Kamis, 06 Desember 2012

Kopi-Susu Instan

Habis tak selalu berujung manis, kopi-susu instan yang mengajariku

Senja mulai menua kalau aku sruput kopi-susu instan tanpa gula. Manisnya pas, karena cangkir kecil ini diisi air sesuai takaran. Setelah cicipan pertama, aku mulai berpikir pelan mengikuti rintihan hujan akhir tahun yang terlihat dari jendela kamar.

Tak salah kiranya jika aku mengandaikan hidup bagaikan kopi-susu instan, tanpa pemanis buatan pun, ia akan manis ketika takaran airnya tepat. Seperti harapan yang harus sesuai dengan kemampuan. Nampaknya manis tak perlu dibuat-buat, manis bisa terjadi begitu saja dan apa adanya. Terdapat pelajaran penting dari kopi-susu instan sore ini, yakni, perpaduan yang tepat akan membuat semua menjadi hebat dan nikmat.

Semenjak sudah tak ada lagi yang melarangku untuk menikmati wanginya seduhan kopi, aku justru merasa ada sesuatu yang hilang kala bibirku bercumbu dengan cangkir. Dulu ku pikir kopiku akan lebih nikmat tanpa omelannya, tapi kini ku sadari jika pikiranku terlalu sempit kala itu. Sekarang justru aku menanti larangan itu, selalu menunggu celotehan yang nyata-nyata kurindu.

Kopi-susu instanku tinggal setengah ketika suara guntur menggelegar sebagai tanda hujan masih menjadi raja di luar sana, seperti auman singa yang kelaparan. Gemericik air memenuhi indera pendengaran, mengalahkan lantunan lagu yang sedang diputar oleh seorang penyiar radio ternama kota Yogya.

Jejaring sosial sudah penuh dengan tulisan tentang hujan, tapi tak ada satu pun yang menulis mengenai kopi-susu instan.

Menikmati kopi-susu instan saat hujan memang nikmat, namun tak ada yang lebih bahagia selain duduk berdua menikmati  isi cangkir kecil ini bersamamu yang kini jauh di sana. Agh, bukannya kamu tak suka kopi? Maaf aku lupa, baiknya memang aku nikmati sendiri kopi-susu instan ini bersama hujan yang sudah tak buas lagi.

Langit petang tetap gelap meskipun hujan mulai reda, bagaikan konser musik metal, semua serba hitam. Ternyata kopi-susu instan di cangkir tinggal satu cegukan, tanpa ampas. Aku terkejut ketika tiba-tiba seorang kawan datang dengan baju basah, nafasnya terengah-engah.

          “Bagi kopinya donk, sob.”

Cangkir yang sudah berada di genggaman tangan dan siap minum aku relakan, join kopi katanya. Kopi-susu instanku telah habis, ada rasa bersalah ketika aku tak bisa berbagi terlalu banyak dengannya. Tapi kilat putih menyadarkanku, bak foto-model baru yang silau karena belum terbiasa kena blitz kamera. Bagiku sedikit berbagi lebih baik daripada banyak namun untuk sendiri, semua hanya akan sia-sia, dan kakekat hidup bakal tereduksi karenanya.

Kopi dalam cangkir sudah habis, meski apa yang kita lakukan selama ini tak berujung manis. Tapi tak apa, manis pun jika dipaksakan hanya akan jadi manis buatan, dan itu lebih menyakitkan dari pahit yang alami, pahit yang benar-benar pahit sekalipun.

Esok ku seduh lagi, esok ku nikmati lagi, esok kan ku cumbui lagi dengan cangkir-cangkir mini. Tanpa larangan, meskipun aku merasa kehilangan. (*)

Baca Selengkapnya...

Jumat, 23 November 2012

Tentang Hujan

Hujan bisa memberi kenangan manis pada manusia, namun tak sedikit juga yang harus menanggung kegetiran karenanya.

Kebanyakan manusia akan menjadi pujangga ketika perlahan-lahan hujan turun menyetubuhi bumi. Karya mereka beragam, mulai dari pantun, puisi sampai lagu yang sendu. Hasilnya juga bermacam-macam. Ada yang polos, menarik, bahkan juga menggelitik. Semuanya berkat hujan, semuanya berawal dari hujan.

Bayangkan sejenak, apakah kemarau dan panas yang merupakan perbandingan dari hujan bisa menimbulkan akibat yang sama seperti hujan? Sepertinya perlu telaah dalam untuk berkata iya. Aku sering berpikir tentang keunikan hujan yang satu ini, kehadirannya memang sangat dinantikan.

Prosesnya memang memilukan. Langit akan menjadi gelap karena mendung, setelah itu terlihat seperti menangis mengeluarkan air mata, jika terlalu banyak  pun bisa mendatangkan bahaya. Aku yakin karena sebab-akibat di atas, hujan selalu dianggap murung dan penuh kegelisahan. Padahal hujan penuh dengan cerita, dan di saat-saat itulah manusia akan benar-benar merasakan kehangatan sebuah pelukan. Mengharukan bukan? Bagiku sangat.

