Kamis, 30 Mei 2013

Telat

Bisa jadi tabiat, bisa juga siasat

Sorry, Bro. Aku telat,” kata yang sering terucap ketika terlambat. Dalam segi apapun, keterlambatan mulai jadi hal yang lumrah. Semua bisa jadi korban, tapi tak menutup kemungkinan, semua juga bisa jadi pelaku keterlambatan. Awas, kawan! Virus terlambat bisa menyerang otak kita tepat pada waktunya, atau justru lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Yang jelas, virus itu takkan datang telat meskipun namanya virus terlambat.

Bukannya ingin menyalahkan, tapi semua keterlambatan berpangkal dari waktu. Waktu memang hebat, bisa jadi patokan setiap umat. Secara tidak sadar, kita tunduk padanya. Sesuatu yang tak bisa terulangi lagi, namun kenapa musti ada kata telat jika memang waktu hanya datang sekali? Jangan jawab tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena dangdut sedang tidak diputar.

Bayangkan jika tak ada waktu—lebih-lebih waktu yang telah dipastikan—keterlambatan pasti takkan datang. Namun, pantaskah kita salahkan waktu? Yang kehadirannya justru lebih memberikan kepastian. Coba renungkan, bagaimana kita bisa merayakan tahun baru jika tiada waktu? Lalu bisakah kita menentukan kapan puasa dan kapan lebaran jika waktu tak hadir membantu.

Bandung Bondowoso pernah kalah oleh waktu, ia diberi waktu semalam untuk membuat seribu candi, sebagai syarat mempersunting Roro Jonggrang. Namun melihat kecurangan Bandung Bondowoso—meminta bantuan mahkluk halus—Roro Jonggrang pun tak habis akal, ia bersama para koleganya membuat siasat seolah-olah pagi sudah datang menjelang. Bandung Bondowoso telat, ia pun gagal dalam misinya membuat seribu candi. Ternyata, waktu bisa dikelabuhi. Namun sejauhmana kita bisa mengelabuhi waktu? Dengan siasat seperti Roro Jonggrang? Jangan salah, ia berbuat demikian karena Bandung Bondowoso curang, selalu ada api ketika ada asap, tak mungkin tidak.

Meskipun bisa dikelabuhi, tapi apakah kita bisa merubah waktu? Ia akan tetap bergulir, tanpa perlu kita percepat atau perlambat. Lalu siapa yang harus disalahkan ketika kita terlambat karena waktu? Masihkah sang waktu jadi pesakitan? Sungguh, ia teramat kasihan.

Telat beserta alasannya bagaikan lokomotif dengan dua belas gerbong—rangkaian maksimal kereta api. Bukan rahasia lagi jika tak seluruh gerbong diisi oleh penumpang bertiket, sebut saja penumpang gelap. Juga dengan telat, tak seluruhnya diikuti alasan yang logis dan bertanggung jawab, ada juga alasan yang dibuat-buat bak penumpang gelap tanpa tiket.

Telat adalah lokomotif, alasan logis dan bertanggungjawab adalah penumpang bertiket, sementara alasan dibuat-buat karena kemalesan adalah penumpang gelap yang harus diturunkan di stasiun berikutnya. Ketidakhadiran adalah mereka yang datang setelah kereta diberangkatkan, benar-benar ditinggal. Jangan sampai kita diturunkan di stasiun yang bukan menjadi tujuan.

Sampai kapan kita akan selalu terlambat? Jangan lagi kau tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena selain dangdut tak sedang diputar, ia juga sedang menikmati air hujan ketika kemarau sudah datang, sebuah kelangkaan, jangan ganggu sang rumput karena keterlambatan. Apalagi mencarikambing hitam, karena mereka telah membeli pemutih, baik krim m’alam atau krim siang.

Telat itu bukan siapa-siapa, bukan kamu, kalian, atau mereka. Telat itu aku, yang selalu telat untuk mengerti keterlambatan itu sendiri. Benar-benar telat, atau cuma dibuat-buat; kita pelaku kita yang tahu.

Jangan biarkan tubuhmu membiru tragis karena telat, hingga menjadikan kau dan aku menuju ruang hampa. Keterlambatan ini, suatu saat nanati akan membentuk sebuah mosi tidak percaya di kamar gelap. Satu pesanku, jangan bakar buku agar tak banyak asap di sana. Sampai kapan telat akan membuat hidup bagai sebuah ballerina, telat juga akan membuatmu abnormal. (Bobby A. Andrean)
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 30 Maret 2013

