Kamis, 26 Desember 2013

Tungku

“Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
(Soe Hok Gie - Sebuah Tanya, 1969)”

Salam Persma!

Petikan bait pertama puisi Sebuah Tanya di atas tergolong dalam majas alusio, artinya ungkapan yang dapat diketahui secara mudah, bahkan untuk orang awam sekalipun. Dan kalimat tersebut sekaligus menjadi legitimasi untuk pelantikan kepengurusan baru di sore ini—sore gerimis tapi romantis, yang suatu saat nanti akan terjadi lagi, lagi, dan lagi.

Senin dini hari, delapan hari yang lalu, setelah melalui mekanisme pemilihan, pimpinan sidang musyawarah anggota melalui surat keputusan No. 13/TUS/MA/LPM FH UII/XII/2013 menetapkan seorang mandataris baru LPM KEADILAN periode 2013-2014. Seminggu kemudian, melalui rapat formatur, terbentuklah Struktur Kepengurusan LPM KEADILAN FH UII Periode 2013-2014 seperti yang telah dibacakan tadi.

Banyak sekali dinamika yang terjadi dalam periode 2012-2013 yang lalu. Awalnya kita bagaikan sayur segar yang siap dipetik, berwarna-warni—merah, putih, hijau, bahkan abu-abu—lalu bertemu di sebuah tungku yang tidak terlalu besar bernama KEADILAN. Di tungku tersebut kita larut dalam air kekeluargaan yang memang benar-benar mencairkan. Ketika nyala api dialektika di bawah tungku semakin besar, intrik dan konflik menjadi bumbu penyedap agar sayur ini matangnya tak berasa hambar. Dan semua ini akan terulang, dengan bahan baku dan bumbu penyedap yang berasal dari tempat yang berbeda, tapi tidak dengan kualinya.

Terima kasih atas kepercayaan dan kerjasamanya selama 15 yang lalu, mari kita songsong kepengurusan baru dengan jiwa yang sehat tanpa dibuat-buat, kuat tanpa harus berkarat, serta solid tanpa musti berkelit-kelit. Terima kasih juga untuk KEADILAN yang telah mengajari kami tentang profesionalisme, pergerakan, juga arti kekeluargaan. Satu pelajaran penting yang akan kami bawa sampai kapan pun juga, yakni tentang beraneka ragamnya sayur di kebun akan terasa lebih nikmat ketika dimasak matang dengan bumbu yang pas, api cukup, dan tungku yang proporsional.

Jika esok harus lebih baik dari sekarang: rawatlah kebun sayur, perhatikan komposisi bumbu dan pertahankan nyala api, agar tungku KEADILAN tetap menghasilkan sumber daya manusia dan produk-produk sesuai dengan yang kita cita-citakan. Kini sepenuhnya KEADILAN telah berada di pundak kawan-kawan, tak akan ada yang mati di sini, mungkin hanya sedikit menepi. Seperti bait terakhir puisi Sebuah Tanya milik Gie:

Manisku, aku akan berjalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru

Idealisme bukan hanya sekedar perkataan dan tulisan di pakaian, tapi juga tindakan dan kelakuan. Percuma saja jika mulut gagah tapi komitmen payah. Memelihara kemalasan, ujung-ujungnya cari alasan. Lihat Rumah Kaca halaman 409 milik Pram, kurang lebih begini bunyinya: Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. Kawan, baca tetralogi sekali lagi!
Baca Selengkapnya...

Kamis, 19 Desember 2013

Cerita

Sekarang adalah waktu dimana aku sudah berada di ujung masa kuliah. Melahirkan gelisah, takut menentukan arah, meski pasrah hanya akan berujung kalah.

SELASA DINI hari tanggal ketiga bulan Desember. Rembulan sembunyi di balik mendung, burung peliharaan menekuk kepala dalam kandang. Sejam yang lalu ayam tetangga berkokok berkali-kali. Kini suara jangkrik mulai berisik, meski muadzin sedang mengumandangkan adzan Subuh semerdu mungkin.

Aku masih terjaga, sepertinya mata ingin melihat fajar yang sebentar lagi tiba. Kantuk yang sedari tengah malam tadi terasa, kini sudah lenyap. Pikiran yang mustinya diistirahatkan, dikecualikan untuk mengusir kegundahan. Sebuah aplikasi di komputer lipat menjadi sarana untuk bercerita, Cerita ini mudah dimengerti oleh orang yang mudah paham, namun bukan konsumsi untuk kalian yang tak pernah mau tahu apa yang sedang orang lain lakukan. Mungkin begini awalnya:

Setelah pindahnya tali toga di kepala, satu per satu dari mereka mulai angkat kaki, namun entah mengapa aku merasa masih harus tetap berdiri di posisi ini. Lalu komentar selalu datang bertubi, dari kanan juga kiri, dan hampir semua tak paham dengan penjelasan yang memang sulit dimengerti.

