Senin, 31 Oktober 2011

Memori yang Tertinggal

Cerita perjalanan ringan hingga akhirnya menyadari ada sebuah memori yang tertinggal.

Ketika waktu mulai beranjak tiga puluh menit dari pukul empat sore, aku mulai bergegas mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) di Kaliurang. Tapi sejuknya putaran kipas angin di dalam kamar kos ukuran 3X4 meter membuat aku malas untuk berkemas. Mungkin karena kaca ventilasi kamar yang ada di lantai dua ini telah memberitahuku tentang betapa masih panasnya suhu di luar sana. Namun lambat-lambat kuambil juga sebuah ransel.

          Hanya butuh beberapa menit untuk membuat ransel yang aku miliki sejak zaman SMA itu penuh akan barang bawaan. Tiga potong baju ganti, lalu empat celana-dalam siap pakai berada di susunan paling bawah. Mayoritas berwarna gelap. Laptop merk MSI lengkap dengan chargernya ada di atas tumpukan baju, barang elektronik itu ku atur berdiri agar menempel di punggung ketika dicangklong nanti. Disusul sebuah kamera D-SLR tipe 450D keluaran Canon—aku berharap bisa hunting foto dan mengabadikan kegiatan pelatihan nanti. Agar terlindung dari air hujan, semua barang bawaan aku bungkus dengan satu plastik putih transparan, bekas wadah laundry.

          Selesai mandi dan aku rasa tak ada barang yang tertinggal lagi, mulailah ku langkahkan kaki menuju tangga. Sesampainya di depan kamar Arif—mahasiswa ekonomi semester lima, berambut kribo, kulitnya putih, dan murah senyum—aku lambaikan tangan pada beberapa teman kos yang sedang asik bermain game.
Metu sek yow (keluar dulu ya),” pamitku pada mereka.
Ameh nang ndi rika? Muleh opo, Bob (mau kemana kamu? Pulang ya, Bob)?” teriak Arif dengan logat ngapak khas Cilacap.
Ameh dolan, sek yow (mau main, duluan ya).”
Owh yo, ati-ati Bob (owh iya, ati-ati Bob).”

          Setelah bertele-tele karena terkendala berbagai masalah, akhirnya aku sampai juga di lokasi PJTL berada. Wisma Al-Kindi namanya, berada tepat di depan laboratorium tumbuhan hutan milik Perhutani. Aku parkirkan mesin rakit buatan Jepang yang sering disebut sepeda motor di sebelah kanan wisma.

          Hmm. Jika dilihat, wisma yang terletak di Jalan Boyong ini umurnya sudah tua. Bangunannya belum ada sentuhan modernitas seperti perumahan-perumahan masa kini. Dengan halaman parkir yang tidak terlalu luas, di bagian depan pojok kiri wisma terdapat kolam ikan yang warna airnya sudah menghijau seperti lumut.

          Ketika masuk ke dalam, kulihat ada dua orang yang menurutku asing. Ternyata dialah pemateri PJTL malam ini hingga beberapa hari ke depan. Mas Fahri  Salam. Seorang wartawan independent yang bekerja di Yayasan Pantau. Badannya kurus, dan berperawakan sedikit jangkung. Rambutnya hampir mirip dengan temanku Arif, namun masih sedikit rapi Mas Fahri. Matanya sedikit melotot ketika berbicara. Dari logat bicaranya, aku tak mampu menebak dari mana asalnya. Jawa bukan Sumatera juga bukan? Apalagi Sulawesi, lebih ngaco lagi.

          Malam itu hanya diisi dengan perkenalan, baik dari Mas Fahri ataupun peserta. Setelah itu bebas, terserah peserta mau apa.

          “Ayo ke pocian, yuk,” ajak seorang teman. Tak ragu lagi, dengan anggukan kepala aku menyanggupi ajakannya. Dengan beberapa motor kami menembus dinginnya angin pegunungan, membuat tubuh menggigil jika berlama-lama berada di jalanan, kabut yang membawa tetesan air membuat pakaian kami sedikit basah.

          “Puh, sepi benar malam ini,” batinku dalam hati. Baru semenit berada di warung poci, kabut tipis yang membalut tubuh kami di jalan tadi sudah berubah jadi hujan. Tuntas sudah harapan warga Yogya pada umumnya, awan jenuh yang tak kuat menahan beban akhirnya memuntahkan butiran air yang biasa kita sebut hujan. Semoga di kota Yogya juga demikian, agar debu-debu liar jalanan tersingkirkan. Seperti di Kaliurang ini.

          Intensitas hujan bervariasi. Kadang gerimis, yang hanya menimbulkan suara tik tik tik…. saat menyentuh atap. Kadang bisa segede biji jagung, trang trang trang…bresssssssssss…. Derasnya luar biasa.

          Warung yang dominan dengan ornamen warna merah muda itu juga sepi sekali. Ruangannya berkisar antara 5X9 meter. Hanya ada kami, aku tak ingat berapa banyaknya kami. Ada satu meja di pojok kanan warung yang dikelilingi kursi sofa, duduklah kami di situ.

          Kurang lebih sejam berada di warung yang hanya punya meja tak lebih dari delapan buah itu. Kami putuskan untuk pulang setelah selesai menikmati pesanan yang telah habis kami lahap. Lagi-lagi harus berhadapan dengan angin pegunungan, kali ini sehabis hujan.

