Kamis, 28 Agustus 2014

Perang Media Pendukung Capres*

Pemilihan umum capres dan cawapres tinggal menghitung hari, namun kedua kandidat belum berhenti berebut hati melalui televisi. Keduanya tak segan-segan untuk mencekoki masyarakat melalui frekuensi udara yang nyaris tak terkendali. Framing media bisa diatur sedemikian rupa, mengunggulkan yang satu dan menjatuhkan satunya.

Peringatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak pernah dihiraukan. Sudah bukan rahasia lagi jika TV Merah lebih condong ke nomor satu, sering menyudutkan nomor dua. Sedangkan Biru TV lebih cenderung memihak nomor dua, jarang menampilkan berita tentang nomor satu. Pemilik kedua media tersebut sama-sama ketua partai politik, dengan pandangan politik (yang setidaknya dalam pilpres kali ini) berbeda. Bukan hanya perang dua televisi, media mainstream lainnya bahkan media bodong pun juga turut ambil bagian menyebar propaganda.

Masyarakat (setidak-tidaknya saya) dibuat jengkel, emosi, dan muak terhadap pemberitaan yang sudah mengesampingkan kaidah-kaidah jurnalistik. Media massa yang seharusnya memberi informasi untuk mencerdaskan masyarakat, kini berubah jadi sarana cuci otak. Mirisnya, frekuensi publik yang seyogyanya digunakan untuk kepentingan publik, justru dipolitisir sesuai kemauan dan kepentingan pemilik media.

Demokrasi dan kebebasan pers akan terancam secara laten ketika pemberitaan yang tidak berimbang seperti sebulan terakhir ini dianggap biasa oleh masyarakat, pemilik media akan semakin menjadi-jadi menyetir arah pemberitaan medianya. Kehadiran pers yang digadang-gadang memberikan keseimbangan dalam iklim demokrasi, karena dewasa ini pers menjadi pilar keempat dalam sistem demokrasi, pilar yang tidak tercantum dalam Trias Politica milik Montesquieu (1689-1755). Edmund Burke (1729-1797), negarawan Inggris, orang pertama yang menyatakan bahwa pers menjadi pilar keempat demokrasi.

Mengutip pernyataan Mahfud MD dalam konten Antara News, ketika diskusi dengan Persatuan Wartawan Indonesia di Pekanbaru, Desember tahun 2012 lalu, ia pernah mengatakan bahwa peran pers sebagai pilar ke empat demokrasi dapat memberikan tekanan positif terhadap kebijakan pemerintah. Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi kontrol sosial.

Sembilan Elemen Jurnalisme
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menginstruksikan bahwa pers nasional mempunyai peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi; mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Dari kutipan undang-undang di atas, dapat ditarik garis besar jika pemelintiran berita untuk kepentingan pemilik media atau golongan merupakan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang antara lain hak masyarakat untuk tahu dan kepentingan umum.

Bill Kovach (Wartawan senior, yang pernah menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika: Pulitzer Prize) dan Tom Rosenstiel (Committe of Corcerned Journalist, sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media) dalam bukunya berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme merumuskan bahwa kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran. Dalam hal ini kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran fungsional, bukan kebenaran filosofis yang penuh dengan perdebatan. Artinya, dalam jurnalisme kebenaran selalu dibentuk sedikit demi sedikit, bahkan tak jarang sering direvisi atau diperbaiki.

Bill Kovach sendiri mengatakan bahwa kebenaran adalah sebuah konsep yang paling membingungkan dalam dunia jurnalisme. Karena kebenaran dalam ranah pers tidak bisa dipisahkan dari padangan wartawan yang meliput lalu menuliskan atau menayangkannya sebagai berita. Pandangan tersebut terbentuk karena berbagai faktor seperti latar belakang sosial, pendidikan, suku, agama, bahkan pandangan politik wartawan dan dapur redaksinya.

Jika merujuk pada elemen pertama tersebut, rasa-rasanya kedua televisi “pendukung” kedua kandidat yang berseberangan itu sangat menyimpang dari nilai-nilai jurnalisme. Bahkan ada media bodong, baik cetak maupun elektronik, melempar fitnah berbau propaganda. Dalam hal ini, kerugian sepenuhnya ada di kalangan masyarakat, bukan tim sukses kedua kandidat yang memang gemar saling sikut dan sikat. Mengingat elemen kedua jurnalisme: loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara.