Liburmu bukan Liburku, Kawan


Liburan silahkan, tidak pun tak jadi soal. Karena liburan bukan sebuah kewajiban.
Selama Februari, pikiran Icuk diselimuti kegundahan. Masalahnya sepele, bukan karena ia harus melewati Valentine tanpa kekasih—karena setiap tahun pun juga demikian—tapi karena recent updates di Blackberry Messager, time line di Twitter dan beranda di Facebooknya selalu penuh dengan status tentang destinasi liburan.
Bahkan yang lebih membuatnya kesal, foto-foto narsis di lokasi liburan turut meramaikan Instagram. Pengunggahnya beragam, mulai dari kawan hingga orang yang sama sekali tidak ia kenal. Tak cukup sampai di situ, kuliner dan tempat perbelanjaan yang di-share ke beberapa media sosial di atas juga membuatnya semakin ngiler tak karuan.
Sedari awal bulan, Icuk sudah mulai menyadari bahwa semua ini gara-gara smartphone yang dibeli dengan duit pemberian orangtuanya sebulan yang lalu. Karena akses ke media sosial tersebut selalu ia dapat dari smartphone tersebut  Ia tak pernah menduga, barang yang selama ini dipamer-pamerkan ke teman kuliah berkat kecanggihannya, kini justru jadi biang kegalauan.
Icuk memang tergolong orang yang suka berpetualang, meskipun dengan mental dan uang yang pas-pas’an, jadi wajar jika di waktu libur kuliah semester ganjil ini, pikirannya sedang diselimuti mendung hitam yang tak berawan bernama liburan.
Ia tak memikirkan biaya, karena tabungannya cukup untuk sekali liburan, bahkan ke luar negeri sekalipun. Permasalahannya cuma satu: waktu. Di balik kata itu, terdapat sejuta alasan yang tak memberinya banyak ruang untuk sekedar menikmati liburan. Meski kalender akademik kampusnya jelas-jelas mengisyaratkan libur, namun sebuah tanggungjawab besar sudah menanti Icuk jauh-jauh hari, malahan bisa dibilang komitmen Icuk untuk hal ini sudah hadir sebelum 2013 datang.
Kegundahannya semakin menjadi-jadi ketika Ucik—sahabat karib di kampus sekaligus kawan backpacker-an—meminta diantarkan ke terminal Giwangan untuk melakukan ekspedisi tunggal ke tempat yang masih dirahasiakan. Biasanya mereka berangkat berdua, namun kali ini Icuk tak bisa ikut serta karena komitmen dan tugasnya.
“Cuk,” ucap Ucik, setibanya di terminal. “Dua sampai tiga minggu lagi gue baru balik.”
“Emang lu mau nglancong kemana sih?”
“Kan udah gue bilang rahasia, nanti bakal gue bikin tulisan, dan lu bisa nikmatin tulisan gue. Gue akan buktiin bukan hanya anak sastra saja yang bisa bikin tulisan indah.”
“Okey, terserah lu aja deh, yang penting ati-ati. Kalau udah otw pulang, lu sms aja biar gue jemput lagi di mari,” timpal Icuk.
“Gak usah, Cuk. Gue udah banyak ngrepotin lu, gue bisa ngojek.”
“Woey Anj*ng,” sahut Icuk, suaranya meninggi. “Lu udah gue anggep saudara, Man. Gak nganggep gue lu? Lu udah berapa tahun kenal gue sih?”
“Sorry, Sob. Bukan maksud gue gitu. Oke deh kalau lu maksa, besok gue sms kalau udah otw Yogya. Makasih ya, Sob. Lu emang sahabat gue yang ciamik dech.”
“Santai aja, Man. Titipin salamku untuk semua orang yang kau temui,” titip Icuk sok formal.
Sepeninggalan Ucik, Icuk kembali tenggelam dalam kesibukannya, tiada hari tanpa duduk melingkar untuk menumpahkan isi otak alias pikiran bersama kawan-kawan seperjuangan. Tapi entah kenapa ia menikmatinya, hari-hari di bulan kedua 2013 ia lalui dengan senang, meski tanpa liburan. Meminjam judul lagu Sheila on 7, Icuk menilai apa yang dilakukannya kini adalah sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Pada suatu Sabtu malam di pertengahan Februari, ia memilih menyendiri, merenungi tentang segala apa yang terjadi. Kuliahnya, tentang mau dibawa kemana hidupnya, dan tentang siapa yang akan berada di sampingnya kelak.
“Hey gelap malam, apakah orang-orang hebat itu masa mudanya hanya berleha-leha?” tanya Icuk pada malam. “Agh, tak usah kau jawab pun aku sudah tahu jawabannya, pasti tidak kan?” jawabnya sendiri sekaligus menimbulkan pertanyaan baru. Bukan tanpa alasan ia bertanya pada malam, karena malam selalu tahu siapa yang masih terjaga dan siapa yang sudah terlena karena gelapnya.
Orang yang melihat akan mengatakan ia gila, karena sedari tadi ia bergumam sendiri, bertanya tapi selalu memberi jawaban sendiri, kadang memaki kadang memuji. “Kau malam, selalu mengajariku tentang kehidupan. Terlebih gelapmu, sudah menjadi barang tentu jika kegelapanmu akan selalu melahirkan Matahari setelah subuh nanti. Uyyyyeeeeee…….!” ucap Icuk setengah berteriak seakan-akan ingin menggantikan tugas ayam jantan berkokok.
Dalam renungannya, ia mulai sadar jika Yogyakarta bukanlah Jakarta—kota asal dan tempat Icuk dibesarkan. Ibukota mewajibkan manusianya untuk berlibur ketika liburan, setelah menjadi robot saat hari biasa. Wajar jika mereka menempatkan berlibur saat liburan adalah suatu keniscayaan. Sekarang ia sedang di Yogya, di kota pelajar sekaligus budaya ini liburan hanya untuk mereka yang perlu, karena baginya “everyday is holiday in Yogya City”. “Jogja memang berhati nyaman,” gumamnya pelan.
Hampir tak ia sadari tengah malam telah lewat jauh sekali, kopi-susu instan dan sebungkus jagung goreng sudah tak bersisa, ia segera mangakhiri persetubuhannya dengan kegelapan. “Hidup ini lucu, kita diberi kehidupan tapi suatu saat nanti kehidupan ini akan dicabut kembali,” tulisnya pada buku catatan harian yang baru ia beli sore tadi. Entah apa yang sedang dipikirkannya, hingga ia tulis kalimat itu.
***
Menjelang tengah malam ketika Maret mulai menyambut, cahaya purnama dan angin musim penghujan menemani Icuk yang tengah mencoba memejamkan mata. “Tilululut…tilululut…tilulululut…,” telepon genggam Icuk berdering disertai getar berkali-kali. Ia sedikit terkejut, hingga akhirnya ia mengerutkan dahi ketika mulai membaca pesan singkat yang baru saja masuk. “Kurang ajar ini si Ucik, malam-malam gini pamer ke gue,” gerutunya kesal. Ternyata Ucik memberitakan bahwa besok hari terakhir ekspedisinya di Pulau Dewata, karena ia harus melanjutkan perjalanan ke Lombok.
Tapi kesal Icuk tak sampai hati, karena ia tahu benar sifat Ucik: bukan tukang pamer. Ucik hanya sekedar meminta doa restu seperti yang tertulis di akhir pesan singkatnya. “Hati-hati, kawan. Jaga dirimu baik-baik, suatu saat kita pasti akan backpakeran bareng lagi. Jangan lupa titipanku: titip salam untuk semua yang kau temui di sana,” balas Icuk saat itu juga.
Icuk kembali berbaring di kasur tipisnya, matanya menerawang ke langit-langit dan hanya sesekali berkedip. Seperti penjaga gawang yang baru saja kebobolan. “Liburmu kali ini bukan liburku, kawan,” ucapnya pelan seperti tak bersuara. Lambat laun matanya mulai sayu, lalu terpejam, kini mulutnya yang terbuka, kemudian suara dengkur mulai memenuhi kamar kos-nya. (Bobby A. Andrean/Awal Tahun 2013)
Baca Selengkapnya...

