Selasa, 22 Februari 2011

Pengamen Berjilbab Merah itu Seorang Guru

          Angkringan depan kampus menjadi tujuan kami setelah sedikit perdebatan di dalam ruangan tadi. Seperti biasa, segelas es coffemix aku pesan. Dengan sengaja tanganku bergerak cepat mengambil sepotong mendoan, tempe berjaket tepung. Seketika mendoan itu telah habis sebelum es coffemix selesai dibuat, habisnya-pun secepat aku mengambil dari tempatnya tadi.

          Setelah sejenak menunggu, pesanan itu datang juga. Dengan bantuan sedotan limun akhirnya minuman berwarna coklat muda itu meluncur deras menuju kerongkonganku. Karena tak terlalu menahan dahaga, rasa-rasanya enggan untuk menghabiskan segelas es coffemix itu.

Ilustrasi
          Aku arahkan pandangan kosong menuju riuhnya jalanan depan kampus. Jl. Taman Siswa dengan nomor 158 sore ini nampak megah, semoga saja isinya semegah bangunannya. Dalam lamunanku terdengar suara tamborin dengan nyanyian yang tak begitu jelas, sempat aku mengira itu hanya halusinasi semata. Setelah tersadar dari lamunan, ternyata memang ada seorang ibu melantunkan sebuah lagu lengkap dengan tamborin seperti lamunanku tadi.

          “Astaga. Ibu itu seorang pengamen?” batinku dengan sedikit keraguan dan penuh tanda tanya. Aku mesangsikan profesinya, karena jika sekilas melihat dari penampilan, jelas ia seorang terpelajar. Pakaian yang dipakai serba bersih. Jauh dari unsur pengamen, apalagi pengemis. “Saya guru dari Tulungagung mas, kalau ndak terpaksa juga ndak begini,” kurang lebih begitu ucapnya setelah bernyanyi di depan kami.

          Aigh, ibu pengamen berjilbab merah itu seorang guru. Lebih jelas lagi saat bercakap-cakap dengan salah seorang temanku, saling sapa tepatnya, yang kebetulan pernah berbincang-bincang di alun-alun utara beberapa waktu yang lalu. Setelah si ibu pergi, aku mencoba menggali informasi dari temanku. Tapi sayang, temanku juga tak terlalu ingat keseluruhan perbincangannya dulu. Yang teringat oleh temanku hanyalah ibu yang sudah tak bisa dikatakan muda lagi itu berasal dari Tulungagung. Entah karena ditipu atau apa, yang jelas ia seorang guru, atau mantan guru. Aku tak dapat banyak informasi malam itu. Mungkin jika suatu saat nanti bertemu lagi, akan ku kabarkan berita pada semua lengkap dengan informasinya.

          Sayang, aku juga tak sempat menanyakan namanya. Tapi inilah realita yang terjadi di Negeri kita, yang mereka bilang negeri besar karena menghargai jasa pahlawannya. Eitz, apakah kata “menghargai” itu ditujukan kepada pahlawan yang bertanda jasa saja? Yang kabarnya oknum-oknumnya sering melanggar hak-hak manusia itu. Sedangkan yang tak bertanda jasa diacuhkan, miris sekali jika prasangka ini benar. Umie Bakrie oh Umie Bakrie.          
Baca Selengkapnya...

Minggu, 13 Februari 2011

Nama Ayahku jadi Nama Panggilanku

            Simon. Mereka sering memanggilku dengan nama itu, tak kenal kampus ataupun jalanan, entah itu kawan kuliah ataupun kawan sekolah dahulu. Sudah sejak duduk di sekolah menegah pertama aku disapa demikian. Awalnya memang tak terima saat pertama kali mereka memanggil aku dengan nama itu. Bagaimana tidak? Itu nama ayahku.