          Setelah sampai di wisma. Aku ingat lagi kejadian sore tadi. Ceritanya begini, ketika salah seorang teman membuka file-file foto di laptop aku sempat berpikir, tak lebih dari lima detik aku bisa menyimpulkan ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu itu adalah kartu memori kamera. Payah benar ingatanku. Sebenarnya bisa, tapi tak mungkin juga jika aku harus kembali ke kos hanya untuk mengambil sebuah kartu memori. Aku memang pelupa, justru hal-hal kecil seperti ini yang sering terlupakan. Rencana untuk hunting dan mengabadikan momen harus tertunda, sayang sekali.

          Ugh, kesal sekali rasanya. Memangnya bisa apa kamera digital tanpa kartu memori? Ibarat kata bagaikan macan ompong dan tak berkuku, hanya meraung, jika lelah akan membisu. Hal ini mengingatkan aku pada kinerja di organisasi, tentang semua elemen itu penting. Tak ada satupun yang dianggap pelengkap, semua adalah bagian sekalipun tidak berperan sentral. “Agh, melantur apa aku ini?” batinku sembari berharap cepat sadar dari lamunan.

          Di ruang tamu, ada dua bantal putih yang ditumpuk di atas karpet usang. Tanpa perlu pikir panjang, tak peduli aroma apa yang melekat pada karpet 2X3 meter itu. Aku merebahkan diri untuk sejenak melepas lelah. Semakin lama mata semakin berat, rasanya seperti diganduli besi satu kilo saja. “Hoe, emange bantale nyepakne koe po (Hey, memangnya bantal itu nyediain kamu)?” teriak temanku Yeyen. Dia yang sebenarnya menyiapkan bantal itu untuk tidurnya. Namun aku tak ambil peduli, mata yang tinggal 5 watt ini sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Memori yang tertinggal juga sudah tak ku hiraukan lagi.

          Lalu lepas dari terjaga, terlelaplah aku.*

Baca Selengkapnya...

Senin, 24 Oktober 2011

Anak Kuliahan atau Mahasiswa

          Teriknya sinar matahari menghadirkan  pengetahuan dalam sesi formal di siang hari, pengetahuan yang terbatas akan sekat-sekat ruangan dan atap kelas. Realitanya, hanya sebagai rutinitas. Masuk kelas, lalu duduk sembari menanti namanya dipanggil dalam presensi. Sebagian besar berorientasi pada sebuah penilaian formal—izinkan aku untuk menyebut mereka anak kuliahan.

          Sementara di sisi lain, ada yang ingin terbebas dari semua itu. Tak peduli waktu terus berputar dari pagi sampai ke pagi lagi. Hari-harinya dihabiskan di luar kelas, tak ayal ilmu serta pengetahuan yang diperoleh jauh lebih nyata dibanding teori-teori. Tidak berlebihan jika aku menyebutnya mahasiswa—inilah aktivis.

          Perbedaan diantara keduanya sangatlah jelas. Dimana yang pertama hanya memikirkan pendidikan untuk dirinya sendiri, sementara yang kedua secara tidak langsung masih menyisakan harapan bagi kelangsungan hidup orang lain, berkat sebuah rasa kepedulian yang mereka miliki.

          Kata “maha” setelah “siswa” berarti menandakan sesuatu yang lebih. Ketika seorang mahasiswa masih menjalani rutinitas pendidikan layaknya anak sekolah dasar dan menengah, apakah sudah “pantas” mereka disebut mahasiswa? Sebuah pertanyaan yang menyimpan tanda tanya besar.

          Sesuai dengan dua paragraph awal, dapat diasumsikan bahwa mahasiswa adalah bagian dari anak kuliahan, tapi anak kuliahan belum tentu menjadi mahasiswa. Karena pada dasarnya mahasiswa tidak hanya membaca buku untuk diri sendiri, namun mereka juga harus mampu membaca hati dan tangis manusia yang terpinggirkan.

          Paradigma pendidikan di negeri kita memang sudah sedemikian mawut-nya, semua dilihat dari segi keformalan. Parahnya lagi biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyak mahasiswa menjadi pragmatis, yang dikejar hanya indeks prestasi dan cepat lulus, terkadang tak peduli dengan kemampuan yang dimilikinya. Terkait biaya memang tak bisa dipungkiri, sistem telah membuat mahasiswa mempunyai pola pikir seperti itu.

Agen perubahan dan Kontrol Sosial

          Ada sebuah jargon yang selalu hadir saat kampus menyambut mahasiswa baru. Mahasiswa itu harus jadi agen of change and control social. Dua peranan penting tersebut wajib ada dalam sanubari mahasiswa baru, lebih-lebih yang ingin jadi aktivis. Perubahan untuk siapa? Setidak-tidaknya perubahan untuk dirinya sendiri dalam mengambil sudut pandang berpikir—sebagai mahasiswa, bukan anak kuliahan—syukur-syukur perubahan itu bagian dari pencerahan untuk orang lain.

          Mahasiswa harus tahu jika hidup bukanlah sebuah dikotomi, hitam-putih ataupun benar-salah saja. Hidup merupakan perjalanan dinamika, rasa kepedulian yang diawali dari dunia kampus niscaya akan membawa kita menjadi manusia yang dapat memanusiakan manusia.

          Kampus didirikan tidak bertujuan untuk menciptakan robot-robot kapitalis, tapi untuk mereka yang kritis terhadap potensi diri dan gejolak sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Tak usah ragu untuk menjadi seorang aktivis. Aktivis memang rentan kena DO, namun itu hanya berlaku bagi aktivis yang malas dan disorientasi. DO merupakan resiko yang harus ditanggung bukan hanya oleh mahasiswa aktivis, tapi semua mahasiswa bisa mengalaminya.

          Aku lebih memilih mendapat predikat indeks prestasi (IP) rendah dengan skill tinggi daripada sebaliknya. Karena dengan kemampuan, kita dapat membuat berkarya yang nantinya tidak menutup kemungkinan akan mempekerjakan mahasiswa dengan predikat lulus cumlaude.

