Tampilkan postingan dengan label Fenomena. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fenomena. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Oktober 2013

Kampung Halaman, Seberapa Penting Kau Memilikinya?

“Indonesia adalah bagian dari desa saya – Emha Ainun Najib”

AKU TAK TAHU, apakah masih relevan di hari pembacaan karya pada sore hari ini, tetap mengambil tema kampung halaman, apalagi jika hasil tulisan kita tak lebih dari sekedar buku diary. Maaf, bagiku alangkah baiknya kalian simpan sebagai catatan pribadi, dan membacanya sendiri sebelum tidur nanti. Belum lagi, meskipun aku bukan dukun, perkenankan aku mencoba sedikit menebak: sebagian besar di antara kita pasti baru menulis barang satu atau dua hari yang lalu, bahkan hari ini.

Dan aku juga tak paham, mengapa pihak penyelenggara tetap mempertahankan tema yang pada dasarnya—jika sesuai jadwal—akan dibacakan pada jauh-jauh hari sebelum sekarang? Malas berpikir, sudah berpikir tapi tak ada ide atau kah memang ini pilihan terbaik, jujur aku belum menemukan jawabnya.

Baiklah, acuhkan sejenak dua paragraf di atas, karena mungkin sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan judul dan lead, tapi entah mengapa aku merasa perlu untuk menuliskannya sebagai pembuka tulisan, mohon dimaklumi.

Sekarang mari kita bincangkan tentang sesuatu yang telah menjadi tema.

Bicara kampung halaman, bicara tentang polosnya masa kecil dan sejuta kenangan. Tak peduli manis, asam, bahkan pahit sekalipun. Semakin beranjak dewasa, otak kita semakin didikte oleh prestige dan kemauan pasar, kecuali bagi yang tidak, dan persetan, itu urusan pribadi masing-masing.

Aku membaca tulisan ini di hadapan beberapa mahasiswa perantau, ada kalanya kita—karena aku juga mahasiswa rantau—akan dipaksa kembali ke kota asal, entah sebentar atau pada suatu saat nanti akan tetap di sana sampai menua, kemudian tutup usia.
Ketika pulang, takkan kita dapati sesuatu yang benar-benar sama seperti sedia kala, pasti ada sesuatu yang berubah, berbeda, bahkan tiada. Lalu, seberapa penting kau memilikinya?

Puisi Emha Ainun Najib dengan judul Antara Tiga Kota pun pasti berbanding terbalik dengan kondisi sekarang yang dulu pernah ditujukkan untuk Yogyakarta. Ia pernah menulis begini:

Di Yogya aku lelap tertidur
Angin di sisiku mendengkur
Seluruh kota pun bagai dalam kubur
Pohon-pohon semua mengantuk
Di sini kamu harus belajar berlatih
Tetap hidup sambil mengantuk

Bagi mereka yang pernah muda sejaman dengan Emha Ainun Najib, sudah pasti akan mengamini puisi indah di atas. Tapi masihkah mereka setuju ketika pada detik ini juga, mereka dihadirkan di Yogyakarta yang benar-benar sedang dilanda tsunami pembangunan tapi minus perencanaan dan pengendalian serta akan berdampak pada mengikisnya identitas secara terencana dan laten? Mungkin puisi Emha akan sedikit berubah, berlanjut dengan pelintiran seperti ini:

Jakarta (Yogyakarta) menghardik nasibku
Melecut menghantam pundakku
Tiada ruang bagi diamku
Matahari memelototiku
Bising suaranya mencampakkanku
Jatuh bergelut debu

Yogya kini, sedang menuju pertumbuhan ekonomi yang hanya didasari pada ambisi investor—yang kebanyakan bukan warga asli Yogya—dan antisipasi pasar, bukan kebutuhan riil kota pelajar. Aku memang tak lebih dari pendatang, tapi aku tetap tak rela jika Yogyakarta berubah  dan sedikit demi sedikit luntur keistimewaannya. Lalu seberapa pentingkah kau memilikinya?

Tapi mengapa Emha Ainun Najib tak menetap di Jombang? Bukankah di sana kampung halamannya? Mengapa pula ia lebih memilih membuat rumah singgah di Kadipiro, Yogyakarta? Meski di satu sisi ia sering berkelana ke berbagai wilayah di nusantara? Apakah karena di sini ia bisa hidup dengan mengantuk seperti puisi yang ia buat di atas? Dan bukankah kini semua hampir berbanding terbalik menuju lanjutan puisi yang membuat jatuh bergelut debu? Agh, aku tak perlu tahu alasan apa di balik itu semua.

Satu yang menggajal dalam hatiku, bak sobekan daging yang nylilit di sela-sela dua gigi: Akankah Yogya, kampung halaman sekaligus denyut nadi dinamika mahasiswa di Indonesia, menjadi abu-abu dan, terlihat seperti lahan gersang yang dulunya pernah subur, tak bisa bertahan dari girasnya ambisi investor. Inilah penutup Antara Tiga Kota karya Emha:

Surabaya seperti di tengahnya
Tak tidur seperti kerbau tua
Tak juga membelalakkan mata
Tetapi di sana ada kasihku
Yang hilang kembangnya
Jika aku mendekatinya
Kemanakah harus ku hdapkan muka
Agar seimbang antara tidur dan jaga?

