Tampilkan postingan dengan label realita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label realita. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Oktober 2013

Gelisah Karena Dakwah

Ramadhan, masa sebelum lebaran, bulan ketika penceramah muncul bak suara katak sehabis hujan. Meski temanya selalu diulang, namun tak pernah ku lihat ada protes yang datang.

SEBENARNYA TULISAN tentang peringatan hari kemerdekaan lebih menarik hati, mengapa tidak? Sekarang ini dan bahkan selama masa kemerdekaaan, negara selalu memperingati kemerdekaan dengan budaya militeristik nan formal, seolah-olah 17 Agustus hanya tentang mengibarkan dan menurunkan Sang Merah Putih semata, bukan tentang pemaknaan spiritualitas kemerdekaan. Agh, tapi tema kali ini tak ada hubungannya dengan itu, mungkin aku tulis sendiri di lain hari.

Sepekan sebelum hari kemerdekaan, umat muslim di pelosok negeri terlebih dahulu disibukkan dengan perayaan hari kemenangan pasca Ramadhan. Selama sebulan itu pula, ritual-ritual wajib maupun sunnah mereka jalankan, entah dengan ikhlas atau pakasaan bukan urusan, bukan hak kita untuk ikut campur, biarkan hanya person dan Tuhan yang tahu.

Selalu ada cerita saat Ramadhan, bisa menyenangkan, tak jarang juga mengusik hati, tinggal bagaimana perasaan dan keadaaan dalam menjalani.

Aku menikmati separuh awal Ramadhan di kota pelajar, lalu menghabiskannya di kampung halaman, meski sebenarnya niatan untuk pulang tak benar-benar bulat, entah karena apa, rasa-rasanya berlebaran di kota asal tak semenarik dua atau tiga tahun yang lalu.

Di rumah, aku baru sadar ternyata televisi begitu heboh dengan segala tayangan berbau Ramadhan. Mengingat selama di perantauan aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama kawan-kawan seperjuangan. Televisi menyajikan siaran beraneka-ragam, mulai dari iklan-iklan makanan dan minuman yang menggoda kala siang, laporan langsung arus-mudik menjelang lebaran, serta ceramah-ceramah dari ustad dadakan dengan intensitas yang meningkat signifikan. Aku mengurutkan dari yang aku senangi hingga yang tidak.

Aku beranggapan bahwa iklan makanan dan minuman yang tiap detik menggoda kita dan warung yang tetap buka di siang hari, justru merupakan sebenar-benarnya ujian bagi umat Islam yang sedang berpuasa.

Aku juga sempat terusik dengan kata-kata yang berbaris rapi di jalanan: “hormatilah orang yang berpuasa”, lucu sekali bukan? Terlepas diterima atau tidaknya puasa mereka, bukankah orang yang sedang berpuasa itu di mata Tuhan sudah terhormat tanpa harus dihormati dan tanpa harus meminta penghormatan dari orang yang tidak berpuasa? Justru di sinilah esensi tentang menahan diri harus lebih dikembangkan oleh umat Islam secara keseluruhan, bukan setengah-setengah.

Kemudian mengapa aku suka laporan arus-mudik? Karena laporan langsung atau bahasa bekennya live report bagiku seksi sekali, sedari kecil aku memang suka dengan yang satu ini. Jika kau tanyakan mengapa? Maaf, aku tak punya jawaban pasti tentang hal ini, dan aku rasa sangat tidak penting untuk dibahas di sini.

Bagiku lebih menarik kita bincangkan tentang meningkatnya volume ceramah di layar kaca saat bulan puasa, bukan begitu, bukan?

Pernah dalam suatu sahur, sebuah stasiun televisi swasta menayangkan kompetisi da’i. Bukannya senang, aku justru sedikit mengernyitkan dahi. Pesan yang disampaikan begitu datar, tak terlalu sampai ke hati, yang dipentingkan hanya penampilan dan pembawaan diri, bagiku isinya jauh panggang dari api, materinya kaku sekali, seakan-akan hanya ada agama Islam di muka bumi ini. Mungkin iya seperti itu yang terjadi, atau bisa saja aku yang terlalu kemaki.

Sebenarnya aku tak terlalu mempermasalahkan isi dan apa yang dibawakan oleh para da’i, hanya saja ada sebuah pertanyaan kecil yang mengganjal hati: pantaskah dakwah dijadikan kompetisi? Bila iya, wajar saja kini muncul banyak penceramah yang komersial nan eksis bak artis di televisi, begitu miris menyayat hati.

Ramadhan kemarin, tiap kali mendengarkan ceramah keagamaan—entah di masjid, televisi, atau forum keagamaan—aku lebih banyak mendengar tentang azab, kutukan, serta hal-hal menakutkan yang akan datang dari Tuhan suatu ketika nanti jika aku tak menjalankan perintah-Nya. Tuhan digambarkan begitu angkuh dan gila hormat, seperti kebanyakan raja nusantara pada jamannya. Padahal, bukankah Tuhannya orang Islam itu Rahman-Rahim, pengasih dan penyayang? Lalu kenapa yang ditonjolkan selalu sisi kemurkaannya? Apakah umat Islam sebegitu terpaksanya memeluk Islam, sehingga harus diintimidasi dengan bahasa yang sedemikian rupa agar mau menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya?

Aku jadi ingat, perbedaan perkataan Rama Cluring dan Liem Mo Han pada Wiranggaleng dalam Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Pengetahuan dari Rama Cluring masuk dengan begitu binal menjompak-jompak, sehingga kebanyakan penduduk Awis Krambil geram dengannya, sementara pengetahuan yang datang dari Liem Mo Han begitu tenang dan seakan-akan tak terjadi apa-apa, maka masuklah pengetahuan itu dalam hati Wiranggaleng.

Mungkin bukan sebuah perbandingan yang mudah dipahami, namun intinya aku lebih tertarik dengan dakwah yang lebih mengedepankan tentang bagaimana umat Islam beribadah dengan ikhlas karena penuh cinta, dan kasih sayang kepada Tuhan, bukan karena takut pada Tuhan.

