Minggu, 31 Juli 2011

Edan Tak Berarti Kedanan

            "Volline menang po kalah, mas?" tanya pria setengah tua itu padaku. Saat ia mendekat, aku kenal betul aroma minuman yang ia tenggak sebelumnya—sekalipun aku belum pernah meminumnya. Terlebih saat melihat jalannya yang sempoyongan, kata "mabuk" sudah mewakili kondisinya. Mungkin karena aku pakai jaket sport merk terkemuka, ia bertanya seperti itu. #Bersambung.

            Tulisan singkat di atas ku ambil dari status jejaring sosial Facebook beberapa hari yang lalu, semua pasti sudah dapat menebak dengan manusia yang bagaimana aku bercengkrama. Sayang, aku tak tahu nama pria bermandikan aroma ciu—minuman keras tradisional di Solo dan sekitarnya—itu.

            Ceritanya begini. Pada suatu sore di malam minggu yang diterangi temaram cahaya bulan purnama. Persis setelah makan malam bersama keluarga, aku menelepon seorang teman akrab—walaupun dalam hal apapun kita selalu berbeda pendapat—Senthit sapaannya. Tanpa kata halo ataupun salam ku awali percakapan singkat dengannya.
“Posisi Sob?”
“Ngomahi, ngopo (di rumah, ada apa)?”
“Yowes, aku tak rono (ya sudah, aku ke situ).”
“Yow (ya).”
Setelah percakapan itu aku segera meluncur dengan rakitan mesin Jepang a.k.a motor, berwarna silver. Dinginya angin pancaroba mulai ku rasakan. Aku memang sudah berjaket, tapi bukan jaket jeans kumel yang biasa ku kenakan. Terpaksa aku harus memakai jaket sport hadiah lomba tujuh belasan beberapa tahun yang lalu, pasalnya si kummel hilang entah kemana. Puh, rasa-rasanya hampir sama dengan tak berjaket.

            Dengan kecepatan sedang, akhirnya sampai juga di rumah teman yang ku telepon tadi. Ia duduk di bangku teras, celananya tak asing bagiku. Celana itu mengingatkan aku dengan lomba gerak jalan se-Jawa Tengah dalam rangka memperingati sumpah pemuda tahun 2008. Gerak yang hampir saja membunuh sebagian diantara rombongan kami itu berjarak 28 kilometer dari start sampai finish. Bayangkan, kabupaten lain mengirim perwakilan atlet atletik yang mempunyai kekuatan mumpuni di lomba itu. Sementara Kabupaten Sragen mengirim siswa SMA—dulu kala kami masih SMA—macam kami ini. Tak ayal, setelah lomba banyak luka yang kami derita. (Mungkin cerita tentang lomba gerak jalan ini akan aku lanjutkan dengan judul yang berbeda).

            Selesai bercengkerama, kami bersepakat untuk keluar malam ini. Tapi sebelumnya aku minta izin ke kamar mandi di rumahnya untuk sekedar buang air kecil, dan ia mempersilahkan. Masih dengan rakitan mesin Jepang kami berpuutar-putar arah tanpa tujuan, dari jalanan kota yang ramai hingga jalan persawahan yang sepi—tempat para remaja menghabiskan malam minggunya—kami sambangi semua. Hingga akhirnya sebuah jalan menuju rel kereta api jadi pilihan laju motor kami, aku sempat bertanya dengan temanku yang aku boncengkan kala sampai di desa Teguhan.
“Enek opo iku Sob (ada apa itu)?”
“Emboh. Egh, voli yak-e (Tak tahu, mungkin pertandingan voli)”
“Po ho’o, nonton yoh! Mbayare piro (Iya kah, nonton yuk! Bayar berapa masuknya)?”
“Lha nonton yo ayo ok. Paling mbayar parkir tok, sewu (Kalau mau nonton ya ayo, paling cuma bayar parkir seribu)”
“Koe po wes tau nonton (Emang kamu udah pernah liat)?”
“Uwes (udah).”

            Berbalik arah menuju tempat keramaian tadi, seorang panitia menghentikan sejenak laju kami guna menunggu giliran pemberian karcis parkir. Kini giliran kami dikarcisi, perkiraan temanku meleset, ongkos parkir sekarang dua ribu. Ketika selesai memarkir motor, kami berjalan ke arah pintu masuk. Aigh, Senthit terkejut ketika melihat tulisan HTM Rp 10.000,- yang terpampang jelas di pintu masuk. Sebenarnya aku sudah melihat tulisan itu saat hendak memarkir motor tadi, tapi aku tak mengatakan padanya. Kami berdua masuk ke lapangan, setelah karcis plus empat batang dan dua bungkus rokok kami dapat secara terpisah—bungkus itu gepeng belum berbentuk, kami harus membentuknya sendiri. Lebih lucunya lagi, bungkus yang diberikan berbeda dengan rokoknya.