          Namun, menjadi aktivis juga perlu perhitungan. Tidak sedikit aktivis yang dis-orientasi tehadap apa yang ia lakukan di organisasinya. Sikap selektif untuk memilih organisasi mutlak diperlukan, agar hal-hal yang sekiranya tidak mencerminkan tingkah-laku mahasiswa dapat dihindari. (Boy). [#]
Baca Selengkapnya...

Minggu, 25 September 2011

Malam, Menyajikan Pengalaman dan Kewaspadaan

          Ketika jam di telepon genggamku sudah menunjukkan sekitar pukul 03.00 dinihari, ku putuskan untuk enyah dari ruangan 5 X 10 yang penuh dengan asap rokok para penghuninya. Bersama dua orang teman yang semuanya mengendarai vespa kami melaju menuju sebuah tempat makan 24 jam nonstop, tak lain dan tak bukan adalah warung burjo. Warung spesial bagi para mahasiswa. Mudah ditemui di kota pelajar seperti Yogyakarta, karena hampir-hampir di setiap tikungan ada.


         Setelah bingung menentukan warung burjo mana yang akan kami sambangi, akhirnya kami putuskan untuk melaju ke salah satu burjo di sekitar UGM. Aku sempat bertanya pada temanku Rama karena kendaraan mereka melaju ke arah jalan kampung. "Bang, tutup ya tempatnya?" teriakku dari atas jok sepeda motorku. "Loe bingung ya pasti, keliatan muka lu tuh", jawab Rama dengan logat yang tidak medok (jawa) sepertiku. Namun tak selang lama akhirnya kami parkirkan dua vespa milik Rama dan Noval serta satu shogun pinjaman dari temanku di samping burjo bernama Sangkuriang—setiap burjo memiliki nama tersendiri.

          Aku merasa sedikit aneh, dini hari seperti ini di warung burjo ada seorang tukang parkir. Di burjo ada tukang parkir saja bagiku tak biasa, lebih-lebih diwaktu dini hari seperti ini. Aigh, kenapa harus aku permasalahkan? Toh demi kebaikan dan keselamatan motor-motor kami juga. Mungkin karena negara yang selama ini tak mampu memberi lapangan pekerjaan membuatnya jadi tukang parkir sepagi ini.

           Dini hari seperti ini tetap saja ada pembeli yang datang dan pergi, luar biasa. Kurang-lebih sejam kami sudah berada di Sangkuriang, mie dok-dok dan es kopi yang dipesan pun juga tiada sisa lagi. Akhirnya kami putuskan untuk cabut dari warung itu, sebelum pergi tak lupa kami bayar apa saja yang kami makan tadi.

          Kurogoh kantongku untuk membayar jasa bapak tukang parkir setengah baya itu. Di sini aku melihat service yang diberikan bapak parkir itu luar biasa. Ketika datang tadi  ia mempersilahkan kami sembari mengarahkan posisi motor kami, kini saat kami akan pulang ia meminta kunci untuk mengeluarkan motor kami. Sempat aku berikan kunci yang salah, hingga ia kesulitan memasukanya. Maklum, ini motor pinjaman. Wajar jika aku salah memberikan kunci. Kami mulai terpisah, dua temanku dengan vespanya melaju ke arah barat untuk selanjutnya menuju Jl. Kaliurang, kos mereka. Sementara aku sendirian menuju ke timur Jl. Gejayan.

       Bermotor sendirian sepagi ini memaksa aku menikmati angin pagi dengan penuh kekhawatiran. Sesampainya di selokan mataram, tepat dipertigaan yang menghubungkan Jl. Gejayan dengan kampus Teknik UNY aku dihentikan oleh seseorang. Kulitnya hitam, kepala plontos, berkaos dan bercelana pendek.
"Boleh numpang, Mas"
"Aku mau kesana", sembari tanganku menunjuk arah utara.
"Iya, boleh mas boleh?"
Jujur saja, entah mengapa sedari perjalanan tadi pikiranku selalu teringat-ingat dengan pemerasan dan penusukan yang terjadi di Jogja akhir-akhir ini. Intuisiku mengatakan aku harus menarik gas secepatnya dan mengabaikan perkataannya, dan aku melakukannya.

        Sebenarnya tujuanku ke arah selatan, menuju Jl. Solo. Namun karena di pertigaan itu tak terdapat pemotongan batas jalan—batas jalannya beton dengan banyak pohon disela-selanya. Jadi mau tak mau aku harus ambil kiri untuk berputar arah menuju selatan. Mungkin karena perasaanku sudah tak karuan, tanganku menunjuk arah yang salah saat menjawab permintaan lelaki itu.
        
        Kegugupanku semakin menjadi-jadi, satu potongan batas jalan sudah ku lalui namun aku tak juga berbalik arah. Aku benar-benar takut, dan tak bisa berpikir bersih lagi. Akhirnya di potongan batas jalan selanjutnya aku berputar lalu menarik gas sekencang-kencangnya. Kala melintas tempat tadi, ku toleh pria itu masih berdiri di situ, untungnya tak sedikitpun menoleh padaku.


       Tak beberapa lama sampailah di kost Aldi untuk menjemput Linggar—pemilik motor yang ku kendarai, hari itu aku tak berniat pulang ke kos sendiri. Tak mungkin mengajaknya pulang sepagi ini.


      Inilah malam, menyajikan pengalaman serta kewaspadaan. Pengalaman mendapat ilmu dari aktivitas non-formal yang terpujiaktivitas ini lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan ilmu yang kita dapatkan di meja perkuliahan saja. Sedangkan kewaspadaan menuntut kita untuk selalu berhati-hati baik lisan maupun tingkah laku.