Aku bukannya ingin menyangkal tentang azab dan kemurkaan Tuhan, aku hanya ingin para penceramah memposisikan cinta dan kasih sayang kepada Tuhan pada garda terdepan, sehingga umat Islam menjalankan ibadah tanpa rasa takut, melainkan rasa cinta dan kasih sayang pada Tuhannya.

Tuhanku Maha Pengasih dan Penyayang. Maka, Tuhanku adalah destinasi yang tepat sebagai sandaran hati, sampai nanti sampai mati. Tuhanku merupakan tujuan yang tidak salah untuk menuruti permintaan hati, sampai nanti sampai mati. (*)
Baca Selengkapnya...

Kamis, 30 Mei 2013

Telat

Bisa jadi tabiat, bisa juga siasat

Sorry, Bro. Aku telat,” kata yang sering terucap ketika terlambat. Dalam segi apapun, keterlambatan mulai jadi hal yang lumrah. Semua bisa jadi korban, tapi tak menutup kemungkinan, semua juga bisa jadi pelaku keterlambatan. Awas, kawan! Virus terlambat bisa menyerang otak kita tepat pada waktunya, atau justru lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Yang jelas, virus itu takkan datang telat meskipun namanya virus terlambat.

Bukannya ingin menyalahkan, tapi semua keterlambatan berpangkal dari waktu. Waktu memang hebat, bisa jadi patokan setiap umat. Secara tidak sadar, kita tunduk padanya. Sesuatu yang tak bisa terulangi lagi, namun kenapa musti ada kata telat jika memang waktu hanya datang sekali? Jangan jawab tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena dangdut sedang tidak diputar.

Bayangkan jika tak ada waktu—lebih-lebih waktu yang telah dipastikan—keterlambatan pasti takkan datang. Namun, pantaskah kita salahkan waktu? Yang kehadirannya justru lebih memberikan kepastian. Coba renungkan, bagaimana kita bisa merayakan tahun baru jika tiada waktu? Lalu bisakah kita menentukan kapan puasa dan kapan lebaran jika waktu tak hadir membantu.

Bandung Bondowoso pernah kalah oleh waktu, ia diberi waktu semalam untuk membuat seribu candi, sebagai syarat mempersunting Roro Jonggrang. Namun melihat kecurangan Bandung Bondowoso—meminta bantuan mahkluk halus—Roro Jonggrang pun tak habis akal, ia bersama para koleganya membuat siasat seolah-olah pagi sudah datang menjelang. Bandung Bondowoso telat, ia pun gagal dalam misinya membuat seribu candi. Ternyata, waktu bisa dikelabuhi. Namun sejauhmana kita bisa mengelabuhi waktu? Dengan siasat seperti Roro Jonggrang? Jangan salah, ia berbuat demikian karena Bandung Bondowoso curang, selalu ada api ketika ada asap, tak mungkin tidak.

Meskipun bisa dikelabuhi, tapi apakah kita bisa merubah waktu? Ia akan tetap bergulir, tanpa perlu kita percepat atau perlambat. Lalu siapa yang harus disalahkan ketika kita terlambat karena waktu? Masihkah sang waktu jadi pesakitan? Sungguh, ia teramat kasihan.

Telat beserta alasannya bagaikan lokomotif dengan dua belas gerbong—rangkaian maksimal kereta api. Bukan rahasia lagi jika tak seluruh gerbong diisi oleh penumpang bertiket, sebut saja penumpang gelap. Juga dengan telat, tak seluruhnya diikuti alasan yang logis dan bertanggung jawab, ada juga alasan yang dibuat-buat bak penumpang gelap tanpa tiket.

Telat adalah lokomotif, alasan logis dan bertanggungjawab adalah penumpang bertiket, sementara alasan dibuat-buat karena kemalesan adalah penumpang gelap yang harus diturunkan di stasiun berikutnya. Ketidakhadiran adalah mereka yang datang setelah kereta diberangkatkan, benar-benar ditinggal. Jangan sampai kita diturunkan di stasiun yang bukan menjadi tujuan.

Sampai kapan kita akan selalu terlambat? Jangan lagi kau tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena selain dangdut tak sedang diputar, ia juga sedang menikmati air hujan ketika kemarau sudah datang, sebuah kelangkaan, jangan ganggu sang rumput karena keterlambatan. Apalagi mencarikambing hitam, karena mereka telah membeli pemutih, baik krim m’alam atau krim siang.

Telat itu bukan siapa-siapa, bukan kamu, kalian, atau mereka. Telat itu aku, yang selalu telat untuk mengerti keterlambatan itu sendiri. Benar-benar telat, atau cuma dibuat-buat; kita pelaku kita yang tahu.

Jangan biarkan tubuhmu membiru tragis karena telat, hingga menjadikan kau dan aku menuju ruang hampa. Keterlambatan ini, suatu saat nanati akan membentuk sebuah mosi tidak percaya di kamar gelap. Satu pesanku, jangan bakar buku agar tak banyak asap di sana. Sampai kapan telat akan membuat hidup bagai sebuah ballerina, telat juga akan membuatmu abnormal. (Bobby A. Andrean)
Baca Selengkapnya...

Kamis, 31 Mei 2012

Jakarta di Kepung Buruh (May Day)

Cuaca terik Ibukota tak menyurutkan para buruh untuk memperingati may day—hari buruh sedunia—awal bulan lalu. Sejak pagi, kawasan bundaran Hotel Indonesia (HI)—tempat favorit bagi demonstran untuk melakukan aksi demonstrasi—sudah dipadati oleh ribuan buruh. Jalur Busway tujuan kota dan Blok M ditutup total karena macet, pengguna jalan yang terjebak macet terpaksa harus melapangkan dadanya beberapa jam kedepan. Jalan MH Thamrin sisi selatan bundaran HI pun penuh dengan antrian kendaraan yang mengangkut buruh. Orasi politik, pernyataan sikap, teriakan dan yel-yel diteriakkan buruh secara bergantian, hari itu Jakarta dikepung buruh.