Ini bukan tentang gengsi atau eksistensi, tapi terlalu berlebihan jika dikatakan tentang isi hati, takutnya dibilang sok suci atau sok punya komitmen tinggi. Meski pada nyatanya, hidup hanyalah mampir sok-sok’an semata. Kita pun tinggal pilih mau jadi sok apa, karena tulus yang katanya berasal dari hati itu juga sulit diukur, terlebih ketika semua bisa dibungkus dengan kepalsuan.

Kurang dari dua minggu lagi, semua akan berakhir. Bukan lepas, hanya sedikit berubah. Baru dua bulan setelah bulan kedua tahun depan semua akan benar-benar hilang, lalu jadi kenangan. Ya, sulit dimengerti bukan? Baiknya anda sudahi saja membaca cerita ini.

Hari pertama Desember kemarin membuatku merasa terharu, ada kejadian dimana aku merasa bangga menjadi bagian dari kalian, dan begitu takut untuk kehilangan. Mungkin ini berlebihan, tapi jujur itu yang benar-benar aku rasakan. Walaupun aku tahu ini tak lebih dari sekedar melankolia, dramatisasi, dan konsekuensi dari berpikir dengan perasaan.

Aku pernah merasa tersesat di sini, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku sedang tersesat di jalan yang benar dan masuk akal. Semua berjalan begitu saja, cepat sekali, dan lagi-lagi sulit dimengerti. Inilah cerita yang tak bisa bercerita selama empat setengah tahun ini, dan harus ku akhiri di sini karena tak semua layak untuk diceritakan, juga aku tak mumpuni untuk menceritakan.

Terima kasih untuk kepercayaan selama ini, aku berhutang untuk semua. Maaf bila aku tak bisa menjadi lilin ketika gelap, karena aku percaya kegelapan akan melahirkan matahari: selalu memberi tak harap kembali.

Langit mulai memerah, kokok ayam bersahutan di pekarangan. Suara air yang beradu dengan gayung dan badan manusia sudah terdengar di sana-sini. Selamat beraktivitas. (*)
Baca Selengkapnya...

Kamis, 17 Oktober 2013

Kampung Halaman, Seberapa Penting Kau Memilikinya?

“Indonesia adalah bagian dari desa saya – Emha Ainun Najib”

AKU TAK TAHU, apakah masih relevan di hari pembacaan karya pada sore hari ini, tetap mengambil tema kampung halaman, apalagi jika hasil tulisan kita tak lebih dari sekedar buku diary. Maaf, bagiku alangkah baiknya kalian simpan sebagai catatan pribadi, dan membacanya sendiri sebelum tidur nanti. Belum lagi, meskipun aku bukan dukun, perkenankan aku mencoba sedikit menebak: sebagian besar di antara kita pasti baru menulis barang satu atau dua hari yang lalu, bahkan hari ini.

Dan aku juga tak paham, mengapa pihak penyelenggara tetap mempertahankan tema yang pada dasarnya—jika sesuai jadwal—akan dibacakan pada jauh-jauh hari sebelum sekarang? Malas berpikir, sudah berpikir tapi tak ada ide atau kah memang ini pilihan terbaik, jujur aku belum menemukan jawabnya.

Baiklah, acuhkan sejenak dua paragraf di atas, karena mungkin sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan judul dan lead, tapi entah mengapa aku merasa perlu untuk menuliskannya sebagai pembuka tulisan, mohon dimaklumi.

Sekarang mari kita bincangkan tentang sesuatu yang telah menjadi tema.

Bicara kampung halaman, bicara tentang polosnya masa kecil dan sejuta kenangan. Tak peduli manis, asam, bahkan pahit sekalipun. Semakin beranjak dewasa, otak kita semakin didikte oleh prestige dan kemauan pasar, kecuali bagi yang tidak, dan persetan, itu urusan pribadi masing-masing.