Jumat, 18 Januari 2013

Dia Seorang T(a)NI

Supri, 40 tahun, setelah gagal jadi TNI, kini ia bertani

“KARENA pekerjaan yang lain nggak bisa,” jawabnya padaku tentang alasan kenapa memilih jadi petani. “Saya dulu pengennya jadi tentara, pernah mendaftar setelah lulus SMA, tapi gak masuk.”
Uniknya, sampai sekarang pun Supri tak tahu kenapa dulu pernah punya cita-cita demikian. “Gak tahu, pengen aja,” katanya, lagi. Adanya dukungan saudara sedikit-banyak juga turut memperngaruhi. “Udah daftarin sana,” ujar Supri menirukan suruhan saudaranya dengan tatapan jauh, seperti sedang mengenang cita-cita yang hilang.
Supri gagal di-tes ketiga pada pendaftaran pertama. Padahal, ia sudah “dititipkan” pada seorang perwira. Dengar-dengar uang “titipan”-nya kurang, kalah besar dengan pesaingnya. “Yang kedua karena umurnya udah lewat,”  ujarnya.
Nasib Supri tak semujur adik kandungnya, tapi aku lupa tak sempat menanyakan nama. Si adik kini jadi anggota TNI, berdinas di Malang, Jawa Timur. “Dulu dia masuk bintara, habisnya Rp 10juta,” kata Supri.
Aku tertegun, ternyata kebiasaan suap sudah ada sejak dulu. “Sepuluh juta, uang ‘sogokan’ yang sangat murah dalam kondisi kekinian, tapi, bisa dipastikan sangat mahal pada tahun 80’an. Sepuluh juta saat itu bisa jadi seratus juta untuk saat ini, bahkan lebih,” kataku dalam hati.
Setelah harapan jadi prajurit kandas, Supri mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta: Duta Graha Indah. Ia bekerja dari tahun 1981 sampai 1996, kala ia masih bujangan. Di tahun 1997, Supri meminang Sutini, gadis yang ia kenal di perantauan.
Setelah Duta Graha Indah hampir bangkrut, ia memutuskan untuk resign, lalu membawa Sutini pulang ke kampung halaman. Inilah awal mula Supri dan Sutini memulai kehidupan baru.
*
Sore tadi, mesin Jepang membawaku melintasi desa Ngipik Sari, Kaliurang. Jalannya berkelok dan menanjak, pohon tinggi-besar membuat desa ini teduh. Di kanan-kiri, banyak penginapan kecil yang menyewakan kamar, tak aneh jika papan nama bergantungan dimana-mana.
Di penghujung desa, aspal hitam berubah jadi batu yang tertata, bau kotoran sapi samar-samar mulai terasa, tapi sayang kicauan burung liar nyaris tiada.
Di batas jalan itulah ladang Supri berada, ku lihat ia hampir tenggelam di antara riuhnya ilalang, ia sedang memancang—menancapkan potongan bambu—di sebidang tanah yang sudah ia beri tanda seutas tali raffia. Supri hendak mempersiapkan media untuk menanam Sengon.
Aku tertarik untuk berbicara dengannya, dan ia menyetujui ajakanku. Kami mulai berjabat tangan, bertukar sapa lalu mengenalkan nama. Itulah awal mulanya aku tahu ia petani yang pernah punya impian jadi tentara.
Sembari beristirahat di samping ladang, memandangi lahan garapan yang hampir tak begitu luas, Supri meratapi dua kegagalannya jadi tentara. Padahal beberapa saat tadi, kelesuan senja sehabis hujan tak sedikit pun menyurutkan niatnya untuk tetap mengolah lahan. Kedatanganku membuatnya mengenang masa pahit itu lagi.
Kepalanya oval, bibir tebal, dan perawakan tak terlalu kekar, senyum lebar serta aksen Jawa yang sangat kental. Supri memakai topi hitam, selaras dengan kulitnya. Baju dan celana berwarna putih, kali ini sangat kontras dengan warna tubuhnya. Fisiknya sangat petani, bukan tentara, karena tak ada sedikit pun tersirat bodi pasukan.
Sampai sekarang, ia masih mendambakan jadi seorang pegawai. Alasannya simpel, hasil dari apa yang ia kerjakan sebagai petani, belum cukup untuk membiayai hidup keluarga. “Sebenarnya kurang, tapi karena adanya ini, ya dicukup-cukupkan,” kata Supri. Ia satu-satunya tulang punggung keluarga, istrinya hanya seorang ibu rumah tangga, yang kadang kala juga ikut bekerja di ladang.
*
