Jumat, 10 Agustus 2012

Tertusuk Kenangan

Sembari duduk bersandar almari, suara televisi menemani aktivitasku memainkan jemari di komputer lipat buatan Taiwan. Sedari siang tadi pikiranku terus melayang dan terbayang pada suatu daerah di ujung barat daya propinsi D.I. Yogyakarta. Tak terasa sudah dua hari aku telah meninggalkannya, daerah dengan suasana yang nyaman kala malam datang menjelang. Aku tak tahu mengapa aku begitu rindu akan hari-hari di Kalibuko 1—sebuah dusun yang aku sambangi barang 30 hari yang lalu. Sepertinya segala sesuatu yang aku lakukan di dusun itu begitu membekas jauh di sanubari.

Matahari terbit dari celah-celah bukit mampu membuka harapan baru bagi masyarakat Kalibuko 1.
Angin Kalibuko 1 telah mengajari aku betapa nikmatnya kehangatan kamar kost yang biasanya ku sebut panas, karena baling-baling kipas harus berputar setiap aku ada di dalam ruangan 3x4 meter ini. Kesederhanaan masyarakatnya begitu luar biasa, bagaimana bisa mereka bertahan dengan kondisi geografis seperti itu jika tanpa keteguhan dan kebersihan hati? Indah sekali.

Sekolah menengah hanya ada di kecamatan. Tak ada angkutan umum, hanya sebagian berkendaraan pribadi roda dua, selebihnya jalan kaki berpayung terik mentari. Sungguh luar biasa tekad masyarakatnya untuk terus berkembang.

Melimpahnya pohon kelapa di Kalibuko 1 membuat hampir seluruh penduduk menyadap nira, biasanya mereka mneyebutnya nderes. Ada sebuah filosofi kehidupan yang mendasar pada pekerjaan ini: ketika naik, mereka sadar betul suatu saat harus turun lagi. Nilai ini selalu diabaikan oleh sebagian besar manusia, ketika jaya manusia akan memanfaatkan segalanya demi ambisi dan tak menggubris sekitarnya masih meringis menahan lapar.

Aku takkan cerita banyak tentang Kalibuko 1, itu hanya akan semakin memperburuk kegalauan perasaanku, mengingat saat-saat tersebut merupakan waktu yang istimewa sekali bagi pengalaman sekaligus pendidikan mental.

Masa-masa itu memang telah kadaluwarsa, tapi begitu berbekas. Sementara tugas berat menuju masa depan gemilang sudah menanti kapan datangnya masa-masa bertoga, lalu kerasnya kehidupan telah menunggu tenaga dan curahan pikiran kita.

Aigh, nampaknya aku lupa. Selama aku masih menjadi anak kuliah—label mahasiswa sepertinya terlalu berat dipundakku—fungsi  sosial-kemasyarakatan sebagai anak kuliah tak boleh dianggap remeh: Lakukan apa yang kita bisa untuk mereka yang dirampas hak-haknya. Selama rembulan masih berada di langit, selama itu pula keletihan hanya akan menjadi candu dalam hidup kita.
Baca Selengkapnya...

Minggu, 22 Juli 2012

Bangunkan dari Koma, Tuan

Belum genap dua kali sahur di ramadhan ini, mentari pun masih sangat malu untuk menari di waktu-waktu dekat nanti. Aigh,hampir saja aku lupa menyebutnya. Mungkin beberapa jam lagi sudah menjadi sahur ketiga bagi beberapa muslim di Indonesia. Ya, tahun ini di negeri kita ini lagi-lagi kaum muslim berbeda pendapat tentang kapan jatuhnya  1 Ramadhan. Politis, kekolotan aliran, atau hanya pramatisme semata merupakan penyebab utama yang ada di balik perbedaan itu.

Walaupun terkadang kebersamaan di atas perbedaan itu indah, namun untuk hal yang satu ini aku masih harus berpikir ulang. Mengingat penetapan puasa yang begitu aduhai—politisnya—dari pemerintah, bahkan disiarkan langsung melalui televisi, dan sepertinya hanya menampilkan pembenaran-pembenaran. Semua beradu kepandaian ilmu agamanya di forum tersebut, tentunya mewakili (kepentingan) kelompok masing-masing. Dari tayangan langsung tersebut dapat diambil konklusi bahwa di negeri subur ini banyak orang pandai, tapi apakah mereka juga berintegritas, berdedikasi, bahkan beridealisme secara tepat? Mungkin iya, tapi tak menutup kemungkinan banyak tidaknya.