            Upz. Aku masih ingat betul ketika sekolah menengah pertama dulu, jika tak salah waktu itu saat sedang berlangsung kegiatan ekstrakulikuler Pramuka. Kegiatan rutin setiap Jum’at sore. Seseorang dengan perawakan kurus, sepertinya hanya tersisa tulang dibalik kulitnya yang hitam. Tanpa daging, andai-pun ada dagingnya mungkin tidak banyak. Rambut lurus belahan tengah yang dimilikinya selaras dengan bentuk wajahnya yang bulat sedikit oval. Yosef Atmaja namanya, dengan catatan jika nama itu belum diganti. “ Omahmu mbi omahe Simon ngendine (rumahmu dengan rumahnya Simon mananya)?”, teriak Yosef tiba-tiba. Pada saat itu juga ku jawab dengan lirih bahwa kami tinggal serumah, karena beliau ayahku. Tak tahu dari siapa ia mendapatkan nama ayahku, tapi yang jelas setelah mendengar jawabanku kemudian ia mengejek dan memanggilku dengan nama ayahku. Aku memperingatkannya, tapi semakin ditanggapi, perkataannya justru semakin menjadi-jadi. Setelah kejadian itu, hampir semua temanku seangkatan memanggilku dengan nama ayahku.

            Masa-masa itu memang sedang ngetrendnya lelucon panggilan nama ayah. Aku sempat tersinggung, tapi lama-kelamaan aku jadi terbiasa dengan sapaan baru itu. Karena bukan hanya aku, hampir semua teman seangkatan juga mengalami hal yang sama denganku. Semenjak lulus dari tingkat menengah pertama, kulanjutkan sekolahku menuju tingkat menengah atas. Mungkin karena masih berada dalam satu kota yang sama, tak ayal teman seangkatan-pun juga masih banyak yang sama. Mudah untuk ditebak, jadi nama ayah yang telah melekat dalam diriku itu tak dapat ditawar lagi, namun setidaknya aku mulai nyaman dengan panggilan itu. Ya nyaman, karena aku mulai menyadari arti penting dari seorang ayah dalam keluargaku.

            Perjuangan ayah selalu membuat aku takjub, membuatku merasa sangat kecil dihadapannya. Seakan aku tak berarti dan tak punya arti, dibandingkan dengan semangatnya dalam berkarya. Perasan keringatnya hanya untuk membahagiakan ibu, aku, dan adikku. Aku kan selalu berdoa, semoga kita semua diberikan umur panjang. Dan selamanya kita bersama, dalam suka maupun duka. Aku percaya, ucapan adalah doa. Ayah, jangan pernah lelah untuk membimbing kami menuju sesuatu yang mulia.

            Kurang-lebih tujuh tahun sudah petama kali namamu menjadi panggilan bagiku, sampai aku menginjak pada perguruan tinggi namamu tetap melekat dalam diriku. Kini aku bangga dengan nama itu, nama ayahku, lelaki kebanggaanku. Mulai dari sekarang, jangan pernah menciutkan hatimu jika orang lain memanggilmu dengan nama ayahmu. Karena tanpa nafkah seorang ayah, ibu cukup kesulitan merawat kalian semua. Sejauh semua baik, semuanya akan baik-baik saja.
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 29 Januari 2011

Susahnya jadi Biduan

            Kendaraan yang dikemudikan mulai berjalan pelan. Tanpa ada komando atau perintah, kepalanya ditolehkan 90 derajat ke arah kanan, arah utara. Kejadian seperti itu bukan sekali, juga bukan hanya dua kali, tiga kalipun sepertinya juga masih kurang. Nampaknya ada tontonan spesial siang ini (28/01), sehingga para sopir yang lewat selalu memandang. Pandangan itu bukan pandangan biasa, seperti pandangan birahi yang menyala dalam segunung jerami kering.

            Bukan tanpa alasan untuk memandang, sebuah hiburan tersaji dalam hajatan yang kebetulan letak rumahnya berada di pinggir jalan lingkar. Hanya tinggal menolehkan kepala campursari “Degleng Nada” dengan enam penyanyi telah siap menghibur para tamu undangan, sekaligus sopir yang lewat.