Sebelumnya aku selalu suka saat hujan tiba, karena anganku akan teringat diwaktu-waktu itu. Dimana ada tawa bersama, menikmati dentingan air hujan yang menyentuh atap tempat kita berteduh, sembari bertukar pandang sesering mungkin. Jika mulai mereda, kita nekat menerjang tanpa mantel, basah sedikit tak jadi soal, tapi itulah yang takkan terlupakan. Namun kini beda, dan sangat berbeda.

Kenangan itu justru membuatku semakin gundah, inginku berusaha melupakan. Namun entah kenapa aku selalu tak bisa, selalu kandas usahaku untuk menepis kegetiran yang aku rasakan kala hujan mulai datang. Tapi usaha ini akan terus aku lakukan sampai aku benar-benar terbebas dari memori yang tertinggal.

Agh, tampaknya aku terlalu terbuai oleh hujan. Maaf, maksudku bukan demikian. Kini saatnya untuk bergegas menjadi manusia yang hilang ingatan, asalkan tak sedikit pun kehilangan arah, komitmen, dan tujuan, juga hati nurani serta rendah hati dalam kesederhanaan.

Hujan akan tetap abadi, siklusnya saja yang mungkin akan mengalami fluktuasi. Tak jadi masalah ketika apa yang selama ini kita jalani tak bernasib sama dengan sifat hujan yang abadi.

Inilah hujan, biarkan ia tetap murung sampai reda. Tak perlu pelangi yang indahnya hanya sekejap di mata, hujan akan tetap menimbulkan dua sisi yang berbeda: keceriaan dan kegetiran. Beruntunglah bagi manusia yang tetap ceria ketika hujan turun perlahan, dan berusahalah menjadi ceria jika sampai saat ini masih ada manusia yang murung melihat hujan karena memori yang tertinggal.
Baca Selengkapnya...

Selasa, 14 Agustus 2012

Malam Ganjil (Dimana Kau Berada?)

Aku duduk pada sebuah bangku menghadap meja belajar yang berantakan. Sembari melihat tumpukan kertas—entah tertumpuk dari tahun berapa—aku tak henti-hentinya berpikir dan berpikir. Aku sadar ini bukan sebuah renungan yang melankolis, lebih-lebih puitis. Hanya kegundahan yang timbul karena kekacauan pola pikir manusia yang semakin hari semakin “cerdas”.
Balon itu pun takkan indah bila hanya satu warna.

Sedari sore tadi, aku banyak mendengarkan ceramah baik melalui televisi atau bahkan mendengar kultum langsung ketika jeda sholat tarawih. Dengan tema sama: Lailatul Qadar, hanya penyampaiannya yang beda.

Dari ceramah-ceramah itulah pikiranku terbang melayang entah kemana. Sekarang (Senin, 13 Agustus 2012) memang malam ganjil –malam ke 25 Ramadhan 1433—bagiku, tapi bagaimana dengan mereka yang berpuasa sehari lebih cepat dariku? Dengan kata lain mereka telah melewati malam 25 Ramadhan kemarin.

Lucu dan menggelitik. Mengingat malam Lailatul Qadar dalam surat Al-Qadar ayat 2 “Lailatul Qadri Khairun min Alfi Syahr”  yang jika di-Indonesiakan berarti malam yang lebih baik dari seribu bulan ini, di negeri kita akan terjadi pembenaran kapan turunnya malam tersebut, tentunya oleh mereka yang berbeda pendapat tentang kapan 1 Ramadhan tiba.

*
Sebuah percakapan antara santri dengan ustad hadir dalam menanggapi hal ini. Ketika menjelang waktu berbuka, ada sebuah diskusi kecil antara keduanya dan disaksikan oleh santri-santri yang lain.

“Jika memang harus malam ganjil perintah Allah diturunkan melalui para Malaikat dan Jibril sampai terbitnya fajar, berarti salah satu dari sekian kelompok tersebut akan sia-sia untuk meraih yang lebih baik dari seribu bulan, ya ustad?” tanya santri penasaran.

Dengan agak gelagapan sang ustad menjawab, “Bukan, bukan begitu kesimpulannya. Jangan terlalu terburu-buru. Karena tak ada sebuah ibadah yang sia-sia jika memang manusia paham hakekat ibadah sebagai apa.”

“Namun setidak-tidaknya mereka kurang beruntung ustad,” sahut santrinya cepat. Lalu sang ustad tersenyum dan menunduk ke kiri, sepertinya ustad ragu: antara akan mengangguk atau menggeleng.

Kemudian ustad menerangkan panjang lebar bahwa perbedaan adalah rahmat, yang harus dijaga dan dihormati. “Ini masalah kepercayaan, tak perlu mencari kambing hitam, toh kita juga tak tahu selama ini apa yang kita kerjakan diterima atau tidak? Yang penting dengan iman kita wajib sadar akan hakekat manusia,” jawab ustad.

Murid tersebut merasa jawaban sang guru tidak menjawab substansi pertanyaannya, terlalu melebar kearah perbedaan secara umum bukan mengupas perbedaan jatuhnya malam Lailatul Qadar. Hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang sebelum si santri mengeluarkan kata-kata lagi. Dan ustad pun segera mengakhiri diskusi tersebut, tentunya dengan hati yang tegang, salah-salah ia yang kewalahan jika waktu berbuka tak segera tiba.