          Aku dan Linggar tak sengaja tidur di kost Aldi, ceritanya malam tadi kami menjual salah satu onderdil motor di Klithikan—pasar maling. Ketika perjalanan pulang ada pesan singkat di telepon genggam yang membuatku harus ke salah satu kampus swasta di perbatasan Yogya-Sleman, untuk sebuah persoalan advokasi yang penting. Akhirnya Linggar setuju untuk main di kos Aldi sementara aku meminjam motornya, kebetulan kos Aldi dekat dengan kampus itu. Prediksiku hanya sejam saja urusan itu selesai, ternyata salah. Untuk kesalahanku ini aku minta maaf teman, benar-benar tak ada kesengajaan dalam hatiku. Sekali lagi maafkan aku, teman.

          Selain pada temanku. Aku juga minta maaf sebesar-besarnya pada pria hitam yang ingin nebeng di pertigaan tadi, dengan catatan jika niatnya memang benar-benar untuk mendapat tumpangan. Bila niatnya buruk, semoga diberi kesadaran dan ampunan dari Tuhan berdasarkan kepercayaannya.

          Di dalam kamar, kulihat Linggar dan Aldi sudah terlelap. Aku juga menyusulnya dengan berbaring ditempat yang aku anggap nyaman meletakkan tubuh, perlahan-lahan rasa kantuk menyerang kemudian terlelap dengan meninggalkan semua kisah di malam itu.
Baca Selengkapnya...

Jumat, 26 Agustus 2011

Ramadhan, Bulan Penuh Paksaan

              Malam ini angin berhembus begitu pelan, hampir-hampir tak sanggup bikin daun pisang bergoyang. Namun suasana seperti ini justru sangat bersahabat dengan manusia-manusia kegelapan, manusia yang mencari penghidupan seiring datangnya malam.


          Hiruk-pikuk kota kecamatan—yang sering menjadi transit para pemudik pengguna jasa bus dari luar kota—benar-benar sudah terasa. Mulai dari tukang ojek, penjemput keluarga, hingga tukang parkir dadakan disibukkan dengan rutinitas menjelang lebaran ini. Maklum, tepat di malam ini Ramadhan sudah menginjak malam ke-26. Artinya, tinggal menghitung hari lebaran akan tiba.

          Seluruh aktivitas seketika itu padam oleh sebuah suara manusia. Melalui pengeras suara, seorang muadzin tengah mengumandangkan adzan sholat isya’. Ia tak sendiri, dari Masjid lain juga terdengar adzan mulai dikumandangkan. Mereka saling bersahutan, seakan-akan beradu dalam sebuah lomba. Ketika mendengarnya muslimin dan muslimah berbondong-bondong menembus pendar lampu jalanan kampung untuk menuju Masjid Al-Ikhlas. Tak peduli tua-muda, kecil-besar, rakyat-pejabat, begitu juga denganku.

          Sarung coklat, kemeja, dan kopiah yang serba hitam menjadi pakaian setia guna mengikuti sholat tarawih di Masjid Al-Ihklas. Aku memang sering bertarawih di Masjid itu. Selain karena jaraknya yang dekat dengan rumah, kultur sholat di masjid ini cocok dengan kepercayaan hati nuraniku.

         Di dalam masjid, aku menemui manusia yang beragam. Tanpa melupakan sebuah keunikan. Keunikan itu tak lain tak bukan adalah, sedari awal Ramadhan kulihat kebanyakan anak-anak seusia SD datang membawa buku berwarna hijau lengkap dengan bolpoinnya, sama persis denganku sewaktu masih mengenyam SD dulu. Kalau tak salah itu buku kegiatan bulan ramadhan, wajib diisi oleh siswa-siswi muslim sebagai tugas di bulan suci seperti ini. Tiba-tiba intuisiku merasakan sebuah keganjilan dan kesalahkaprahannya. Dari beberapa minggu yang lalu aku sholat di sini, kebanyakan anak-anak seusia SD itu hanya tidur dan bercanda dengan kawan ketika orang di sekelilingnya sedang melaksanakan sholat. Terutama ketika sholat tarawih dan witir.
          
          Aku sempat berpikir, terlepas dulu apakah aku pernah seperti itu atau tidak? Aku mulai menyimpulkan bahwa anak-anak tersebut hanya mengejar tanda tangan dari imam atau penceramah (kultum). Ya, hanya mengejar materi tepatnya. Bagiku ini bukan salah mereka, sistem telah membuat calon pemuda penerus bangsa berpola-pikir sedemikian rupa. 

          Tapi bukannya terpelajar harus adil sejak dari pikiran, apalagi perbuatan? Simpulan yang aku buat di atas tak mencerminkan keterpelajaranku. Untuk sekedar ingin tahu, ku coba sedikit bincang-bincang dengan Rais, salah seorang siswa SD pegiat tanda tangan di buku hijaunya yang sedari tadi selalu tanya padaku “Judul kultumnya apa, Mas?”.