Selama ini penetapan hari-hari penting hijriyah terkesan seperti ajang eksistensi antara dua organisasi massa (ormas), kita pasti sudah tahu siapa mereka tanpa harus menyebutnya lagi di tulisan ini. Kekolotan pemikiran sulit ditanggalkan, semua karena mereka ingin menjadi yang terdepan dalam bidang ilmu keagamaan. Mereka berlomba-lomba berebut benar yang tak terlihat dari kesalahan-kesalahan yang nampak.

Sampai kapan masyarakat awam akan terbelenggu dengan kekonyolan seperti ini, mereka kira kaum kebanyakan akan paham tentang perbedaan itu? Tidak, kebanyakan akan bingung karenanya. Dimana ujung kekolotan-kekolotan ini? Lalu apa baiknya selain hanya keeksisan golongan? Jangan biarkan bangsa ini terus-terusan koma, Tuan.
Baca Selengkapnya...

Kamis, 31 Mei 2012

Jakarta di Kepung Buruh (May Day)

Cuaca terik Ibukota tak menyurutkan para buruh untuk memperingati may day—hari buruh sedunia—awal bulan lalu. Sejak pagi, kawasan bundaran Hotel Indonesia (HI)—tempat favorit bagi demonstran untuk melakukan aksi demonstrasi—sudah dipadati oleh ribuan buruh. Jalur Busway tujuan kota dan Blok M ditutup total karena macet, pengguna jalan yang terjebak macet terpaksa harus melapangkan dadanya beberapa jam kedepan. Jalan MH Thamrin sisi selatan bundaran HI pun penuh dengan antrian kendaraan yang mengangkut buruh. Orasi politik, pernyataan sikap, teriakan dan yel-yel diteriakkan buruh secara bergantian, hari itu Jakarta dikepung buruh.

Tepat sebulan lalu, mereka melontarkan berbagai tuntutan melalui aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai penjuru dunia. Salah satunya di Jakarta, kota dengan kepadatan penduduk terbesar di Indonesia ini dikepung oleh buruh dari berbagai organisasi buruh yang menaunginya.

Dalam aksinya kemarin, para buruh meminta pemerintah menghapus sistem kerja kontrak atau yang beken disebut outsourcing, menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional, serta menaikan upah minimum kerja di seluruh wilayah kerja buruh Indonesia dalam negeri.

Peringatan May day 2012 di Jakarta berlangsung damai, walaupun sempat terjadi ketegangan antara buruh dengan aparat keamanan karena kesalahpahaman. Berikut ini beberapa momen yang dapat diabadikan oleh Bobby A. Andrean ketika mendapat tugas reportase di Jakarta.