“Ayah, ayah bangun ayah sudah ashar. Santri-santri sudah siap sholat, tinggal menunggu Ayah untuk imam,” ujar istri ustad membangunkan dari tidur siang.
“Astagfirullah, adzan maghrib. Sudah buka Umi, kok masih terang?” sahutnya.
“Belum, baru Ashar.”
“Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Berarti yang aku dengarkan dalam mimpi suara adzan Ashar ini.”
“Ayah mungkin kecapekan, mari wudlu, kasihan kalau santri-santri menunggu terlalu lama,” ajak istri dan sang ustad mengikutinya.

Ternyata pertanyaan-pertanyaan tadi hanyalah mimpi, dari kegalauan pikiran seorang ustad terhadap persoalan perbedaan penentuan Ramadhan, hingga berujung kebingungannya terhadap kapan malam ganjil datang.

*
Hal tersebut barulah sebagian kecil dari upaya pencarian kebenaran kapan datangnya malam ganjil, itu pun bagi mereka yang paham tentang seluk-beluk ilmu agama. Jika seperti aku yang tak begitu pandai dalam hal keagamaan ini, perasaan galau akan lebih menyayat batin tentang kekacauan berpikir. Mau ikut siapa? Dan bisa berbuat apa tentang ketidakpahaman yang dicampur dengan kekacauan seperti ini.

Sebagai manusia biasa, aku hanya bisa berharap, dan tak lebih dari sebuah harapan. Semoga perbedaan ini memang atas dasar keyakinan, bukan karena gengsi golongan atau maksud politis lainnya. Mengingat hal-hal seperti ini sangat mungkin dipolitisasi oleh mereka yang memang punya kesempatan untuk itu, lebih-lebih ada dua ormas yang sering menyuplai paham dalam hal ini.

Seperti apa yang diungkapkan ustad dalam mimpinya di atas tadi, bahwa perbedaan adalah rahmat, dan kita sebagai manusia harus paham tentang hakekat manusia dalam hal keimanan: terciptanya manusia adalah sebuah misteri, begitu juga dengan keberadaan Tuhan. Jadi selama misteri itu tetap menjadi misteri, selama itu pula kita perlu Tuhan. Maka kita pasrahkan hidup kita pada-Nya, melalui iman dan takwa.

Mataku mulai lelah, namun waktu sahur sudah tiba. Kumatikan alat pengetik tulisan ini untuk segera bergegas membangungkan keluarga. {*}
Baca Selengkapnya...

Jumat, 10 Agustus 2012

Tertusuk Kenangan

Sembari duduk bersandar almari, suara televisi menemani aktivitasku memainkan jemari di komputer lipat buatan Taiwan. Sedari siang tadi pikiranku terus melayang dan terbayang pada suatu daerah di ujung barat daya propinsi D.I. Yogyakarta. Tak terasa sudah dua hari aku telah meninggalkannya, daerah dengan suasana yang nyaman kala malam datang menjelang. Aku tak tahu mengapa aku begitu rindu akan hari-hari di Kalibuko 1—sebuah dusun yang aku sambangi barang 30 hari yang lalu. Sepertinya segala sesuatu yang aku lakukan di dusun itu begitu membekas jauh di sanubari.

Matahari terbit dari celah-celah bukit mampu membuka harapan baru bagi masyarakat Kalibuko 1.
Angin Kalibuko 1 telah mengajari aku betapa nikmatnya kehangatan kamar kost yang biasanya ku sebut panas, karena baling-baling kipas harus berputar setiap aku ada di dalam ruangan 3x4 meter ini. Kesederhanaan masyarakatnya begitu luar biasa, bagaimana bisa mereka bertahan dengan kondisi geografis seperti itu jika tanpa keteguhan dan kebersihan hati? Indah sekali.

Sekolah menengah hanya ada di kecamatan. Tak ada angkutan umum, hanya sebagian berkendaraan pribadi roda dua, selebihnya jalan kaki berpayung terik mentari. Sungguh luar biasa tekad masyarakatnya untuk terus berkembang.

Melimpahnya pohon kelapa di Kalibuko 1 membuat hampir seluruh penduduk menyadap nira, biasanya mereka mneyebutnya nderes. Ada sebuah filosofi kehidupan yang mendasar pada pekerjaan ini: ketika naik, mereka sadar betul suatu saat harus turun lagi. Nilai ini selalu diabaikan oleh sebagian besar manusia, ketika jaya manusia akan memanfaatkan segalanya demi ambisi dan tak menggubris sekitarnya masih meringis menahan lapar.

Aku takkan cerita banyak tentang Kalibuko 1, itu hanya akan semakin memperburuk kegalauan perasaanku, mengingat saat-saat tersebut merupakan waktu yang istimewa sekali bagi pengalaman sekaligus pendidikan mental.