Tepat sebulan lalu, mereka melontarkan berbagai tuntutan melalui aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai penjuru dunia. Salah satunya di Jakarta, kota dengan kepadatan penduduk terbesar di Indonesia ini dikepung oleh buruh dari berbagai organisasi buruh yang menaunginya.

Dalam aksinya kemarin, para buruh meminta pemerintah menghapus sistem kerja kontrak atau yang beken disebut outsourcing, menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional, serta menaikan upah minimum kerja di seluruh wilayah kerja buruh Indonesia dalam negeri.

Peringatan May day 2012 di Jakarta berlangsung damai, walaupun sempat terjadi ketegangan antara buruh dengan aparat keamanan karena kesalahpahaman. Berikut ini beberapa momen yang dapat diabadikan oleh Bobby A. Andrean ketika mendapat tugas reportase di Jakarta.

Buruh Berbendera Merah

Rejeki Tambahan

Konvoi Buruh

Citizen Journalism

Di Antara Demonstran

Aksi di Metro Mini

Dampak May Day
Baca Selengkapnya...

Senin, 24 Oktober 2011

Anak Kuliahan atau Mahasiswa

          Teriknya sinar matahari menghadirkan  pengetahuan dalam sesi formal di siang hari, pengetahuan yang terbatas akan sekat-sekat ruangan dan atap kelas. Realitanya, hanya sebagai rutinitas. Masuk kelas, lalu duduk sembari menanti namanya dipanggil dalam presensi. Sebagian besar berorientasi pada sebuah penilaian formal—izinkan aku untuk menyebut mereka anak kuliahan.

          Sementara di sisi lain, ada yang ingin terbebas dari semua itu. Tak peduli waktu terus berputar dari pagi sampai ke pagi lagi. Hari-harinya dihabiskan di luar kelas, tak ayal ilmu serta pengetahuan yang diperoleh jauh lebih nyata dibanding teori-teori. Tidak berlebihan jika aku menyebutnya mahasiswa—inilah aktivis.

          Perbedaan diantara keduanya sangatlah jelas. Dimana yang pertama hanya memikirkan pendidikan untuk dirinya sendiri, sementara yang kedua secara tidak langsung masih menyisakan harapan bagi kelangsungan hidup orang lain, berkat sebuah rasa kepedulian yang mereka miliki.

          Kata “maha” setelah “siswa” berarti menandakan sesuatu yang lebih. Ketika seorang mahasiswa masih menjalani rutinitas pendidikan layaknya anak sekolah dasar dan menengah, apakah sudah “pantas” mereka disebut mahasiswa? Sebuah pertanyaan yang menyimpan tanda tanya besar.

          Sesuai dengan dua paragraph awal, dapat diasumsikan bahwa mahasiswa adalah bagian dari anak kuliahan, tapi anak kuliahan belum tentu menjadi mahasiswa. Karena pada dasarnya mahasiswa tidak hanya membaca buku untuk diri sendiri, namun mereka juga harus mampu membaca hati dan tangis manusia yang terpinggirkan.

          Paradigma pendidikan di negeri kita memang sudah sedemikian mawut-nya, semua dilihat dari segi keformalan. Parahnya lagi biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyak mahasiswa menjadi pragmatis, yang dikejar hanya indeks prestasi dan cepat lulus, terkadang tak peduli dengan kemampuan yang dimilikinya. Terkait biaya memang tak bisa dipungkiri, sistem telah membuat mahasiswa mempunyai pola pikir seperti itu.

Agen perubahan dan Kontrol Sosial

          Ada sebuah jargon yang selalu hadir saat kampus menyambut mahasiswa baru. Mahasiswa itu harus jadi agen of change and control social. Dua peranan penting tersebut wajib ada dalam sanubari mahasiswa baru, lebih-lebih yang ingin jadi aktivis. Perubahan untuk siapa? Setidak-tidaknya perubahan untuk dirinya sendiri dalam mengambil sudut pandang berpikir—sebagai mahasiswa, bukan anak kuliahan—syukur-syukur perubahan itu bagian dari pencerahan untuk orang lain.

          Mahasiswa harus tahu jika hidup bukanlah sebuah dikotomi, hitam-putih ataupun benar-salah saja. Hidup merupakan perjalanan dinamika, rasa kepedulian yang diawali dari dunia kampus niscaya akan membawa kita menjadi manusia yang dapat memanusiakan manusia.

          Kampus didirikan tidak bertujuan untuk menciptakan robot-robot kapitalis, tapi untuk mereka yang kritis terhadap potensi diri dan gejolak sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Tak usah ragu untuk menjadi seorang aktivis. Aktivis memang rentan kena DO, namun itu hanya berlaku bagi aktivis yang malas dan disorientasi. DO merupakan resiko yang harus ditanggung bukan hanya oleh mahasiswa aktivis, tapi semua mahasiswa bisa mengalaminya.

          Aku lebih memilih mendapat predikat indeks prestasi (IP) rendah dengan skill tinggi daripada sebaliknya. Karena dengan kemampuan, kita dapat membuat berkarya yang nantinya tidak menutup kemungkinan akan mempekerjakan mahasiswa dengan predikat lulus cumlaude.

          Namun, menjadi aktivis juga perlu perhitungan. Tidak sedikit aktivis yang dis-orientasi tehadap apa yang ia lakukan di organisasinya. Sikap selektif untuk memilih organisasi mutlak diperlukan, agar hal-hal yang sekiranya tidak mencerminkan tingkah-laku mahasiswa dapat dihindari. (Boy). [#]
Baca Selengkapnya...

Minggu, 25 September 2011

Malam, Menyajikan Pengalaman dan Kewaspadaan

          Ketika jam di telepon genggamku sudah menunjukkan sekitar pukul 03.00 dinihari, ku putuskan untuk enyah dari ruangan 5 X 10 yang penuh dengan asap rokok para penghuninya. Bersama dua orang teman yang semuanya mengendarai vespa kami melaju menuju sebuah tempat makan 24 jam nonstop, tak lain dan tak bukan adalah warung burjo. Warung spesial bagi para mahasiswa. Mudah ditemui di kota pelajar seperti Yogyakarta, karena hampir-hampir di setiap tikungan ada.