Emha pernah menulis buku berjudul Indonesia adalah Bagian dari Desaku. Desa yang tak lagi memilih siapa dan dimana keberadaannya. Dari situ ia yakin akan tercipta negeri kesabaran, propinsi ketekunan, kabupaten kerja keras, kecamatan mandiri, dan desa barokah kita sendiri. Dan itu semua bisa dilakukannoleh siapapun, tak hanya Emha.

Setiap orang pasti akan mempunyai kecintaan yang berbeda pada kampung halamannya, dan setiap orang bebas memilih mana kampung halaman yang ia sukai dan akan ia tinggali. Tapi, apapun yang terjadi, Indonesia akan tetap jadi bagian dari kampung halamanmu, kampung halamanmu, dan kampung halaman kita bersama. Maaf jika tulisan ini tak sesuai dengan tema, kesempurnaan (katanya) milik Tuhan, bukan manusia.


Agh, entahlah, tak perlu perdebatan si sini. Bagiku kampung halaman tak lebih dari gudang nostalgia dan tumpukkan album tua berisi trilyunan ruang rindu. Kampung halaman bagaikan angin yang menjadi pujaan hujan, yang selalu berkata tidurlah ketika malam mulai resah. Ia mampu bercerita tantang gunung, juga laut. Meski tak lagi berdua saja, kampung halaman tetap akan mengingatkan pada perempuan yang pernah dalam pelukan, meski kini tak lebih dari sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan. (*)
Baca Selengkapnya...

Selasa, 14 Agustus 2012

Malam Ganjil (Dimana Kau Berada?)

Aku duduk pada sebuah bangku menghadap meja belajar yang berantakan. Sembari melihat tumpukan kertas—entah tertumpuk dari tahun berapa—aku tak henti-hentinya berpikir dan berpikir. Aku sadar ini bukan sebuah renungan yang melankolis, lebih-lebih puitis. Hanya kegundahan yang timbul karena kekacauan pola pikir manusia yang semakin hari semakin “cerdas”.
Balon itu pun takkan indah bila hanya satu warna.

Sedari sore tadi, aku banyak mendengarkan ceramah baik melalui televisi atau bahkan mendengar kultum langsung ketika jeda sholat tarawih. Dengan tema sama: Lailatul Qadar, hanya penyampaiannya yang beda.

Dari ceramah-ceramah itulah pikiranku terbang melayang entah kemana. Sekarang (Senin, 13 Agustus 2012) memang malam ganjil –malam ke 25 Ramadhan 1433—bagiku, tapi bagaimana dengan mereka yang berpuasa sehari lebih cepat dariku? Dengan kata lain mereka telah melewati malam 25 Ramadhan kemarin.

Lucu dan menggelitik. Mengingat malam Lailatul Qadar dalam surat Al-Qadar ayat 2 “Lailatul Qadri Khairun min Alfi Syahr”  yang jika di-Indonesiakan berarti malam yang lebih baik dari seribu bulan ini, di negeri kita akan terjadi pembenaran kapan turunnya malam tersebut, tentunya oleh mereka yang berbeda pendapat tentang kapan 1 Ramadhan tiba.

*
Sebuah percakapan antara santri dengan ustad hadir dalam menanggapi hal ini. Ketika menjelang waktu berbuka, ada sebuah diskusi kecil antara keduanya dan disaksikan oleh santri-santri yang lain.

“Jika memang harus malam ganjil perintah Allah diturunkan melalui para Malaikat dan Jibril sampai terbitnya fajar, berarti salah satu dari sekian kelompok tersebut akan sia-sia untuk meraih yang lebih baik dari seribu bulan, ya ustad?” tanya santri penasaran.

Dengan agak gelagapan sang ustad menjawab, “Bukan, bukan begitu kesimpulannya. Jangan terlalu terburu-buru. Karena tak ada sebuah ibadah yang sia-sia jika memang manusia paham hakekat ibadah sebagai apa.”

“Namun setidak-tidaknya mereka kurang beruntung ustad,” sahut santrinya cepat. Lalu sang ustad tersenyum dan menunduk ke kiri, sepertinya ustad ragu: antara akan mengangguk atau menggeleng.

Kemudian ustad menerangkan panjang lebar bahwa perbedaan adalah rahmat, yang harus dijaga dan dihormati. “Ini masalah kepercayaan, tak perlu mencari kambing hitam, toh kita juga tak tahu selama ini apa yang kita kerjakan diterima atau tidak? Yang penting dengan iman kita wajib sadar akan hakekat manusia,” jawab ustad.

Murid tersebut merasa jawaban sang guru tidak menjawab substansi pertanyaannya, terlalu melebar kearah perbedaan secara umum bukan mengupas perbedaan jatuhnya malam Lailatul Qadar. Hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang sebelum si santri mengeluarkan kata-kata lagi. Dan ustad pun segera mengakhiri diskusi tersebut, tentunya dengan hati yang tegang, salah-salah ia yang kewalahan jika waktu berbuka tak segera tiba.