            Kami berputar, mengelilingi setengah lapangan untuk mencari tempat duduk yang masih tersisa. Hanya sisi utara yang masih bisa di duduki, lainnya penuh. Itupun kami harus berdiri agar dapat melihat lapangan. Hampir setengah jam berlalu, tapi para pemain belum hadir. Penonton sudah berteriak agar pertandingan segera dimulai, MC senantiasa menenangkan penonton dan juga meminta pemain untuk segera masuk ke lapangan.

            Malam ini ternyata malam semifinal, mempertandingkan dua partai bergengsi antara empat klub bola voli ternama di Sragen. Lumayan seru, cukup menghibur, walaupun hanya kelas tarkam. Kira-kira ketika waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 pertandingan itu memasuki tahapan akhir, aku dan Senthit keluar sebelum permainan partai kedua usai.

            Dengan motor kami bergegas menuju angkringan  di sekitar terminal lama, tempat biasa kami berkumpul dengan teman-teman sekolah dulu untuk sekedar menghabiskan malam. Terkadang saat libur kuliah jumlahnya hampir melebihi dua team futsal. Malam ini-pun begitu, sesampainya di sana setelah memesan minuman aku terhanyut dengan obrolan ngalor-ngidul tak menentu.

            Beberapa saat kemudian, ada pengendara sepeda motor berboncengan datang di angkringan ini. Tak ada yang aneh memang, namun jika diperhatikan lebih seksama keanehan itu akan muncul dengan sendirinya. Pengendara tanpa helm, itu biasa. Tapi pengendara yang satu ini tanpa baju di tengah malam ketika bulan purnama, bagiku sedikit aneh, seperti bukan mau dirinya sendiri. Jalannya sempoyongan, walaupun tidak separah si pembonceng.

             Tiba-tiba si pembonceng menyapa kami, sementara pengendara tak berbaju sibuk memilih makanan yang akan dibeli. "Volline menang po kalah, mas?" tanya pria setengah tua itu padaku. Saat ia mendekat, aku kenal betul aroma minuman yang ia tenggak sebelumnya—sekalipun aku belum pernah meminumnya. Terlebih saat melihat kelakuan dan caranya berjalan, kata "mabuk" sudah mewakili kondisinya. Mungkin karena aku pakai jaket sport merk terkemuka, ia bertanya seperti itu.

            “Kulo niki mas, mbiyen pas dereng edan ngeten niki. Kulo kerep nantangi senggel voli, sok ngluruk ten pundi-pundi, estu mas (Saya dulu sebelum gila seperti ini sering menantang bermain single bola voli. Kadang mendatangi di kampung lain, serius mas)”, ujarnya padaku dengan kata-kata yang sedikit diseret. Caranya berkata sudah berbeda dari manusia sehat, ia terlihat sudah di bawah kuasa alkohol jadi tak bisa menguasai dirinya sendiri. Ia berulang kali meminta maaf karena kondisinya yang seperti itu, aku pun mengiyakan apapun yang ia katakan.

            Ketika ia mengatakan dirinya wong edan (orang gila), aku semakin tertarik untuk terus ngobrol dengannya. Aku suka gayanya berbicara secara terang-terangan, seperti tak ada yang disembunyikan. Bagiku menjadi edan karena menggunakan cara berpikir yang edan lebih mulia daripada menjadi edan karena kedanan (menggilai) sesuatu. Seperti uang, jabatan, ataupun kekuasaan. Hal ini juga aku utarakan padanya.

            Ia pamit pergi setelah temannya selesai memilih makanan. Ia juga sempat menawariku untuk ikut bergabung dengannya untuk minum alkohol bersama, tapi aku menolaknya. Tolakan itu tak membuatnya jera, ia bahkan akan mengirim minuman itu ke tempat kami mengobrol saat ini. Lagi-lagi aku menolaknya.

            Dari obrolanku dengannya aku sedikit membayangkan, bagaimana jika para koruptor sebelum diperiksa oleh aparat sebelumnya di beri minuman beralkohol terlebih dahulu. Mungkin para tersangka akan bicara lebih blak-blakan mengenai apa yang ia lakukan terhadap yang didakwakan. Upz. Ini Cuma gurauan, sedikit merealisasikan menjadi edan dengan menggunakan cara berpikir yang edan. Jika terbukti mampu menjembatani kepentingan rakyat bersama, apa hal tersebut tetap dilarang? Coba pikirkan!
Baca Selengkapnya...

Senin, 25 Juli 2011

Tiada Ziarah Bersamanya (Sekali Lagi)*

                   Aku tidak ingat hari apa dan tanggal berapa kala itu. Tapi yang jelas, ketika suatu sore beberapa hari menjelang bulan ramadhan tahun lalu. Aku mengantarkan nenek berziarah ke sebuah pemakaman orang tua dan kerabat-kerabatnya—berziarah sebelum bulan puasa tiba merupakan tradisi di daerah kami. Tak ku duga, itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya aku mengantarkannya berziarah. Karena hari ini (27/6), tepat empat puluh hari setelah nenekku—menemui sesuatu yang pasti di dunia—meninggal.