Buruh Berbendera Merah

Rejeki Tambahan

Konvoi Buruh

Citizen Journalism

Di Antara Demonstran

Aksi di Metro Mini

Dampak May Day
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 12 Mei 2012

Ada Mereka di Balik Berita


Aku duduk membelakangi almari coklat—berisikan pakaian, sedangkan bagian atasnya beralih fungsi menjadi rak buku—sembari melihat berita dari televisi (TV) yang hanya 45 derajat di sebelah kiriku, jaraknya pun tak lebih dari semester. Walaupun kipas angin yang berada di belakang laptop tempatku menulis ini berputar dengan kencang, namun suhu panas tetap terasa di kamar kost dengan ukuran 3 x 4 ini.
Sudah lebih dari sebulan TV-ku tak mampu bersuara, mungkin ada kerusakan ringan pada kabel atau speakernya, dan semoga saja begitu. Tapi setidaknya aku masih bisa melihat gambar dengan jernih. Adanya teks di tiap berita mempermudah aku untuk mengetahui apa maksud pemberitaan tersebut, lainnya berita sulit kupahami.
Melalui TV merk LG ini mulai ku rasakan beritanya tak berubah dibeberapa hari terakhir, tetap itu-itu saja: kecelakaan pesawat Sukhoi super jet saat melakukan demo penerbangan. Praktis, berita politik dan hukum yang biasanya memenuhi tayangan berita dari awal sampai akhir sedikit berkurang intensitasnya.
Stasiun TV yang tak pernah menayangkan berita singkat, atau sering disebut breaking news—biasanya hanya menayangkan dua sampai tiga judul berita saja—kali ini mencoba menginformasikan kondisi terkini kecelakaan melalui cara pemberitaan secara demikian. Seluruh stasiun TV berlomba-lomba memberitahukan informasi sedetail-detailnya, tak jarang mereka melaporkan langsung dari lokasi-lokasi sentral terkait dengan kecelakaan pesawat: sekitar tempat kejadian perkara, rumah sakit Polri, dan bandara Halim Perdanakusuma. Bahkan beberapa media TV sampai mengundang para ahli yang memang berkompeten mengenai masalah pesawat, penerbangan, serta pencarian dan penyelamatan korban untuk berdiskusi dalam salah satu sesi berita. Dan aku yakin kejadian ini bakal jadi judul dalam “adu mulut” para pengacara di stasiun TV  yang identik dengan warna merah, semoga saja tidak.
Melalui pemberitaan ini, dapat kita ketahui bersama jika peran media—terutama media audio-visual—sangat besar. Bahkan keluarga korban juga mengandalkan informasi dari pemberitaan media. Pernah ku lihat dalam breaking news, seorang keluarga yang menanti kepastian nasib saudaranya diwawancarai oleh seorang pewarta, ia mengatakan selalu menanti informasi actual di layar kaca, seakan-akan matanya tak ingin lepas fokus dari TV yang ada di ruang tunggu tempat mereka mencari informasi, sekaligus berharap akan keajaiban dan kuasa Tuhan agar tetap dipertemukan lagi dengan sanak-saudaranya yang menumpang pesawat Sukhoi, tentunya dalam kondisi hidup.
Di sisi lain media cetak juga tak ingin kalah pamor, mereka mencoba menampilkan foto-foto terbaru di halaman pertama sekaligus menempatkan kejadian tersebut sebagai headline. Terkadang disertai gambar-gambar pendukung berita yang menerangkan kronologis kecelakaan, mungkin berita media cetak lebih mendalam dibanding laporan langsung oleh media TV, walau hanya beberapa media, selebihnya sama saja atau justru kurang lengkap sama sekali.
Bagiku semua informasi takkan bisa sampai ke masyarakat jika kerja pewarta tak mendapat akses yang mudah dari berbagai pihak. Mereka kadang masih dianggap sebagai penggangu dalam segala acara, mungkin karena jumlahnya banyak dan peralatan yang dibawa bagaikan “senjata” bagi para pecinta ketidakadilan. Padahal kerja mereka bukan tanpa resiko, salah satunya harus behari-hari berpisah dengan kelurga, demi mengirimkan informasi pada masyarakat—selain karena tuntutan ekonomi. Tapi menurutku, mereka yang benar-benar paham tugas dan fungsi jurnalistik takkan berorientasi pada uang, melainkan tanggungjawab pada masyarakat.
Sampai tulisan ini dibuat, saya masih yakin bila mereka menginformasikan kejadian ini secara besar-besaran bukan karena ingin mengalihkan isu, tapi karena paham akan fungsi dan tugas seorang pewarta. Selalu ada mereka di balik berita. Bersama penyelamat dan relawan, mereka semuanya selalu dalam lindungan Tuhan, karena Tuhan bersama para jurnalis yang pemberani. [*]
Baca Selengkapnya...

Kamis, 22 Maret 2012

Kepastian Hukum Mencederai Keadilan

Kita sering menjumpai putusan hakim yang kontroversial di mata masyarakat, hal ini tak lain dan tak bukan karena adanya benturan antara kepastian hukum yang diagung-agungkan oleh kebanyakan Hakim, sementara masyarakat menginginkan keadilan.

Selalu ada tikungan di setiap jalan yang lurus, begitu juga seharusnya penegak hukum bekerja. Kepastian hukum harus fleksibel mengikuti rasa keadilan. (Foto by Bobby A. Andrean)

Keadilan. Sebuah kata sederhana, namun sarat akan polemik yang berkepanjangan. Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Mengingat setiap keadilan pada satu pihak, di sisi lain selalu ada pihak yang merasa dan merasakan ketidakadilan. Ketika ada sebuah pertanyaan tentang dari mana datangnya keadilan, manusia humanis akan mengatakan keadilan datang dari hati nurani yang bermartabat. Tapi hati nuraninya siapa? Pasalnya setiap manusia mempunyai kapasitas hati nurani yang berbeda: penjahat takkan sehati nurani dengan penjahit, begitu juga sebaliknya.