Menjadi petani memang bukan perkara mudah, apalagi di Indonesia. Seorang petani harus berkutat dengan berbagai permasalahan. Dari majalah Keadilan edisi I/XXXVII/2012, ada sebuah fakta yang menunjukkan bahwa saat ini arah kebijakan pemerintah tak melindungi Supri dan kaum senasibnya. Kesejahteraan petani terabaikan, mereka tak berdaya menghadapi permainan pemodal.
Henry Saragih, ketua Serikat Petani Indonesia juga mengatakan bahwa pemerintah memang memperhatikan petani, tapi dengan cara pikir lain. Yang diperhatikan bukan petani-petani kecil seperti Supri, tapi justru perusahaan-perusahaan besar.
 “Akankah suatu saat nanti petani Indonesia hanya akan menjadi legenda bagi anak dan cucu kita?” dosen hukum Agraria-ku pernah bertanya seperti itu, dan sampai aku belum bisa menjawabnya. Tapi jika kebijakan masih tak berpihak pada petani, cepat atau lambat, kata-kata di atas akan terjawab dengan sendirinya.
Menurut Ahmad Yak’ub, Ketua Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia, dalam artikelnya berjudul Reforma Agraria, menjelaskan bahwa, ketidakadilan mengacu pada suatu kondisi dimana kekayaan agraria telah terkonsentrasi pada segelintir pihak saja.
Sayang, Supri tak termasuk dari segelintir pihak tersebut. Jangankan untuk untung, untuk balik modal saja ia sudah ngos-ngosan. Ia butuh banyak uang untuk sejahtera.Ya uang, barang satu itu memang sakti: walaupun uang bukan segala-galanya, tapi tanpa uang Supri tak mampu berbuat apa-apa. Namun Supri sadar, jika suatu saat nanti sungai tak lagi mengalir, ikan juga takkan lagi berenang dengan riang. Jika semua hutan telah habis, ekosistemnya hilang. Manusia baru akan sadar jika uang tak bisa dimakan.
*
Supri mengakui dengan jujur bahwa ia tak menyukai pekerjaannya, namun keadaan dan tanggungjawab sebagai Ayah, mengharuskan Supri istikomah. “Sebetulnya saya juga nggak suka, karena jadi petani itu sulit. Hasilnya nggak tentu, tapi karena keadaan, kita punya anak, ya harus biayain anak,” keluh Supri.
Si sulung: Ana. Sudah menginjak kelas 2 SMA, Supri mengatakan bahwa Ana bercita-cita menjadi perawat. Sedang Yoda, anak kedua, tahun ajaran baru nanti akan masuk SMP. Putri, kakak si bungsu, baru kelas 3 SD, sementara Angga, putra paling poncot, belum sekolah.
Begitu berat beban yang harus dipikul Supri. Di satu sisi Supri bingung, jangankan untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi, untuk biaya sehari-hari saja ia kewalahan. Di sisi yang lain, ia ingin anak-anaknya tetap sekolah agar nasibnya tak seperti sang Ayah.
Supri paham, ia harus tetap mensyukuri apapun yang terjadi. Ia cukup tahu diri untuk menghapus cita-citanya sebagai tentara di masa remaja. Kini, walaupun sebagai petani, ia harus mampu membawa keluarganya ke arah yang lebih baik.
Bagi Supri, petani sulit sejahtera, anaknya harus jadi pegawai. “Kalau bisa ya harus jadi pegawai semua, nggak mungkin anak disekolahin nanti cuma disuruh nyangkul di sawah,” katanya penuh harap.
Aku galau mendengar kata-katanya barusan. Jika petani saja berharap demikian, maka pertanyaan dosen Agraria-ku di atas tadi sudah terjawab: petani benar-benar akan jadi legenda bagi anak dan cucu kita nanti, petani tak sejahtera.
“Kalau bisa  (kehidupan) saya harus lebih baik dari sekarang,” harap Supri.
Ia Supri petani, bukan Supri TNI. Ia tinggal di dusun Ngipik Sari, RT 02/XII, Hargo Binangun, Pakem, Sleman, bukan penghuni tangsi atau asrama TNI. Senjata di tangan Supri bukan SS-1, SS-2 atau AK-47, melainkan cangkul, sabit, caping dan semangat yang terus berkobar di dalam dada. Supri juga sedang berperang, ia berperang dengan keadaan dan harus berdamai ketika waktunya datang. (*)
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 05 Januari 2013

Ombak Pantai Selatan Titip Salam

Kemarin itu akhir bulan, akhir tahun, dan akhir kisah cinta kita berdua.