            Bodinya seksi, suaranya kecil dan lantang. Ketika cemberut-pun manis, apalagi ketika senyum. Istimewa. Berkat goyangannya yang panas menggoda, seluruh pasang mata undangan tak lepas dari wajah dan tubuhnya. Kalau Aku tak salah dengar, Ayu Farida biduan itu dipanggil oleh MC. Ketika pertunjukan campursari menjelang sore, biduan itu semakin cemberut. Tempat duduknya harus bergeser mendekati para peminum alkohol, demi memuaskan hasrat yang menginginkannya. Alhasil goyangannya sudah tak menggoda seperti tadi lagi. Kini di bawah kepungan pemabuk yang berjoget biduan itu sepertinya mulai merasa tak nyaman, sebentar-sebentar memberi kode pada MC mengeneai keresahannya itu. Bahkan seseorang dengan sengaja mendekati dan meminta nomor telepon genggam biduan itu ketika sedang istirahat. Aku menduga-duga apa yang dilakukan setelah tahu nomor telepon genggamnya. Hanya pesan singkat, sekedar telepon, atau mungkin yang lainnya. Aigh, untuk apa juga aku menduga-duga? Hanya membuang waktu untuk berpikir urusan yang seharusnya tak menjadi urusanku, juga tiada hak bagiku mencampuri urusan itu.

Tiga dari enam penyanyi yang menghibur tamu undangan siang itu
            Aku melihat hal ini secara langsung beberapa meter dari lokasi itu. “Njogeto, njogeto seng hot, tak sawer ngko (goyang, goyang yang hot, nanti disawer),” ungkap salah seorang pria setelah menuang alkohol dalam gelas lalu meminumnya. Aku juga terlena dalam nuansa campursari ini, seakan memandang rendah biduan-biduan di depan seperti orang yang baru saja berucap tadi. Tapi perasaan itu segera kubuang jauh-jauh dari pikiranku. Jean Marais seorang tokoh pelukis dari buku Bumi Manusia karya Pramodya Ananta Toer pernah berkata kepada Minke. Jika, terpelajar itu sudah harus adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Aku takkan menghakimi biduan itu dengan pikiranku sendiri. Kalaupun justifikasi dari pikiranku benar, apa pentingnya buatku? Serupiah-pun tidak bakal keluar dari dompetku.

            Belum tentu semua biduan seperti yang orang lain bayangkan, belum tentu biduan selalu rendah morilnya. “Mengurus moral sendiri saja aku belum becus, mengapa sudah mengurus moral orang lain?,” ungkapku dalam hati.

            Aku tak menyalahkan sopir-sopir yang menoleh, juga tak menganggap salah para penikmat alkohol dan pejoget. Merasa benar akan sikapku sendiri-pun tak bermaksud demikian, hanya sebuah dukungan untuk para biduan. Tak semua biduan itu sama seperti yang kebanyakan orang pikirkan, jika bisa memilih? Mungkin mereka tak memilih pekerjaan ini. Menghargai seni daerah dan para penggiat seni daerah merupakan tugas kita bersama, jangan lukai seni itu dengan ego kita sendiri. Ingat, kebudayaan nasional bersumber dari kebudayaan daerah.
Baca Selengkapnya...

Selasa, 25 Januari 2011

Berteduh di Angkringan

          Key-in atau yang lebih dikenal dengan nama KRS-an tadi (24/01/2011) memang berjalan cukup sukses, seluruh mata kuliah yang dipilih berhasil diambil. Dengan selesainya key-in, maka sudah menjadi suatu kewajiban untuk segera pulang menuju kampung halaman.


          Perjalanan pulang bukan tanpa halangan. Angkringan (warung kopi) yang terletak di pinggir jalan raya Yogya-Solo ini sudah menjadi tempat ketiga untuk sekedar berteduh. Memang hujan turun tak terlalu deras, bisa dibilang hanya gerimis, tapi gerimis itu cukup membuat kami berdua basah kuyup jika tetap nekat melanjutkan perjalanan. Mengingat masih ada jarak 80 kilometer lagi untuk sampai tujuan.