Aku membaca tulisan ini di hadapan beberapa mahasiswa perantau, ada kalanya kita—karena aku juga mahasiswa rantau—akan dipaksa kembali ke kota asal, entah sebentar atau pada suatu saat nanti akan tetap di sana sampai menua, kemudian tutup usia.
Ketika pulang, takkan kita dapati sesuatu yang benar-benar sama seperti sedia kala, pasti ada sesuatu yang berubah, berbeda, bahkan tiada. Lalu, seberapa penting kau memilikinya?

Puisi Emha Ainun Najib dengan judul Antara Tiga Kota pun pasti berbanding terbalik dengan kondisi sekarang yang dulu pernah ditujukkan untuk Yogyakarta. Ia pernah menulis begini:

Di Yogya aku lelap tertidur
Angin di sisiku mendengkur
Seluruh kota pun bagai dalam kubur
Pohon-pohon semua mengantuk
Di sini kamu harus belajar berlatih
Tetap hidup sambil mengantuk

Bagi mereka yang pernah muda sejaman dengan Emha Ainun Najib, sudah pasti akan mengamini puisi indah di atas. Tapi masihkah mereka setuju ketika pada detik ini juga, mereka dihadirkan di Yogyakarta yang benar-benar sedang dilanda tsunami pembangunan tapi minus perencanaan dan pengendalian serta akan berdampak pada mengikisnya identitas secara terencana dan laten? Mungkin puisi Emha akan sedikit berubah, berlanjut dengan pelintiran seperti ini:

Jakarta (Yogyakarta) menghardik nasibku
Melecut menghantam pundakku
Tiada ruang bagi diamku
Matahari memelototiku
Bising suaranya mencampakkanku
Jatuh bergelut debu

Yogya kini, sedang menuju pertumbuhan ekonomi yang hanya didasari pada ambisi investor—yang kebanyakan bukan warga asli Yogya—dan antisipasi pasar, bukan kebutuhan riil kota pelajar. Aku memang tak lebih dari pendatang, tapi aku tetap tak rela jika Yogyakarta berubah  dan sedikit demi sedikit luntur keistimewaannya. Lalu seberapa pentingkah kau memilikinya?

Tapi mengapa Emha Ainun Najib tak menetap di Jombang? Bukankah di sana kampung halamannya? Mengapa pula ia lebih memilih membuat rumah singgah di Kadipiro, Yogyakarta? Meski di satu sisi ia sering berkelana ke berbagai wilayah di nusantara? Apakah karena di sini ia bisa hidup dengan mengantuk seperti puisi yang ia buat di atas? Dan bukankah kini semua hampir berbanding terbalik menuju lanjutan puisi yang membuat jatuh bergelut debu? Agh, aku tak perlu tahu alasan apa di balik itu semua.

Satu yang menggajal dalam hatiku, bak sobekan daging yang nylilit di sela-sela dua gigi: Akankah Yogya, kampung halaman sekaligus denyut nadi dinamika mahasiswa di Indonesia, menjadi abu-abu dan, terlihat seperti lahan gersang yang dulunya pernah subur, tak bisa bertahan dari girasnya ambisi investor. Inilah penutup Antara Tiga Kota karya Emha:

Surabaya seperti di tengahnya
Tak tidur seperti kerbau tua
Tak juga membelalakkan mata
Tetapi di sana ada kasihku
Yang hilang kembangnya
Jika aku mendekatinya
Kemanakah harus ku hdapkan muka
Agar seimbang antara tidur dan jaga?

Emha pernah menulis buku berjudul Indonesia adalah Bagian dari Desaku. Desa yang tak lagi memilih siapa dan dimana keberadaannya. Dari situ ia yakin akan tercipta negeri kesabaran, propinsi ketekunan, kabupaten kerja keras, kecamatan mandiri, dan desa barokah kita sendiri. Dan itu semua bisa dilakukannoleh siapapun, tak hanya Emha.

Setiap orang pasti akan mempunyai kecintaan yang berbeda pada kampung halamannya, dan setiap orang bebas memilih mana kampung halaman yang ia sukai dan akan ia tinggali. Tapi, apapun yang terjadi, Indonesia akan tetap jadi bagian dari kampung halamanmu, kampung halamanmu, dan kampung halaman kita bersama. Maaf jika tulisan ini tak sesuai dengan tema, kesempurnaan (katanya) milik Tuhan, bukan manusia.


Agh, entahlah, tak perlu perdebatan si sini. Bagiku kampung halaman tak lebih dari gudang nostalgia dan tumpukkan album tua berisi trilyunan ruang rindu. Kampung halaman bagaikan angin yang menjadi pujaan hujan, yang selalu berkata tidurlah ketika malam mulai resah. Ia mampu bercerita tantang gunung, juga laut. Meski tak lagi berdua saja, kampung halaman tetap akan mengingatkan pada perempuan yang pernah dalam pelukan, meski kini tak lebih dari sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan. (*)
Baca Selengkapnya...