Sore itu langit nampak murung, seakan-akan ingin memperlihatkan rasa sedihnya ketika harus meninggalkan 2012. Dari kawasan Jalan Taman Siswa 158, aku beserta teman-teman Keadilan bergegas ke selatan, menuju pantai Ngobaran, kami harus cepat sebelum hujan mengguyur sepanjang perjalanan. Keberangkatan dibagi jadi 2 rombongan, kami kloter kedua.

Kloter kami sampai di Ngobaran ketika maghrib mulai menjelang. Begitu menginjakkan kaki di bibir pantai, aku melihat sudah banyak tenda yang berdiri meski tak semua megah. Ku lanjutkan langkah kakiku menuju lima tenda yang berdampingan, di sana teman-teman kloter pertama berada.

*

Selepas Isya’, kami mulai memanggang sesuatu yang bisa dimakan. Setelah semua beres, waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Santap saji terasa istimewa sekali, walau hanya ada sambel, sedikit kuah dan secuil lauk-pauk. Lebih-lebih dengan adanya lima biji pete bakar, untuk hidangan yang satu ini, hanya aku dan tiga temanku yang doyan. Lainnya memang sengaja tak doyan atau cuma gengsi, aku tak tahu dan itu bukan urusanku. Tak ada yang berpiring dan makan di tempat seadanya itu sudah biasa. Bahkan ada yang berdiri karena tak kebagian tempat untuk duduk.

*

Gerimis tipis mulai turun, padahal waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam, artinya tiga jam menjelang tahun baru. Terpaksa kita harus menunggu hujan reda, tak enak sekali rasanya. Saat-saat seperti ini justru digunakan teman-teman untuk bermain kartu atau hanya saling melempar canda di gubug kecil belakang tenda, karena memang bahagia itu harus dibuat, bukan dicari.

Sedang aku lebih memilih berdiam diri di tenda yang paling dekat dengan air laut. Bukan, bukan untuk menggalau sendu. Selain mengawasi ancaman pasang air laut yang hampir menyentuh tenda itu, aku juga cuma sekedar merenungi dan meratapi apa yang setahun lalu terjadi. Semacam meracik resolusi untuk tahun depan, walau aku tak seratus persen paham tentang apa itu resolusi.

Beberapa saat kemudian, datang lalu duduk di sampingku seorang sahabat Keadilan, dia yang sepertinya sedang manggalau sendu. Wajar saja, mantan terindahnya akan naik pelaminan, tapi bukan dengan dirinya. Owh, aku bisa merasakan nyeseknya perasaan temanku itu. Terdengar dia melantunkan sebuah puisi, aku yakin itu buatannya sendiri. “Tenang, kawan. Jalanmu masih panjang, doakan yang terbaik untuknya,” ungkapku dalam hati.

Temanku pergi, kini aku sendiri lagi. “Debung…,” suara ombak menghantam karam pinggir pantai. Membuyarkan lamunan yang sedari tadi pergi kesana-kemari. Kadang melambung tinggi menyentuh mendung, tak jarang juga menyelam menuju dasar laut Selatan. Sejauh apapun itu, ternyata lamunanku masih itu-itu saja, aku sulit lupakan, bahkan tak bisa.

Tuhan, sudahi siksa ini. Aku tahu dia bukan tercipta untukku, begitu juga sebaliknya. Hilangkan rasa itu, ganti dengan rasa lainnya. Agh, disaat-saat seperti ini masih saja aku meracau dalam kegundahan yang tak sewajarnya aku pikirkan. Maaf, maaf beribu-ribu maaf untuk ketidakjelasan ini.

*

Seorang teman lain menghampiri tenda. “Jam berapa sekarang? Ayo siap-siap buat api unggun,” ajaknya dengan semangat. Jam di hp-ku menunjukkan pukul sebelas malam, benar juga ajakannya, kita memang harus siap-siap. Tapi bukankah di luar masih gerimis, bahkan terkadang lebih dari gerimis: hujan.

Di samping hujan, minyak tanah yang tersisa sudah tak banyak lagi, selain memang bawanya sedikit, juga banyak terkuras untuk membuat panggangan lauk sore tadi. Kami belum lihai membuat api unggun tanpa minyak tanah. Aku sempat panik, jangan-jangan takkan ada api unggun di malam pergantian tahun nanti? Walaupun itu bukan esensi.

Entah bagaimana caranya, aku juga sedikit lupa. Pokoknya tak ada yang berdiam diri diantara kami, beberapa teman lelaki berupaya menyalakan api, lelaki lainnya dan semua perempuan sepertinya sedang berdoa agar api bisa menyala. Dan benar saja, sedikit demi sedikit akhirnya api berkobar dengan gagahnya.

Ia tetap berkobar meski hujan mencoba memadamkannya. Semua karena usaha teman-teman untuk berusaha menyalakannya, terlebih komitmen untuk tetap menjaga nyalanya dalam hujan. Hanya ada satu kata: kalian luar biasa! Aku salut dengan usaha kalian, wahai teman-teman. Hujan tak menyurutkan sedikit pun semangat kita untuk tetap mengobarkan api.

Dari lubuk hatiku yang paling dalam aku berharap komitmen kita dalam menjalankan roda organisasi sama seperti komitmen kita dalam menyalakan api unggun ini. Apapun yang terjadi nantinya, semangat kalian harus tetap berkobar seperti api.

