Sabtu, 25 Desember 2010

Sisi Lain Ketika Aksi

          Melakukan aksi dengan cara turun ke jalan, atau demonstrasi sudah menjadi hal yang biasa bagi setiap mahasiswa yang eksis di dunia pergerakan. Memang dalam beberapa masanya pergerakan semacam itu efektif, keefektifan itu tak terlepas dari tuntuntan yang jelas sebagai tujuan aksi tersebut.
          Tipe Aksi menurut Bobby A Andrean ada 3, yaitu:
1.      Aksi dari Pergerakan Murni, murni karena dalam melaksanakan kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar kampus dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya untuk berperan sebagai agen kontrol sosial dan agen perubahan.
2.      Aksi dari Pergerakan Eksistensi, secara garis besar mempunyai persamaan arti dengan pergerakan murni tetapi bentuknya kebanyakan berupa organisasi. Namun dalam pelaksanaannya terkadang ada tujuan lain, sebuah aksi biasanya dilaksanakan hanya sebagai formalitas. Untuk menunjukkan organisasi itu tetap eksis, sehingga peran mahasiswa sebagai agen kontrol sosial dan agen perubahan hanya dalam teori semata.
3.      Aksi dari Pergerakan Brutal, aksi seperti ini tak butuh penjelasan yang panjang. Dengan adanya fakta-fakta melalui tayangan media, kita semua bisa menilai aksi seperti ini. Dimana sebuah aksi selalu diakhiri dengan tindak kekerasan, entah aparat atau peserta aksi yang memulainya lebih dulu.
          Sadar atau tidak, pergerakan melalui aksi turun ke jalan ini sudah melenceng dari fungsi mahasiswa dan tujuan pergerakan itu sendiri. Karena akhir-akhir ini kita selalu disuguhi pergerakan melalui tipe kedua dan ketiga. Tipe ketiga terkadang dalam awal aksinya mengusung suara rakyat kecil, tapi di sisi lain karena kebrutalan itu menjadikan rakyat kecil semakin sengsara. Seperti contoh sopir-sopir yang tak bisa melalui jalan yang seharusnya dilalui angkutannya, sehingga harus berhenti bekerja atau mencari jalan lain yang lebih jauh, dengan akibat bertambahnya dana untuk membeli bahan bakar. Ketua lembaga eksekutif di kampusku justru bengga ketika mahasiswa salah satu universitas di luar pulau mampu memblokir jalan dan membolos kuliah hanya untuk sebuah aksi anarkis yang serba merugikan, ironis sekali. Ini baru satu contoh, belum lagi masih banyak yang dirugikan karena aksi brutal semacam itu. Nuwun.
Baca Selengkapnya...

Jumat, 24 Desember 2010

Gengsi dan Harga Diri "Sang Garuda"


          Berbeda dengan partai perdana kejuaraan piala AFF Suzuki Cup 2010 awal bulan lalu, dimana Indonesia mampu melumat Malaysia dengan skor 5-1. Tetapi peta kekuatan di lapangan sekarang ini sudah berbeda dari pertemuan kedua kesebelasan sebelumnya, Malaysia setelah kalah memalukan dari Indonesia langsung berbenah diri hingga akhirnya menembus partai final. Sementara Indonesia masih perkasa, tanpa satupun kekalahan yang diderita. Namun “Sang Garuda” enggan untuk terlalu larut dalam kemenangan itu, dan menganggap Malaysia tetap sebagai lawan berat di partai final.
          Partai final leg pertama (26/12) yang akan dilaksanakan di kandang “Harimau Melayu” bukan hanya menyuguhkan pertandingan final semata. Indonesia dan Malaysia selama ini kita kenal negara serumpun tapi tak pernah akur, mulai dari perbatasan hingga kebudayaan dijadikan objek permasalahan bagi kedua negara. Sehingga dengan latar belakang masalah tersebut, final nanti akan panas luar dan dalam. Apapun yang terjadi di Stadion Bukit Jalil takkan mengurangi panasnya leg kedua (29/12) di Stadion Gelora Bung Karno nanti.
          Kepuasaan menjadi harga mati untuk gengsi dan harga diri, mengingat di luar lapangan sentimen dari kedua warga negara yang timnas sepakbolanya akan bertarung hidup dan mati di final nanti. Sementara nanti di sisi dalam, “Sang Garuda” akan beradu taktik dan strategi dengan “Harimau Melayu” dalam lapangan, untuk membuat sejarah baru di kancah persepakbolaan Asia Tenggara. Akankah "Sang Garuda" mampu mewujudkan ambisi dengan prestasi, atau justru hanya sebagai pecundang sejati. Nuwun.

Baca Selengkapnya...

Selasa, 30 November 2010

Negeri ini Sungguh Gokil, Coy...!!!