“Ayah, ayah bangun ayah sudah ashar. Santri-santri sudah siap sholat, tinggal menunggu Ayah untuk imam,” ujar istri ustad membangunkan dari tidur siang.
“Astagfirullah, adzan maghrib. Sudah buka Umi, kok masih terang?” sahutnya.
“Belum, baru Ashar.”
“Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Berarti yang aku dengarkan dalam mimpi suara adzan Ashar ini.”
“Ayah mungkin kecapekan, mari wudlu, kasihan kalau santri-santri menunggu terlalu lama,” ajak istri dan sang ustad mengikutinya.

Ternyata pertanyaan-pertanyaan tadi hanyalah mimpi, dari kegalauan pikiran seorang ustad terhadap persoalan perbedaan penentuan Ramadhan, hingga berujung kebingungannya terhadap kapan malam ganjil datang.

*
Hal tersebut barulah sebagian kecil dari upaya pencarian kebenaran kapan datangnya malam ganjil, itu pun bagi mereka yang paham tentang seluk-beluk ilmu agama. Jika seperti aku yang tak begitu pandai dalam hal keagamaan ini, perasaan galau akan lebih menyayat batin tentang kekacauan berpikir. Mau ikut siapa? Dan bisa berbuat apa tentang ketidakpahaman yang dicampur dengan kekacauan seperti ini.

Sebagai manusia biasa, aku hanya bisa berharap, dan tak lebih dari sebuah harapan. Semoga perbedaan ini memang atas dasar keyakinan, bukan karena gengsi golongan atau maksud politis lainnya. Mengingat hal-hal seperti ini sangat mungkin dipolitisasi oleh mereka yang memang punya kesempatan untuk itu, lebih-lebih ada dua ormas yang sering menyuplai paham dalam hal ini.

Seperti apa yang diungkapkan ustad dalam mimpinya di atas tadi, bahwa perbedaan adalah rahmat, dan kita sebagai manusia harus paham tentang hakekat manusia dalam hal keimanan: terciptanya manusia adalah sebuah misteri, begitu juga dengan keberadaan Tuhan. Jadi selama misteri itu tetap menjadi misteri, selama itu pula kita perlu Tuhan. Maka kita pasrahkan hidup kita pada-Nya, melalui iman dan takwa.

Mataku mulai lelah, namun waktu sahur sudah tiba. Kumatikan alat pengetik tulisan ini untuk segera bergegas membangungkan keluarga. {*}
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 12 Mei 2012

Ada Mereka di Balik Berita


Aku duduk membelakangi almari coklat—berisikan pakaian, sedangkan bagian atasnya beralih fungsi menjadi rak buku—sembari melihat berita dari televisi (TV) yang hanya 45 derajat di sebelah kiriku, jaraknya pun tak lebih dari semester. Walaupun kipas angin yang berada di belakang laptop tempatku menulis ini berputar dengan kencang, namun suhu panas tetap terasa di kamar kost dengan ukuran 3 x 4 ini.
Sudah lebih dari sebulan TV-ku tak mampu bersuara, mungkin ada kerusakan ringan pada kabel atau speakernya, dan semoga saja begitu. Tapi setidaknya aku masih bisa melihat gambar dengan jernih. Adanya teks di tiap berita mempermudah aku untuk mengetahui apa maksud pemberitaan tersebut, lainnya berita sulit kupahami.
Melalui TV merk LG ini mulai ku rasakan beritanya tak berubah dibeberapa hari terakhir, tetap itu-itu saja: kecelakaan pesawat Sukhoi super jet saat melakukan demo penerbangan. Praktis, berita politik dan hukum yang biasanya memenuhi tayangan berita dari awal sampai akhir sedikit berkurang intensitasnya.
Stasiun TV yang tak pernah menayangkan berita singkat, atau sering disebut breaking news—biasanya hanya menayangkan dua sampai tiga judul berita saja—kali ini mencoba menginformasikan kondisi terkini kecelakaan melalui cara pemberitaan secara demikian. Seluruh stasiun TV berlomba-lomba memberitahukan informasi sedetail-detailnya, tak jarang mereka melaporkan langsung dari lokasi-lokasi sentral terkait dengan kecelakaan pesawat: sekitar tempat kejadian perkara, rumah sakit Polri, dan bandara Halim Perdanakusuma. Bahkan beberapa media TV sampai mengundang para ahli yang memang berkompeten mengenai masalah pesawat, penerbangan, serta pencarian dan penyelamatan korban untuk berdiskusi dalam salah satu sesi berita. Dan aku yakin kejadian ini bakal jadi judul dalam “adu mulut” para pengacara di stasiun TV  yang identik dengan warna merah, semoga saja tidak.
Melalui pemberitaan ini, dapat kita ketahui bersama jika peran media—terutama media audio-visual—sangat besar. Bahkan keluarga korban juga mengandalkan informasi dari pemberitaan media. Pernah ku lihat dalam breaking news, seorang keluarga yang menanti kepastian nasib saudaranya diwawancarai oleh seorang pewarta, ia mengatakan selalu menanti informasi actual di layar kaca, seakan-akan matanya tak ingin lepas fokus dari TV yang ada di ruang tunggu tempat mereka mencari informasi, sekaligus berharap akan keajaiban dan kuasa Tuhan agar tetap dipertemukan lagi dengan sanak-saudaranya yang menumpang pesawat Sukhoi, tentunya dalam kondisi hidup.
Di sisi lain media cetak juga tak ingin kalah pamor, mereka mencoba menampilkan foto-foto terbaru di halaman pertama sekaligus menempatkan kejadian tersebut sebagai headline. Terkadang disertai gambar-gambar pendukung berita yang menerangkan kronologis kecelakaan, mungkin berita media cetak lebih mendalam dibanding laporan langsung oleh media TV, walau hanya beberapa media, selebihnya sama saja atau justru kurang lengkap sama sekali.
Bagiku semua informasi takkan bisa sampai ke masyarakat jika kerja pewarta tak mendapat akses yang mudah dari berbagai pihak. Mereka kadang masih dianggap sebagai penggangu dalam segala acara, mungkin karena jumlahnya banyak dan peralatan yang dibawa bagaikan “senjata” bagi para pecinta ketidakadilan. Padahal kerja mereka bukan tanpa resiko, salah satunya harus behari-hari berpisah dengan kelurga, demi mengirimkan informasi pada masyarakat—selain karena tuntutan ekonomi. Tapi menurutku, mereka yang benar-benar paham tugas dan fungsi jurnalistik takkan berorientasi pada uang, melainkan tanggungjawab pada masyarakat.
Sampai tulisan ini dibuat, saya masih yakin bila mereka menginformasikan kejadian ini secara besar-besaran bukan karena ingin mengalihkan isu, tapi karena paham akan fungsi dan tugas seorang pewarta. Selalu ada mereka di balik berita. Bersama penyelamat dan relawan, mereka semuanya selalu dalam lindungan Tuhan, karena Tuhan bersama para jurnalis yang pemberani. [*]
Baca Selengkapnya...