Besar atau kecil, kobaran api unggun dalam rintikan hujan telah memberi pelajaran berharga dimalam tahun baru ini. Halangan dan rintangan pasti akan datang, tapi bukan untuk dihindari, namun kita hadapi.

Kita harus berterimakasih pada Tuhan, karena telah menciptakan alam yang memberi kita sejuta makna dan pelajaran. Kita juga harus sadar, bahwa kita ini kecil. Selama ini kita telah jumawa dengan apa yang kita miliki, apa yang kita kuasai, apa yang kita taklukan. Tapi kuasa apa kita terhadap alam, terhadap hujan? Terhadap tetesan air yang kecil? Kita tak mampu menghentikannya, kawan.

Seperti yang pernah aku baca di Misteri Soliter karangan Jostein Garder, bahwa jika dunia ini adalah sebuah tipuan sulap, maka harus ada seorang tukang sulap agung di balik itu semua. Siapa pesulap agungnya? Setiap orang pasti punya jawaban berbeda. Tak perlu seragam untuk sebuah kepercayaan.

Setelah api berkobar besar, kami semua melingkar, ada beberapa teman yang beresolusi untuk masa depan, paling tidak untuk setahun mendatang. Setelahnya kami semua mendongak ke atas, merenungi ada apa di balik hitam Sang Angkasa. Lalu kami mulai berhitung mundur bersama-sama, kembang api mengudara ketika hitungan sampai pada angkat satu. Walau hanya sedikit, angkasa kini berwarna-warni. Walau hanya sekejap, langit kini gemerlap.

Ada sedikit kekecewaan yang aku rasakan, seorang teman yang sedari awal paling berjasa terhadap jalannya acara ini, justru harus terbaring di dalam tenda karena sakit kepala yang dideranya. Terpaksa, ia tak melewati momen renungan bersama yang lainnya.

*

Menjelang dini hari, aku duduk menghadap laut berteman segelas kopi susu instan yang panas. Hujan dan ombak berbaur meski beda unsur, tepat seperti bersatunya rasa lelah dan kantuk yang tak dibarengi dengan terpejamnya mata. Aku ingat saat itu angin berbisik lirih padaku, selirih teriakan cintaku dulu yang bertaut jarak dan waktu.

“Ombak titip salam buat seseorang yang sampai saat ini masih ada di hatimu. Walaupun sekarang bukan hanya jauh  di mata, namun juga jauh di hati,” bisiknya lembut.

Aku tertegun, tak tahu harus menjawab seperti apa.

“Terima kasih angin, salammu akan ku sampaikan jika aku mampu,” jawabku tak kalah lirih.

Aku rasai tubuh ini butuh istirahat, merebahkan tubuh dalam tenda tak ada salahnya. Entah saat itu waktu menunjukkan pukul berapa, yang jelas aku rindu padanya.

Setelah bangun tidur nanti dan ku akhiri tulisan ini, ada satu kalimat yang ingin kusampaikan padamu:“Hey kamu, iya kamu yang ada di pesisir pantai utara Jawa. Semalam angin berbisik padaku, dia bilang ombak pantai selatan titip salam buat kamu.”  Namun entah hanya dalam mimpi atau langsung aku juga tak tahu, sekarang yang penting aku tahu apa yang harus ku tuju. (*)
Baca Selengkapnya...

Kamis, 06 Desember 2012

Kopi-Susu Instan

Habis tak selalu berujung manis, kopi-susu instan yang mengajariku

Senja mulai menua kalau aku sruput kopi-susu instan tanpa gula. Manisnya pas, karena cangkir kecil ini diisi air sesuai takaran. Setelah cicipan pertama, aku mulai berpikir pelan mengikuti rintihan hujan akhir tahun yang terlihat dari jendela kamar.

Tak salah kiranya jika aku mengandaikan hidup bagaikan kopi-susu instan, tanpa pemanis buatan pun, ia akan manis ketika takaran airnya tepat. Seperti harapan yang harus sesuai dengan kemampuan. Nampaknya manis tak perlu dibuat-buat, manis bisa terjadi begitu saja dan apa adanya. Terdapat pelajaran penting dari kopi-susu instan sore ini, yakni, perpaduan yang tepat akan membuat semua menjadi hebat dan nikmat.

Semenjak sudah tak ada lagi yang melarangku untuk menikmati wanginya seduhan kopi, aku justru merasa ada sesuatu yang hilang kala bibirku bercumbu dengan cangkir. Dulu ku pikir kopiku akan lebih nikmat tanpa omelannya, tapi kini ku sadari jika pikiranku terlalu sempit kala itu. Sekarang justru aku menanti larangan itu, selalu menunggu celotehan yang nyata-nyata kurindu.

Kopi-susu instanku tinggal setengah ketika suara guntur menggelegar sebagai tanda hujan masih menjadi raja di luar sana, seperti auman singa yang kelaparan. Gemericik air memenuhi indera pendengaran, mengalahkan lantunan lagu yang sedang diputar oleh seorang penyiar radio ternama kota Yogya.

Jejaring sosial sudah penuh dengan tulisan tentang hujan, tapi tak ada satu pun yang menulis mengenai kopi-susu instan.