         Setelah bingung menentukan warung burjo mana yang akan kami sambangi, akhirnya kami putuskan untuk melaju ke salah satu burjo di sekitar UGM. Aku sempat bertanya pada temanku Rama karena kendaraan mereka melaju ke arah jalan kampung. "Bang, tutup ya tempatnya?" teriakku dari atas jok sepeda motorku. "Loe bingung ya pasti, keliatan muka lu tuh", jawab Rama dengan logat yang tidak medok (jawa) sepertiku. Namun tak selang lama akhirnya kami parkirkan dua vespa milik Rama dan Noval serta satu shogun pinjaman dari temanku di samping burjo bernama Sangkuriang—setiap burjo memiliki nama tersendiri.

          Aku merasa sedikit aneh, dini hari seperti ini di warung burjo ada seorang tukang parkir. Di burjo ada tukang parkir saja bagiku tak biasa, lebih-lebih diwaktu dini hari seperti ini. Aigh, kenapa harus aku permasalahkan? Toh demi kebaikan dan keselamatan motor-motor kami juga. Mungkin karena negara yang selama ini tak mampu memberi lapangan pekerjaan membuatnya jadi tukang parkir sepagi ini.

           Dini hari seperti ini tetap saja ada pembeli yang datang dan pergi, luar biasa. Kurang-lebih sejam kami sudah berada di Sangkuriang, mie dok-dok dan es kopi yang dipesan pun juga tiada sisa lagi. Akhirnya kami putuskan untuk cabut dari warung itu, sebelum pergi tak lupa kami bayar apa saja yang kami makan tadi.

          Kurogoh kantongku untuk membayar jasa bapak tukang parkir setengah baya itu. Di sini aku melihat service yang diberikan bapak parkir itu luar biasa. Ketika datang tadi  ia mempersilahkan kami sembari mengarahkan posisi motor kami, kini saat kami akan pulang ia meminta kunci untuk mengeluarkan motor kami. Sempat aku berikan kunci yang salah, hingga ia kesulitan memasukanya. Maklum, ini motor pinjaman. Wajar jika aku salah memberikan kunci. Kami mulai terpisah, dua temanku dengan vespanya melaju ke arah barat untuk selanjutnya menuju Jl. Kaliurang, kos mereka. Sementara aku sendirian menuju ke timur Jl. Gejayan.

       Bermotor sendirian sepagi ini memaksa aku menikmati angin pagi dengan penuh kekhawatiran. Sesampainya di selokan mataram, tepat dipertigaan yang menghubungkan Jl. Gejayan dengan kampus Teknik UNY aku dihentikan oleh seseorang. Kulitnya hitam, kepala plontos, berkaos dan bercelana pendek.
"Boleh numpang, Mas"
"Aku mau kesana", sembari tanganku menunjuk arah utara.
"Iya, boleh mas boleh?"
Jujur saja, entah mengapa sedari perjalanan tadi pikiranku selalu teringat-ingat dengan pemerasan dan penusukan yang terjadi di Jogja akhir-akhir ini. Intuisiku mengatakan aku harus menarik gas secepatnya dan mengabaikan perkataannya, dan aku melakukannya.

        Sebenarnya tujuanku ke arah selatan, menuju Jl. Solo. Namun karena di pertigaan itu tak terdapat pemotongan batas jalan—batas jalannya beton dengan banyak pohon disela-selanya. Jadi mau tak mau aku harus ambil kiri untuk berputar arah menuju selatan. Mungkin karena perasaanku sudah tak karuan, tanganku menunjuk arah yang salah saat menjawab permintaan lelaki itu.
        
        Kegugupanku semakin menjadi-jadi, satu potongan batas jalan sudah ku lalui namun aku tak juga berbalik arah. Aku benar-benar takut, dan tak bisa berpikir bersih lagi. Akhirnya di potongan batas jalan selanjutnya aku berputar lalu menarik gas sekencang-kencangnya. Kala melintas tempat tadi, ku toleh pria itu masih berdiri di situ, untungnya tak sedikitpun menoleh padaku.


       Tak beberapa lama sampailah di kost Aldi untuk menjemput Linggar—pemilik motor yang ku kendarai, hari itu aku tak berniat pulang ke kos sendiri. Tak mungkin mengajaknya pulang sepagi ini.


      Inilah malam, menyajikan pengalaman serta kewaspadaan. Pengalaman mendapat ilmu dari aktivitas non-formal yang terpujiaktivitas ini lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan ilmu yang kita dapatkan di meja perkuliahan saja. Sedangkan kewaspadaan menuntut kita untuk selalu berhati-hati baik lisan maupun tingkah laku.

          Aku dan Linggar tak sengaja tidur di kost Aldi, ceritanya malam tadi kami menjual salah satu onderdil motor di Klithikan—pasar maling. Ketika perjalanan pulang ada pesan singkat di telepon genggam yang membuatku harus ke salah satu kampus swasta di perbatasan Yogya-Sleman, untuk sebuah persoalan advokasi yang penting. Akhirnya Linggar setuju untuk main di kos Aldi sementara aku meminjam motornya, kebetulan kos Aldi dekat dengan kampus itu. Prediksiku hanya sejam saja urusan itu selesai, ternyata salah. Untuk kesalahanku ini aku minta maaf teman, benar-benar tak ada kesengajaan dalam hatiku. Sekali lagi maafkan aku, teman.

          Selain pada temanku. Aku juga minta maaf sebesar-besarnya pada pria hitam yang ingin nebeng di pertigaan tadi, dengan catatan jika niatnya memang benar-benar untuk mendapat tumpangan. Bila niatnya buruk, semoga diberi kesadaran dan ampunan dari Tuhan berdasarkan kepercayaannya.

          Di dalam kamar, kulihat Linggar dan Aldi sudah terlelap. Aku juga menyusulnya dengan berbaring ditempat yang aku anggap nyaman meletakkan tubuh, perlahan-lahan rasa kantuk menyerang kemudian terlelap dengan meninggalkan semua kisah di malam itu.
Baca Selengkapnya...