Jumat, 04 November 2011

Ngangsu, Ngungsi, dan Siti

Susah, berat dan mahalnya mendapatkan air bersih pasca erupsi Merapi 2010.


Ilustrasi
Siti 43 tahun, penjaga salah satu penginapan di Kaliurang, kaki gunung Merapi. Badannya kurus, berkulit sawo matang, gaya bicaranya lucu, terlebih ketika menggunakan bahasa Indonesia. Terdengar cedal dan medok. Dari pakaianya tercium aroma yang khas, menandakan bahwa Ibu dari dua putri ini sering berada di dapur. Setelah erupsi merapi, wanita paruh baya ini terpaksa merelakan jatah pompa air pengganti yang seharusnya ia miliki, untuk dipasang di tempatnya bekerja.

          Sepulang dari barak pengungsian, permasalahan air menjadi permasalahan pelik bagi eks-pengungsi erupsi Merapi,. Saat itu saluran air yang biasanya disuplai PT. Arga Jasa mati total. Tak ada pilihan lain bagi Siti, kecuali menunggu hujan.

          Ngangsu—mengambil air dari mata air dengan gentong, gallon, jerigen, dll—di Telaga Putri juga sering dilakukan Siti dan tetangganya ketika mengetahui saluran air tak mengalir lagi . Bantuan dari pemerintah hanya berjalan beberapa bulan pasca erupsi. Antrian panjang ketika mobil tangki yang membawa air bersih datang sudah tak terelakan lagi, paling cepat Siti membutuhkan waktu tigapuluh menit. Ini khusus untuk dikonsumsi, lainnya tidak diperkenankan.

          Setelah tangki-tangki bantuan pemerintah habis masa kontraknya, Siti mulai gelisah. “Bantuan dari pemerintah itu cuma kontrak untuk beberapa bulan saja,”  kata Siti. PT. Arga Jasa sempat berjanji perbaiki saluran mati selama tiga bulan. Seiring waktu, janji itu hanya isapan jempol. Kabar yang santer beredar, ada batu besar yang membuat saluran macet. PT. Arga Jasa tak sanggup menanggung biaya untuk memecah batu itu.

          Hujan sudah jarang, namun Siti tak habis akal. Ia berusaha menyediakan air bersih di tempatnya bekerja. Satu-satunya alternatif adalah membelinya dari mobil tangki secara pribadi. Satu kali kirim 5.000 Liter, harganya berkisar antara Rp 50.000-70.000.

          Penduduk sekitar Kaliurang harus rela merogoh kocek lebih dalam untuk  urusan ini, termasuk Siti. Siti adalah pelanggan jasa tangki air tersebut, oleh karena itu dia sedikit mendapat keringanan biaya. “Kalau saya kan langganan, jadi cuma Rp 50.000 per tangki, kalau yang lain bisa 70.000,” Siti tertawa.