Sedari dulu, kata keadilan sangat identik dengan putusan-putusan Lembaga Peradilan, sehingga banyak yang mengartikan bahwa putusan Pengadilan haruslah bersumber dari hati nurani. Lalu darimana datangnya hati nurani Pengadilan? Apakah Tuhan dengan serta-merta menciptakan keadilan di Lembaga-Lembaga Peradilan dengan begitu saja, tentu tidak dan itu jawaban yang terlalu berlebihan. Tuhan memang Maha Adil—tak ada tawar-menawar tentang hal tersebut, meskipun ada, rasa-rasanya tak etis—namun bukan pengadilan dunia konteksnya, melainkan dosa dan pahala untuk keabadian ciptaan-Nya di akherat. Keadilan sebuah putusan Lembaga Peradilan akan bergantung pada penegaknya, kewenangan ini diamanahkan pada sebuah organ inti setiap Lembaga Peradilan, yakni pada Hakim.

Sangat ironis memang, di negara yang sudah terbebas dari penjajah setengah abad lebih ini, Hakim di Lembaga Peradilannya masih dan hanya bertindak sebagai corong undang-undang, namun hati nuraninya mati oleh tumpukan kertas yang disusun manusia pendahulunya. Hakim menilai putusan yang dibuatnya sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, artinya putusan tersebut telah memenuhi standar asas kepastian hukum. Sehingga di zaman modern ini, masyarakat sering menemukan putusan-putusan yang kontroverisal karena Hakim menempatkan asas kepastian hukum di posisi terdepan, bukan asas keadilan.

Kepastian hukum selayaknya dan seharusnya melahirkan sebuah putusan menjadi lebih adil, dengan kata lain kedua asas tersebut bisa saling melengkapi. Namun, realita kekinian sangat bertolak delakang dengan hal tersebut. Hakim mengedepankan kepastian hukum,sementara keadaan sosial mengharapkan keadilan. Keadilan dan Kepastian hukum bagaikan air dan minyak, walaupun ditempatkan dalam satu wadah, tapi keduanya tak dapat bercampur, seperti mengeksklusifkan unsurnya masing-masing.

Dalam berbagai kasus hukum, banyak sekali pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Terakhir publik dikejutkan dengan peradilan yang menyidangkan seorang remaja dengan dakwaan mengambil sandal gunung milik anggota Kepolisian di Palu. Walaupun persidangan sudah sesuai dengan protap, namun kebenaran remaja tersebut kedapatan mencuri sebenarnya masih dipertanyakan. Karena remaja tersebut mengaku bahwa mengambil sandal di jalan depan rumah, sehingga ia mengira sandal itu tak bertuan. Teman remaja itu juga mengakui demikian, di persidangan pun barang bukti yang dihadirkan juga berbeda dari ukuran serta mereknya. Lalu adilkah ketika awalnya remaja itu didakwa dengan pasal pencurian 362 KUHP dengan kurungan penjara 5 tahun? Secara kepastian hukum memang benar, namun adilkah hal tersebut? Kita wajib bertanya pada hati nurani kita masing-masing. Untung saja walaupun Hakim menyatakan remaja itu bersalah, namun ia membebaskannya. Dahulu diakhir tahun 2009, seorang nenek yang mengambil biji coklat juga harus menjalani persidangan. Padahal biji itu tak jadi ia ambil, ia sudah mengembalikan biji itu pada petugas keamanan. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian seperti ini.

Berita terbaru saat ini, mantan Bupati di kabupatenku mendapat vonis bebas. Hakim beralasan bahwa perintah lisan tak dapat dijadikan alat bukti tanpa disertai alat bukti lain, padahal bukti lain masih bisa dicari lebih lanjut untuk menunjukkan keterlibatan mantan Bupati tersebut. Anehnya, dua terdakwa lain yang sekaligus mantan bawahannya divonis hukuman penjara. Ini merupakan keputusan janggal, Jaksa Penuntut Umum harus melakukan banding, dan itu wajib hukumnya. Karena aku dan seluruh warga kabupatenku paham betul bagaimana watak mantan Bupati itu: kala menjabat dulu, semua bawahan harus menuruti perintahnya, jika tidak, ia akan marah besar, dan tak segan memutasi bawahan yang mbalelo. Kasus ini semakin menguatkan fakta jika kebanyakan hakim telah mati rasa hati nuraninya.