Jumat, 26 Agustus 2011

Ramadhan, Bulan Penuh Paksaan

              Malam ini angin berhembus begitu pelan, hampir-hampir tak sanggup bikin daun pisang bergoyang. Namun suasana seperti ini justru sangat bersahabat dengan manusia-manusia kegelapan, manusia yang mencari penghidupan seiring datangnya malam.


          Hiruk-pikuk kota kecamatan—yang sering menjadi transit para pemudik pengguna jasa bus dari luar kota—benar-benar sudah terasa. Mulai dari tukang ojek, penjemput keluarga, hingga tukang parkir dadakan disibukkan dengan rutinitas menjelang lebaran ini. Maklum, tepat di malam ini Ramadhan sudah menginjak malam ke-26. Artinya, tinggal menghitung hari lebaran akan tiba.

          Seluruh aktivitas seketika itu padam oleh sebuah suara manusia. Melalui pengeras suara, seorang muadzin tengah mengumandangkan adzan sholat isya’. Ia tak sendiri, dari Masjid lain juga terdengar adzan mulai dikumandangkan. Mereka saling bersahutan, seakan-akan beradu dalam sebuah lomba. Ketika mendengarnya muslimin dan muslimah berbondong-bondong menembus pendar lampu jalanan kampung untuk menuju Masjid Al-Ikhlas. Tak peduli tua-muda, kecil-besar, rakyat-pejabat, begitu juga denganku.

          Sarung coklat, kemeja, dan kopiah yang serba hitam menjadi pakaian setia guna mengikuti sholat tarawih di Masjid Al-Ihklas. Aku memang sering bertarawih di Masjid itu. Selain karena jaraknya yang dekat dengan rumah, kultur sholat di masjid ini cocok dengan kepercayaan hati nuraniku.

         Di dalam masjid, aku menemui manusia yang beragam. Tanpa melupakan sebuah keunikan. Keunikan itu tak lain tak bukan adalah, sedari awal Ramadhan kulihat kebanyakan anak-anak seusia SD datang membawa buku berwarna hijau lengkap dengan bolpoinnya, sama persis denganku sewaktu masih mengenyam SD dulu. Kalau tak salah itu buku kegiatan bulan ramadhan, wajib diisi oleh siswa-siswi muslim sebagai tugas di bulan suci seperti ini. Tiba-tiba intuisiku merasakan sebuah keganjilan dan kesalahkaprahannya. Dari beberapa minggu yang lalu aku sholat di sini, kebanyakan anak-anak seusia SD itu hanya tidur dan bercanda dengan kawan ketika orang di sekelilingnya sedang melaksanakan sholat. Terutama ketika sholat tarawih dan witir.
          
          Aku sempat berpikir, terlepas dulu apakah aku pernah seperti itu atau tidak? Aku mulai menyimpulkan bahwa anak-anak tersebut hanya mengejar tanda tangan dari imam atau penceramah (kultum). Ya, hanya mengejar materi tepatnya. Bagiku ini bukan salah mereka, sistem telah membuat calon pemuda penerus bangsa berpola-pikir sedemikian rupa. 

          Tapi bukannya terpelajar harus adil sejak dari pikiran, apalagi perbuatan? Simpulan yang aku buat di atas tak mencerminkan keterpelajaranku. Untuk sekedar ingin tahu, ku coba sedikit bincang-bincang dengan Rais, salah seorang siswa SD pegiat tanda tangan di buku hijaunya yang sedari tadi selalu tanya padaku “Judul kultumnya apa, Mas?”.

“Ameh sholat po golek tanda tangan (Mau sholat apa cari tanda tangan)?”
“Hehehehehe”
“Lek golek tanda tangan, sesok moro nang omahku wae! Tak tanda tangani kabeh ngko (Kalau cari tanda tangan, besok datang ke rumahku saja! Nanti aku tanda tangani semua)”.
“Berarti ngko jenenge Mas Bobby kabeh (Berarti nanti namanya Mas Bobby semua)?”
“Iyo. Wes ayo gek sholat tarweh sek, bukune diurusi engko (Iya. Sudah sekarang sholat tarawih dulu, bukunya diusrus nanti)!”
“Heheheheehehe”

          Fiufth, tujuannya memang brilian. Kegiatan ramadhan siswa jadi terkontrol, tapi apa daya ketika mereka datang ke masjid untuk sebuah keterpaksaan? Keterpaksaan yang melahirkan kebohongan. Sistem ini perlu dirubah, bagiku bagaimana lembaga pendidikan formal membuat siswa-siswinya mencintai agama secara batin. Bukan hanya sebatas lahiriah yang kebanyakan justru mengekang pikiran siswa, akhirnya mereka tak dapat menikmati indahnya ibadah. Tanpa buku hijau pun jika mereka sudah ditanamkan kecintaan—bukan keekstreman—agama, tanpa suruhan, iman mereka akan terbentuk dengan sendirinya. Karena urusan agama dan Tuhan itu urusan iman, bukan akal.

Baca Selengkapnya...

Minggu, 31 Juli 2011

Edan Tak Berarti Kedanan

            "Volline menang po kalah, mas?" tanya pria setengah tua itu padaku. Saat ia mendekat, aku kenal betul aroma minuman yang ia tenggak sebelumnya—sekalipun aku belum pernah meminumnya. Terlebih saat melihat jalannya yang sempoyongan, kata "mabuk" sudah mewakili kondisinya. Mungkin karena aku pakai jaket sport merk terkemuka, ia bertanya seperti itu. #Bersambung.

            Tulisan singkat di atas ku ambil dari status jejaring sosial Facebook beberapa hari yang lalu, semua pasti sudah dapat menebak dengan manusia yang bagaimana aku bercengkrama. Sayang, aku tak tahu nama pria bermandikan aroma ciu—minuman keras tradisional di Solo dan sekitarnya—itu.