Gelisah Karena Dakwah

Ramadhan, masa sebelum lebaran, bulan ketika penceramah muncul bak suara katak sehabis hujan. Meski temanya selalu diulang, namun tak pernah ku lihat ada protes yang datang.

SEBENARNYA TULISAN tentang peringatan hari kemerdekaan lebih menarik hati, mengapa tidak? Sekarang ini dan bahkan selama masa kemerdekaaan, negara selalu memperingati kemerdekaan dengan budaya militeristik nan formal, seolah-olah 17 Agustus hanya tentang mengibarkan dan menurunkan Sang Merah Putih semata, bukan tentang pemaknaan spiritualitas kemerdekaan. Agh, tapi tema kali ini tak ada hubungannya dengan itu, mungkin aku tulis sendiri di lain hari.

Sepekan sebelum hari kemerdekaan, umat muslim di pelosok negeri terlebih dahulu disibukkan dengan perayaan hari kemenangan pasca Ramadhan. Selama sebulan itu pula, ritual-ritual wajib maupun sunnah mereka jalankan, entah dengan ikhlas atau pakasaan bukan urusan, bukan hak kita untuk ikut campur, biarkan hanya person dan Tuhan yang tahu.

Selalu ada cerita saat Ramadhan, bisa menyenangkan, tak jarang juga mengusik hati, tinggal bagaimana perasaan dan keadaaan dalam menjalani.

Aku menikmati separuh awal Ramadhan di kota pelajar, lalu menghabiskannya di kampung halaman, meski sebenarnya niatan untuk pulang tak benar-benar bulat, entah karena apa, rasa-rasanya berlebaran di kota asal tak semenarik dua atau tiga tahun yang lalu.

Di rumah, aku baru sadar ternyata televisi begitu heboh dengan segala tayangan berbau Ramadhan. Mengingat selama di perantauan aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama kawan-kawan seperjuangan. Televisi menyajikan siaran beraneka-ragam, mulai dari iklan-iklan makanan dan minuman yang menggoda kala siang, laporan langsung arus-mudik menjelang lebaran, serta ceramah-ceramah dari ustad dadakan dengan intensitas yang meningkat signifikan. Aku mengurutkan dari yang aku senangi hingga yang tidak.

Aku beranggapan bahwa iklan makanan dan minuman yang tiap detik menggoda kita dan warung yang tetap buka di siang hari, justru merupakan sebenar-benarnya ujian bagi umat Islam yang sedang berpuasa.

Aku juga sempat terusik dengan kata-kata yang berbaris rapi di jalanan: “hormatilah orang yang berpuasa”, lucu sekali bukan? Terlepas diterima atau tidaknya puasa mereka, bukankah orang yang sedang berpuasa itu di mata Tuhan sudah terhormat tanpa harus dihormati dan tanpa harus meminta penghormatan dari orang yang tidak berpuasa? Justru di sinilah esensi tentang menahan diri harus lebih dikembangkan oleh umat Islam secara keseluruhan, bukan setengah-setengah.

Kemudian mengapa aku suka laporan arus-mudik? Karena laporan langsung atau bahasa bekennya live report bagiku seksi sekali, sedari kecil aku memang suka dengan yang satu ini. Jika kau tanyakan mengapa? Maaf, aku tak punya jawaban pasti tentang hal ini, dan aku rasa sangat tidak penting untuk dibahas di sini.

Bagiku lebih menarik kita bincangkan tentang meningkatnya volume ceramah di layar kaca saat bulan puasa, bukan begitu, bukan?

Pernah dalam suatu sahur, sebuah stasiun televisi swasta menayangkan kompetisi da’i. Bukannya senang, aku justru sedikit mengernyitkan dahi. Pesan yang disampaikan begitu datar, tak terlalu sampai ke hati, yang dipentingkan hanya penampilan dan pembawaan diri, bagiku isinya jauh panggang dari api, materinya kaku sekali, seakan-akan hanya ada agama Islam di muka bumi ini. Mungkin iya seperti itu yang terjadi, atau bisa saja aku yang terlalu kemaki.

Sebenarnya aku tak terlalu mempermasalahkan isi dan apa yang dibawakan oleh para da’i, hanya saja ada sebuah pertanyaan kecil yang mengganjal hati: pantaskah dakwah dijadikan kompetisi? Bila iya, wajar saja kini muncul banyak penceramah yang komersial nan eksis bak artis di televisi, begitu miris menyayat hati.