Dalam menyajikan berita, seorang wartawan harus memposisikan masyarakat sebagai subjek. Berita yang disajikan ditujukkan untuk mencerdaskan masyarakat, dan membiarkan masyarakat mengambil kesimpulan sendiri secara berdaulat. Bukan objek untuk melenggangkan kepentingan pemilik media melalui black campaign, negatif campaign, positif campaign secara tidak proporsional.

Media yang dengan sengaja menyalahgunakan tujuan loyalitasnya merupakan panu dalam kulit demokrasi. Terlebih, (meloncat ke elemen delapan) elemen ke delapan jurnalisme mengharuskan media membuat berita yang komperehensif dan proporsional, bukan berat sebelah.

Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, elemen ketiga jurnalisme. Sudah sejauh mana media memverifikasi sebuah isu yang menyatakan salah satu kandidat merupakan bagian dari dosa masa lalu atau salah satunya lagi didakwa komunis secara sepihak? Ujung-ujungnya masyarakat menjadi korban tidak terima, lalu melawan tidak secara intelektual, lebih-lebih konstitusional. Seperti penyerangan kepada kantor pusat dan kantor biro TV Merah beberapa waktu lalu. Pers yang salah menyebabkan masyarakat terbelah, marah, dan kalap. Padahal mekanisme keberatan terhadap pemberitaan sudah diatur dalam undang-undang, yakni melalui hak jawab.

Elemen keempat jurnalisme mengisyaratkan bahwa jurnalisme harus independen dari pihak yang mereka liput. Independen artinya bebas dari desakan manapun, tanpa dikendalikan pihak atau golongan siapa pun. Independensi tidak sama dengan netralitas. Contohnya jurnalis yang menulis opini atau tajuk rencana bersikap tidak netral, tapi ia harus independen dalam ketidaknetralan tersebut. Wartawan pun boleh berpihak, berpihak pada kebenaran, kredibilitasnya terletak pada dedikasi pada akurasi, verifikasi, kepentingan kepada publik, dan hasrat untuk memberi informasi secara berimbang.

Bahkan dengan sinis McNair Brian (1995) pernah mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak”. Ini realita tentang media di Indonesia pasca reformasi. Kekuatan ekonomi dan kepentingan politik pemilik modal sangat mereduksi independensi media.

Jika sampai akhirnya nanti, entah nomor satu atau dua yang terpilih. Tapi pemberitaan masih seperti sekarang ini, bisa diprediksi salah satu dari kedua media tivi akan menjadi corong penguasa. Padahal dalam elemen kelima jurnalisme, pers harus menjadikan dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Artinya kedekatan antara penguasa dengan pemilik media yang saling berkepentingan bisa berpeluang menjadi lubang di gigi demokrasi.

Jurnalisme pun harus menyediakan forum kritik dan komentar dari publik, elemen keenam jurnalisme. Agar jurnalisme bukan hanya berperan sebagai penyalur informasi satu arah, mengingat masyarakat adalah subjek.  Elemen ketujuh mengamanahkan agar media membuat berita menarik tapi relevan. Bukan sensasionalitas yang memojokkan salah satu kandidat tanpa konfirmasi, tidak cover both side.

Pada tingkat ini, Bill Kovach dan Tom Rosential buku berjudul BLUR mengatakan bahwa jurnalisme harus berubah dari sekedar menggurui—mengatakan publik apa yang ia perlu tahu—menjadi dialog publik, dengan wartawan menginformasikan dan memfasilitasi diskusi. Ide pentingnya adalah: pers ke depan akan memperoleh integritas berdasarkan jenis konten yang disampaikan dan kualitas pekerjaan, bukan dari fungsi eksklusifnya sebagai penyedia informasi tunggal atau perantara antara sumber berita dengan publik.

Pemilik media juga harus menghormati betul suara nurani setiap wartawan, karena sesuai dengan elemen ke sembilan jurnalisme, setiap wartawan mempunyai kewajiban pribadi untuk menyuarakan hati nurani sekuat-kuatnya. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel akhirnya menambahkan elemen ke sepuluh, tentang hak dan tanggungjawab warga dalam hal-hal yang berkaitan dengan berita. Karena di era tekhnologi informasi, masyarakat bukan hanya sekedar penikmat, tapi juga bisa menjadi bagian dari penyaji informasi melalui koneksi internet dengan berbagai media sosial.