          “Monggo mas, pinarak mlebet (mari mas, silahkan masuk),” sambut pemilik warung berambut gondrong sibak tengah itu. Kedua matanya yang bulat memandangi kami dengan senyuman lebar pada bibir tebalnya, kuperhatikan posisi gigi bawah lebih maju dari gigi atas. Dari wajahnya dapat kutaksir belum sampai 30 tahun usianya, masih muda.
           “Nggih mas, ada kopi mas,” kataku.
           “Kopi item ada, kopimix juga ada”
           “Kopi item satu, kopimix satu mas”
           “OK. Dari mana mau kemana mas?”
          “Dari Yogya mau ke Sragen, udane wes wet mau to mas (hujannya sudah sejak tadi mas)?”
          Ho’o mas, neng ora patik’o deres. Mau yo ono sopir ko Sragen mampir kene, lagi ae (iya mas, tapi tak lebat. Tadi juga ada sopir dari Sragen yang mampir ke sini, baru saja), ” jawab pedagang itu dengan sopan dan ramah.

          Sebungkus nasi dilengkapi satu tempe bengok dan satu tempe gembus menemani kopi hitam kental ini. Tak membutuhkan waktu lama untuk terlarut dalam sebuah obrolan, obrolan dengan segala tema. Hargai cabai yang melonjak akhir-akhir ini menjadi bahan dalam perbincangan di pinggir jalan Yogya-Solo, bersama pedagang angkringan. Awalnya aku bercerita bahwa cabai di daerahku sudah seperti barang mewah, persawahan dengan tanaman cabai selalu dijaga dengan ketat setiap malam. Bak para sipir yang menjaga para narapidana di penjara. Aigh, sipir-pun tak seketat ini. Hal ini semata-mata agar cabai tidak lenyap dicuri oleh orang lain. Ya, memang sejak harga cabai melambung tinggi banyak orang tak bertanggung jawab mencurinya. Apalagi kalau tak karena terpikat harganya, untuk urusan perut dan bawahnya. Santer terdengar seorang pencuri babak belur dihajar masa, setelah ketahuan mencuri cabai di daerahku.



          “Maling Lombok nek konangan terus ono barang buktine kon mangan lomboke seng dicolong kui wae mas, ngasi entek. Nek gak gelem lagi laporne Polisi, daripada do main hakim sendiri (pencuri cabai kalau ketahuan dan ada barang buktinya, cabai yang dicuri itu harus dihabiskan si pencuri. Kalau tak mau, baru lapokan ke Polisi, daripada main hakim sendiri,” celetuk pedagang itu menanggapi ceritaku tadi. Tak ayal tanggapan itu disambut gelak tawa dari kami bertiga. Pemikiran yang lumayan unik dari mas Dwi, ku ketahui namanya Dwi setelah berkenalan usai celetukan itu.
Sosok mas Dwi yang diharapkan anak dan istrinya sebagai tulang punggung keluarga.

          Bunyi air hujan yang turun di atas tenda oranye ini masih terdengar keras, itu tandanya hujan belum berhenti. Obrolan kami terus berlanjut. Mas Dwi mengeluh banyaknya saingan sekarang ini membuat dirinya harus bekerja lebih ulet lagi. Pria kelahiran Wonosari tahun 1983 ini sekarang telah beristri dan dikaruniai seorang anak. Untuk tetap bertahan di zaman sekarang, semua harus diperhitungkan.

          Mas Dwi tergolong pecandu berat rokok, dalam sehari ia bisa menghabiskan dua bungkus rokok "76". Ia tak pernah mencoba rokok mild, taksirannya sendiri jika merokok mild dalam sehari mungkin bisa mencapai empat bungkus. “Nek kepepet mas, nek kepepet aku lagi udud "BB" mas. Masalahe nggo biaya anak sekolah barang ok mas (Kalau terpaksa aku baru merokok BB mas, masalahnya untuk biaya uang sekolah anak juga),” terangnya. Dengan gerobak dan dagangannya ia mempunyai tanggungan yang besar untuk menghidupi keluarganya, agar kelak semua dapat tercapai seperti apa yang diharapkannya.

          Tempat berteduh ketiga kami ini mempunyai banyak pelajaran hidup. Setelah menghabiskan kopi, walau gerimis tetap kami paksakan untuk melanjutkan perjalanan. Dan akhirnya harus berteduh lagi, lima kali berteduh cukup membuat kami bosan. Perjalanan yang idealnya ditempuh dalam waktu dua jam, kini harus molor hingga enam jam.