Ramadhan kemarin, tiap kali mendengarkan ceramah keagamaan—entah di masjid, televisi, atau forum keagamaan—aku lebih banyak mendengar tentang azab, kutukan, serta hal-hal menakutkan yang akan datang dari Tuhan suatu ketika nanti jika aku tak menjalankan perintah-Nya. Tuhan digambarkan begitu angkuh dan gila hormat, seperti kebanyakan raja nusantara pada jamannya. Padahal, bukankah Tuhannya orang Islam itu Rahman-Rahim, pengasih dan penyayang? Lalu kenapa yang ditonjolkan selalu sisi kemurkaannya? Apakah umat Islam sebegitu terpaksanya memeluk Islam, sehingga harus diintimidasi dengan bahasa yang sedemikian rupa agar mau menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya?

Aku jadi ingat, perbedaan perkataan Rama Cluring dan Liem Mo Han pada Wiranggaleng dalam Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Pengetahuan dari Rama Cluring masuk dengan begitu binal menjompak-jompak, sehingga kebanyakan penduduk Awis Krambil geram dengannya, sementara pengetahuan yang datang dari Liem Mo Han begitu tenang dan seakan-akan tak terjadi apa-apa, maka masuklah pengetahuan itu dalam hati Wiranggaleng.

Mungkin bukan sebuah perbandingan yang mudah dipahami, namun intinya aku lebih tertarik dengan dakwah yang lebih mengedepankan tentang bagaimana umat Islam beribadah dengan ikhlas karena penuh cinta, dan kasih sayang kepada Tuhan, bukan karena takut pada Tuhan.

Aku bukannya ingin menyangkal tentang azab dan kemurkaan Tuhan, aku hanya ingin para penceramah memposisikan cinta dan kasih sayang kepada Tuhan pada garda terdepan, sehingga umat Islam menjalankan ibadah tanpa rasa takut, melainkan rasa cinta dan kasih sayang pada Tuhannya.

Tuhanku Maha Pengasih dan Penyayang. Maka, Tuhanku adalah destinasi yang tepat sebagai sandaran hati, sampai nanti sampai mati. Tuhanku merupakan tujuan yang tidak salah untuk menuruti permintaan hati, sampai nanti sampai mati. (*)
Baca Selengkapnya...

Kamis, 30 Mei 2013

Telat

Bisa jadi tabiat, bisa juga siasat

Sorry, Bro. Aku telat,” kata yang sering terucap ketika terlambat. Dalam segi apapun, keterlambatan mulai jadi hal yang lumrah. Semua bisa jadi korban, tapi tak menutup kemungkinan, semua juga bisa jadi pelaku keterlambatan. Awas, kawan! Virus terlambat bisa menyerang otak kita tepat pada waktunya, atau justru lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Yang jelas, virus itu takkan datang telat meskipun namanya virus terlambat.

Bukannya ingin menyalahkan, tapi semua keterlambatan berpangkal dari waktu. Waktu memang hebat, bisa jadi patokan setiap umat. Secara tidak sadar, kita tunduk padanya. Sesuatu yang tak bisa terulangi lagi, namun kenapa musti ada kata telat jika memang waktu hanya datang sekali? Jangan jawab tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena dangdut sedang tidak diputar.

Bayangkan jika tak ada waktu—lebih-lebih waktu yang telah dipastikan—keterlambatan pasti takkan datang. Namun, pantaskah kita salahkan waktu? Yang kehadirannya justru lebih memberikan kepastian. Coba renungkan, bagaimana kita bisa merayakan tahun baru jika tiada waktu? Lalu bisakah kita menentukan kapan puasa dan kapan lebaran jika waktu tak hadir membantu.

Bandung Bondowoso pernah kalah oleh waktu, ia diberi waktu semalam untuk membuat seribu candi, sebagai syarat mempersunting Roro Jonggrang. Namun melihat kecurangan Bandung Bondowoso—meminta bantuan mahkluk halus—Roro Jonggrang pun tak habis akal, ia bersama para koleganya membuat siasat seolah-olah pagi sudah datang menjelang. Bandung Bondowoso telat, ia pun gagal dalam misinya membuat seribu candi. Ternyata, waktu bisa dikelabuhi. Namun sejauhmana kita bisa mengelabuhi waktu? Dengan siasat seperti Roro Jonggrang? Jangan salah, ia berbuat demikian karena Bandung Bondowoso curang, selalu ada api ketika ada asap, tak mungkin tidak.