Literasi Media
Sudah saatnya masyarakat belajar untuk melek media. Dari sepuluh elemen yang sudah dikupas secara singkat di atas, ada beberapa elemen yang bisa kita manfaatkan untuk menganalisa, menilai, dan memilih media yang telah menerapkan kaidah-kaidah jurnalistik secara benar untuk kita jadikan referensi. Pun kita mempunyai hak untuk menyampaikan kritik terhadap media yang sudah benar-benar menyalahgunakan kebebasan pers.

Sikap skeptis (meragukan) informasi dari media mutlak diperlukan sebagai modal awal agar masyarakat tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang sengaja diciptakan untuk membutakan kesadaran logika. Alangkah indahnya jika cita-cita untuk menjadikan pers sebagai pilar keempat demokrasi juga diaplikasikan sebagaimana mestinya dalam kehidupan bernegara, tidak hanya sebatas retorika di bangku-bangku kuliah dan di forum-forum diskusi semata.

Sesungguhnya apakah demokrasi benar-benar tidak tepat untuk Indonesia? Atau demokrasi sedang dijalankan oleh orang yang salah: intelektual bebal pemburu kekuasaan? Mari kita renungkan bersama-sama. Tabik.
*) Tulisan ini dimuat di rubrik Gagasan dalam Harian Solopos tanggal 8 Juli 2014.
Baca Selengkapnya...

Kamis, 29 Mei 2014

Terima Kasih Gondrong

Jika ibumu masih nyuruh aku potong, bilang saja meskipun aku gondrong aku tak pernah nyolong dan sudah insyaf jadi pembohong.

            Rabu dini hari, 30 April 2013. Sudah dua hari ini aku puasa. sedikit bermasalah setelah buka hari pertama, pasti karena terlalu serakah. Setelah menenggak beberapa gelas air putih di kamar kos, aku menuju warung makan langganan. Terong, lele, dan sambel korek bersatu-padu menggoyang lidah. Dua kali aku tambah nasi, di sini nasi ambil sendiri, jadi rugi kalau cuma nyentong sekali.

            Selesai makan aku tak pulang, kampuslah yang jadi tujuan. Dua potong roti bakar tergeletak di atas kertas minyak, roti itu milik teman, tanpa pikir panjang aku telan sepotong. Ternyata satu gigit bikin ketagihan, akhirnya kita beli lagi dengan uang iuran. Tak hanya roti bakar, ada juga dua plastik bakso tusuk. Aku kembali membabi-buta, perut dan mulut saling sikut.

Hanya beberapa menit setelah itu, perut berasa melilit, berujung sakit. Akumulasi dari semua rasa itu meledak menjelang dini hari, beberapa menit sebelum sahur untuk puasa hari kedua. Dua kali aku bolak-balik ke kamar mandi, rasanya tak karuan, untuk duduk saja susah bukan kepalang.

Pengalaman hari pertama membuatku lebih berhati-hati di hari kedua, kini aku mencoba buka secukupnya. Saat ini aku sedang bersiap santap sahur untuk hari ketiga, sembari melihat tayangan Liga Champion Eropa di layar kaca. Dua tim ibukota beda negara sedang berlaga.

Rencananya puasa ini akan kontinyu sampai hari ke tujuh. Setelah itu, aku akan memotong rambut. Sudah hampir lima tahun aku tak pernah ke tukang cukur, panjangnya sudah hampir sepinggul.

*

Niat untuk memanjangkan rambut datang begitu saja, tak pernah dirancang serius. Seingatku, saat itu kuliah baru memasuki semester satu. Rambutku masih pendek seperti umumnya mahasiswa baru. Lalu sampailah pada suatu ketika, seorang dosen pengantar ilmu hukum yang kini sudah profesor, bercerita tentang masa-masa ia menjadi mahasiswa. Mulai dari kegiatan-kegiatan yang ia jalani, dinamika kuliah yang dilalui, sampai tentang penampilan dari ujung rambut sampai sekitar mata kaki. Ia bercerita dengan intonasi yang menggebu-gebu, sembari memberitahukan jika rambutnya pernah panjang sebahu.