           
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 22 Januari 2011

Tingkah Richi Ketika 11 Januari


         Selasa senja di Keadilan, 11 Januari 2011 silam. Menampakkan kesunyian di balik ramainya Yogyakarta, memperlihatkan hiruk-pikuk yang lenyap karena cuaca, hanya menyisakan beberapa manusia beraktifitas.


          Matanya melotot setiap dia berkata, dan mata itu selalu berpindah pandang dari teman yang satu ke teman lainnya. Apa yang diucapkannya cukup meyakinkan, memang dia seorang terpelajar dengan status mahasiswa aktif di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

         Anak persma mana yang tak mengenal pria berkulit sawo matang dengan rambut keriting sebahu berkuncir ini? Lengkap dengan celana jeans panjang model cutbray melekat di pinggangnya, selera dia dalam berpakaian memang lain dari mahasiswa modern yang sebaya. Giginya sedikit kurang teratur, terlihat jelas ketika dia sedang tertawa.

           Sepintas bentuk wajahnya yang oval terlihat mirip seperti pemain sepakbola asal Brasil, sempat juga Aku mengira bahwa dialah Ronaldinho. Tapi perkiraanku itu dengan cepat ditepis oleh gaya bicara dan bahasa yang digunakannya, dari situlah Aku dapat mengetahui dengan jelas dia seorang warga negara Indonesia. Lewat aroma badannya tak dapat Aku taksir kapan ia terakhir mandi, belum tentu juga tadi pagi. Teman-teman sering memanggilnya Richy, karena memang namanya Richy. Pasti bukan anak persma jika tidak mengenal ketua Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Yogyakarta yang satu ini.

          Sore itu setelah rapat selesai, kudapati Richi duduk seorang diri di depan ruang Keadilan. Dia tersenyum lebar ketika mengetahui beberapa dari anggota Keadilan keluar dari ruangan yang penuh dengan barang bantuan untuk pengungsi itu. Ya, semenjak erupsi Merapi ruangan Keadilan seakan-akan menjadi gudang timbunan bantuan.

          Sepertinya telah turun hujan ketika rapat berlangsung tadi, walau mungkin tidak terlalu deras. Hujan itu membasahi pelataran kampus, tumbuhan nampak tersenyum senang dengan adanya air jenuh dari langit. Richi duduk di kursi sofa bekas, bau sofa itu juga sudah tak bisa dikatakan wangi lagi. Bahkan busa yang ada dalam sofa tersebut sudah terburai keluar dengan sendirinya, tangan-tangan jahil juga mempunyai andil besar terhadap terburainya busa sofa tersebut.

          Andi, Fauzi, Tommy, Ockhy, duduk diatas apa yang sekiranya dapat mereka duduki. Dan Aku terpaksa duduk di salah satu sofa, sementara Adnan ada di dalam ruang Keadilan. Perbincangan dengan Richi beserta beberapa anggota Keadilan dimulai. Gaya bahasa dengan logat timur satu per satu keluar dari mulut yang tak didukung gigi beratur. Dia berasal dari Belu, Nusa Tenggara Timur.
           
           Dengan fasih dia berbagi ilmu tentang tata bahasa Indonesia. Richi menganggap bahasa Indonesia adalah bahasa asing, karena sejak kecil sampai dia mengenyam sekolah di daerah asal, dia dan sang guru selalu menggunakan bahasa daerah. Tidak dapat diketahui secara jelas, apakah karena alasan itu dia mengambil jurusan bahasa dan sastra untuk pendidikan tinggi yang sedang ia tempuh? Tapi setidaknya rakyat Belu mempunyai secerca harap dari pria berperawakan tinggi-kurus berkulit sawo matang ini.

          Menjelang Isya’ perut kami sudah tidak bisa diajak kompromi. Andi, pria muda dengan codet di sebelah hidungnya mengajak kami makan di warung Mbak Siti. Dengan sedikit bualan, akhirnya Richi menyetujui untuk ikut makan malam bersama kami. Hanya Aku, Richi, Adnan, Fauzi, dan Andi yang turut serta dalam makan malam.

