Sabtu, 25 September 2010. Pagi itu mendung mengglayuti langit kota Yogyakarta, tak aneh memang? Karena sudah beberapa hari ini Kota Gudeg selalu diselimuti mendung dari pagi sampai siang hingga turun hujan dikala senja menjelang petang. Tetapi ada yang berbeda dihari ini, sekitar pukul 14.00 WIB ada suara gemuruh yang mengacaukan konsentrasiku dalam mengerjakan tugas siang itu. Aku terpenjerat, lalu seketika itu pula Aku berlari menuju teras untuk melihat apa yang sedang terjadi. Segala perasaan tak bahagia muncul di teras itu tatkala Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, segerombolan angin kencang berhembus dari arah timur begitu dahsyat, seakan-akan ingin membantai semua yang menghadang lajunya, kurang lebih selama satu jam mereka menari indah di atas tangisan manusia. Pepohonan, tiang listrik, bahkan baliho besar tak luput dari amukan Sang Anemoi (para dewa angin dalam mitologi Yunani).
Mungkinkah ini semua karena ulah saudara kita sendiri? Bencana di sana-sini silih berganti, tak pandang bulu menerjang entah kaya atau miskin. Mereka menebang paru-paru dunia untuk kepentingan serta ego pribadi, selalu mengorbankan alam untuk kepuasannya sendiri. Jangan salahkan alam jika sulit untuk kembali bersahabat dengan kita lagi, mereka sangat marah tapi sebenarnya mencoba mengingatkan kita untuk lebih merawat, melestarikan, dan menyayangi alam.
Ibarat realitanya dapat digambarkan jika buah durian hanya akan berbuah di bulan-bulan tertentu, tetapi perilaku kita yang murka menginginkan buah durian setiap bulan? Sama halnya ketika di sisi lain kita selalu bertanya-tanya mengapa hujan turun di musim kemarau? Bukan sebuah kesalahan jika alam juga menginginkan hujan setiap hari karena keangkuhan manusia yang mengangap uang adalah segala-galanya. Mari kita renungkan, setelah itu semaksimal mungkin kita melestarikannya karena harus kita sadari, kita sulit hidup tanpa berdampingan dengan alam. Nuwun Sedulur.