Menikmati kopi-susu instan saat hujan memang nikmat, namun tak ada yang lebih bahagia selain duduk berdua menikmati  isi cangkir kecil ini bersamamu yang kini jauh di sana. Agh, bukannya kamu tak suka kopi? Maaf aku lupa, baiknya memang aku nikmati sendiri kopi-susu instan ini bersama hujan yang sudah tak buas lagi.

Langit petang tetap gelap meskipun hujan mulai reda, bagaikan konser musik metal, semua serba hitam. Ternyata kopi-susu instan di cangkir tinggal satu cegukan, tanpa ampas. Aku terkejut ketika tiba-tiba seorang kawan datang dengan baju basah, nafasnya terengah-engah.

          “Bagi kopinya donk, sob.”

Cangkir yang sudah berada di genggaman tangan dan siap minum aku relakan, join kopi katanya. Kopi-susu instanku telah habis, ada rasa bersalah ketika aku tak bisa berbagi terlalu banyak dengannya. Tapi kilat putih menyadarkanku, bak foto-model baru yang silau karena belum terbiasa kena blitz kamera. Bagiku sedikit berbagi lebih baik daripada banyak namun untuk sendiri, semua hanya akan sia-sia, dan kakekat hidup bakal tereduksi karenanya.

Kopi dalam cangkir sudah habis, meski apa yang kita lakukan selama ini tak berujung manis. Tapi tak apa, manis pun jika dipaksakan hanya akan jadi manis buatan, dan itu lebih menyakitkan dari pahit yang alami, pahit yang benar-benar pahit sekalipun.

Esok ku seduh lagi, esok ku nikmati lagi, esok kan ku cumbui lagi dengan cangkir-cangkir mini. Tanpa larangan, meskipun aku merasa kehilangan. (*)

Baca Selengkapnya...

Jumat, 23 November 2012

Tentang Hujan

Hujan bisa memberi kenangan manis pada manusia, namun tak sedikit juga yang harus menanggung kegetiran karenanya.

Kebanyakan manusia akan menjadi pujangga ketika perlahan-lahan hujan turun menyetubuhi bumi. Karya mereka beragam, mulai dari pantun, puisi sampai lagu yang sendu. Hasilnya juga bermacam-macam. Ada yang polos, menarik, bahkan juga menggelitik. Semuanya berkat hujan, semuanya berawal dari hujan.

Bayangkan sejenak, apakah kemarau dan panas yang merupakan perbandingan dari hujan bisa menimbulkan akibat yang sama seperti hujan? Sepertinya perlu telaah dalam untuk berkata iya. Aku sering berpikir tentang keunikan hujan yang satu ini, kehadirannya memang sangat dinantikan.

Prosesnya memang memilukan. Langit akan menjadi gelap karena mendung, setelah itu terlihat seperti menangis mengeluarkan air mata, jika terlalu banyak  pun bisa mendatangkan bahaya. Aku yakin karena sebab-akibat di atas, hujan selalu dianggap murung dan penuh kegelisahan. Padahal hujan penuh dengan cerita, dan di saat-saat itulah manusia akan benar-benar merasakan kehangatan sebuah pelukan. Mengharukan bukan? Bagiku sangat.

Sebelumnya aku selalu suka saat hujan tiba, karena anganku akan teringat diwaktu-waktu itu. Dimana ada tawa bersama, menikmati dentingan air hujan yang menyentuh atap tempat kita berteduh, sembari bertukar pandang sesering mungkin. Jika mulai mereda, kita nekat menerjang tanpa mantel, basah sedikit tak jadi soal, tapi itulah yang takkan terlupakan. Namun kini beda, dan sangat berbeda.

Kenangan itu justru membuatku semakin gundah, inginku berusaha melupakan. Namun entah kenapa aku selalu tak bisa, selalu kandas usahaku untuk menepis kegetiran yang aku rasakan kala hujan mulai datang. Tapi usaha ini akan terus aku lakukan sampai aku benar-benar terbebas dari memori yang tertinggal.

Agh, tampaknya aku terlalu terbuai oleh hujan. Maaf, maksudku bukan demikian. Kini saatnya untuk bergegas menjadi manusia yang hilang ingatan, asalkan tak sedikit pun kehilangan arah, komitmen, dan tujuan, juga hati nurani serta rendah hati dalam kesederhanaan.

Hujan akan tetap abadi, siklusnya saja yang mungkin akan mengalami fluktuasi. Tak jadi masalah ketika apa yang selama ini kita jalani tak bernasib sama dengan sifat hujan yang abadi.

Inilah hujan, biarkan ia tetap murung sampai reda. Tak perlu pelangi yang indahnya hanya sekejap di mata, hujan akan tetap menimbulkan dua sisi yang berbeda: keceriaan dan kegetiran. Beruntunglah bagi manusia yang tetap ceria ketika hujan turun perlahan, dan berusahalah menjadi ceria jika sampai saat ini masih ada manusia yang murung melihat hujan karena memori yang tertinggal.
Baca Selengkapnya...

Selasa, 14 Agustus 2012

Malam Ganjil (Dimana Kau Berada?)

Aku duduk pada sebuah bangku menghadap meja belajar yang berantakan. Sembari melihat tumpukan kertas—entah tertumpuk dari tahun berapa—aku tak henti-hentinya berpikir dan berpikir. Aku sadar ini bukan sebuah renungan yang melankolis, lebih-lebih puitis. Hanya kegundahan yang timbul karena kekacauan pola pikir manusia yang semakin hari semakin “cerdas”.
Balon itu pun takkan indah bila hanya satu warna.