         Setelah memesan makanan, kami masuk dalam ruangan sempit yang nampak seperti ruang tamu milik Mbak Siti. Ruangan dengan ukuran 3X4 itu dipenuhi tumpukan kardus mie instan pada bagian depan, sementara ada lima kursi ditengah. Ternyata Mbak Siti bukan hanya penjual mie instan, di sebelah sisi kiri ruang tamu yang kami gunakan untuk makan terdapat banyak tabung gas elpiji 3kg untuk dijual. Di depan tumpukan gas elpiji 3kg terdapat sebuah motor bebek buatan Jepang.

          “Permisi mas, mau ngetokne motor dulu”, kata orang di belakangku dengan nada lirih dan bahasa campuran Jawa-Indonesia. Lelaki paruh baya dengan perawakan kekar itu lantas mengeluarkan sepeda motor yang berada di belakang kursi. Aku sanggup memastikan ia ayah Mbak Siti, seorang pensiunan tentara, terbukti ketika kulihat dari pigura di ruangan sebelah yang memajang potret ayahnya sebagai tentara.

          Mie instan disajikan satu per satu, Fauzi yang pertama menikmatinya. Suhu udara yang panas, membuat pria asal Solo ini berkeringat saat makan dan akhirnya harus membuka jaket jeans yang melekat pada tubuhnya. Richi mendapat giliran terakhir sebelum Aku, nampak mencampurkan dua bungkus nasi ke dalam sepiring mie goreng nyemek yang dipesan. Aigh, tak dapat Ku bayangkan bagaimana rasanya. Mungkin karena baru pertama kalinya makan mie seperti ini, maka Richie sedikit kebingungan untuk melahapnya.

          Waktu telah beranjak dua puluh satu menit dari jam delapan malam. Mengingat masih ada ujian esok hari, kami meninggalkan ruangan sempit itu lantas membayar, dan kemudian pulang menuju kost masing-masing dengan keadaan kenyang sekenyang-kenyangnya.
          
Baca Selengkapnya...

Minggu, 16 Januari 2011

Tak Suka Bukan Berarti Harus Membenci

Sikap antipati terhadap grup musik pendatang baru muncul beberapa tahun terakhir ini, stigmatisasi buruk untuk sebuah karya musik bagaikan virus yang berkembangbiak di masyarakat. Awalnya sikap antipati tersebut berasal dari pikiran segelintir manusia, kemudian orang lain dengan sendirinya terpengaruh dengan pikiran tersebut, dan secara cepat merambat keseluruh lapisan masyarakat khususnya kaum muda.


          Masih ingat dengan Radja? Ya Radja. Menurutku grup band dengan empat personil itu merupakan korban pertama dari stigmatisasi buruk masyarakat. Tidak diketahui dengan jelas motif yang mendasarinya. Apa memang kualitas musik yang kurang? Atau hanya karena penampilan semata? Yang jelas, sikap anti-Radja gencar pada saat itu. Kemudian menyusul sebuah band melayu yang menamakan dirinya Kangen band. Beberapa lagunya memang sempat menjadi nge-hitz di radio, tak ayal menimbulkan sikap simpati dari masyarakat. Namun setelah melihat performanya secara langsung, sikap simpati berubah menjadi antipati yang berlebihan. Tahun 2010 lalu Pewee Gaskins juga tak luput menjadi korban stigmatisasi buruk itu, setelah sebelumnya Wali. Menyusul grup vocal Sm*sh yang dianggap sebagai plagiat secara sepihak oleh beberapa masyarakat, masyarakatpun mengklaim jika Sm*sh kumpulan manusia gay, tapi tanpa verifikasi yang akurat.

          Virus stigmatisasi buruk seperti itu kemudian menjadi sesuatu yang biasa. Karya orang dicela, padahal belum tentu si pencela bisa menciptakan karya yang lebih baik dari yang dicelanya. Boro-boro lebih baik, untuk menyamainya saja nafsanya ngos-ngosan.

          Sudahlah, biarkan mereka berkarya sesuai kemampuan maksimalnya. Kita memang mempunyai hak untuk menilai, tapi tak usah terlalu berlebihan. Ingat kawan! Tak suka bukan berarti harus membenci, tak suka bukan berarti sikap antipati, tak suka bukan berarti harus memusuhi.
Baca Selengkapnya...