Seorang Hakim sekaligus Dosen mata kuliah praktik peradilan di kampus ini menilai bahwa pertentangan antara kedua asas ini tak luput dari peran media. Menurutnya media telah membentuk pertentangan antara kedua asas tersebut, sehingga kasus yang mulanya kecil bisa menimbulkan gejolak sosial yang berkepanjangan. Salah satunya kasus pada paragraf di atas. Sementara Dosen lain di kampus ini yang juga berprofesi sebagai Hakim mengatakan bahwa putusan hakim lebih mengacu pada dakwaan Jaksa, sehingga Hakim bukan satu-satunya organ yang bertanggungjawab dan berpengaruh dalam suatu putusan pengadilan.

Akan tetapi ketika seorang Hakim membuat putusan dengan menggunakan metode “memerdekakan” dirinya sendiri dari semata-mata kepastian hukum, sepertinya media dan pengamat hukum serta masyarakat takkan menganggap putusan tersebut kontroversial.

Beberapa puluh tahun yang lalu, tepatnya diakhir tahun 80-an para hakim dikejutkan oleh rekan seprofesinya sendiri, Bismar Siregar. Kala itu Bismar menganalogikan pemerkosaan dengan pencurian, banyak hakim tak sependapat dengan langkah yang dibuatnya tersebut. Kendati demikian Bismar tetap pada pendiriannya, ia menilai kepastian hukum hanya sebagai sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Bahkan ia berpendapat bahwa, ia akan mengorbankan kepastian hukum demi terwujudnya keadilan, artinya ia akan mengorbankan sarana untuk sebuah tujuan.

Kini setelah lebih dari 20 tahun setelah putusan Bismar, mengapa tujuan selalu dikorbankan hanya karena sarana? Miris memang. Pada dasarnya hukum hukum diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Idealnya hukum ditempatkan sebagai alat, bukan tujuan.

Hukum harus peka terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, baik lokal, nasional, maupun universal. Di Indonesia dengan tingkat korupsi sangat tinggi, sangat wajar ketika media dan pengamat hukum, serta masyarakat aktif untuk ikut andil mengawasi kinerja penegak hukumnya. Bayangkan bila seorang pencuri sandal, biji coklat, dan semangka harus menjalani hukuman yang sama dengan para koruptor? Padahal berapa jarak kerugian yang ditimbulkan dari keduanya, sangat jauh bukan? Perbandingan inilah yang menyulut amarah para pencari keadilan, hukum hanya kejam bagi rakyat jelata yang tak mampu membayar pengacara.

Hukum harus dikembalikan kepada tujuan utamanya, yakni kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Dengan mengorbankan sarana, keadilan sebagai tujuan akan mempermudah terciptanya kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat sebagai subyek hukum itu sendiri. Sehingga masyarakat tak menilai putusan-putusan Pengadilan hanya lancip dan tajam pada masyarakat golongan bawah semata, melainkan juga harus kejam serta menikam para penjahat kelas kakap macam koruptor, pengemplang pajak, serta pemeras melalui wewenanng yang diperolehnya. Dengan demikian masyarakat merasa terlindungi oleh sistem hukum dan penegakkannya, agar takkan muncul lagi kepastian hukum yang mencederai keadilan. Sekian dan terima kasih. [*] Baca Selengkapnya...

Sabtu, 14 Januari 2012

Deru Ombak Tahun Baru

Malam tahun baru memang identik dengan selebrasi, tak jarang perayaannya sangat berlebihan. Namun kali ini aku dan beberapa teman Pers Mahasiswa “Keadilan” mempunyai cara berbeda dalam menyambut tahun baru 2012.

Lampion, penggambaran sebuah harapan
Sabtu, hari terakhir di tahun 2011. Saat itu mendung terlihat menggumpal, bergerak dari barat menuju timur, membelah bukit-bukit yang hijau bagaikan lemak yang menerobos daging untuk melekat pada sisi dalam kulit.

Dari depan reparasi motor di Jalan Imogiri Timur ini—tempat aku dan teman-teman Keadilan berdiri—aku menebak hujan telah turun di sekitar bukit. Setelah mekanik mengganti ban dalam motor milik teman kami, perjalanan  dilanjutkan setelah kurang lebih 20 menit berhenti.

Tebakanku membuahkan hasil, barang 10 kilometer roda kami berputar dari reparasi, hujan turun membabi-buta.  Teman yang ban dalamnya bocor tadi tak bawa jas hujan, padahal berboncengan. Jadi mau tidak mau kami harus berteduh, sekaligus menjaga bekal yang kami bawa agar tetap kering.