“Ameh sholat po golek tanda tangan (Mau sholat apa cari tanda tangan)?”
“Hehehehehe”
“Lek golek tanda tangan, sesok moro nang omahku wae! Tak tanda tangani kabeh ngko (Kalau cari tanda tangan, besok datang ke rumahku saja! Nanti aku tanda tangani semua)”.
“Berarti ngko jenenge Mas Bobby kabeh (Berarti nanti namanya Mas Bobby semua)?”
“Iyo. Wes ayo gek sholat tarweh sek, bukune diurusi engko (Iya. Sudah sekarang sholat tarawih dulu, bukunya diusrus nanti)!”
“Heheheheehehe”

          Fiufth, tujuannya memang brilian. Kegiatan ramadhan siswa jadi terkontrol, tapi apa daya ketika mereka datang ke masjid untuk sebuah keterpaksaan? Keterpaksaan yang melahirkan kebohongan. Sistem ini perlu dirubah, bagiku bagaimana lembaga pendidikan formal membuat siswa-siswinya mencintai agama secara batin. Bukan hanya sebatas lahiriah yang kebanyakan justru mengekang pikiran siswa, akhirnya mereka tak dapat menikmati indahnya ibadah. Tanpa buku hijau pun jika mereka sudah ditanamkan kecintaan—bukan keekstreman—agama, tanpa suruhan, iman mereka akan terbentuk dengan sendirinya. Karena urusan agama dan Tuhan itu urusan iman, bukan akal.

Baca Selengkapnya...

Minggu, 31 Juli 2011

Edan Tak Berarti Kedanan

            "Volline menang po kalah, mas?" tanya pria setengah tua itu padaku. Saat ia mendekat, aku kenal betul aroma minuman yang ia tenggak sebelumnya—sekalipun aku belum pernah meminumnya. Terlebih saat melihat jalannya yang sempoyongan, kata "mabuk" sudah mewakili kondisinya. Mungkin karena aku pakai jaket sport merk terkemuka, ia bertanya seperti itu. #Bersambung.

            Tulisan singkat di atas ku ambil dari status jejaring sosial Facebook beberapa hari yang lalu, semua pasti sudah dapat menebak dengan manusia yang bagaimana aku bercengkrama. Sayang, aku tak tahu nama pria bermandikan aroma ciu—minuman keras tradisional di Solo dan sekitarnya—itu.

            Ceritanya begini. Pada suatu sore di malam minggu yang diterangi temaram cahaya bulan purnama. Persis setelah makan malam bersama keluarga, aku menelepon seorang teman akrab—walaupun dalam hal apapun kita selalu berbeda pendapat—Senthit sapaannya. Tanpa kata halo ataupun salam ku awali percakapan singkat dengannya.
“Posisi Sob?”
“Ngomahi, ngopo (di rumah, ada apa)?”
“Yowes, aku tak rono (ya sudah, aku ke situ).”
“Yow (ya).”
Setelah percakapan itu aku segera meluncur dengan rakitan mesin Jepang a.k.a motor, berwarna silver. Dinginya angin pancaroba mulai ku rasakan. Aku memang sudah berjaket, tapi bukan jaket jeans kumel yang biasa ku kenakan. Terpaksa aku harus memakai jaket sport hadiah lomba tujuh belasan beberapa tahun yang lalu, pasalnya si kummel hilang entah kemana. Puh, rasa-rasanya hampir sama dengan tak berjaket.

            Dengan kecepatan sedang, akhirnya sampai juga di rumah teman yang ku telepon tadi. Ia duduk di bangku teras, celananya tak asing bagiku. Celana itu mengingatkan aku dengan lomba gerak jalan se-Jawa Tengah dalam rangka memperingati sumpah pemuda tahun 2008. Gerak yang hampir saja membunuh sebagian diantara rombongan kami itu berjarak 28 kilometer dari start sampai finish. Bayangkan, kabupaten lain mengirim perwakilan atlet atletik yang mempunyai kekuatan mumpuni di lomba itu. Sementara Kabupaten Sragen mengirim siswa SMA—dulu kala kami masih SMA—macam kami ini. Tak ayal, setelah lomba banyak luka yang kami derita. (Mungkin cerita tentang lomba gerak jalan ini akan aku lanjutkan dengan judul yang berbeda).

            Selesai bercengkerama, kami bersepakat untuk keluar malam ini. Tapi sebelumnya aku minta izin ke kamar mandi di rumahnya untuk sekedar buang air kecil, dan ia mempersilahkan. Masih dengan rakitan mesin Jepang kami berpuutar-putar arah tanpa tujuan, dari jalanan kota yang ramai hingga jalan persawahan yang sepi—tempat para remaja menghabiskan malam minggunya—kami sambangi semua. Hingga akhirnya sebuah jalan menuju rel kereta api jadi pilihan laju motor kami, aku sempat bertanya dengan temanku yang aku boncengkan kala sampai di desa Teguhan.
“Enek opo iku Sob (ada apa itu)?”
“Emboh. Egh, voli yak-e (Tak tahu, mungkin pertandingan voli)”
“Po ho’o, nonton yoh! Mbayare piro (Iya kah, nonton yuk! Bayar berapa masuknya)?”
“Lha nonton yo ayo ok. Paling mbayar parkir tok, sewu (Kalau mau nonton ya ayo, paling cuma bayar parkir seribu)”
“Koe po wes tau nonton (Emang kamu udah pernah liat)?”
“Uwes (udah).”

            Berbalik arah menuju tempat keramaian tadi, seorang panitia menghentikan sejenak laju kami guna menunggu giliran pemberian karcis parkir. Kini giliran kami dikarcisi, perkiraan temanku meleset, ongkos parkir sekarang dua ribu. Ketika selesai memarkir motor, kami berjalan ke arah pintu masuk. Aigh, Senthit terkejut ketika melihat tulisan HTM Rp 10.000,- yang terpampang jelas di pintu masuk. Sebenarnya aku sudah melihat tulisan itu saat hendak memarkir motor tadi, tapi aku tak mengatakan padanya. Kami berdua masuk ke lapangan, setelah karcis plus empat batang dan dua bungkus rokok kami dapat secara terpisah—bungkus itu gepeng belum berbentuk, kami harus membentuknya sendiri. Lebih lucunya lagi, bungkus yang diberikan berbeda dengan rokoknya.