Sedari sore tadi, aku banyak mendengarkan ceramah baik melalui televisi atau bahkan mendengar kultum langsung ketika jeda sholat tarawih. Dengan tema sama: Lailatul Qadar, hanya penyampaiannya yang beda.

Dari ceramah-ceramah itulah pikiranku terbang melayang entah kemana. Sekarang (Senin, 13 Agustus 2012) memang malam ganjil –malam ke 25 Ramadhan 1433—bagiku, tapi bagaimana dengan mereka yang berpuasa sehari lebih cepat dariku? Dengan kata lain mereka telah melewati malam 25 Ramadhan kemarin.

Lucu dan menggelitik. Mengingat malam Lailatul Qadar dalam surat Al-Qadar ayat 2 “Lailatul Qadri Khairun min Alfi Syahr”  yang jika di-Indonesiakan berarti malam yang lebih baik dari seribu bulan ini, di negeri kita akan terjadi pembenaran kapan turunnya malam tersebut, tentunya oleh mereka yang berbeda pendapat tentang kapan 1 Ramadhan tiba.

*
Sebuah percakapan antara santri dengan ustad hadir dalam menanggapi hal ini. Ketika menjelang waktu berbuka, ada sebuah diskusi kecil antara keduanya dan disaksikan oleh santri-santri yang lain.

“Jika memang harus malam ganjil perintah Allah diturunkan melalui para Malaikat dan Jibril sampai terbitnya fajar, berarti salah satu dari sekian kelompok tersebut akan sia-sia untuk meraih yang lebih baik dari seribu bulan, ya ustad?” tanya santri penasaran.

Dengan agak gelagapan sang ustad menjawab, “Bukan, bukan begitu kesimpulannya. Jangan terlalu terburu-buru. Karena tak ada sebuah ibadah yang sia-sia jika memang manusia paham hakekat ibadah sebagai apa.”

“Namun setidak-tidaknya mereka kurang beruntung ustad,” sahut santrinya cepat. Lalu sang ustad tersenyum dan menunduk ke kiri, sepertinya ustad ragu: antara akan mengangguk atau menggeleng.

Kemudian ustad menerangkan panjang lebar bahwa perbedaan adalah rahmat, yang harus dijaga dan dihormati. “Ini masalah kepercayaan, tak perlu mencari kambing hitam, toh kita juga tak tahu selama ini apa yang kita kerjakan diterima atau tidak? Yang penting dengan iman kita wajib sadar akan hakekat manusia,” jawab ustad.

Murid tersebut merasa jawaban sang guru tidak menjawab substansi pertanyaannya, terlalu melebar kearah perbedaan secara umum bukan mengupas perbedaan jatuhnya malam Lailatul Qadar. Hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang sebelum si santri mengeluarkan kata-kata lagi. Dan ustad pun segera mengakhiri diskusi tersebut, tentunya dengan hati yang tegang, salah-salah ia yang kewalahan jika waktu berbuka tak segera tiba.

“Ayah, ayah bangun ayah sudah ashar. Santri-santri sudah siap sholat, tinggal menunggu Ayah untuk imam,” ujar istri ustad membangunkan dari tidur siang.
“Astagfirullah, adzan maghrib. Sudah buka Umi, kok masih terang?” sahutnya.
“Belum, baru Ashar.”
“Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Berarti yang aku dengarkan dalam mimpi suara adzan Ashar ini.”
“Ayah mungkin kecapekan, mari wudlu, kasihan kalau santri-santri menunggu terlalu lama,” ajak istri dan sang ustad mengikutinya.

Ternyata pertanyaan-pertanyaan tadi hanyalah mimpi, dari kegalauan pikiran seorang ustad terhadap persoalan perbedaan penentuan Ramadhan, hingga berujung kebingungannya terhadap kapan malam ganjil datang.

*
Hal tersebut barulah sebagian kecil dari upaya pencarian kebenaran kapan datangnya malam ganjil, itu pun bagi mereka yang paham tentang seluk-beluk ilmu agama. Jika seperti aku yang tak begitu pandai dalam hal keagamaan ini, perasaan galau akan lebih menyayat batin tentang kekacauan berpikir. Mau ikut siapa? Dan bisa berbuat apa tentang ketidakpahaman yang dicampur dengan kekacauan seperti ini.

Sebagai manusia biasa, aku hanya bisa berharap, dan tak lebih dari sebuah harapan. Semoga perbedaan ini memang atas dasar keyakinan, bukan karena gengsi golongan atau maksud politis lainnya. Mengingat hal-hal seperti ini sangat mungkin dipolitisasi oleh mereka yang memang punya kesempatan untuk itu, lebih-lebih ada dua ormas yang sering menyuplai paham dalam hal ini.

Seperti apa yang diungkapkan ustad dalam mimpinya di atas tadi, bahwa perbedaan adalah rahmat, dan kita sebagai manusia harus paham tentang hakekat manusia dalam hal keimanan: terciptanya manusia adalah sebuah misteri, begitu juga dengan keberadaan Tuhan. Jadi selama misteri itu tetap menjadi misteri, selama itu pula kita perlu Tuhan. Maka kita pasrahkan hidup kita pada-Nya, melalui iman dan takwa.

Mataku mulai lelah, namun waktu sahur sudah tiba. Kumatikan alat pengetik tulisan ini untuk segera bergegas membangungkan keluarga. {*}
Baca Selengkapnya...