***
Aroma baksonya memang tak terlalu kentara, namun melihat bulatnya bakso sebesar itu, lidahku kemecer (Jawa:bergetar). Inilah resikonya berteduh di depan warung bakso.

Ketika hujan sedikit menghela napas, perjalanan dilanjutkan. Rombongan sempat tercecer setelah melintas di depan pasar, maklum saja jalannya bercabang lebih dari empat. Lagi-lagi hujan yang mempertemukan kami, dan lokasi berteduh kali ini rasa-rasanya tepat. Sebuah toko kelontong berukuran sedang,  ternyata jual jas hujan, beruntung sekali.

Aku sempat berpikir, apakah tahun baru kali—2012—ini harus berlalu di bawah riuhnya dentingan hujan? Kata hatiku menjawab, “Tidak.” Harapanku memang sedikit cerah, teman yang sudah sampai di Pantai Sadranan siang tadi, mengirim pesan singkat. Isinya memberitakan bahwa lokasi tak hujan, namun butuh lotion anti nyamuk.

Hujan memang masih deras, namun isi pesan singkat tadi mampu mematahkan kelesuan akibat hujan. Sedari Yogya, aku memang berkendara sendiri. Tanpa pembonceng, artinya tak ada teman ngobrol pas perjalanan. Sangat menjemukan, jalan pegunungan bak ular piton yang membelit mangsa ini ku lalui tanpa bicara sepatah kata pun. Pusing tak dapat dicegah lagi, ingin melepas helm, namun bagaimana jika nanti jatuh? Jika tetap di kepala, sangat menyiksa. Hujan pun plin-plan, kadang deras hingga sakitnya terasa di wajah, sering juga hanya gerimis yang sendu dan pilu.

Sesampainya di Pantai Sadranan, beberapa teman yang datang duluan menyambut kami. Tapi sebelum bergabung di tenda yang dibangun di bibir pantai, aku menyempatkan diri untuk ke kamar mandi. Kali ini tak sendiri, ada beberapa yang mengikuti.

***
Sempat kebingungan karena tenda rombongan tidak diketahui keberadaannya, lagi-lagi dengan teman yang ban motornya bocor tadi. Dari ujung ke ujung, hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, kemarin temanku bilang jika ia pasang tenda bukan di bibir pantai, namun di balik dedaunan yang mirip pandan. Setelah menelisik akhirnya ketemu juga. “Thek…Kethek…,” teriakku yang  kemudian disahut oleh teman-teman kami.

Lokasi perkemahan kami sederhana, empat tenda dum berukuran sedang dibangun saling berhadap-hadapan. Ditengahnya sengaja diberi ruang kosong untuk menyalakan api unggun, tidak terlalu luas, namun setidak-tidaknya cukup untuk menampung kami semua. Di sisi barat tenda terdapat beton cor yang berbentuk mobil, kami pun tak ketinggalan untuk memanfaatkannya. Berbaring, bercengkrama, bahkan berfoto di beton itu.

Pukul 12 tinggal menghitung menit, sementara kami masih terlarut dalam kebersamaan. Gitar dan pita suara tak henti-hentinya bergetar, membawakan lagu rindu dan kebersamaan. Memang masa-masa seperti ini akan selalu kita rindukan, bukan sekarang, tapi di waktu yang akan menjelang. Demi Tuhan, kalian pasti akan merindukannya.

Tiba-tiba heningnya pantai berubah jadi gegap gembita, suara kembang api saling bersahut-sahutan, beradu dengan derasnya ombak di laut selatan. Semua larut dalam keceriaan, bersorak dan berlarian. Ketika aku menolehkan kepala ke kiri, dari atas beton cor berbentuk mobil ini kudapati dua pasangan muda-mudi tengah khusuk berdoa sembari berpelukan, setelah itu baru mereka menyalakan kembang api. Pembukaan tahun yang manis sekali bukan? Heuheu. Ya memang manis, sebuah resolusi akan mereka awali dari detik dan dari tempat ini.

Bagiku sebuah harapan besar tak harus timbul dari segala sesuatu yang bersifat besar, seperti perayaan tahun baru ini misalnya. Seminimalis apapun tempat kita merayakan tahun baru, asalkan substansinya tetap sebuah harapan positif, hasilnya akan tetap sama, kita akan memeperoleh suatu kepositifan hidup yang didamba.