          Ngungsi, bukan hanya pas Merapi sedang bergejolak. Beberapa bulan pasca erupsi, Siti juga harus ngungsi ke sungai untuk sekedar mencuci baju. “Pokoknya hanya ngangsu dan ngungsi,” ceritanya.

          Kini untuk mencukupi kebutuhan air di penginapan yang ia kelola, Siti memang sudah tak repot lagi. Pasalnya sudah ada saluran air baru, walaupun tidak mengalir setiap saat seperti dulu. “Sekarang sudah ada saluran baru, tapi beda PT., bukan Arga Jasa lagi. Katanya biar rata, mengalirnya pas jam enam sampai sembilan pagi saja,” jelas Siti. Itupun sebenarnya jatah untuk rumah Siti—hanya warga asli Kaliurang yang mendapat jatah saluran—letaknya tak jauh dari penginapan yang ia kelola. “Saya rela saluran dipasang di sini, mau bagaimana lagi? Saya kerjanya di sini,” ungkapnya.

          Untuk keperluan sehari-hari di rumah, senenarnya Siti juga memerlukan air bersih. Mertuanya yang sakit stroke kini tinggal di rumah bersama suami, mertuanya membutuhkan sarana dan pra-sarana yang sehat. Salah satunya air, baik untuk dikonsumsi atau keperluan lain. Padahal jika ada tamu yang menyewa penginapan, ia harus meniggalkan segala urusan rumah. Mau tak mau semua urusan diserahkan suaminya.

          Siti hanyalah satu di antara seluruh penduduk lereng Merapi yang harus bersusah payah mendapatkan air bersih. Pegunungan identik dengan airnya yang melimpah, namun kini harus belanja untuk urusan yang satu ini. Bantuan pemerintah hanya sebatas kontrak bulanan, selebihnya tak ada lagi. Walau kini sudah mengalir, tapi intensitasnya tak seperti dulu lagi. Jarak antara berhentinya bantuan pemerintah dengan jadinya saluran baru adalah masa-masa dimana Siti harus bersusah-payah untuk mendapat air demi kelangsungan pekerjaannya sebagai pengelola penginapan. Besar harapan Siti agar saluran yang baru kembali mengalir 24 jam non-stop.#

Baca Selengkapnya...

Minggu, 27 Maret 2011

Manusia Penyembah Benda

            Keris, senjata tikam tradisional yang beralih fungsi menjadi sarana budaya di kawasan Nusantara, khususnya bagian tengah dan timur (Jawa). Bagiku keris Jawa berbeda dengan senjata tajam lainnya. Cukup sulit untuk membedakan antara yang satu dengan lainnya, tapi setidak-tidaknya unsur keris Jawa bisa dijadikan alasan tentang berbagai pertanyaaan-pertanyaan di luar sana.

         Bentuknya khas, tiada dua di dunia. Terdiri dari berbagai bagian: bilah, gagang, dan sarung atau pembungkus. Bilah (wilah:Jawa atau daun keris) dibuat berkelok-kelok, berkeloknya bilah dipercaya untuk meminimalkan penderitaaan sang tertikam. Ini menandakan bahwa orang Jawa begitu lembut, sekalipun dalam peperangan.

            Bilah tak dapat berdiri sendiri tanpa adanya penopang, atau gagang keris, dan juga sering disebut hulu keris. Keris yang menawan tak bisa dipisahkan dengan nilai estetika, karena itulah ukiran indah selalu menghiasi gagang keris. Salah satu ciri peradaban seni Jawa, terlepas semua itu terdapat campur tangan budaya asing atau tidak.

Ilustrasi Keris
        Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris  (warangka:Jawa). Sebagai pertanda ketidak-seronokan masyarakat Jawa, sebuah keris-pun harus dibungkus sedemikian rupa. Kesan menyeramkan dan tak elok (saru:Jawa) pada senjata tajam akan luntur, ketika keris berada dalam sarung yang berukir indah dan dilengkapi padanan warna yang tepat. Hanya keindahan yang tersisa.

            Masyarakat jawa memang tak bisa dipisahkan dengan mitos, begitupun juga dalam pembuatan keris. Konon masyarakat Jawa percaya pembuatan keris sebagai senjata tajam membutuhkan berbagai syarat yang pelik, diantaranya prihatin. Prihatin dalam Jawa biasa diartikan perih yang hanya disimpan dan dirasakan di dalam batin. Bentuknya bermacam-macam -puasa, bertapa, atau hanya sekedar membakar dupa-. Ini memang mitos, suatu keseimbangan yang rawan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.

            Setelah bagian-bagian serta berbagai hal yang bersyarat menjadi satu kesatuan dengan nama keris. Dari situlah keris sering dipercaya memiliki kekuatan gaib. Tidak sedikit yang menilai kekuatan gaib berada di luar ranah kelogikaan manusia. Memang benar, tetapi aku-pun juga berhak beranggapan jika kelogikaan manusia itu ada batasnya.