Minggu, 09 Januari 2011

Jangan Salahkan Hujan

          Dua jarum pada jam dinding kamarku menunjukkan hari telah beranjak siang, teringat betul olehku karena mataku terbuka pertama untuk kalinya di hari itu. Aku membuka mata untuk hari bersejarah yang takkan terulang kembali, cetusku dalam hati tanpa emosi. Seketika teringat bahwa hari ini tepat dimulainya laga perdana Liga Primer Indonesia (LPI), dan Aku sudah berjanji bersama beberapa teman untuk menyaksikannya secara langsung sore nanti.

          Ketika waktu sudah jenuh untuk menemani siang berawan ini. Aku melaju bersama beberapa temanku menuju Manahan, stadion megah di pinggiran Kota Bengawan. Belum juga perjalanan ini sampai setengah dari tujuan, laju motor kami harus terhenti oleh tetesan air. Tetesan air dari angkasa, manusia selalu menyebutnya hujan.

          Di jalanan menuju Solo tak satupun Aku menemui hingar-bingar euforia pembukaan LPI, mungkin hanya satu-dua motor beratribut Pasoepati, suporter fanatik dari dan untuk Solo denga corak merah. Hujan tetap tak terbantahkan, sekalipun Aku memohon untuk reda sejenak saja. Perjalanan berakhir setelah motor yang kami tumpangi berada di depan Stadion Manahan Solo, tak kepalang tanggung basahnya.

          Dari petugas parkir Ku ketahui tiket telah habis, jikapun ada berarti harus membelinya dari calo dengan berkali lipat nominalnya. Tak seperti di jalanan tadi, di peraduan ini suasana sangat meriah, warna merah sangat kentara sekali, riuhnya seakan tak tertandingi. Tapi sayang, hujan itu membuat kami terlambat dan tiketpun melayang. Terdengar dari pengeras suara, nada seorang wanita dengan lembut dan mempesona yang menyebutkan tuan rumah tertinggal tiga gol dari tamunya. Nama Bachdim juga tak luput disebut, berkat kelihaiannya mampu membius nusantara akhir tahun lalu dan awal tahun ini. Sayang, tak kudapati momen itu, hanya dari pengeras suara. Sekali lagi karena hujan.

          Babak pertama memang telah berakhir, tapi tak sia-sia kuintari bagian luar lapangan megah ini. Pintu tribun selatan, tepatnya belakang gawang telah menganga tanpa gembok lagi. Besi sebagai pembatas itu kuperhatikan telah bengkok, ada dua dugaan dalam hatiku. Pintu itu dijebol secara paksa oleh para mereka yang mana tak bertiket, itu yang pertama. Atau memang sengaja dibuka karena banyaknya mereka yang beratribut serba merah.

          Secara perlahan sampailah Aku di tengah euforia pasukan merah. Hujan memang menang dalam perdebatan sengit denganku hari ini, seakan belum puas membasahi raga. Hanya tersisa babak kedua, tak kudapati upacara pembukaan LPI. Hujan telah mengagalkan rencana manisku setelah bangun siang tadi. Tak Ku hiraukan kekecewaan pasukan merah yang tak terbantahkan, tim yang didukungnya takluk lima gol dengan satu balasan, beruntungnya tanpa anarkis.

          Niatan bermalam di Kota Bengawan sirna, karena hujan. Kau hujan, mengapa tak beri kami sedikit waktu untuk sejenak menghindar dari dingin. Sampai kami pulangpun Kau tetap setia menindas raga kami, tindasan sadis yang tak akan pernah terbantahkan apalagi terbalaskan. Namun hati kecilku berbisik, "jangan salahkan hujan!". Bisikan itu terngiang selalu setiap Aku mengkambing-hitamkan hujan. Lambat-laun Aku tersadarkan betapa bangsaku takkan ada tanpamu, bangsaku akan menangis dan menjerit tanpa kehadiranmu. Aigh, bukan hanya bangsaku. Seantero bumi akan melong-long untuk kehadiranmu, ampuni Aku yang telah menyalahkan keberadaanmu.
Baca Selengkapnya...