            Kami berputar, mengelilingi setengah lapangan untuk mencari tempat duduk yang masih tersisa. Hanya sisi utara yang masih bisa di duduki, lainnya penuh. Itupun kami harus berdiri agar dapat melihat lapangan. Hampir setengah jam berlalu, tapi para pemain belum hadir. Penonton sudah berteriak agar pertandingan segera dimulai, MC senantiasa menenangkan penonton dan juga meminta pemain untuk segera masuk ke lapangan.

            Malam ini ternyata malam semifinal, mempertandingkan dua partai bergengsi antara empat klub bola voli ternama di Sragen. Lumayan seru, cukup menghibur, walaupun hanya kelas tarkam. Kira-kira ketika waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 pertandingan itu memasuki tahapan akhir, aku dan Senthit keluar sebelum permainan partai kedua usai.

            Dengan motor kami bergegas menuju angkringan  di sekitar terminal lama, tempat biasa kami berkumpul dengan teman-teman sekolah dulu untuk sekedar menghabiskan malam. Terkadang saat libur kuliah jumlahnya hampir melebihi dua team futsal. Malam ini-pun begitu, sesampainya di sana setelah memesan minuman aku terhanyut dengan obrolan ngalor-ngidul tak menentu.

            Beberapa saat kemudian, ada pengendara sepeda motor berboncengan datang di angkringan ini. Tak ada yang aneh memang, namun jika diperhatikan lebih seksama keanehan itu akan muncul dengan sendirinya. Pengendara tanpa helm, itu biasa. Tapi pengendara yang satu ini tanpa baju di tengah malam ketika bulan purnama, bagiku sedikit aneh, seperti bukan mau dirinya sendiri. Jalannya sempoyongan, walaupun tidak separah si pembonceng.

             Tiba-tiba si pembonceng menyapa kami, sementara pengendara tak berbaju sibuk memilih makanan yang akan dibeli. "Volline menang po kalah, mas?" tanya pria setengah tua itu padaku. Saat ia mendekat, aku kenal betul aroma minuman yang ia tenggak sebelumnya—sekalipun aku belum pernah meminumnya. Terlebih saat melihat kelakuan dan caranya berjalan, kata "mabuk" sudah mewakili kondisinya. Mungkin karena aku pakai jaket sport merk terkemuka, ia bertanya seperti itu.

            “Kulo niki mas, mbiyen pas dereng edan ngeten niki. Kulo kerep nantangi senggel voli, sok ngluruk ten pundi-pundi, estu mas (Saya dulu sebelum gila seperti ini sering menantang bermain single bola voli. Kadang mendatangi di kampung lain, serius mas)”, ujarnya padaku dengan kata-kata yang sedikit diseret. Caranya berkata sudah berbeda dari manusia sehat, ia terlihat sudah di bawah kuasa alkohol jadi tak bisa menguasai dirinya sendiri. Ia berulang kali meminta maaf karena kondisinya yang seperti itu, aku pun mengiyakan apapun yang ia katakan.

            Ketika ia mengatakan dirinya wong edan (orang gila), aku semakin tertarik untuk terus ngobrol dengannya. Aku suka gayanya berbicara secara terang-terangan, seperti tak ada yang disembunyikan. Bagiku menjadi edan karena menggunakan cara berpikir yang edan lebih mulia daripada menjadi edan karena kedanan (menggilai) sesuatu. Seperti uang, jabatan, ataupun kekuasaan. Hal ini juga aku utarakan padanya.

            Ia pamit pergi setelah temannya selesai memilih makanan. Ia juga sempat menawariku untuk ikut bergabung dengannya untuk minum alkohol bersama, tapi aku menolaknya. Tolakan itu tak membuatnya jera, ia bahkan akan mengirim minuman itu ke tempat kami mengobrol saat ini. Lagi-lagi aku menolaknya.

            Dari obrolanku dengannya aku sedikit membayangkan, bagaimana jika para koruptor sebelum diperiksa oleh aparat sebelumnya di beri minuman beralkohol terlebih dahulu. Mungkin para tersangka akan bicara lebih blak-blakan mengenai apa yang ia lakukan terhadap yang didakwakan. Upz. Ini Cuma gurauan, sedikit merealisasikan menjadi edan dengan menggunakan cara berpikir yang edan. Jika terbukti mampu menjembatani kepentingan rakyat bersama, apa hal tersebut tetap dilarang? Coba pikirkan!
Baca Selengkapnya...

Senin, 25 Juli 2011

Tiada Ziarah Bersamanya (Sekali Lagi)*

                   Aku tidak ingat hari apa dan tanggal berapa kala itu. Tapi yang jelas, ketika suatu sore beberapa hari menjelang bulan ramadhan tahun lalu. Aku mengantarkan nenek berziarah ke sebuah pemakaman orang tua dan kerabat-kerabatnya—berziarah sebelum bulan puasa tiba merupakan tradisi di daerah kami. Tak ku duga, itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya aku mengantarkannya berziarah. Karena hari ini (27/6), tepat empat puluh hari setelah nenekku—menemui sesuatu yang pasti di dunia—meninggal.

            Malam itu sepulangku dari kampus setelah mengikuti pelepasan pertukaran mahasiswa dari negeri tetangga, sesegera mungkin ku buka laptop untuk mengerjakan tugas. Di bawah temaram lampu kost, sedikit demi sedikit aku mulai merampungkan tugas hukum lingkungan yang harus aku presentasikan esok hari. “Aigh, akhirnya jadi juga powerpoint yang satu ini”, teriakku dalam hati sembari merebahkan badan di kasur busa yang tipis bukan main.