Masa-masa itu memang telah kadaluwarsa, tapi begitu berbekas. Sementara tugas berat menuju masa depan gemilang sudah menanti kapan datangnya masa-masa bertoga, lalu kerasnya kehidupan telah menunggu tenaga dan curahan pikiran kita.

Aigh, nampaknya aku lupa. Selama aku masih menjadi anak kuliah—label mahasiswa sepertinya terlalu berat dipundakku—fungsi  sosial-kemasyarakatan sebagai anak kuliah tak boleh dianggap remeh: Lakukan apa yang kita bisa untuk mereka yang dirampas hak-haknya. Selama rembulan masih berada di langit, selama itu pula keletihan hanya akan menjadi candu dalam hidup kita.
Baca Selengkapnya...

Minggu, 22 Juli 2012

Bangunkan dari Koma, Tuan

Belum genap dua kali sahur di ramadhan ini, mentari pun masih sangat malu untuk menari di waktu-waktu dekat nanti. Aigh,hampir saja aku lupa menyebutnya. Mungkin beberapa jam lagi sudah menjadi sahur ketiga bagi beberapa muslim di Indonesia. Ya, tahun ini di negeri kita ini lagi-lagi kaum muslim berbeda pendapat tentang kapan jatuhnya  1 Ramadhan. Politis, kekolotan aliran, atau hanya pramatisme semata merupakan penyebab utama yang ada di balik perbedaan itu.

Walaupun terkadang kebersamaan di atas perbedaan itu indah, namun untuk hal yang satu ini aku masih harus berpikir ulang. Mengingat penetapan puasa yang begitu aduhai—politisnya—dari pemerintah, bahkan disiarkan langsung melalui televisi, dan sepertinya hanya menampilkan pembenaran-pembenaran. Semua beradu kepandaian ilmu agamanya di forum tersebut, tentunya mewakili (kepentingan) kelompok masing-masing. Dari tayangan langsung tersebut dapat diambil konklusi bahwa di negeri subur ini banyak orang pandai, tapi apakah mereka juga berintegritas, berdedikasi, bahkan beridealisme secara tepat? Mungkin iya, tapi tak menutup kemungkinan banyak tidaknya.

Selama ini penetapan hari-hari penting hijriyah terkesan seperti ajang eksistensi antara dua organisasi massa (ormas), kita pasti sudah tahu siapa mereka tanpa harus menyebutnya lagi di tulisan ini. Kekolotan pemikiran sulit ditanggalkan, semua karena mereka ingin menjadi yang terdepan dalam bidang ilmu keagamaan. Mereka berlomba-lomba berebut benar yang tak terlihat dari kesalahan-kesalahan yang nampak.

Sampai kapan masyarakat awam akan terbelenggu dengan kekonyolan seperti ini, mereka kira kaum kebanyakan akan paham tentang perbedaan itu? Tidak, kebanyakan akan bingung karenanya. Dimana ujung kekolotan-kekolotan ini? Lalu apa baiknya selain hanya keeksisan golongan? Jangan biarkan bangsa ini terus-terusan koma, Tuan.
Baca Selengkapnya...

Kamis, 31 Mei 2012

Jakarta di Kepung Buruh (May Day)

Cuaca terik Ibukota tak menyurutkan para buruh untuk memperingati may day—hari buruh sedunia—awal bulan lalu. Sejak pagi, kawasan bundaran Hotel Indonesia (HI)—tempat favorit bagi demonstran untuk melakukan aksi demonstrasi—sudah dipadati oleh ribuan buruh. Jalur Busway tujuan kota dan Blok M ditutup total karena macet, pengguna jalan yang terjebak macet terpaksa harus melapangkan dadanya beberapa jam kedepan. Jalan MH Thamrin sisi selatan bundaran HI pun penuh dengan antrian kendaraan yang mengangkut buruh. Orasi politik, pernyataan sikap, teriakan dan yel-yel diteriakkan buruh secara bergantian, hari itu Jakarta dikepung buruh.

Tepat sebulan lalu, mereka melontarkan berbagai tuntutan melalui aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai penjuru dunia. Salah satunya di Jakarta, kota dengan kepadatan penduduk terbesar di Indonesia ini dikepung oleh buruh dari berbagai organisasi buruh yang menaunginya.

Dalam aksinya kemarin, para buruh meminta pemerintah menghapus sistem kerja kontrak atau yang beken disebut outsourcing, menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional, serta menaikan upah minimum kerja di seluruh wilayah kerja buruh Indonesia dalam negeri.

Peringatan May day 2012 di Jakarta berlangsung damai, walaupun sempat terjadi ketegangan antara buruh dengan aparat keamanan karena kesalahpahaman. Berikut ini beberapa momen yang dapat diabadikan oleh Bobby A. Andrean ketika mendapat tugas reportase di Jakarta.