            Malam itu sepulangku dari kampus setelah mengikuti pelepasan pertukaran mahasiswa dari negeri tetangga, sesegera mungkin ku buka laptop untuk mengerjakan tugas. Di bawah temaram lampu kost, sedikit demi sedikit aku mulai merampungkan tugas hukum lingkungan yang harus aku presentasikan esok hari. “Aigh, akhirnya jadi juga powerpoint yang satu ini”, teriakku dalam hati sembari merebahkan badan di kasur busa yang tipis bukan main.

            Tak lama setelah aku terbangun dari rebahan, kudapati telepon genggam atau telepon selluler (ponsel) bergetar tanpa dering. Tertulis nama ayah di layar ponsel, jantungku berdegup kencang? Serasa ada marching band dari kekuatan Militer yang membentuk formasi lalu berunjuk gigi di dalam halusinasi. Ini sudah lebih dari jam sebelas malam, rasa-rasanya tak mungkin Ayah meneleponku jika tidak ada apa-apa atau sesuatu yang penting. Semakin aku menduga-duga, semakin berkecamuk perasaan yang ada.

            Benar, memang ada apa-apa dari telepon singkat ayahku tadi. “Ki tak kandani, tapi koe gak usah kaget yo! Simbah putri meninggal, koe manthok sesok esok wae(kamu aku beritahu, tapi jangan kaget! Simbah putri meninggal, kamu pulang besok pagi saja!)” kurang lebih seperti itu awal percakapan kami. Ayah mengatakan sebenarnya nenekku—ibu dari ibukku—tidak dalam keadaan sakit, ayah juga kurang tahu tentang kronologis meninggalnya nenek. Akhirnya percakapan kita berakhir ketika salam terucap dari ayah dan kemudian aku jawab.

            Bagaikan tiada tulang yang menyangga, sontak badanku lemas tak terkira. Ku matikan sound yang mendendangkan beberapa lagu dari Efek Rumah Kaca sedari tadi, laptop yang memfasilitasiku menyelesaikan tugas juga menyusul ku matikan. Cahaya kamar kost nomor 7 di jalan Sidokabul 30 padam, memang sengaja aku padamkan. Aku mencoba tidur, menenangkan diri. Berharap agar semua tadi salah atau ayah membohongiku.

            Perasaan sudah lama aku tertidur, namun waktu masih menunjukkan pukul 03.00 WIB. “Astaga, baru 3 jam aku tertidur. Tapi mengapa rasanya sudah lama sekali,” batinku. Lalu aku mencoba memejamkan mata kembali.

            Ketika fajar belum menampakkan cahayanya, dengan bantuan salah seorang teman kost aku segera bergegas menuju terminal. Perjalanan menuju kota kelahiran terbilang cukup lancar, hanya dua jam. Sesampainya di rumah, dengan bantuan sepeda motor aku melanjutkan perjalanan menuju rumah simbah. Ternyata apa yang aku harapkan tidak terjadi, tidak ada yang salah dari telepon ayah semalam.

            Ibu tersendu-sendu di sudut ruangan, kakek-pun tak kalah kalutnya. Ya allah, begini kah kuasanya Engkau? Hingga aku-pun tak dapat berkutik dengan apa yang terjadi. Dengan bantuan malaikatmu, Kau ambil orang yang sesungguhnya sangat kami sayangi. Allah, teganya Engkau membuat kakek sendiri .Tiada yang menemani lagi. Kau memang benar-benar Maha Segalanya.

            Ketika aku menulis tentang hal ini, tersirat sebuah kenangan bersama nenek. Aku tidak ingat hari apa dan tanggal berapa kala itu. Tapi yang jelas, ketika suatu sore beberapa hari menjelang bulan ramadhan tahun lalu. Aku mengantarkan nenek berziarah ke sebuah pemakaman orang tua dan kerabat-kerabatnya—berziarah sebelum bulan puasa tiba merupakan tradisi di daerah kami. Tak ku duga, itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya aku mengantarkan nenek berziarah. Karena hari ini (27/6), tepat empat puluh hari setelah nenekku—menemui sesuatu yang pasti di dunia—meninggal.

            Bagiku kehidupan ibarat sebuah pementasan wayang. Dimana manusia selain sebagai dalang, juga sebagai wayangnya. Sebagai wayang, aku sangat terpukul akan kepergian nenekku ini. Secara fisik aku harus bersedih, menampakkan wajah kehilangan karena takkan bertemu lagi. Namun, sebagai dalang secara batin aku harus tetap tegar dan tersenyum karena hal seperti ini sudah diatur dan ada yang mengatur. Terlebih kematian adalah sesuatu yang pasti di muka bumi, dan sesuatu yang pasti itu itu tak banyak di alam material ini. Selamat jalan nenek, semoga amal ibadahmu diterima oleh Allah, Tuhanmu (Amien). Mugo gusti tansah maringi dalan padang kagem simbah putri lan sedaya keluarga ingkang ditinggalaken.

*Tulisan ini dibuat guna memenuhi persyaratan pelatihan jurnalistik tingkat lanjut LPM Keadilan FH-UII.

Baca Selengkapnya...