Awalnya cerita dosen itu aku anggap angin lalu, tak lebih dari seorang pejuang yang sedang bernostalgia dengan romantisme perjuangan di medan laga. Tapi entah sejak kapan dan karena apa, setahun setelah itu panjang rambutku sudah sebahu. Perlu diketahui, aku sempat dua kali meluruskan rambut. Pertama, ketika panjang rambut kurang-lebih 10cm. Kedua, ya ketika sebahu itu. Pelurusan itu bukan untuk gaya-gayaan, tapi perawatan (kamuflase).

Menjadi gondrong adalah sebuah pilihan. Pilihan mudah namun implementasinya sulit. Penilaian bahkan penghakiman orang lain akan menghukum kegondrongan kita tanpa proses pengadilan.

Ruwet, nakal, dan tidak mapan. Tiga kata yang cukup mewakili gambaran lelaki gondrong, meski masih banyak konotasi negatif lainnya. Gondrong memang membuat setiap lelaki terlihat sangar, tak terkecuali diriku waktu itu. Tapi percayalah, tampilan fisik hanya 20% mewakili isi jiwa seseorang. Banyak manusia hidup dengan topeng kepalsuan.

Lead yang membuka tulisan ini (bergaris miring setelah judul) tidak datang dari ruang kosong. Kalimat yang sudah pernah aku tulis di media sosial Twitter itu ibarat eksepsi (jawaban tergugat atau terdakwa atas gugatan atau dakwaan Jaksa). Pernah ada seorang perempuan, selalu membujuk untuk mengakhiri kegondronganku, ia pernah bilang bahwa ibunya juga berpesan demikian. Namun sampai kita tak dekat lagi, saling menjauh atau salah satu menjauh—bisa jadi karena aku tak mau potong rambut atau mungkin ada yang lebih rapi dan mapan—aku tak tahu. Sampai kita tak bersama-sama lagi, niat untuk potong rambut belum juga tumbuh dari jiwaku.

Bagiku, jika suatu saat nanti aku harus potong rambut. Niat itu harus berangkat dari hati yang tulus dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Dan terbukti di awal bulan empat tahun ini. Setelah berdiskusi dengan bapak, akhirnya ada beberapa hal yang harus aku persiapkan untuk berpisah dengan mahkota yang lima tahun menjadi sahabat bagi tulang belakang.

*

            Sabtu dini hari, 24 Mei 2014. Sudah dua puluh empat hari tulisan ini tanpa proggres, kesibukan dan rasa malas menjadi penyebab utama. Jemari, pikiran, dan niat memudar. Padahal, delapan belas hari yang lalu aku telah memotong rambut, tepatnya pada Seloso Kliwon kemarin: 6 Mei 2014.

            Sore itu, menjelang asyar. Aku diantar delapan teman menuju Adam Barber, Jalan Kaliurang. Aku terakhir potong lima tahun yang lalu, bulan puasa 2009, tanggalnya lupa, yang jelas sehari setelah kelahiran Aira, cucu dari pakdhe Wijo—kakak ipar bapakku. Awalnya kami sempat bingung untuk menentukan tempat pangkas mana yang akan menjadi tempat bersejarah.  Niatnya aku ingin memotong rambut di tukang cukur bawah pohon, tapi setelah observasi kesana-kemari, hasilnya nihil. Adam Barber di Jalan Kaliurang ini tak begitu besar, dan hanya ada dua kapster didalamnya.

            “Mau ngapain, mas?” tanya salah satu kapster sembari melempar senyum. Senyuman dan kernyitan dahinya menyiratkan bahwa ia sedang bertanya-tanya penasaran. Aku sampaikan niatku, tapi ia malah terheran-heran dan tak percaya. Lalu ku ulangi sampai tiga kali maksud kedatanganku sore itu. Dengan senyum lebar tanda puas dengan jawaban, akhirnya ia mempersilahkan aku duduk di kursi empuk menghadap kaca besar. Nama kapster itu Erik, masih muda, jika ku taksir umur kita tak jauh beda, tapi lebih tua dia.