Mereka  yang tinggal di pelosok daerah kemudian merayakan tahun baru melalui siaran televise pun takkan kalah besar harapannya dibanding dengan manusia lain yang merayakan tahun baru di pusat hiburan kota-kota besar. Harapan mereka akan teraktualisasi melalui daya juang kehidupan.

***
Beranjak 45 menit dari pergantian tahun, kami serombongan tengah asik menikmati ayam bakar yang dibakar bersama-sama. Proses pembakaran berjalan cepat, karena hanya sekedar memberi efek hangat saja, pasalnya ayam-ayam tersebut sudah matang direbus dari rumah. Kami makan hanya berpiring kertas minyak, semua harus makan tanpa terkecuali.

Setelah makan bukannya tidur, tapi justru asik dalam kebersamaan. Sementara aku memilih berbaring di dalam tenda,  menghemat energi untuk mengawali hari pertama di tahun 2012. Sempat aku nikmati tenangnya suasana daerah ini dalam pergantian tahun baru, jauh dari hingar-bingar. Termasuk asap kendaraan, suara mesin, dan raungan knalpot yang sengaja dibuat keras. Sebuah pengalaman yang mengajarkan aku tentang makna tahun baru yang sebenarnya. Sebuah resolusi, bukan hanya sebatas selebrasi. Tak ingat seberapa jauh kenikmatan itu, lalu aku terlelap dalam deru ombak tahun baru di pantai Sadranan. [*]

Baca Selengkapnya...

Selasa, 13 Desember 2011

Takut, Segan, atau Kasihan?

Catatan ringan. Perjalanan pulang dari Semarang menuju Yogyakarta. Ada saja kenangan yang sulit terlupakan, mulai dari hujan sampai berurusan dengan Polisi Lalu Lintas Resort Sleman.

Ilutrasi: Jalan Searah
Senin, 12 Desember 2011. Langit sudah berselimut mendung kala bus Nusantara yang aku tumpangi mulai masuk kawasan Yogyakarta. Gerimis tipis membuat jendela bus dipenuhi bintikan air, untungnya kondisi seperti itu tak bertahan lama. Setibanya di terminal Jombor, walaupun angkasa masih menyisakan mendung yang hitam legam, namun hujan tak lagi turun.

Semua penumpang turun, kebanyakan melanjutkan perjalanan dengan ojek, bus, atau angkutan umum lainnya. Sementara aku bergegas menuju tempat penitipan sepeda yang masih berada di dalam kompleks terminal. Aku menyerahkan karcis pada penjaga penitipan. “Motor e opo, Mas (Sepeda motornya apa, Mas)?” ujarnya. Dengan menunjuk salah satu motor, pria muda itu bukan hanya tahu apa motorku, melainkan juga tahu yang mana motorku.

Aku mulai menyalakan mesin motor setelah sebelumnya penjaga penitipan membersihkan debu di bodi. Ku tarik tuas chuck, sembari melihat ke arah mana aku harus keluar—pasalnya baru sekali ini aku berada di kawasan terminal Jombor. Benakku sempat ingin bertanya pada orang di sekitar, namun niat itu ku urungkan. Terbesit pikiran untuk mengikuti kemana arah para pengendara lainnya, tapi nyaris tak ada seorang pun yang bisa dibuntuti. Wanita dengan motor matik dibelakangku pun tak kunjung keluar dari penitipan, padahal itu satu-satunya pengendara yang bisa aku kuntit.

Akhirnya dengan semangat wani teros (berani terus), aku kembalikan tuas chuck, lalu menarik handpart gas, kemudian mengarahkan laju motor keluar penitipan dan membelokkan ke kiri serta ke kiri lagi.

Baru melaju kira-kira selemparan batu dari kawasan terminal, seorang Polisi Lalu Lintas (Polantas) menghentikan laju motorku. Ia mengucapkan salam sambil hormat, lalu menanyakan surat-surat. Eitz, tak semudah itu aku berikan? Pasalnya jika tak ada razia resmi, jangan sekali-kali menyerahkan surat sebelum tahu apa kesalahan kita. Maka dari itu, aku bertanya pada Polantas itu apa kesalahanku? Disertai nada ketus dan sedikit membentak ia katakan bahwa aku menerobos jalan satu arah. Dengan santai kembali ku tanyakan, mana rambu-rambu yang melarang? Dan Polantas itu menunjuk tangan ke arah plang rambu yang memang benar-benar tak terlihat olehku. “Itu loh, Mas. Dari sana ada, sebelumnya juga ada,” ujarnya.