Aku merasakan sedikit keganjalan ketika malam ini tak sengaja melihat tayangan sebuah saluran televisi swasta. Dalam tayangan televise swasta tersebut, seorang reporter menginterogasi beberapa dari sekian manusia yang merokok di tempat umum. Memang salah satu Pemerintah Daerah di Indonesia menerapkan sebuah larangan merokok di tempat umum, dengan dalih asap rokok akan menggangu mereka yang tidak merokok atau yang lebih sering disebut perokok pasif. Menurut penelitian oleh orang yang dianggap berkompeten dalam bidangnya, asap rokok akan lebih berbahaya pada perokok pasif . Mungkin itu yang menjadi latarbelakang dari aturan ini, lalu dimana anehnya? Toh itu juga demi kebaikan bersama? Sabar dahulu Bung, mari kita lanjutkan ceritanya.


Keanehan itu muncul ketika sebuah aturan tersebut tidak diimbangi dengan usaha dari pemerintah yang berwenang, untuk menanggulangi pelanggaran akan aturan yang telah disahkan itu sendiri. Bagi mereka yang melanggar aturan ini, sanksi berupa denda sudah mengintai jika razia dilaksanakan oleh aparat yang berwenang. Sepertinya pemerintah mengharapkan adanya pelanggaran dalam hal ini, karena sampai detik ini tidak ada planing lain selain denda. 


Seharusnya, pemerintah membuat sebuah ruangan merokok di tempat-tempat dimana aturan dilarang merokok itu ada. Apakah aturan itu dibuat hanya untuk pemasukan Pemerintah Daerah berkat denda dari si pelanggar aturan? Dan tidak menutup kemungkinan untuk kemudian dikorupsi bersama? Jika memang begitu faktanya, negeri ini sungguh gokil
Baca Selengkapnya...

Keindahan sebuah Kenangan

          Mengingat masa lalu memang indah, seindah khayalan dalam setiap lamunan. Tapi apakah setiap lamunan itu akan menjadi nyata? Semuanya hanya misteri sampai lamunanmu itu akan terjawab dengan sebuah tindakan nyata.
          Ketika beranjak dari Sekolah Dasar (SD) menuju Sekolah Menengah Pertama (SMP), pasti kenangan saat berada di SD selalu hadir dalam setiap waktu yang tepat untuk mengingatnya. Setelah lulus dari SMP kemungkinan besar akan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA), kenangan saat SMP akan senantiasa terngiang diawal masa SMA. Sering terucap dari hati jika ingin kembali di saat-saat indah pada masa sebelumnya, kejadian seperti itu akan selalu berulang hingga sampai suatu ketika nanti semua akan menjadi semu kembali.
          Sebagian orang beranggapan bahwa masa-masa SMA menjadi kenangan paling indah, itu memang benar adanya. Tetapi jika dilihat dari sedikit untaian sebelumnya, maka penulis beranggapan bahwa sesuatu yang telah berlalu dan hilang dari pandangan kita secara kasat mata akan menjadi lebih berarti daripada sebelum menjadi memori. 
Baca Selengkapnya...

Minggu, 28 November 2010

Realita Politik dan Cinta

          Kesatuan politik berangkat dari kebersamaan untuk merangkai sebuah tujuan awal yang mengesankan, hingga akhirnya tercipta sebuah keselarasan berpikir di antara para koleganya. Bahu-membahu bekerja untuk kelompoknya, dengan kamuflase demi rakyat semua. Namun sayang seribu sayang, jika telah tercipta suasana yang tak bersahabat lagi satu per satu akan melepaskan diri karena sakit hati. Banyak kolega yang tersakiti itu akan membuat sebuah tandingan untuk menunjukkan rasa sakit hatinya.
          Saling mengumbar rasa, menyatakan Aku milikmu dan Kau milikku. Betapa indahnya dunia serasa saat itu, jangankan hanya dunia? Seluruh alam semesta ini serasa milik berdua. Sungguh disayangkan, jika telah terjadi sebuah prahara dalam cinta, tapi tiada keseimbangan antara rasa pengertian dan saling menghargai? Maka tercipta sakit hati, dan kemudian cinta itu melebur tersapu waktu. Hingga akhirnya berlabuh pada hati yang lain, dan hati yang berbeda. Karena itulah Panglima Tian Feng berkata, "itulah cinta, deritanya tiada akhir".
          Pada intinya, sakit hati akan selalu muncul ketika rasa kecewa itu hadir dalam sebuah kehidupan berkelompok atau bersama. Bagaimana kita menjalaninya, menjaga hubungan dengan manusia lain secara harmonis dan sejalan dengan apa yang dikehendaki bersama. Ingatlah, kehendak bersama? Bukan kehendak ego individu.
Baca Selengkapnya...

Selasa, 02 November 2010

Dulu Primadona, Kini dipandang Sebelah Mata

Sejak Alexander Graham Bell menemukan telephone pada tahun 1877, alat komunikasi ini terus berkembang sesuai kemajuan tekhnologi zaman. Kemudian di tahun 1889 untuk pertama kalinya ditemukan telephone umum oleh William Gray yang dipasang pada sebuah bank di Connecticut, Amerika Serikat. Di era-globalisasi ini, masyarakat Indonesia tak lagi menjadikan telephone umum sebagai primadona komunikasi, pasalnya kini telah tercipta berbagai alat komunikasi yang lebih modern. Telephone genggam atau yang lebih beken disebut dengan handphone, merupakan sebuah terobosan baru untuk menyingkirkan keberadaan telephone umum. Telephone genggam cenderung praktis, modis, dan instan. Dimanapun, kapanpun, dan siapapun bisa menikmati tekhnologi canggih berupa telephone genggam tersebut. Ketika seseorang sudah mempunyai telephone genggam, muncul perasaan tak memiliki telephone umum, jadi masyarakat lupa untuk menjaga dan merawatnya. Alhasil tak aneh jika sekarang banyak telephone umum yang tak berfungsi, tetapi justru terbengkalai tanpa perawatan sama sekali.