            Proses potong rambut sangat singkat. Pertama rambut aku ikat satu di belakang kepala, biasa orang menyebutnya ikat kuncir-kuda. Erik menutupi tubuhku dengan kain biru, agar potongan rambut tak mengotori pakaian. Ada seorang teman, namanya Sadhan, dari dulu pengen banget jadi jagal untuk rambutku, alasannya gemes dan gregetan. Setelah Erik memberi Sadhan gunting, akhirnya rambut yang sudah aku rawat selama lima tahun, hilang tak lebih dari lima menit. Lalu Erik mulai merapikan bagian-bagian tertentu, dan dalam sekejap wajahku berubah menjadi lima tahun lebih muda.

            Banyak pertanyaan muncul setelah aku potong rambut. Kebanyakan tentang alasan, penyesalan, dan bahkan keberadaan rambutku yang dulu. Awalnya aku semangat menjawab pertanyaan seperti itu, meski akhirnya bosan menjelaskan sesuatu secara berulang-ulang.

            Puasa tujuh hari sebelum potong rambut membuat aku lebih menerima keadaan yang sekarang, tanpa penyesalan. Selain mangklingi (membuat orang lain tidak mengenali karena perbedaan sebelum dan sesudah potong cukup signifikan), suasana secara keseluruhan juga ikut berganti. Seperti hidup, ia harus dinamis bukan stagnan pada suatu titik nyaman.

            Dahulu di zaman pasca Majapahit, ketika Islam mulai masuk ke Nusantara dan berkembang di daerah pesisir utara Jawa. Buku Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer menggambarkan betapa pada masa itu lelaki gondrong sudah tak sebanyak masa Hindu-Buddha. Buku bertebal 760 halaman itu bercerita tentang hancurnya kedigdayaan kerajaan Tuban dan perjalanan hidup Wiranggaleng, pemuda desa yang diangkat menjadi senopati Tuban dan beristrikan Idayu, penari pujaan Tuban.

Pada suatu ketika Wiranggaleng mendapat tugas untuk menerjemahkan isi surat berbahasa Arab. Sampailah ia di Gresik. Keberadaannya menjadi pusat perhatian karena rambutnya panjang. Setelah berpikir tiga hari, ia berpuasa mohon ampun dari para dewa dan leluhur, lalu dimintanya seseorang untuk mencukur rambutnya. Ternyata tak mudah, tak ada seorang pun yang mau menjadi tukang cukur, karena pada saat itu tempat pangkas rambut yang sah dan meyakinkan adalah pesantren, sementara ia masih Hindu.

Ketika itu masyarakat Gresik mempunyai kepercayaan jika memotong rambut bukan oleh orang dan tempat yang sudah ditentukan, leluhur akan gusar, akibatnya yang memangkas dan yang dipangkas bisa kena kutukan.

Seorang kenalan di pelabuhan menemaninya menghadap kiai di sebuah pesantren. Semestinya sebagai seorang yang berambut panjang, ia datang bersama sanak-keluarga untuk ikut menyatakan kerelaan akan pemotongan rambut itu. Jika keluarga menolak, bisa membawa teman-temannya sebagai saksi. Syarat lainnya: seekor ayam jantan putih, beras tujuh tempurung, dan tiga depa bahan pakaian putih. Tapi Wiranggaleng bebas dari syarat-syarat itu, sang kiai tahu ia berasal jauh dari luar Gresik.

Rambut Wiranggaleng dipotong dan pada saat itu pula ia diharuskan meniru syahadad dari sang kiai. Tak butuh waktu lama, karena memang ala kadarnya. Setelah selesai, ia punguti rambut dan disimpannya dalam sarung. Ia akan menanamnya setelah membuat upacara yang patut. “Kau sudah sepenuhnya Islam, pergunakanlah sekarang nama Islam, Salasa. Bisa menghafalnya? Salasa, karena kau datang kemari di hari ketiga,” pesan sang kiai. Di masa itu memotong rambut adalah simbol bagi seseorang yang berniat masuk Islam.