            Ceritanya begini. Pada suatu sore di malam minggu yang diterangi temaram cahaya bulan purnama. Persis setelah makan malam bersama keluarga, aku menelepon seorang teman akrab—walaupun dalam hal apapun kita selalu berbeda pendapat—Senthit sapaannya. Tanpa kata halo ataupun salam ku awali percakapan singkat dengannya.
“Posisi Sob?”
“Ngomahi, ngopo (di rumah, ada apa)?”
“Yowes, aku tak rono (ya sudah, aku ke situ).”
“Yow (ya).”
Setelah percakapan itu aku segera meluncur dengan rakitan mesin Jepang a.k.a motor, berwarna silver. Dinginya angin pancaroba mulai ku rasakan. Aku memang sudah berjaket, tapi bukan jaket jeans kumel yang biasa ku kenakan. Terpaksa aku harus memakai jaket sport hadiah lomba tujuh belasan beberapa tahun yang lalu, pasalnya si kummel hilang entah kemana. Puh, rasa-rasanya hampir sama dengan tak berjaket.

            Dengan kecepatan sedang, akhirnya sampai juga di rumah teman yang ku telepon tadi. Ia duduk di bangku teras, celananya tak asing bagiku. Celana itu mengingatkan aku dengan lomba gerak jalan se-Jawa Tengah dalam rangka memperingati sumpah pemuda tahun 2008. Gerak yang hampir saja membunuh sebagian diantara rombongan kami itu berjarak 28 kilometer dari start sampai finish. Bayangkan, kabupaten lain mengirim perwakilan atlet atletik yang mempunyai kekuatan mumpuni di lomba itu. Sementara Kabupaten Sragen mengirim siswa SMA—dulu kala kami masih SMA—macam kami ini. Tak ayal, setelah lomba banyak luka yang kami derita. (Mungkin cerita tentang lomba gerak jalan ini akan aku lanjutkan dengan judul yang berbeda).

            Selesai bercengkerama, kami bersepakat untuk keluar malam ini. Tapi sebelumnya aku minta izin ke kamar mandi di rumahnya untuk sekedar buang air kecil, dan ia mempersilahkan. Masih dengan rakitan mesin Jepang kami berpuutar-putar arah tanpa tujuan, dari jalanan kota yang ramai hingga jalan persawahan yang sepi—tempat para remaja menghabiskan malam minggunya—kami sambangi semua. Hingga akhirnya sebuah jalan menuju rel kereta api jadi pilihan laju motor kami, aku sempat bertanya dengan temanku yang aku boncengkan kala sampai di desa Teguhan.
“Enek opo iku Sob (ada apa itu)?”
“Emboh. Egh, voli yak-e (Tak tahu, mungkin pertandingan voli)”
“Po ho’o, nonton yoh! Mbayare piro (Iya kah, nonton yuk! Bayar berapa masuknya)?”
“Lha nonton yo ayo ok. Paling mbayar parkir tok, sewu (Kalau mau nonton ya ayo, paling cuma bayar parkir seribu)”
“Koe po wes tau nonton (Emang kamu udah pernah liat)?”
“Uwes (udah).”

            Berbalik arah menuju tempat keramaian tadi, seorang panitia menghentikan sejenak laju kami guna menunggu giliran pemberian karcis parkir. Kini giliran kami dikarcisi, perkiraan temanku meleset, ongkos parkir sekarang dua ribu. Ketika selesai memarkir motor, kami berjalan ke arah pintu masuk. Aigh, Senthit terkejut ketika melihat tulisan HTM Rp 10.000,- yang terpampang jelas di pintu masuk. Sebenarnya aku sudah melihat tulisan itu saat hendak memarkir motor tadi, tapi aku tak mengatakan padanya. Kami berdua masuk ke lapangan, setelah karcis plus empat batang dan dua bungkus rokok kami dapat secara terpisah—bungkus itu gepeng belum berbentuk, kami harus membentuknya sendiri. Lebih lucunya lagi, bungkus yang diberikan berbeda dengan rokoknya.

            Kami berputar, mengelilingi setengah lapangan untuk mencari tempat duduk yang masih tersisa. Hanya sisi utara yang masih bisa di duduki, lainnya penuh. Itupun kami harus berdiri agar dapat melihat lapangan. Hampir setengah jam berlalu, tapi para pemain belum hadir. Penonton sudah berteriak agar pertandingan segera dimulai, MC senantiasa menenangkan penonton dan juga meminta pemain untuk segera masuk ke lapangan.

            Malam ini ternyata malam semifinal, mempertandingkan dua partai bergengsi antara empat klub bola voli ternama di Sragen. Lumayan seru, cukup menghibur, walaupun hanya kelas tarkam. Kira-kira ketika waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 pertandingan itu memasuki tahapan akhir, aku dan Senthit keluar sebelum permainan partai kedua usai.

            Dengan motor kami bergegas menuju angkringan  di sekitar terminal lama, tempat biasa kami berkumpul dengan teman-teman sekolah dulu untuk sekedar menghabiskan malam. Terkadang saat libur kuliah jumlahnya hampir melebihi dua team futsal. Malam ini-pun begitu, sesampainya di sana setelah memesan minuman aku terhanyut dengan obrolan ngalor-ngidul tak menentu.

            Beberapa saat kemudian, ada pengendara sepeda motor berboncengan datang di angkringan ini. Tak ada yang aneh memang, namun jika diperhatikan lebih seksama keanehan itu akan muncul dengan sendirinya. Pengendara tanpa helm, itu biasa. Tapi pengendara yang satu ini tanpa baju di tengah malam ketika bulan purnama, bagiku sedikit aneh, seperti bukan mau dirinya sendiri. Jalannya sempoyongan, walaupun tidak separah si pembonceng.

             Tiba-tiba si pembonceng menyapa kami, sementara pengendara tak berbaju sibuk memilih makanan yang akan dibeli. "Volline menang po kalah, mas?" tanya pria setengah tua itu padaku. Saat ia mendekat, aku kenal betul aroma minuman yang ia tenggak sebelumnya—sekalipun aku belum pernah meminumnya. Terlebih saat melihat kelakuan dan caranya berjalan, kata "mabuk" sudah mewakili kondisinya. Mungkin karena aku pakai jaket sport merk terkemuka, ia bertanya seperti itu.