Kuberikan SIM dan STNK padanya, lalu aku digiring untuk menepi. Nampaknya ia tak sendiri, seorang kawan sesama Polantas sudah berada di dalam kios—sepertinya itu kios penjual plat nomor yang dialih-fungsikan Polantas sebagai kantor, lucu sekali bukan? Heuheu. Menurut pendapatku Polantas sengaja berjaga di situ—walau tak ada pos Polisi—karena daerah tersebut berpotensi menjadi lahan basah bagi Polantas, semacam jebakan yang menguntungkan.

Polantas yang menstop aku tadi mempersilahkan masuk ke kios. Tanpa pikir panjang aku lepas helm lalu masuk ke kiosnya Polantas. Upz, salah? Maksudnya kios yang digunakan Polantas untuk bertugas.

“Selamat siang, Mas Bobby,” Polantas itu mengawali pembicaraan.
“Iya Pak, siang,” jawabku tak kalah lantang.
“Mas Bobby melanggar jalan satu arah, sidangnya besok tanggal 30 Desember ya?”
“Siap Pak.”
“Di Pengadilan Negeri Sleman”
“Beres.”

Entah mengapa aku tak ada niatan sedikit pun untuk menawar atau istilahnya bayar di tempat, aku benar-benar begitu yakin untuk menyidangkan perkara ini.

“Dari mana?”
“Semarang.”
“Kok lewat sini?”
“Ya kan dari terminal, Pak. Saya tadi naik bus, terus turun Jombor. Saya nggak tahu kalau jalan ini satu arah, rambunya juga gak kelihatan. Lha emang kalau dari terminal keluarnya harus lewat mana Pak? Saya masuknya lewat sini kemarin, gak tahu kalau ini bukan jalan keluar yang tepat.”
“Kuliahnya dimana? Semester berapa?”
“UII, semester 5.”

Kemudian dengan nada sedikit halus Polantas itu bertanya apakah aku baru sekali ini ke daerah ini, aku pun sontak menjawabnya iya. Entah apa yang ada di pikiran Polantas itu, tiba-tiba ia bertanya pada kawan seprofesinya yang di depan kios. “409 yo, Lek,” kurang lebih begitu tanyanya. Aku juga tak paham apa artinya, yang jelas itu sandi Kepolisian.

“Mas Bobby, ini nggak usah sidang saja,” katanya. Pikiranku sempat bertanya-tanya, apakah Polantas ini akan meminta uang damai? Mengingat apa yang dikatakannya tadi. “Silahkan melanjutkan perjalanan, tapi harus lewat jalan yang benar, bukan lewat sini,” tambahnya. “Owh, gitu Pak? sahutku. Dengan perasaan yang sedari awal tadi tenang, tidak gugup, dan selalu memberi jawaban lantang, akhirnya kini berubah jadi sedikit senang sembari melempar senyuman. Setidaknya tak ada uang yang mubadzir (sia-sia) karena masalah konyol.

Ku taruh SIM dan STNK ke dompet lagi. Dengan salam komando ala militer aku mengajak kedua Polantas itu untuk berjabat tangan.

Dengan menyisakan beribu-ribu pertanyaan aku mulai mengarahkan laju motor ke arah yang menurut Polantas benar, pertanyaan itu tak lain tak bukan adalah mengapa aku tak jadi ditilang?

Ada dua hipotesis yang bisa aku simpulkan, takut, segan dan kasihan. Sudah aku katakan sebelumnya bahwa aku sedari awal tak ada perasaan gugup, aku pun selalu menjawab pertanyaan dengan lantang dan meyakinkan. Ditambah penampilanku yang urakan—gondrong, pakaian tak terlalu bersih, dan terkesan sangar. Itulah alasanku yang menyimpulkan Polantas itu takut dan segan.

Kemudian mengapa aku juga simpulkan Polantas itu kasihan? Mungkin ia melihat SIM dan STNK, di situ terpampang jelas alamat asal. Terminal Jombor tak terdapat satu pun bus menuju kota asalku, jadi ia percaya bahwa aku tak berbohong ketika aku berkata baru sekali ke daerah di mana aku melakukan kesalahan ini.

Takut dan segan, atau memang kasihan? Anda sendiri yang menyimpulkan, yang jelas aku bebas dari tilang dan sidang. [*]
Baca Selengkapnya...