            Tak lama setelah aku terbangun dari rebahan, kudapati telepon genggam atau telepon selluler (ponsel) bergetar tanpa dering. Tertulis nama ayah di layar ponsel, jantungku berdegup kencang? Serasa ada marching band dari kekuatan Militer yang membentuk formasi lalu berunjuk gigi di dalam halusinasi. Ini sudah lebih dari jam sebelas malam, rasa-rasanya tak mungkin Ayah meneleponku jika tidak ada apa-apa atau sesuatu yang penting. Semakin aku menduga-duga, semakin berkecamuk perasaan yang ada.

            Benar, memang ada apa-apa dari telepon singkat ayahku tadi. “Ki tak kandani, tapi koe gak usah kaget yo! Simbah putri meninggal, koe manthok sesok esok wae(kamu aku beritahu, tapi jangan kaget! Simbah putri meninggal, kamu pulang besok pagi saja!)” kurang lebih seperti itu awal percakapan kami. Ayah mengatakan sebenarnya nenekku—ibu dari ibukku—tidak dalam keadaan sakit, ayah juga kurang tahu tentang kronologis meninggalnya nenek. Akhirnya percakapan kita berakhir ketika salam terucap dari ayah dan kemudian aku jawab.

            Bagaikan tiada tulang yang menyangga, sontak badanku lemas tak terkira. Ku matikan sound yang mendendangkan beberapa lagu dari Efek Rumah Kaca sedari tadi, laptop yang memfasilitasiku menyelesaikan tugas juga menyusul ku matikan. Cahaya kamar kost nomor 7 di jalan Sidokabul 30 padam, memang sengaja aku padamkan. Aku mencoba tidur, menenangkan diri. Berharap agar semua tadi salah atau ayah membohongiku.

            Perasaan sudah lama aku tertidur, namun waktu masih menunjukkan pukul 03.00 WIB. “Astaga, baru 3 jam aku tertidur. Tapi mengapa rasanya sudah lama sekali,” batinku. Lalu aku mencoba memejamkan mata kembali.

            Ketika fajar belum menampakkan cahayanya, dengan bantuan salah seorang teman kost aku segera bergegas menuju terminal. Perjalanan menuju kota kelahiran terbilang cukup lancar, hanya dua jam. Sesampainya di rumah, dengan bantuan sepeda motor aku melanjutkan perjalanan menuju rumah simbah. Ternyata apa yang aku harapkan tidak terjadi, tidak ada yang salah dari telepon ayah semalam.

            Ibu tersendu-sendu di sudut ruangan, kakek-pun tak kalah kalutnya. Ya allah, begini kah kuasanya Engkau? Hingga aku-pun tak dapat berkutik dengan apa yang terjadi. Dengan bantuan malaikatmu, Kau ambil orang yang sesungguhnya sangat kami sayangi. Allah, teganya Engkau membuat kakek sendiri .Tiada yang menemani lagi. Kau memang benar-benar Maha Segalanya.

            Ketika aku menulis tentang hal ini, tersirat sebuah kenangan bersama nenek. Aku tidak ingat hari apa dan tanggal berapa kala itu. Tapi yang jelas, ketika suatu sore beberapa hari menjelang bulan ramadhan tahun lalu. Aku mengantarkan nenek berziarah ke sebuah pemakaman orang tua dan kerabat-kerabatnya—berziarah sebelum bulan puasa tiba merupakan tradisi di daerah kami. Tak ku duga, itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya aku mengantarkan nenek berziarah. Karena hari ini (27/6), tepat empat puluh hari setelah nenekku—menemui sesuatu yang pasti di dunia—meninggal.

            Bagiku kehidupan ibarat sebuah pementasan wayang. Dimana manusia selain sebagai dalang, juga sebagai wayangnya. Sebagai wayang, aku sangat terpukul akan kepergian nenekku ini. Secara fisik aku harus bersedih, menampakkan wajah kehilangan karena takkan bertemu lagi. Namun, sebagai dalang secara batin aku harus tetap tegar dan tersenyum karena hal seperti ini sudah diatur dan ada yang mengatur. Terlebih kematian adalah sesuatu yang pasti di muka bumi, dan sesuatu yang pasti itu itu tak banyak di alam material ini. Selamat jalan nenek, semoga amal ibadahmu diterima oleh Allah, Tuhanmu (Amien). Mugo gusti tansah maringi dalan padang kagem simbah putri lan sedaya keluarga ingkang ditinggalaken.

*Tulisan ini dibuat guna memenuhi persyaratan pelatihan jurnalistik tingkat lanjut LPM Keadilan FH-UII.

Baca Selengkapnya...

Rabu, 29 Juni 2011

Perjalanan Spiritual Iwan Fals dan Ki Ageng Ganjur

Pondok Pesantren Bukan Sarang Teroris* 


Kang Sastro dan Iwan Fals mengupas makna lagu yang baru selesai dinyanyikan.
              Selasa malam (31/05) suasana lapangan Djabalkat, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Qodir, Cangkringan, Sleman, DIY tampak begitu berbeda dari biasanya. Ribuan orang memadati area tersebut, untuk menyaksikan konser Religi Iwan Fals dan Ki Ageng Ganjur dari Yogyakarta. Ki Ageng Ganjur sendiri adalah sebuah grup musik yang membawakan lagu-lagu religi, hampir keseluruhan dimainkan oleh santri-santri asuhan Dr. Al Zastrouw Al Ngatawi (Kang Sastro).