            “Kulo niki mas, mbiyen pas dereng edan ngeten niki. Kulo kerep nantangi senggel voli, sok ngluruk ten pundi-pundi, estu mas (Saya dulu sebelum gila seperti ini sering menantang bermain single bola voli. Kadang mendatangi di kampung lain, serius mas)”, ujarnya padaku dengan kata-kata yang sedikit diseret. Caranya berkata sudah berbeda dari manusia sehat, ia terlihat sudah di bawah kuasa alkohol jadi tak bisa menguasai dirinya sendiri. Ia berulang kali meminta maaf karena kondisinya yang seperti itu, aku pun mengiyakan apapun yang ia katakan.

            Ketika ia mengatakan dirinya wong edan (orang gila), aku semakin tertarik untuk terus ngobrol dengannya. Aku suka gayanya berbicara secara terang-terangan, seperti tak ada yang disembunyikan. Bagiku menjadi edan karena menggunakan cara berpikir yang edan lebih mulia daripada menjadi edan karena kedanan (menggilai) sesuatu. Seperti uang, jabatan, ataupun kekuasaan. Hal ini juga aku utarakan padanya.

            Ia pamit pergi setelah temannya selesai memilih makanan. Ia juga sempat menawariku untuk ikut bergabung dengannya untuk minum alkohol bersama, tapi aku menolaknya. Tolakan itu tak membuatnya jera, ia bahkan akan mengirim minuman itu ke tempat kami mengobrol saat ini. Lagi-lagi aku menolaknya.

            Dari obrolanku dengannya aku sedikit membayangkan, bagaimana jika para koruptor sebelum diperiksa oleh aparat sebelumnya di beri minuman beralkohol terlebih dahulu. Mungkin para tersangka akan bicara lebih blak-blakan mengenai apa yang ia lakukan terhadap yang didakwakan. Upz. Ini Cuma gurauan, sedikit merealisasikan menjadi edan dengan menggunakan cara berpikir yang edan. Jika terbukti mampu menjembatani kepentingan rakyat bersama, apa hal tersebut tetap dilarang? Coba pikirkan!
Baca Selengkapnya...

Senin, 25 Juli 2011

Tiada Ziarah Bersamanya (Sekali Lagi)*

                   Aku tidak ingat hari apa dan tanggal berapa kala itu. Tapi yang jelas, ketika suatu sore beberapa hari menjelang bulan ramadhan tahun lalu. Aku mengantarkan nenek berziarah ke sebuah pemakaman orang tua dan kerabat-kerabatnya—berziarah sebelum bulan puasa tiba merupakan tradisi di daerah kami. Tak ku duga, itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya aku mengantarkannya berziarah. Karena hari ini (27/6), tepat empat puluh hari setelah nenekku—menemui sesuatu yang pasti di dunia—meninggal.

            Malam itu sepulangku dari kampus setelah mengikuti pelepasan pertukaran mahasiswa dari negeri tetangga, sesegera mungkin ku buka laptop untuk mengerjakan tugas. Di bawah temaram lampu kost, sedikit demi sedikit aku mulai merampungkan tugas hukum lingkungan yang harus aku presentasikan esok hari. “Aigh, akhirnya jadi juga powerpoint yang satu ini”, teriakku dalam hati sembari merebahkan badan di kasur busa yang tipis bukan main.

            Tak lama setelah aku terbangun dari rebahan, kudapati telepon genggam atau telepon selluler (ponsel) bergetar tanpa dering. Tertulis nama ayah di layar ponsel, jantungku berdegup kencang? Serasa ada marching band dari kekuatan Militer yang membentuk formasi lalu berunjuk gigi di dalam halusinasi. Ini sudah lebih dari jam sebelas malam, rasa-rasanya tak mungkin Ayah meneleponku jika tidak ada apa-apa atau sesuatu yang penting. Semakin aku menduga-duga, semakin berkecamuk perasaan yang ada.

            Benar, memang ada apa-apa dari telepon singkat ayahku tadi. “Ki tak kandani, tapi koe gak usah kaget yo! Simbah putri meninggal, koe manthok sesok esok wae(kamu aku beritahu, tapi jangan kaget! Simbah putri meninggal, kamu pulang besok pagi saja!)” kurang lebih seperti itu awal percakapan kami. Ayah mengatakan sebenarnya nenekku—ibu dari ibukku—tidak dalam keadaan sakit, ayah juga kurang tahu tentang kronologis meninggalnya nenek. Akhirnya percakapan kita berakhir ketika salam terucap dari ayah dan kemudian aku jawab.

            Bagaikan tiada tulang yang menyangga, sontak badanku lemas tak terkira. Ku matikan sound yang mendendangkan beberapa lagu dari Efek Rumah Kaca sedari tadi, laptop yang memfasilitasiku menyelesaikan tugas juga menyusul ku matikan. Cahaya kamar kost nomor 7 di jalan Sidokabul 30 padam, memang sengaja aku padamkan. Aku mencoba tidur, menenangkan diri. Berharap agar semua tadi salah atau ayah membohongiku.

            Perasaan sudah lama aku tertidur, namun waktu masih menunjukkan pukul 03.00 WIB. “Astaga, baru 3 jam aku tertidur. Tapi mengapa rasanya sudah lama sekali,” batinku. Lalu aku mencoba memejamkan mata kembali.

            Ketika fajar belum menampakkan cahayanya, dengan bantuan salah seorang teman kost aku segera bergegas menuju terminal. Perjalanan menuju kota kelahiran terbilang cukup lancar, hanya dua jam. Sesampainya di rumah, dengan bantuan sepeda motor aku melanjutkan perjalanan menuju rumah simbah. Ternyata apa yang aku harapkan tidak terjadi, tidak ada yang salah dari telepon ayah semalam.

            Ibu tersendu-sendu di sudut ruangan, kakek-pun tak kalah kalutnya. Ya allah, begini kah kuasanya Engkau? Hingga aku-pun tak dapat berkutik dengan apa yang terjadi. Dengan bantuan malaikatmu, Kau ambil orang yang sesungguhnya sangat kami sayangi. Allah, teganya Engkau membuat kakek sendiri .Tiada yang menemani lagi. Kau memang benar-benar Maha Segalanya.