Buruh Berbendera Merah

Rejeki Tambahan

Konvoi Buruh

Citizen Journalism

Di Antara Demonstran

Aksi di Metro Mini

Dampak May Day
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 12 Mei 2012

Ada Mereka di Balik Berita


Aku duduk membelakangi almari coklat—berisikan pakaian, sedangkan bagian atasnya beralih fungsi menjadi rak buku—sembari melihat berita dari televisi (TV) yang hanya 45 derajat di sebelah kiriku, jaraknya pun tak lebih dari semester. Walaupun kipas angin yang berada di belakang laptop tempatku menulis ini berputar dengan kencang, namun suhu panas tetap terasa di kamar kost dengan ukuran 3 x 4 ini.
Sudah lebih dari sebulan TV-ku tak mampu bersuara, mungkin ada kerusakan ringan pada kabel atau speakernya, dan semoga saja begitu. Tapi setidaknya aku masih bisa melihat gambar dengan jernih. Adanya teks di tiap berita mempermudah aku untuk mengetahui apa maksud pemberitaan tersebut, lainnya berita sulit kupahami.
Melalui TV merk LG ini mulai ku rasakan beritanya tak berubah dibeberapa hari terakhir, tetap itu-itu saja: kecelakaan pesawat Sukhoi super jet saat melakukan demo penerbangan. Praktis, berita politik dan hukum yang biasanya memenuhi tayangan berita dari awal sampai akhir sedikit berkurang intensitasnya.
Stasiun TV yang tak pernah menayangkan berita singkat, atau sering disebut breaking news—biasanya hanya menayangkan dua sampai tiga judul berita saja—kali ini mencoba menginformasikan kondisi terkini kecelakaan melalui cara pemberitaan secara demikian. Seluruh stasiun TV berlomba-lomba memberitahukan informasi sedetail-detailnya, tak jarang mereka melaporkan langsung dari lokasi-lokasi sentral terkait dengan kecelakaan pesawat: sekitar tempat kejadian perkara, rumah sakit Polri, dan bandara Halim Perdanakusuma. Bahkan beberapa media TV sampai mengundang para ahli yang memang berkompeten mengenai masalah pesawat, penerbangan, serta pencarian dan penyelamatan korban untuk berdiskusi dalam salah satu sesi berita. Dan aku yakin kejadian ini bakal jadi judul dalam “adu mulut” para pengacara di stasiun TV  yang identik dengan warna merah, semoga saja tidak.
Melalui pemberitaan ini, dapat kita ketahui bersama jika peran media—terutama media audio-visual—sangat besar. Bahkan keluarga korban juga mengandalkan informasi dari pemberitaan media. Pernah ku lihat dalam breaking news, seorang keluarga yang menanti kepastian nasib saudaranya diwawancarai oleh seorang pewarta, ia mengatakan selalu menanti informasi actual di layar kaca, seakan-akan matanya tak ingin lepas fokus dari TV yang ada di ruang tunggu tempat mereka mencari informasi, sekaligus berharap akan keajaiban dan kuasa Tuhan agar tetap dipertemukan lagi dengan sanak-saudaranya yang menumpang pesawat Sukhoi, tentunya dalam kondisi hidup.
Di sisi lain media cetak juga tak ingin kalah pamor, mereka mencoba menampilkan foto-foto terbaru di halaman pertama sekaligus menempatkan kejadian tersebut sebagai headline. Terkadang disertai gambar-gambar pendukung berita yang menerangkan kronologis kecelakaan, mungkin berita media cetak lebih mendalam dibanding laporan langsung oleh media TV, walau hanya beberapa media, selebihnya sama saja atau justru kurang lengkap sama sekali.
Bagiku semua informasi takkan bisa sampai ke masyarakat jika kerja pewarta tak mendapat akses yang mudah dari berbagai pihak. Mereka kadang masih dianggap sebagai penggangu dalam segala acara, mungkin karena jumlahnya banyak dan peralatan yang dibawa bagaikan “senjata” bagi para pecinta ketidakadilan. Padahal kerja mereka bukan tanpa resiko, salah satunya harus behari-hari berpisah dengan kelurga, demi mengirimkan informasi pada masyarakat—selain karena tuntutan ekonomi. Tapi menurutku, mereka yang benar-benar paham tugas dan fungsi jurnalistik takkan berorientasi pada uang, melainkan tanggungjawab pada masyarakat.
Sampai tulisan ini dibuat, saya masih yakin bila mereka menginformasikan kejadian ini secara besar-besaran bukan karena ingin mengalihkan isu, tapi karena paham akan fungsi dan tugas seorang pewarta. Selalu ada mereka di balik berita. Bersama penyelamat dan relawan, mereka semuanya selalu dalam lindungan Tuhan, karena Tuhan bersama para jurnalis yang pemberani. [*]
Baca Selengkapnya...

Kamis, 22 Maret 2012

Kepastian Hukum Mencederai Keadilan

Kita sering menjumpai putusan hakim yang kontroversial di mata masyarakat, hal ini tak lain dan tak bukan karena adanya benturan antara kepastian hukum yang diagung-agungkan oleh kebanyakan Hakim, sementara masyarakat menginginkan keadilan.

