Kamis, 31 Mei 2012

Jakarta di Kepung Buruh (May Day)

Cuaca terik Ibukota tak menyurutkan para buruh untuk memperingati may day—hari buruh sedunia—awal bulan lalu. Sejak pagi, kawasan bundaran Hotel Indonesia (HI)—tempat favorit bagi demonstran untuk melakukan aksi demonstrasi—sudah dipadati oleh ribuan buruh. Jalur Busway tujuan kota dan Blok M ditutup total karena macet, pengguna jalan yang terjebak macet terpaksa harus melapangkan dadanya beberapa jam kedepan. Jalan MH Thamrin sisi selatan bundaran HI pun penuh dengan antrian kendaraan yang mengangkut buruh. Orasi politik, pernyataan sikap, teriakan dan yel-yel diteriakkan buruh secara bergantian, hari itu Jakarta dikepung buruh.

Tepat sebulan lalu, mereka melontarkan berbagai tuntutan melalui aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai penjuru dunia. Salah satunya di Jakarta, kota dengan kepadatan penduduk terbesar di Indonesia ini dikepung oleh buruh dari berbagai organisasi buruh yang menaunginya.

Dalam aksinya kemarin, para buruh meminta pemerintah menghapus sistem kerja kontrak atau yang beken disebut outsourcing, menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional, serta menaikan upah minimum kerja di seluruh wilayah kerja buruh Indonesia dalam negeri.

Peringatan May day 2012 di Jakarta berlangsung damai, walaupun sempat terjadi ketegangan antara buruh dengan aparat keamanan karena kesalahpahaman. Berikut ini beberapa momen yang dapat diabadikan oleh Bobby A. Andrean ketika mendapat tugas reportase di Jakarta.

Buruh Berbendera Merah

Rejeki Tambahan

Konvoi Buruh

Citizen Journalism

Di Antara Demonstran

Aksi di Metro Mini

Dampak May Day
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 12 Mei 2012

Ada Mereka di Balik Berita


Aku duduk membelakangi almari coklat—berisikan pakaian, sedangkan bagian atasnya beralih fungsi menjadi rak buku—sembari melihat berita dari televisi (TV) yang hanya 45 derajat di sebelah kiriku, jaraknya pun tak lebih dari semester. Walaupun kipas angin yang berada di belakang laptop tempatku menulis ini berputar dengan kencang, namun suhu panas tetap terasa di kamar kost dengan ukuran 3 x 4 ini.
Sudah lebih dari sebulan TV-ku tak mampu bersuara, mungkin ada kerusakan ringan pada kabel atau speakernya, dan semoga saja begitu. Tapi setidaknya aku masih bisa melihat gambar dengan jernih. Adanya teks di tiap berita mempermudah aku untuk mengetahui apa maksud pemberitaan tersebut, lainnya berita sulit kupahami.
Melalui TV merk LG ini mulai ku rasakan beritanya tak berubah dibeberapa hari terakhir, tetap itu-itu saja: kecelakaan pesawat Sukhoi super jet saat melakukan demo penerbangan. Praktis, berita politik dan hukum yang biasanya memenuhi tayangan berita dari awal sampai akhir sedikit berkurang intensitasnya.
Stasiun TV yang tak pernah menayangkan berita singkat, atau sering disebut breaking news—biasanya hanya menayangkan dua sampai tiga judul berita saja—kali ini mencoba menginformasikan kondisi terkini kecelakaan melalui cara pemberitaan secara demikian. Seluruh stasiun TV berlomba-lomba memberitahukan informasi sedetail-detailnya, tak jarang mereka melaporkan langsung dari lokasi-lokasi sentral terkait dengan kecelakaan pesawat: sekitar tempat kejadian perkara, rumah sakit Polri, dan bandara Halim Perdanakusuma. Bahkan beberapa media TV sampai mengundang para ahli yang memang berkompeten mengenai masalah pesawat, penerbangan, serta pencarian dan penyelamatan korban untuk berdiskusi dalam salah satu sesi berita. Dan aku yakin kejadian ini bakal jadi judul dalam “adu mulut” para pengacara di stasiun TV  yang identik dengan warna merah, semoga saja tidak.
Melalui pemberitaan ini, dapat kita ketahui bersama jika peran media—terutama media audio-visual—sangat besar. Bahkan keluarga korban juga mengandalkan informasi dari pemberitaan media. Pernah ku lihat dalam breaking news, seorang keluarga yang menanti kepastian nasib saudaranya diwawancarai oleh seorang pewarta, ia mengatakan selalu menanti informasi actual di layar kaca, seakan-akan matanya tak ingin lepas fokus dari TV yang ada di ruang tunggu tempat mereka mencari informasi, sekaligus berharap akan keajaiban dan kuasa Tuhan agar tetap dipertemukan lagi dengan sanak-saudaranya yang menumpang pesawat Sukhoi, tentunya dalam kondisi hidup.
Di sisi lain media cetak juga tak ingin kalah pamor, mereka mencoba menampilkan foto-foto terbaru di halaman pertama sekaligus menempatkan kejadian tersebut sebagai headline. Terkadang disertai gambar-gambar pendukung berita yang menerangkan kronologis kecelakaan, mungkin berita media cetak lebih mendalam dibanding laporan langsung oleh media TV, walau hanya beberapa media, selebihnya sama saja atau justru kurang lengkap sama sekali.
Bagiku semua informasi takkan bisa sampai ke masyarakat jika kerja pewarta tak mendapat akses yang mudah dari berbagai pihak. Mereka kadang masih dianggap sebagai penggangu dalam segala acara, mungkin karena jumlahnya banyak dan peralatan yang dibawa bagaikan “senjata” bagi para pecinta ketidakadilan. Padahal kerja mereka bukan tanpa resiko, salah satunya harus behari-hari berpisah dengan kelurga, demi mengirimkan informasi pada masyarakat—selain karena tuntutan ekonomi. Tapi menurutku, mereka yang benar-benar paham tugas dan fungsi jurnalistik takkan berorientasi pada uang, melainkan tanggungjawab pada masyarakat.
Sampai tulisan ini dibuat, saya masih yakin bila mereka menginformasikan kejadian ini secara besar-besaran bukan karena ingin mengalihkan isu, tapi karena paham akan fungsi dan tugas seorang pewarta. Selalu ada mereka di balik berita. Bersama penyelamat dan relawan, mereka semuanya selalu dalam lindungan Tuhan, karena Tuhan bersama para jurnalis yang pemberani. [*]
Baca Selengkapnya...