            Ketika aku menulis tentang hal ini, tersirat sebuah kenangan bersama nenek. Aku tidak ingat hari apa dan tanggal berapa kala itu. Tapi yang jelas, ketika suatu sore beberapa hari menjelang bulan ramadhan tahun lalu. Aku mengantarkan nenek berziarah ke sebuah pemakaman orang tua dan kerabat-kerabatnya—berziarah sebelum bulan puasa tiba merupakan tradisi di daerah kami. Tak ku duga, itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya aku mengantarkan nenek berziarah. Karena hari ini (27/6), tepat empat puluh hari setelah nenekku—menemui sesuatu yang pasti di dunia—meninggal.

            Bagiku kehidupan ibarat sebuah pementasan wayang. Dimana manusia selain sebagai dalang, juga sebagai wayangnya. Sebagai wayang, aku sangat terpukul akan kepergian nenekku ini. Secara fisik aku harus bersedih, menampakkan wajah kehilangan karena takkan bertemu lagi. Namun, sebagai dalang secara batin aku harus tetap tegar dan tersenyum karena hal seperti ini sudah diatur dan ada yang mengatur. Terlebih kematian adalah sesuatu yang pasti di muka bumi, dan sesuatu yang pasti itu itu tak banyak di alam material ini. Selamat jalan nenek, semoga amal ibadahmu diterima oleh Allah, Tuhanmu (Amien). Mugo gusti tansah maringi dalan padang kagem simbah putri lan sedaya keluarga ingkang ditinggalaken.

*Tulisan ini dibuat guna memenuhi persyaratan pelatihan jurnalistik tingkat lanjut LPM Keadilan FH-UII.

Baca Selengkapnya...

Selasa, 31 Mei 2011

Pandangan Mata Turun ke Hati


          Setelah membaca pesan singkat beberapa waktu yang lalu, aku hanya bisa termangu dan membisu. Memang bukan tanpa sebab, sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat disertai ketertarikan pribadi atau yang kebanyakan orang menyebutknya dengan kata “C.I.N.T.A” menjadi garis besar untuk tulisan selanjutnya dalam kegiatan menulis. Yang menjadi masalah besar bukan bagaimana aku harus menulisnya tapi, tentang apa yang harus aku tulis? Terlebih kurangnya kesadaran dan konsistensi diantara kami sendiri, membuat aku semakin berpikir untuk menulis sesuatu yang sifatnya pribadi ini.

          Cinta itu bak politik. Berawal dari kebaikan tertinggi bernama kenikmatan, tapi bisa berujung dengan kebaikan terendah yang disebut penderitaan. Seperti yang telah aku tulis sebelumnya dalam blog ini, dengan judul Realita Politik dan Cinta. Cinta dan politik itu mempunyai inti yang sama, indah diawal tapi berakhir pilu. Initinya “Saling mengumbar rasa, menyatakan Aku milikmu dan Kau milikku. Betapa indahnya dunia serasa saat itu, jangankan hanya dunia? Seluruh alam semesta—seluruh tata surya bahkan surga dan neraka—serasa milik berdua. Sungguh disayangkan, jika telah terjadi sebuah prahara dalam cinta, tapi tiada keseimbangan antara rasa pengertian dan saling menghargai. Maka cinta itu akan melebur tersapu waktu, dan kemudian terciptalah sakit hati. Hingga akhirnya berlabuh pada hati yang lain, hati yang berbeda. Karena itulah<span class="fullpost">Panglima Tian Feng berkata, "itulah cinta, deritanya tiada akhir".”

            Aku memang sempat merasakan indahnya saat-saat itu. Sekolah Menengah Atas (SMA) memberiku banyak pengalaman tentang arti cinta—mencintai dan dicintai—yang kebanyakan mereka menyebutnya cinta monyet. Entah dari mana asal-muasal kata monyet setelah cinta, yang jelas intinya cinta yang ada ketika masa remaja dan biasanya hanya untuk kesenangan semata. Eitz, itu menurut beberapa orang di luar sana. Bagiku semua itu adalah pengalaman, yang kelak akan menjadikan kita semakin matang dalam hidup dan menjalani kehidupan.

            Aigh, sebenarnya jauh sebelum menginjak dunia SMA aku telah merasakan ketertarikanku pada lawan jenis. Rasa itu telah ada, hanya nyali yang menciut membuatku harus memendam segala apa yang aku rasa. Tak hanya satu atau-pun dua lawan jenis saja. Mungkin lebih dari itu wanita yang telah aku jatuhi hati lalu aku tak berani mengungkapkannya, betapa lucunya mengingat masa-masa itu. Mungkin sampai sekarang perasaan itu masih menempel ketat di benakku, walaupun hanya tinggal beberapa persen saja.

            Banyak manusia yang terlena akan awal kebaikan tertinggi ini, mereka lebih sibuk dengan kamuflase cinta daripada hal primer mereka. Tak ada patokan pasti memang, karena hal primer tiap manusia itu berbeda. Tapi setidaknya mereka bisa berpikir lebih jauh tentang cinta tidak sama dengan nafsunya, walaupun itu sulit menurutku.

            Selama ada ikatan, kebebasan pasti akan berkurang. Saat itu pula kita dituntut untuk merefleksi kembali makna kebaikan tertinggi tersebut. Sama seperti yang aku alami dari masa-masa aku pacaran dulu. Menurut keterangan seorang sahabat facebook melalui update statusnya menuliskan bahwa cemburu adalah tanda posesif, pertanda bahwa kamu takut jika ada orang yang mencuri hati orang yang kamu cintai. Dari kalimat di atas memang wajar jika seseorang itu membatasi gerak-gerik kekasihnya, tapi menurutku harus ada batasan tentang arti dan perbedaan antara cinta dengan pengekangan.

            Mungkin hanya itu, selebihnya biarlah menjadi angin lalu dalam keheningan kalbu. Memang tak ada sesuatu yang menarik dalam kisah ini, terlebih yang tersurat dalam tulisan di atas. Mungkin kehambaran tulisan, sama seperti kebaikan terburukku saat menjalani kisah-kisah dari pandangan turun ke hati terdahulu. Sekian dan terima kasih.</span>
Baca Selengkapnya...