Selalu ada tikungan di setiap jalan yang lurus, begitu juga seharusnya penegak hukum bekerja. Kepastian hukum harus fleksibel mengikuti rasa keadilan. (Foto by Bobby A. Andrean)

Keadilan. Sebuah kata sederhana, namun sarat akan polemik yang berkepanjangan. Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Mengingat setiap keadilan pada satu pihak, di sisi lain selalu ada pihak yang merasa dan merasakan ketidakadilan. Ketika ada sebuah pertanyaan tentang dari mana datangnya keadilan, manusia humanis akan mengatakan keadilan datang dari hati nurani yang bermartabat. Tapi hati nuraninya siapa? Pasalnya setiap manusia mempunyai kapasitas hati nurani yang berbeda: penjahat takkan sehati nurani dengan penjahit, begitu juga sebaliknya.

Sedari dulu, kata keadilan sangat identik dengan putusan-putusan Lembaga Peradilan, sehingga banyak yang mengartikan bahwa putusan Pengadilan haruslah bersumber dari hati nurani. Lalu darimana datangnya hati nurani Pengadilan? Apakah Tuhan dengan serta-merta menciptakan keadilan di Lembaga-Lembaga Peradilan dengan begitu saja, tentu tidak dan itu jawaban yang terlalu berlebihan. Tuhan memang Maha Adil—tak ada tawar-menawar tentang hal tersebut, meskipun ada, rasa-rasanya tak etis—namun bukan pengadilan dunia konteksnya, melainkan dosa dan pahala untuk keabadian ciptaan-Nya di akherat. Keadilan sebuah putusan Lembaga Peradilan akan bergantung pada penegaknya, kewenangan ini diamanahkan pada sebuah organ inti setiap Lembaga Peradilan, yakni pada Hakim.

Sangat ironis memang, di negara yang sudah terbebas dari penjajah setengah abad lebih ini, Hakim di Lembaga Peradilannya masih dan hanya bertindak sebagai corong undang-undang, namun hati nuraninya mati oleh tumpukan kertas yang disusun manusia pendahulunya. Hakim menilai putusan yang dibuatnya sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, artinya putusan tersebut telah memenuhi standar asas kepastian hukum. Sehingga di zaman modern ini, masyarakat sering menemukan putusan-putusan yang kontroverisal karena Hakim menempatkan asas kepastian hukum di posisi terdepan, bukan asas keadilan.

Kepastian hukum selayaknya dan seharusnya melahirkan sebuah putusan menjadi lebih adil, dengan kata lain kedua asas tersebut bisa saling melengkapi. Namun, realita kekinian sangat bertolak delakang dengan hal tersebut. Hakim mengedepankan kepastian hukum,sementara keadaan sosial mengharapkan keadilan. Keadilan dan Kepastian hukum bagaikan air dan minyak, walaupun ditempatkan dalam satu wadah, tapi keduanya tak dapat bercampur, seperti mengeksklusifkan unsurnya masing-masing.

Dalam berbagai kasus hukum, banyak sekali pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Terakhir publik dikejutkan dengan peradilan yang menyidangkan seorang remaja dengan dakwaan mengambil sandal gunung milik anggota Kepolisian di Palu. Walaupun persidangan sudah sesuai dengan protap, namun kebenaran remaja tersebut kedapatan mencuri sebenarnya masih dipertanyakan. Karena remaja tersebut mengaku bahwa mengambil sandal di jalan depan rumah, sehingga ia mengira sandal itu tak bertuan. Teman remaja itu juga mengakui demikian, di persidangan pun barang bukti yang dihadirkan juga berbeda dari ukuran serta mereknya. Lalu adilkah ketika awalnya remaja itu didakwa dengan pasal pencurian 362 KUHP dengan kurungan penjara 5 tahun? Secara kepastian hukum memang benar, namun adilkah hal tersebut? Kita wajib bertanya pada hati nurani kita masing-masing. Untung saja walaupun Hakim menyatakan remaja itu bersalah, namun ia membebaskannya. Dahulu diakhir tahun 2009, seorang nenek yang mengambil biji coklat juga harus menjalani persidangan. Padahal biji itu tak jadi ia ambil, ia sudah mengembalikan biji itu pada petugas keamanan. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian seperti ini.

Berita terbaru saat ini, mantan Bupati di kabupatenku mendapat vonis bebas. Hakim beralasan bahwa perintah lisan tak dapat dijadikan alat bukti tanpa disertai alat bukti lain, padahal bukti lain masih bisa dicari lebih lanjut untuk menunjukkan keterlibatan mantan Bupati tersebut. Anehnya, dua terdakwa lain yang sekaligus mantan bawahannya divonis hukuman penjara. Ini merupakan keputusan janggal, Jaksa Penuntut Umum harus melakukan banding, dan itu wajib hukumnya. Karena aku dan seluruh warga kabupatenku paham betul bagaimana watak mantan Bupati itu: kala menjabat dulu, semua bawahan harus menuruti perintahnya, jika tidak, ia akan marah besar, dan tak segan memutasi bawahan yang mbalelo. Kasus ini semakin menguatkan fakta jika kebanyakan hakim telah mati rasa hati nuraninya.