Sejak membaca buku itu, aku sudah berniat jika potong rambut nanti, setidak-tidaknya harus ada penghormatan bagi mahkota yang sudah lima tahun menghiasi kepala. Dan selain puasa tujuh hari, aku juga puasa tak makan nasi dan garam tiga hari, lalu menutupnya dengan syukuran nasi tumpeng sederhana bersama teman-teman Lembaga Pers Mahasiswa Keadilan (LPM Keadilan) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, dua hari setelah hari pemangkasan. Kebetulan juga pada waktu itu tepat di hari ulang tahun LPM Keadilan, jadi ada dua tumpeng yang kita santap bersama.

Rangkain foto sebelum dan sesudah potong rambut di Adam Barber, Jalan Kaliurang. Setidaknya ada delapan kawan yang ikut menemaniku sore itu, mereka mengabadikan momen melalui foto dan video. Aku haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada kalian: Dimas, Alam, Jefri, Ucup, Meila, Mail, Rini, Sadhan.
Dan tulisan ini merupakan penghormatan utamaku. Mungkin tak sesakral yang dilakukan Wiranggaleng, membuat upacara sebelum menanamnya rambutnya. Tapi tulisan ini Akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari, takkan padam ditelan angin.

Terima kasih gondrong, kau berikan kenangan di masa kuliah yang mengasikkan. Kau menjadikan aku contoh buruk agar tak ditiru oleh orang lain. Rambut gondrong, celana sobek-sobek, kaos oblong, dan sendal jepit akan membuat semua ibu-ibu mewanti-wanti anak kecilnya untuk tidak menirukan gayaku jika mereka besar nanti. Bagiku, jika kita tak bisa menjadi contoh baik, jadilah contoh yang buruk, tapi hatimu jangan.

Kini biarkan aku menikmati suasana baru, kelak jika aku rindu, izinkanlah aku kembali padamu: gondrong. Sembah hormatku padamu, dari seseorang yang menemukan dirinya sendiri bersamamu. Terima kasih, restui aku untuk tetap bertahan menjadi diri sendiri. Tabik.
Baca Selengkapnya...

Selasa, 29 April 2014

Buku

Bisu dan tuli, tapi banyak arti

Sudah seminggu lebih buku ini ada di tangan, pinjaman dari seorang pemuda Banten yang berhasil memprovokasiku malam itu. Ia memang gemar bercerita tentang apa yang baru ia baca, sebuah hobi yang bermanfaat untuk teman dungu sepertiku. Meski harus diakui wawasan kita terbatas, lebih-lebih setelah aku membaca buku pinjaman darinya sekarang. Selama ini aku merasa seperti terlalu menikmati lucunya warna-warni ikan dan terumbu karang indah di dasar laut, tanpa pernah ingin tahu dunia apa yang ada di permukaan air.

Terima kasih kawan, kegemaranmu mencerahkan. Ya, setidaknya nongkrong sampai pagi tak hanya sebatas forum haha-hihi. Selalu ada sesuatu yang bisa dikupas secara mendalam, sesederhana apapun objeknya.

Buku dengan sampul warna putih, dan bergambar mawar yang terinjak jejak sepatu tentara itu menceritakan perjalanan seorang aktivis. Dari mulai masa kanak-kanak, hingga menjadi pemberontak, sampai kini menjadi bagian dari partai oposisi. Bukan tentang siapa dia saat ini yang membuatku kagum, tapi tentang cita-cita dan perjuangan yang ia lakukan untuk cita-cita tersebut.

“Momentum saat seorang bertemu buku itu adalah saat dirinya sedang ditinggikan melebihi ukuran badannya,” bunyi salah satu kalimat yang menginspirasi dalam buku itu. Ada beberapa perumpamaan lagi selain ditinggikan melebihi ukuran badan, meski substansinya sama: momentum bertemunya manusia dengan buku.

Sayang, selesai membaca saja belum, lebih-lebih mengembalikan. Maafkan aku, kawan. Anak-Anak Revolusi itu aku pinjam terlalu lama, akan ku kembalikan secepatnya setelah tamat.

Aku sendiri bertemu dengan buku lalu akrab dengannya baru ketika menginjak semester satu, tepatnya lima tahun yang lalu. Awalnya aku meminjam dari kakak tingkat, sebuah tertralogi: empat buku. Aku berniat meminta keempat buku sekaligus, tapi ia melarang. “Satu dulu dirampungin, baru baca yang lain,” ujarnya jengkel.