 Di bawah teriknya sorotan sinar matahari, kesepian senantiasa menghinggapi fasilitas umum yang satu ini.

  Setia dengan telephone umum di halaman sekolahnya.

 Memanfaatkan fasilitas untuk menghubungi keluarga.

   Telephone umum yang terpasang di kantor pos sekitar kawasan nol kilometer, Yogyakarta.

 Tak lepas dari tangan jahil manusia yang senantiasa selalu merusak.

  Terbengkalai di bawah rindangnya pohon-pohon jalanan kota.

 Seorang pemuda melintas di depan telephone umum SMPN 4 Yogyakarta.

Ketahuilah, sebenarnya telephone umum-pun tak ingin ditelantarkan.
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 30 Oktober 2010

Perlawanan dari Selatan

Perjalanan setelah malam tadi, sebatas mengintari gegap-gembitanya suasana Jogja.
Seorang Ibu mengantarkan anaknya berangkat ke sekolah melalui jalanan yang penuh abu vulkanik pasca letusan semalam (30/11), penggunaan masker pada keduanya sangat melindungi Ibu dan anak ini dari gangguan pernapasan.

          
          Sorosutan-Dapos. Ketika itu, hari telah berganti menjadi Sabtu. Sempat terlihat pada jam analog yang ada di telepon genggam sudah menunjukkan pukul 00.45 WIB. Aku bersama lima orang temanku, yakni: Bom-bom, Oki, Kethek, Andi, dan Yeyen masih terlena dalam percakapan ringan yang disertai banyak hinaan. Seorang dari kami mengajak untuk menikmati sebuah hidangan malam di sudut kota Jogja, karena Ia merasakan lapar pada perut kecilnya. Kami bergegas dengan sepeda motor masing-masing meluncur ke lengangnya jalanan kota Jogja, laju motor kami terhenti di warung nasi koyor Bu Parman yang terkenal sejak tahun 1968. Setelah selesai  menikmati santap malam, kami bersantai sejenak dan kemudian meninggalkan warung tersebut setelah menyelesaikan proses administrasi.
            Kami kembali di pekubuan, tetapi salah satu dari kami memutuskan untuk tidur dengan alibi matanya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Akhirnya praktis hanya tersisa kami berlima, canda dan tawa selalu menghiasi hinaan demi hinaan. Entah mengapa angin begitu syahdunya bertiup mendayu-dayu dari arah utara menuju selatan, tak ayal rasa dingin menyelimuti kulit kami. Seorang dari kami memekik saat  membuka sebuah situs jejaring sosial, Ia mengatakan jika telah terjadi hujan abu vulkanik di sisi utara menuju selatan, hingga telah mencapai Jalan Kaliurang (Jakal) kilometer 1.
            Dengan semangat petualang yang besatu dengan naluri jurnalistik kami berlima seketika itu juga segera menancapkan gas motor menuju ke Jakal, singgah sejenak di sebuah apotek untuk membeli masker. Sesampainya di Jakal, abu vulkanik sudah mampu menyelimuti semua badan jalan dan apapun juga yang tak tertutup. Petualangan kami sempat terhenti di kilometer 6, di ring road utara tepatnya. Seorang Polisi melarang kami untuk tetap melaju, akhirnya kami berhenti beberapa menit untuk mensiasati sesuatu agar tetap melaju ke utara.
            Kami berhasil melalui blockade Polisi tersebut dengan sedikit kelihaian mencari jalur tikus (jalur kecil, biasanya berupa gang), setelah berhasil meloloskan diri dari Polisi yang sibuk mengatur kacaunya lalu lintas di perempatan Kentungan itu, kami kembali melaju tanpa hambatan menuju utara tanpa tujuan.
            Abu vulkanik yang membumbung tinggi karena lalu-lalang kendaraan mulai menganggu pandangan kami, sementara seperti apa kabarnya Merapi tak kami ketahui. Jarak pandang tak lebih dari 100 meter, itupun harus menggunakan bantuan lampu motor. Karena kami rasa sudah tak memungkinkan lagi untuk terus melaju, akhirnya kami sepakati untuk kembali dan melihat riuhnya suasana kota akan pengungsi. Tetapi alun-alun utara yang awalnya ramai dengan pengungsi, kini mulai ditinggalkan oleh para pengungsi tempat itu. Akhirnya terpaksa kami kembali ke pekubuan sembari membagi masker pada para pedagang yang hendak mengadu nasib di peraduan. Sosial dikala fajar menyingsing, menandai adanya sisi lain dari kegilaan kami.*

Baca Selengkapnya...