Seorang Hakim sekaligus Dosen mata kuliah praktik peradilan di kampus ini menilai bahwa pertentangan antara kedua asas ini tak luput dari peran media. Menurutnya media telah membentuk pertentangan antara kedua asas tersebut, sehingga kasus yang mulanya kecil bisa menimbulkan gejolak sosial yang berkepanjangan. Salah satunya kasus pada paragraf di atas. Sementara Dosen lain di kampus ini yang juga berprofesi sebagai Hakim mengatakan bahwa putusan hakim lebih mengacu pada dakwaan Jaksa, sehingga Hakim bukan satu-satunya organ yang bertanggungjawab dan berpengaruh dalam suatu putusan pengadilan.

Akan tetapi ketika seorang Hakim membuat putusan dengan menggunakan metode “memerdekakan” dirinya sendiri dari semata-mata kepastian hukum, sepertinya media dan pengamat hukum serta masyarakat takkan menganggap putusan tersebut kontroversial.

Beberapa puluh tahun yang lalu, tepatnya diakhir tahun 80-an para hakim dikejutkan oleh rekan seprofesinya sendiri, Bismar Siregar. Kala itu Bismar menganalogikan pemerkosaan dengan pencurian, banyak hakim tak sependapat dengan langkah yang dibuatnya tersebut. Kendati demikian Bismar tetap pada pendiriannya, ia menilai kepastian hukum hanya sebagai sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Bahkan ia berpendapat bahwa, ia akan mengorbankan kepastian hukum demi terwujudnya keadilan, artinya ia akan mengorbankan sarana untuk sebuah tujuan.

Kini setelah lebih dari 20 tahun setelah putusan Bismar, mengapa tujuan selalu dikorbankan hanya karena sarana? Miris memang. Pada dasarnya hukum hukum diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Idealnya hukum ditempatkan sebagai alat, bukan tujuan.

Hukum harus peka terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, baik lokal, nasional, maupun universal. Di Indonesia dengan tingkat korupsi sangat tinggi, sangat wajar ketika media dan pengamat hukum, serta masyarakat aktif untuk ikut andil mengawasi kinerja penegak hukumnya. Bayangkan bila seorang pencuri sandal, biji coklat, dan semangka harus menjalani hukuman yang sama dengan para koruptor? Padahal berapa jarak kerugian yang ditimbulkan dari keduanya, sangat jauh bukan? Perbandingan inilah yang menyulut amarah para pencari keadilan, hukum hanya kejam bagi rakyat jelata yang tak mampu membayar pengacara.

Hukum harus dikembalikan kepada tujuan utamanya, yakni kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Dengan mengorbankan sarana, keadilan sebagai tujuan akan mempermudah terciptanya kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat sebagai subyek hukum itu sendiri. Sehingga masyarakat tak menilai putusan-putusan Pengadilan hanya lancip dan tajam pada masyarakat golongan bawah semata, melainkan juga harus kejam serta menikam para penjahat kelas kakap macam koruptor, pengemplang pajak, serta pemeras melalui wewenanng yang diperolehnya. Dengan demikian masyarakat merasa terlindungi oleh sistem hukum dan penegakkannya, agar takkan muncul lagi kepastian hukum yang mencederai keadilan. Sekian dan terima kasih. [*] Baca Selengkapnya...

Sabtu, 14 Januari 2012

Deru Ombak Tahun Baru

Malam tahun baru memang identik dengan selebrasi, tak jarang perayaannya sangat berlebihan. Namun kali ini aku dan beberapa teman Pers Mahasiswa “Keadilan” mempunyai cara berbeda dalam menyambut tahun baru 2012.

Lampion, penggambaran sebuah harapan
Sabtu, hari terakhir di tahun 2011. Saat itu mendung terlihat menggumpal, bergerak dari barat menuju timur, membelah bukit-bukit yang hijau bagaikan lemak yang menerobos daging untuk melekat pada sisi dalam kulit.

Dari depan reparasi motor di Jalan Imogiri Timur ini—tempat aku dan teman-teman Keadilan berdiri—aku menebak hujan telah turun di sekitar bukit. Setelah mekanik mengganti ban dalam motor milik teman kami, perjalanan  dilanjutkan setelah kurang lebih 20 menit berhenti.

Tebakanku membuahkan hasil, barang 10 kilometer roda kami berputar dari reparasi, hujan turun membabi-buta.  Teman yang ban dalamnya bocor tadi tak bawa jas hujan, padahal berboncengan. Jadi mau tidak mau kami harus berteduh, sekaligus menjaga bekal yang kami bawa agar tetap kering.

***
Aroma baksonya memang tak terlalu kentara, namun melihat bulatnya bakso sebesar itu, lidahku kemecer (Jawa:bergetar). Inilah resikonya berteduh di depan warung bakso.

Ketika hujan sedikit menghela napas, perjalanan dilanjutkan. Rombongan sempat tercecer setelah melintas di depan pasar, maklum saja jalannya bercabang lebih dari empat. Lagi-lagi hujan yang mempertemukan kami, dan lokasi berteduh kali ini rasa-rasanya tepat. Sebuah toko kelontong berukuran sedang,  ternyata jual jas hujan, beruntung sekali.