            Banyak kalangan yang selalu menertawakan, mencibir, bahkan menyalahkan mitos Jawa, tapi siapa yang berhak menyebut kepercayaan orang lain itu takhayul? Bagiku sah-sah saja ketika kita beranggapan diri sendiri benar, tapi bukan paling benar, dan yang terpenting tidak menilai orang lain salah.

           Ketika anda beranggapan jika tulisan di atas hanya imajinasi penulis, itu benar. Tapi ketika anda menilai tulisan itu salah, sepertinya anda harus membuat tulisan tandingan sebagai pencerahan, untuk mencari sesuatu yang hilang dalam mimpi yang sempurna. Sekian dan terima kasih.         
Baca Selengkapnya...

Minggu, 13 Februari 2011

Nama Ayahku jadi Nama Panggilanku

            Simon. Mereka sering memanggilku dengan nama itu, tak kenal kampus ataupun jalanan, entah itu kawan kuliah ataupun kawan sekolah dahulu. Sudah sejak duduk di sekolah menegah pertama aku disapa demikian. Awalnya memang tak terima saat pertama kali mereka memanggil aku dengan nama itu. Bagaimana tidak? Itu nama ayahku.

            Upz. Aku masih ingat betul ketika sekolah menengah pertama dulu, jika tak salah waktu itu saat sedang berlangsung kegiatan ekstrakulikuler Pramuka. Kegiatan rutin setiap Jum’at sore. Seseorang dengan perawakan kurus, sepertinya hanya tersisa tulang dibalik kulitnya yang hitam. Tanpa daging, andai-pun ada dagingnya mungkin tidak banyak. Rambut lurus belahan tengah yang dimilikinya selaras dengan bentuk wajahnya yang bulat sedikit oval. Yosef Atmaja namanya, dengan catatan jika nama itu belum diganti. “ Omahmu mbi omahe Simon ngendine (rumahmu dengan rumahnya Simon mananya)?”, teriak Yosef tiba-tiba. Pada saat itu juga ku jawab dengan lirih bahwa kami tinggal serumah, karena beliau ayahku. Tak tahu dari siapa ia mendapatkan nama ayahku, tapi yang jelas setelah mendengar jawabanku kemudian ia mengejek dan memanggilku dengan nama ayahku. Aku memperingatkannya, tapi semakin ditanggapi, perkataannya justru semakin menjadi-jadi. Setelah kejadian itu, hampir semua temanku seangkatan memanggilku dengan nama ayahku.

            Masa-masa itu memang sedang ngetrendnya lelucon panggilan nama ayah. Aku sempat tersinggung, tapi lama-kelamaan aku jadi terbiasa dengan sapaan baru itu. Karena bukan hanya aku, hampir semua teman seangkatan juga mengalami hal yang sama denganku. Semenjak lulus dari tingkat menengah pertama, kulanjutkan sekolahku menuju tingkat menengah atas. Mungkin karena masih berada dalam satu kota yang sama, tak ayal teman seangkatan-pun juga masih banyak yang sama. Mudah untuk ditebak, jadi nama ayah yang telah melekat dalam diriku itu tak dapat ditawar lagi, namun setidaknya aku mulai nyaman dengan panggilan itu. Ya nyaman, karena aku mulai menyadari arti penting dari seorang ayah dalam keluargaku.

            Perjuangan ayah selalu membuat aku takjub, membuatku merasa sangat kecil dihadapannya. Seakan aku tak berarti dan tak punya arti, dibandingkan dengan semangatnya dalam berkarya. Perasan keringatnya hanya untuk membahagiakan ibu, aku, dan adikku. Aku kan selalu berdoa, semoga kita semua diberikan umur panjang. Dan selamanya kita bersama, dalam suka maupun duka. Aku percaya, ucapan adalah doa. Ayah, jangan pernah lelah untuk membimbing kami menuju sesuatu yang mulia.

            Kurang-lebih tujuh tahun sudah petama kali namamu menjadi panggilan bagiku, sampai aku menginjak pada perguruan tinggi namamu tetap melekat dalam diriku. Kini aku bangga dengan nama itu, nama ayahku, lelaki kebanggaanku. Mulai dari sekarang, jangan pernah menciutkan hatimu jika orang lain memanggilmu dengan nama ayahmu. Karena tanpa nafkah seorang ayah, ibu cukup kesulitan merawat kalian semua. Sejauh semua baik, semuanya akan baik-baik saja.
Baca Selengkapnya...

Minggu, 16 Januari 2011

Tak Suka Bukan Berarti Harus Membenci

Sikap antipati terhadap grup musik pendatang baru muncul beberapa tahun terakhir ini, stigmatisasi buruk untuk sebuah karya musik bagaikan virus yang berkembangbiak di masyarakat. Awalnya sikap antipati tersebut berasal dari pikiran segelintir manusia, kemudian orang lain dengan sendirinya terpengaruh dengan pikiran tersebut, dan secara cepat merambat keseluruh lapisan masyarakat khususnya kaum muda.