Tampaknya larangan itu ada benarnya, untuk melahap satu buku saja aku butuh waktu lebih dari sebulan, dasar tak pernah membaca buku! Aku memang bukan kutu buku, dan itu pertama kalinya dalam hidup, aku baca buku dengan tebal lima ratus halaman. Masa kanak-kanak sampai habis remajaku tak pernah dekat dengan buku, mungkin karena orang tua tak pernah mengenalkannya padaku.

Bapak dan ibuku juga jauh dari buku, mereka hanya lulusan SMP yang gigih memperbaiki taraf hidup masa depan mereka: aku dan adikku. Justru tahun lalu akulah yang memperkenalkan buku dengan mereka, juga untuk adikku. Bagi bapak dan ibu, tiada hari tanpa bekerja, meski tanggal merah sekalipun. Semua dilakoni agar aku dan adikku melebihi pendidikan mereka. “Meski bapak ibumu hanya lulusan SMP, tapi kami bertekad untuk mengantarkanmu, juga adikmu sampai ke perguruan tinggi,” janji bapak dulu.

Tekad yang luar biasa, bahkan salah satu putranya sudah menyandang gelar sarjana dengan predikat cumlaude. Predikat yang ku yakini bapak dan ibu tak paham, sebelum akhirnya aku jelaskan. Aku pun sadar bahwa tak ada yang perlu dibanggakan dari predikat itu, karena bagiku: untuk apa cumlaude jika otak kita tetap saja kolot? Seperti yang tertulis di atas meja tivi kamar koskuc sejak setahun lalu. Posisinya persis di dinding ujung kasur, harapannya agar selalu terbaca saat hendak terpejam sekaligus ketika nanti aku membuka mata.

Buku memang jendela dunia. Pernah suatu ketika, aku berjumpa dengan seorang teman lama dalam acara buka bersama. Ia teman SMP, lalu melanjutkan sekolah di pondok pesantren ternama di kota Solo, lantas aku tanyakan padanya tentang apakah ustad-ustad ini (ada dua nama ustad besar) masih mengajar di sana? Sambil aku sisipi pertanyaan tentang misi dua ustad itu selain mendakwah? Ia kaget bukan kepalang, seketika itu pula ia tanya balik, apa aku jadi santri juga di sana? Setidaknya jadi santri di kawasan kota Solo?

Jelas tidak mungkin, nyata-nyata aku tak pernah sekolah atau kuliah di sana. Aku tahu nama dua ustad itu dari buku: Temanku Teroris? Karya Noor Huda Ismail. Novel non-fiksi tentang perjalanan hidup penulis dengan teman-temannya saat dan setelah menjadi santri di salah satu pondok pesantren di Solo bagian selatan. Hingga akhirnya Noor Huda mengetahui salah satu terdakwa bom Bali adalah temannya kala menjadi santri. Mereka dipertemukan lagi setelah lama berpisah, tapi dengan atmosfer yang beda. Huda menjadi jurnalis, sementara temannya divonis mati.

Sejak peristiwa tiga tahun lalu tersebut, aku benar-benar merasakan ternyata buku bisa mengantarkan kita satu tingkat lebih awal dari kenyataan, luar biasa. Aku ingin menularkan kegemaran baru ini pada bapak, ibu, adik, pun juga untuk bekas teman dekat. Keluargaku tertarik, bahkan bapak dan adikku mulai kecanduan membaca. Tapi sayang, sepertinya bekas teman dekatku tak bernasib sama, ia tak suka. Mungkin sampai sekarang buku yang aku beri belum ditamatkannya, maaf ya hadiah ulang tahunmu kala itu terlalu biasa, beda dengan lainnya. Mungkin aku terlalu memaksamu untuk suka membaca sastra.

Jangan besar kepala ya, karena aku ingin memperkenalkan sastra bukan hanya padamu saja, namun pada semua manusia, mengingat Pramoedya Ananta Toer pernah bilang bahwa kita boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kita tinggal hanya hewan yang pandai. Anis Baswedan pun pernah menulis di twitter pada 3 Juli 2013: Baca buku teks itu harus, baca buku bidang studi-nya itu baik dan perlu, tapi baca karya sastra itu baru mantap.#bacaan kuliah. Sekian.
Baca Selengkapnya...