterima atau tidaknya puasa mereka, bukankah orang yang sedang berpuasa itu di mata Tuhan sudah terhormat tanpa harus dihormati dan tanpa harus meminta penghormatan dari orang yang tidak berpuasa? Justru di sinilah esensi tentang menahan diri harus lebih dikembangkan oleh umat Islam secara keseluruhan, bukan setengah-setengah.

Kemudian mengapa aku suka laporan arus-mudik? Karena laporan langsung atau bahasa bekennya live report bagiku seksi sekali, sedari kecil aku memang suka dengan yang satu ini. Jika kau tanyakan mengapa? Maaf, aku tak punya jawaban pasti tentang hal ini, dan aku rasa sangat tidak penting untuk dibahas di sini.

Bagiku lebih menarik kita bincangkan tentang meningkatnya volume ceramah di layar kaca saat bulan puasa, bukan begitu, bukan?

Pernah dalam suatu sahur, sebuah stasiun televisi swasta menayangkan kompetisi da’i. Bukannya senang, aku justru sedikit mengernyitkan dahi. Pesan yang disampaikan begitu datar, tak terlalu sampai ke hati, yang dipentingkan hanya penampilan dan pembawaan diri, bagiku isinya jauh panggang dari api, materinya kaku sekali, seakan-akan hanya ada agama Islam di muka bumi ini. Mungkin iya seperti itu yang terjadi, atau bisa saja aku yang terlalu kemaki.

Sebenarnya aku tak terlalu mempermasalahkan isi dan apa yang dibawakan oleh para da’i, hanya saja ada sebuah pertanyaan kecil yang mengganjal hati: pantaskah dakwah dijadikan kompetisi? Bila iya, wajar saja kini muncul banyak penceramah yang komersial nan eksis bak artis di televisi, begitu miris menyayat hati.

Ramadhan kemarin, tiap kali mendengarkan ceramah keagamaan—entah di masjid, televisi, atau forum keagamaan—aku lebih banyak mendengar tentang azab, kutukan, serta hal-hal menakutkan yang akan datang dari Tuhan suatu ketika nanti jika aku tak menjalankan perintah-Nya. Tuhan digambarkan begitu angkuh dan gila hormat, seperti kebanyakan raja nusantara pada jamannya. Padahal, bukankah Tuhannya orang Islam itu Rahman-Rahim, pengasih dan penyayang? Lalu kenapa yang ditonjolkan selalu sisi kemurkaannya? Apakah umat Islam sebegitu terpaksanya memeluk Islam, sehingga harus diintimidasi dengan bahasa yang sedemikian rupa agar mau menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya?

Aku jadi ingat, perbedaan perkataan Rama Cluring dan Liem Mo Han pada Wiranggaleng dalam Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Pengetahuan dari Rama Cluring masuk dengan begitu binal menjompak-jompak, sehingga kebanyakan penduduk Awis Krambil geram dengannya, sementara pengetahuan yang datang dari Liem Mo Han begitu tenang dan seakan-akan tak terjadi apa-apa, maka masuklah pengetahuan itu dalam hati Wiranggaleng.

Mungkin bukan sebuah perbandingan yang mudah dipahami, namun intinya aku lebih tertarik dengan dakwah yang lebih mengedepankan tentang bagaimana umat Islam beribadah dengan ikhlas karena penuh cinta, dan kasih sayang kepada Tuhan, bukan karena takut pada Tuhan.

Aku bukannya ingin menyangkal tentang azab dan kemurkaan Tuhan, aku hanya ingin para penceramah memposisikan cinta dan kasih sayang kepada Tuhan pada garda terdepan, sehingga umat Islam menjalankan ibadah tanpa rasa takut, melainkan rasa cinta dan kasih sayang pada Tuhannya.

Tuhanku Maha Pengasih dan Penyayang. Maka, Tuhanku adalah destinasi yang tepat sebagai sandaran hati, sampai nanti sampai mati. Tuhanku merupakan tujuan yang tidak salah untuk menuruti permintaan hati, sampai nanti sampai mati. (*)
Baca Selengkapnya...