          Masih ingat dengan Radja? Ya Radja. Menurutku grup band dengan empat personil itu merupakan korban pertama dari stigmatisasi buruk masyarakat. Tidak diketahui dengan jelas motif yang mendasarinya. Apa memang kualitas musik yang kurang? Atau hanya karena penampilan semata? Yang jelas, sikap anti-Radja gencar pada saat itu. Kemudian menyusul sebuah band melayu yang menamakan dirinya Kangen band. Beberapa lagunya memang sempat menjadi nge-hitz di radio, tak ayal menimbulkan sikap simpati dari masyarakat. Namun setelah melihat performanya secara langsung, sikap simpati berubah menjadi antipati yang berlebihan. Tahun 2010 lalu Pewee Gaskins juga tak luput menjadi korban stigmatisasi buruk itu, setelah sebelumnya Wali. Menyusul grup vocal Sm*sh yang dianggap sebagai plagiat secara sepihak oleh beberapa masyarakat, masyarakatpun mengklaim jika Sm*sh kumpulan manusia gay, tapi tanpa verifikasi yang akurat.

          Virus stigmatisasi buruk seperti itu kemudian menjadi sesuatu yang biasa. Karya orang dicela, padahal belum tentu si pencela bisa menciptakan karya yang lebih baik dari yang dicelanya. Boro-boro lebih baik, untuk menyamainya saja nafsanya ngos-ngosan.

          Sudahlah, biarkan mereka berkarya sesuai kemampuan maksimalnya. Kita memang mempunyai hak untuk menilai, tapi tak usah terlalu berlebihan. Ingat kawan! Tak suka bukan berarti harus membenci, tak suka bukan berarti sikap antipati, tak suka bukan berarti harus memusuhi.
Baca Selengkapnya...

Minggu, 09 Januari 2011

Jangan Salahkan Hujan

          Dua jarum pada jam dinding kamarku menunjukkan hari telah beranjak siang, teringat betul olehku karena mataku terbuka pertama untuk kalinya di hari itu. Aku membuka mata untuk hari bersejarah yang takkan terulang kembali, cetusku dalam hati tanpa emosi. Seketika teringat bahwa hari ini tepat dimulainya laga perdana Liga Primer Indonesia (LPI), dan Aku sudah berjanji bersama beberapa teman untuk menyaksikannya secara langsung sore nanti.

          Ketika waktu sudah jenuh untuk menemani siang berawan ini. Aku melaju bersama beberapa temanku menuju Manahan, stadion megah di pinggiran Kota Bengawan. Belum juga perjalanan ini sampai setengah dari tujuan, laju motor kami harus terhenti oleh tetesan air. Tetesan air dari angkasa, manusia selalu menyebutnya hujan.

          Di jalanan menuju Solo tak satupun Aku menemui hingar-bingar euforia pembukaan LPI, mungkin hanya satu-dua motor beratribut Pasoepati, suporter fanatik dari dan untuk Solo denga corak merah. Hujan tetap tak terbantahkan, sekalipun Aku memohon untuk reda sejenak saja. Perjalanan berakhir setelah motor yang kami tumpangi berada di depan Stadion Manahan Solo, tak kepalang tanggung basahnya.

          Dari petugas parkir Ku ketahui tiket telah habis, jikapun ada berarti harus membelinya dari calo dengan berkali lipat nominalnya. Tak seperti di jalanan tadi, di peraduan ini suasana sangat meriah, warna merah sangat kentara sekali, riuhnya seakan tak tertandingi. Tapi sayang, hujan itu membuat kami terlambat dan tiketpun melayang. Terdengar dari pengeras suara, nada seorang wanita dengan lembut dan mempesona yang menyebutkan tuan rumah tertinggal tiga gol dari tamunya. Nama Bachdim juga tak luput disebut, berkat kelihaiannya mampu membius nusantara akhir tahun lalu dan awal tahun ini. Sayang, tak kudapati momen itu, hanya dari pengeras suara. Sekali lagi karena hujan.

          Babak pertama memang telah berakhir, tapi tak sia-sia kuintari bagian luar lapangan megah ini. Pintu tribun selatan, tepatnya belakang gawang telah menganga tanpa gembok lagi. Besi sebagai pembatas itu kuperhatikan telah bengkok, ada dua dugaan dalam hatiku. Pintu itu dijebol secara paksa oleh para mereka yang mana tak bertiket, itu yang pertama. Atau memang sengaja dibuka karena banyaknya mereka yang beratribut serba merah.

          Secara perlahan sampailah Aku di tengah euforia pasukan merah. Hujan memang menang dalam perdebatan sengit denganku hari ini, seakan belum puas membasahi raga. Hanya tersisa babak kedua, tak kudapati upacara pembukaan LPI. Hujan telah mengagalkan rencana manisku setelah bangun siang tadi. Tak Ku hiraukan kekecewaan pasukan merah yang tak terbantahkan, tim yang didukungnya takluk lima gol dengan satu balasan, beruntungnya tanpa anarkis.