Aku sempat berpikir, apakah tahun baru kali—2012—ini harus berlalu di bawah riuhnya dentingan hujan? Kata hatiku menjawab, “Tidak.” Harapanku memang sedikit cerah, teman yang sudah sampai di Pantai Sadranan siang tadi, mengirim pesan singkat. Isinya memberitakan bahwa lokasi tak hujan, namun butuh lotion anti nyamuk.

Hujan memang masih deras, namun isi pesan singkat tadi mampu mematahkan kelesuan akibat hujan. Sedari Yogya, aku memang berkendara sendiri. Tanpa pembonceng, artinya tak ada teman ngobrol pas perjalanan. Sangat menjemukan, jalan pegunungan bak ular piton yang membelit mangsa ini ku lalui tanpa bicara sepatah kata pun. Pusing tak dapat dicegah lagi, ingin melepas helm, namun bagaimana jika nanti jatuh? Jika tetap di kepala, sangat menyiksa. Hujan pun plin-plan, kadang deras hingga sakitnya terasa di wajah, sering juga hanya gerimis yang sendu dan pilu.

Sesampainya di Pantai Sadranan, beberapa teman yang datang duluan menyambut kami. Tapi sebelum bergabung di tenda yang dibangun di bibir pantai, aku menyempatkan diri untuk ke kamar mandi. Kali ini tak sendiri, ada beberapa yang mengikuti.

***
Sempat kebingungan karena tenda rombongan tidak diketahui keberadaannya, lagi-lagi dengan teman yang ban motornya bocor tadi. Dari ujung ke ujung, hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, kemarin temanku bilang jika ia pasang tenda bukan di bibir pantai, namun di balik dedaunan yang mirip pandan. Setelah menelisik akhirnya ketemu juga. “Thek…Kethek…,” teriakku yang  kemudian disahut oleh teman-teman kami.

Lokasi perkemahan kami sederhana, empat tenda dum berukuran sedang dibangun saling berhadap-hadapan. Ditengahnya sengaja diberi ruang kosong untuk menyalakan api unggun, tidak terlalu luas, namun setidak-tidaknya cukup untuk menampung kami semua. Di sisi barat tenda terdapat beton cor yang berbentuk mobil, kami pun tak ketinggalan untuk memanfaatkannya. Berbaring, bercengkrama, bahkan berfoto di beton itu.

Pukul 12 tinggal menghitung menit, sementara kami masih terlarut dalam kebersamaan. Gitar dan pita suara tak henti-hentinya bergetar, membawakan lagu rindu dan kebersamaan. Memang masa-masa seperti ini akan selalu kita rindukan, bukan sekarang, tapi di waktu yang akan menjelang. Demi Tuhan, kalian pasti akan merindukannya.

Tiba-tiba heningnya pantai berubah jadi gegap gembita, suara kembang api saling bersahut-sahutan, beradu dengan derasnya ombak di laut selatan. Semua larut dalam keceriaan, bersorak dan berlarian. Ketika aku menolehkan kepala ke kiri, dari atas beton cor berbentuk mobil ini kudapati dua pasangan muda-mudi tengah khusuk berdoa sembari berpelukan, setelah itu baru mereka menyalakan kembang api. Pembukaan tahun yang manis sekali bukan? Heuheu. Ya memang manis, sebuah resolusi akan mereka awali dari detik dan dari tempat ini.

Bagiku sebuah harapan besar tak harus timbul dari segala sesuatu yang bersifat besar, seperti perayaan tahun baru ini misalnya. Seminimalis apapun tempat kita merayakan tahun baru, asalkan substansinya tetap sebuah harapan positif, hasilnya akan tetap sama, kita akan memeperoleh suatu kepositifan hidup yang didamba.

Mereka  yang tinggal di pelosok daerah kemudian merayakan tahun baru melalui siaran televise pun takkan kalah besar harapannya dibanding dengan manusia lain yang merayakan tahun baru di pusat hiburan kota-kota besar. Harapan mereka akan teraktualisasi melalui daya juang kehidupan.

***
Beranjak 45 menit dari pergantian tahun, kami serombongan tengah asik menikmati ayam bakar yang dibakar bersama-sama. Proses pembakaran berjalan cepat, karena hanya sekedar memberi efek hangat saja, pasalnya ayam-ayam tersebut sudah matang direbus dari rumah. Kami makan hanya berpiring kertas minyak, semua harus makan tanpa terkecuali.

Setelah makan bukannya tidur, tapi justru asik dalam kebersamaan. Sementara aku memilih berbaring di dalam tenda,  menghemat energi untuk mengawali hari pertama di tahun 2012. Sempat aku nikmati tenangnya suasana daerah ini dalam pergantian tahun baru, jauh dari hingar-bingar. Termasuk asap kendaraan, suara mesin, dan raungan knalpot yang sengaja dibuat keras. Sebuah pengalaman yang mengajarkan aku tentang makna tahun baru yang sebenarnya. Sebuah resolusi, bukan hanya sebatas selebrasi. Tak ingat seberapa jauh kenikmatan itu, lalu aku terlelap dalam deru ombak tahun baru di pantai Sadranan. [*]

Baca Selengkapnya...