          Ponpes Al Qodir menjadi ponpes ke 53 dari 99 ponpes yang akan dikunjungi Iwan Fals dalam pertunjukan musik bertajuk Perjalanan Spiritual Iwan Fals dan Ki Ageng Ganjur ke Pondok Pesantren. Setelah pengajian akbar, dan dua santriwati menyanyikan beberapa lagu religi dengan iringan Ki Ageng Ganjur, Iwan Fals naik panggung disertai sambutan hangat oleh Orang Indonesia atau lebih akrab disebut OI (Penggemar Iwan Fals) yang sengaja hadir untuk menyaksikan performance idolanya. Selain menyanyi, Iwan Fals juga berdakwah dan berkampanye tentang islam itu adalah agama yang cinta akan kedamaian. “Pondok pesantren bukan sarang teroris, <span class="fullpost"> bukan basis NII, bukan pembenci agama lain, tapi dari sinilah kebudayaan dan intelektual itu tercipta”, kurang lebih begitu teriakan Iwan Fals dan langsung mendapat tepuk tangan meriah dari seluruh penonton yang hadir.

            Desa, Bung Hatta, Tanam-Siram, Bongkar, Bento, Hiyo, dan Cinta menjadi lagu pilihan yang dinyanyikan oleh Bang Iwan (sapaan akrab Iwan Fals). Tiga lagu terakhir merupakan hasil duet dengan Sawung Jabo. Karena penampilannya diiringi oleh Ki Ageng Ganjur, maka laagu-lagu yang dibawakan sengaja diaransemen ulang. Tapi justru dengan bungkusan baru, lagu-lagu tersebut terlihat lebih nikmat untuk didengar.

            Lagu pertama dengan judul Desa dinyanyikan khusus bagi penduduk setempat untuk menggugah semangat pasca tragedi bencana erupsi Merapi tahun lalu, terlebih peran desa selaku penyeimbang kota harus lebih diberdayakan lagi. Manakala timbul perbedaan pendapat, maka yang harus dilakukan adalah menghargai pendapat orang lain. Seperti yang tersirat dalam lagu berjudul Bung Hatta. Lagu ini juga memberikan pencerahan pada umat Islam sendiri untuk saling menghargai kepercayaan seluruh umat manusia, baik intern sesama muslim serta ekstern dengan pemeluk agama lain.

            Bukan hanya sebatas itu, dalam kesempatan ini Iwan Fals sengaja berkolaborasi dengan wayang golek yang dimainkan Ki Enthus Susmono. Ki Enthus dan Kang Sastro juga mengupas secara ringan makna dari lagu-lagu yang dibawakan Bang Iwan, seperti paragraf di atas mengenai makna lagu Desa dan Bung Hatta. Hadirnya wayang golek serta lawakan seputar permasalahan agama dan manusia dari keduanya menambah kemeriahan acara tersebut, tak ayal tingkah konyol dari golek-golek dan guyonan rakyat tersebut mengocok perut penonton.

            Tokoh golek itu antara lain Subur, Karno, Mr. Udud, SBY, AA Gym, Alm. Gus Dur, bahkan Mr. Barack Obama. Mr. Udud digambarkan sebagai seseorang yang gemar menghisap nikotin, kehadirannya sedikit merefleksi kembali tentang haramnya manusia menikmati rokok dengan uang halal hasil jerih-payah manusia itu sendiri. Sedang tokoh Karno merupakan gambaran dari seorang pemuda pengangguran yang sering menghabiskan waktunya untuk menikmati cairan alkohol, karena merasa ada sesuatu yang tak beres dari Karno, maka salah satu Da’i terkenal-pun hadir memberi pencerahan pada Karno untuk segera bertobat. Namun tak segampang itu Karno mematuhi perintah sang Da’I, karena ternyata Karno sendiri sudah mengetahui riwayat terkini Da’i tersebut. Menjadi mantan preman dan pemabuk akan lebih mulia daripada mantan Da’i merupakan inti dari percakapan mereka berdua. Pemimpin negeri yang selalu curhat pada rakyatnya juga turut memeriahkan penampilan golek malam itu, terlebih pemimpin tersebut juga terkesan sering mendapat setiran dari pihak luar. Dari semua permasalahan itu, kemudian hadirlah Alm. Gus Dur hadir untuk mengatakan satu kalimat yang mujarab “gitu aja kok repot” sebagai pencerahan tentang masalah yang tidak ditempatkan sesuai tatarannya. Seperti permasalahan besar yang disepelekan, tapi masalah sepele justru dibesar-besarkan.

            Penampilan Iwan Fals malam ini bukan sekedar konser biasa, berkat kolabrasi yang apik dengan beberapa pihak, pagelaran ini merupakan terobosan baru di bidang seni dan dakwah. Walaupun rambutnya sudah tak lagi hitam, namun semangatnya untuk tetap berkarya dan bermusik tetap membara. Bak selalu ada api dalam genggaman tangannya, yang sewaktu-waktu bisa beliau lempar ke arah ketidakadilan di negeri ini.

           Konser religi yang turut mengundang pemuka agama lain tersebut ditutup dengan menyanyikan sholawat bersama ribuan penonton. Di tengah realita kekerasan yang mengatasnamakan agama, dengan pesan damai Islam serta memprioritaskan akhlak sebelum syari'at, pagelaran ini hadir sebagai sebuah konser religi yang istimewa. </span>


* : Tulisan ini telah dimuat di buletin Keadilan Post (LPM Keadilan FH-UII) edisi Juni 2011. 

Foto Terkait:

Dari Balik kamera

Ini jempolku, Mana Jempolmu?

Bersatulah Jempol Orang Indonesia

Istimewanya Kolaborasi

Aku dan Sorot Lampu Panggung

Ada Cahaya di Antara Kami Bertiga

Teriakan-Tangisan


Baca Selengkapnya...