Kamis, 28 Agustus 2014

Perang Media Pendukung Capres*

Pemilihan umum capres dan cawapres tinggal menghitung hari, namun kedua kandidat belum berhenti berebut hati melalui televisi. Keduanya tak segan-segan untuk mencekoki masyarakat melalui frekuensi udara yang nyaris tak terkendali. Framing media bisa diatur sedemikian rupa, mengunggulkan yang satu dan menjatuhkan satunya.

Peringatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak pernah dihiraukan. Sudah bukan rahasia lagi jika TV Merah lebih condong ke nomor satu, sering menyudutkan nomor dua. Sedangkan Biru TV lebih cenderung memihak nomor dua, jarang menampilkan berita tentang nomor satu. Pemilik kedua media tersebut sama-sama ketua partai politik, dengan pandangan politik (yang setidaknya dalam pilpres kali ini) berbeda. Bukan hanya perang dua televisi, media mainstream lainnya bahkan media bodong pun juga turut ambil bagian menyebar propaganda.

Masyarakat (setidak-tidaknya saya) dibuat jengkel, emosi, dan muak terhadap pemberitaan yang sudah mengesampingkan kaidah-kaidah jurnalistik. Media massa yang seharusnya memberi informasi untuk mencerdaskan masyarakat, kini berubah jadi sarana cuci otak. Mirisnya, frekuensi publik yang seyogyanya digunakan untuk kepentingan publik, justru dipolitisir sesuai kemauan dan kepentingan pemilik media.

Demokrasi dan kebebasan pers akan terancam secara laten ketika pemberitaan yang tidak berimbang seperti sebulan terakhir ini dianggap biasa oleh masyarakat, pemilik media akan semakin menjadi-jadi menyetir arah pemberitaan medianya. Kehadiran pers yang digadang-gadang memberikan keseimbangan dalam iklim demokrasi, karena dewasa ini pers menjadi pilar keempat dalam sistem demokrasi, pilar yang tidak tercantum dalam Trias Politica milik Montesquieu (1689-1755). Edmund Burke (1729-1797), negarawan Inggris, orang pertama yang menyatakan bahwa pers menjadi pilar keempat demokrasi.

Mengutip pernyataan Mahfud MD dalam konten Antara News, ketika diskusi dengan Persatuan Wartawan Indonesia di Pekanbaru, Desember tahun 2012 lalu, ia pernah mengatakan bahwa peran pers sebagai pilar ke empat demokrasi dapat memberikan tekanan positif terhadap kebijakan pemerintah. Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi kontrol sosial.

Sembilan Elemen Jurnalisme
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menginstruksikan bahwa pers nasional mempunyai peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi; mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Dari kutipan undang-undang di atas, dapat ditarik garis besar jika pemelintiran berita untuk kepentingan pemilik media atau golongan merupakan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang antara lain hak masyarakat untuk tahu dan kepentingan umum.

Bill Kovach (Wartawan senior, yang pernah menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika: Pulitzer Prize) dan Tom Rosenstiel (Committe of Corcerned Journalist, sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media) dalam bukunya berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme merumuskan bahwa kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran. Dalam hal ini kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran fungsional, bukan kebenaran filosofis yang penuh dengan perdebatan. Artinya, dalam jurnalisme kebenaran selalu dibentuk sedikit demi sedikit, bahkan tak jarang sering direvisi atau diperbaiki.

Bill Kovach sendiri mengatakan bahwa kebenaran adalah sebuah konsep yang paling membingungkan dalam dunia jurnalisme. Karena kebenaran dalam ranah pers tidak bisa dipisahkan dari padangan wartawan yang meliput lalu menuliskan atau menayangkannya sebagai berita. Pandangan tersebut terbentuk karena berbagai faktor seperti latar belakang sosial, pendidikan, suku, agama, bahkan pandangan politik wartawan dan dapur redaksinya.

Jika merujuk pada elemen pertama tersebut, rasa-rasanya kedua televisi “pendukung” kedua kandidat yang berseberangan itu sangat menyimpang dari nilai-nilai jurnalisme. Bahkan ada media bodong, baik cetak maupun elektronik, melempar fitnah berbau propaganda. Dalam hal ini, kerugian sepenuhnya ada di kalangan masyarakat, bukan tim sukses kedua kandidat yang memang gemar saling sikut dan sikat. Mengingat elemen kedua jurnalisme: loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara.

Dalam menyajikan berita, seorang wartawan harus memposisikan masyarakat sebagai subjek. Berita yang disajikan ditujukkan untuk mencerdaskan masyarakat, dan membiarkan masyarakat mengambil kesimpulan sendiri secara berdaulat. Bukan objek untuk melenggangkan kepentingan pemilik media melalui black campaign, negatif campaign, positif campaign secara tidak proporsional.

Media yang dengan sengaja menyalahgunakan tujuan loyalitasnya merupakan panu dalam kulit demokrasi. Terlebih, (meloncat ke elemen delapan) elemen ke delapan jurnalisme mengharuskan media membuat berita yang komperehensif dan proporsional, bukan berat sebelah.

Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, elemen ketiga jurnalisme. Sudah sejauh mana media memverifikasi sebuah isu yang menyatakan salah satu kandidat merupakan bagian dari dosa masa lalu atau salah satunya lagi didakwa komunis secara sepihak? Ujung-ujungnya masyarakat menjadi korban tidak terima, lalu melawan tidak secara intelektual, lebih-lebih konstitusional. Seperti penyerangan kepada kantor pusat dan kantor biro TV Merah beberapa waktu lalu. Pers yang salah menyebabkan masyarakat terbelah, marah, dan kalap. Padahal mekanisme keberatan terhadap pemberitaan sudah diatur dalam undang-undang, yakni melalui hak jawab.

Elemen keempat jurnalisme mengisyaratkan bahwa jurnalisme harus independen dari pihak yang mereka liput. Independen artinya bebas dari desakan manapun, tanpa dikendalikan pihak atau golongan siapa pun. Independensi tidak sama dengan netralitas. Contohnya jurnalis yang menulis opini atau tajuk rencana bersikap tidak netral, tapi ia harus independen dalam ketidaknetralan tersebut. Wartawan pun boleh berpihak, berpihak pada kebenaran, kredibilitasnya terletak pada dedikasi pada akurasi, verifikasi, kepentingan kepada publik, dan hasrat untuk memberi informasi secara berimbang.

Bahkan dengan sinis McNair Brian (1995) pernah mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak”. Ini realita tentang media di Indonesia pasca reformasi. Kekuatan ekonomi dan kepentingan politik pemilik modal sangat mereduksi independensi media.

Jika sampai akhirnya nanti, entah nomor satu atau dua yang terpilih. Tapi pemberitaan masih seperti sekarang ini, bisa diprediksi salah satu dari kedua media tivi akan menjadi corong penguasa. Padahal dalam elemen kelima jurnalisme, pers harus menjadikan dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Artinya kedekatan antara penguasa dengan pemilik media yang saling berkepentingan bisa berpeluang menjadi lubang di gigi demokrasi.

Jurnalisme pun harus menyediakan forum kritik dan komentar dari publik, elemen keenam jurnalisme. Agar jurnalisme bukan hanya berperan sebagai penyalur informasi satu arah, mengingat masyarakat adalah subjek.  Elemen ketujuh mengamanahkan agar media membuat berita menarik tapi relevan. Bukan sensasionalitas yang memojokkan salah satu kandidat tanpa konfirmasi, tidak cover both side.

Pada tingkat ini, Bill Kovach dan Tom Rosential buku berjudul BLUR mengatakan bahwa jurnalisme harus berubah dari sekedar menggurui—mengatakan publik apa yang ia perlu tahu—menjadi dialog publik, dengan wartawan menginformasikan dan memfasilitasi diskusi. Ide pentingnya adalah: pers ke depan akan memperoleh integritas berdasarkan jenis konten yang disampaikan dan kualitas pekerjaan, bukan dari fungsi eksklusifnya sebagai penyedia informasi tunggal atau perantara antara sumber berita dengan publik.

Pemilik media juga harus menghormati betul suara nurani setiap wartawan, karena sesuai dengan elemen ke sembilan jurnalisme, setiap wartawan mempunyai kewajiban pribadi untuk menyuarakan hati nurani sekuat-kuatnya. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel akhirnya menambahkan elemen ke sepuluh, tentang hak dan tanggungjawab warga dalam hal-hal yang berkaitan dengan berita. Karena di era tekhnologi informasi, masyarakat bukan hanya sekedar penikmat, tapi juga bisa menjadi bagian dari penyaji informasi melalui koneksi internet dengan berbagai media sosial.

Literasi Media
Sudah saatnya masyarakat belajar untuk melek media. Dari sepuluh elemen yang sudah dikupas secara singkat di atas, ada beberapa elemen yang bisa kita manfaatkan untuk menganalisa, menilai, dan memilih media yang telah menerapkan kaidah-kaidah jurnalistik secara benar untuk kita jadikan referensi. Pun kita mempunyai hak untuk menyampaikan kritik terhadap media yang sudah benar-benar menyalahgunakan kebebasan pers.

Sikap skeptis (meragukan) informasi dari media mutlak diperlukan sebagai modal awal agar masyarakat tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang sengaja diciptakan untuk membutakan kesadaran logika. Alangkah indahnya jika cita-cita untuk menjadikan pers sebagai pilar keempat demokrasi juga diaplikasikan sebagaimana mestinya dalam kehidupan bernegara, tidak hanya sebatas retorika di bangku-bangku kuliah dan di forum-forum diskusi semata.

Sesungguhnya apakah demokrasi benar-benar tidak tepat untuk Indonesia? Atau demokrasi sedang dijalankan oleh orang yang salah: intelektual bebal pemburu kekuasaan? Mari kita renungkan bersama-sama. Tabik.
*) Tulisan ini dimuat di rubrik Gagasan dalam Harian Solopos tanggal 8 Juli 2014.
Baca Selengkapnya...