          Niatan bermalam di Kota Bengawan sirna, karena hujan. Kau hujan, mengapa tak beri kami sedikit waktu untuk sejenak menghindar dari dingin. Sampai kami pulangpun Kau tetap setia menindas raga kami, tindasan sadis yang tak akan pernah terbantahkan apalagi terbalaskan. Namun hati kecilku berbisik, "jangan salahkan hujan!". Bisikan itu terngiang selalu setiap Aku mengkambing-hitamkan hujan. Lambat-laun Aku tersadarkan betapa bangsaku takkan ada tanpamu, bangsaku akan menangis dan menjerit tanpa kehadiranmu. Aigh, bukan hanya bangsaku. Seantero bumi akan melong-long untuk kehadiranmu, ampuni Aku yang telah menyalahkan keberadaanmu.
Baca Selengkapnya...

Jumat, 24 Desember 2010

Gengsi dan Harga Diri "Sang Garuda"


          Berbeda dengan partai perdana kejuaraan piala AFF Suzuki Cup 2010 awal bulan lalu, dimana Indonesia mampu melumat Malaysia dengan skor 5-1. Tetapi peta kekuatan di lapangan sekarang ini sudah berbeda dari pertemuan kedua kesebelasan sebelumnya, Malaysia setelah kalah memalukan dari Indonesia langsung berbenah diri hingga akhirnya menembus partai final. Sementara Indonesia masih perkasa, tanpa satupun kekalahan yang diderita. Namun “Sang Garuda” enggan untuk terlalu larut dalam kemenangan itu, dan menganggap Malaysia tetap sebagai lawan berat di partai final.
          Partai final leg pertama (26/12) yang akan dilaksanakan di kandang “Harimau Melayu” bukan hanya menyuguhkan pertandingan final semata. Indonesia dan Malaysia selama ini kita kenal negara serumpun tapi tak pernah akur, mulai dari perbatasan hingga kebudayaan dijadikan objek permasalahan bagi kedua negara. Sehingga dengan latar belakang masalah tersebut, final nanti akan panas luar dan dalam. Apapun yang terjadi di Stadion Bukit Jalil takkan mengurangi panasnya leg kedua (29/12) di Stadion Gelora Bung Karno nanti.
          Kepuasaan menjadi harga mati untuk gengsi dan harga diri, mengingat di luar lapangan sentimen dari kedua warga negara yang timnas sepakbolanya akan bertarung hidup dan mati di final nanti. Sementara nanti di sisi dalam, “Sang Garuda” akan beradu taktik dan strategi dengan “Harimau Melayu” dalam lapangan, untuk membuat sejarah baru di kancah persepakbolaan Asia Tenggara. Akankah "Sang Garuda" mampu mewujudkan ambisi dengan prestasi, atau justru hanya sebagai pecundang sejati. Nuwun.

Baca Selengkapnya...

Minggu, 26 September 2010

Oh Alam, Benarkah Engkau Korban Keangkuhan?

Sabtu, 25 September 2010. Pagi itu mendung mengglayuti langit kota Yogyakarta, tak aneh memang? Karena sudah beberapa hari ini Kota Gudeg selalu diselimuti mendung dari pagi sampai siang hingga turun hujan dikala senja menjelang petang. Tetapi ada yang berbeda dihari ini, sekitar pukul 14.00 WIB ada suara gemuruh yang mengacaukan konsentrasiku dalam mengerjakan tugas siang itu. Aku terpenjerat, lalu seketika itu pula Aku berlari menuju teras untuk melihat apa yang sedang terjadi. Segala perasaan tak bahagia muncul di teras itu tatkala Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, segerombolan angin kencang berhembus dari arah timur begitu dahsyat, seakan-akan ingin membantai semua yang menghadang lajunya, kurang lebih selama satu jam mereka menari indah di atas tangisan manusia. Pepohonan, tiang listrik, bahkan baliho besar tak luput dari amukan Sang Anemoi (para dewa angin dalam mitologi Yunani).

Mungkinkah ini semua karena ulah saudara kita sendiri? Bencana di sana-sini silih berganti, tak pandang bulu menerjang entah kaya atau miskin. Mereka menebang paru-paru dunia untuk kepentingan serta ego pribadi, selalu mengorbankan alam untuk kepuasannya sendiri. Jangan salahkan alam jika sulit untuk kembali bersahabat dengan kita lagi, mereka sangat marah tapi sebenarnya mencoba mengingatkan kita untuk lebih merawat, melestarikan, dan menyayangi alam.

Ibarat realitanya dapat digambarkan jika buah durian hanya akan berbuah di bulan-bulan tertentu, tetapi perilaku kita yang murka menginginkan buah durian setiap bulan? Sama halnya ketika di sisi lain kita selalu bertanya-tanya mengapa hujan turun di musim kemarau? Bukan sebuah kesalahan jika alam juga menginginkan hujan setiap hari karena keangkuhan manusia yang mengangap uang adalah segala-galanya. Mari kita renungkan, setelah itu semaksimal mungkin kita melestarikannya karena harus kita sadari, kita sulit hidup tanpa berdampingan dengan alam. Nuwun Sedulur.
          
Baca Selengkapnya...