Meskipun bisa dikelabuhi, tapi apakah kita bisa merubah waktu? Ia akan tetap bergulir, tanpa perlu kita percepat atau perlambat. Lalu siapa yang harus disalahkan ketika kita terlambat karena waktu? Masihkah sang waktu jadi pesakitan? Sungguh, ia teramat kasihan.

Telat beserta alasannya bagaikan lokomotif dengan dua belas gerbong—rangkaian maksimal kereta api. Bukan rahasia lagi jika tak seluruh gerbong diisi oleh penumpang bertiket, sebut saja penumpang gelap. Juga dengan telat, tak seluruhnya diikuti alasan yang logis dan bertanggung jawab, ada juga alasan yang dibuat-buat bak penumpang gelap tanpa tiket.

Telat adalah lokomotif, alasan logis dan bertanggungjawab adalah penumpang bertiket, sementara alasan dibuat-buat karena kemalesan adalah penumpang gelap yang harus diturunkan di stasiun berikutnya. Ketidakhadiran adalah mereka yang datang setelah kereta diberangkatkan, benar-benar ditinggal. Jangan sampai kita diturunkan di stasiun yang bukan menjadi tujuan.

Sampai kapan kita akan selalu terlambat? Jangan lagi kau tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena selain dangdut tak sedang diputar, ia juga sedang menikmati air hujan ketika kemarau sudah datang, sebuah kelangkaan, jangan ganggu sang rumput karena keterlambatan. Apalagi mencarikambing hitam, karena mereka telah membeli pemutih, baik krim m’alam atau krim siang.

Telat itu bukan siapa-siapa, bukan kamu, kalian, atau mereka. Telat itu aku, yang selalu telat untuk mengerti keterlambatan itu sendiri. Benar-benar telat, atau cuma dibuat-buat; kita pelaku kita yang tahu.

Jangan biarkan tubuhmu membiru tragis karena telat, hingga menjadikan kau dan aku menuju ruang hampa. Keterlambatan ini, suatu saat nanati akan membentuk sebuah mosi tidak percaya di kamar gelap. Satu pesanku, jangan bakar buku agar tak banyak asap di sana. Sampai kapan telat akan membuat hidup bagai sebuah ballerina, telat juga akan membuatmu abnormal. (Bobby A. Andrean)
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 30 Maret 2013

Liburmu bukan Liburku, Kawan


Liburan silahkan, tidak pun tak jadi soal. Karena liburan bukan sebuah kewajiban.
Selama Februari, pikiran Icuk diselimuti kegundahan. Masalahnya sepele, bukan karena ia harus melewati Valentine tanpa kekasih—karena setiap tahun pun juga demikian—tapi karena recent updates di Blackberry Messager, time line di Twitter dan beranda di Facebooknya selalu penuh dengan status tentang destinasi liburan.
Bahkan yang lebih membuatnya kesal, foto-foto narsis di lokasi liburan turut meramaikan Instagram. Pengunggahnya beragam, mulai dari kawan hingga orang yang sama sekali tidak ia kenal. Tak cukup sampai di situ, kuliner dan tempat perbelanjaan yang di-share ke beberapa media sosial di atas juga membuatnya semakin ngiler tak karuan.
Sedari awal bulan, Icuk sudah mulai menyadari bahwa semua ini gara-gara smartphone yang dibeli dengan duit pemberian orangtuanya sebulan yang lalu. Karena akses ke media sosial tersebut selalu ia dapat dari smartphone tersebut  Ia tak pernah menduga, barang yang selama ini dipamer-pamerkan ke teman kuliah berkat kecanggihannya, kini justru jadi biang kegalauan.
Icuk memang tergolong orang yang suka berpetualang, meskipun dengan mental dan uang yang pas-pas’an, jadi wajar jika di waktu libur kuliah semester ganjil ini, pikirannya sedang diselimuti mendung hitam yang tak berawan bernama liburan.
Ia tak memikirkan biaya, karena tabungannya cukup untuk sekali liburan, bahkan ke luar negeri sekalipun. Permasalahannya cuma satu: waktu. Di balik kata itu, terdapat sejuta alasan yang tak memberinya banyak ruang untuk sekedar menikmati liburan. Meski kalender akademik kampusnya jelas-jelas mengisyaratkan libur, namun sebuah tanggungjawab besar sudah menanti Icuk jauh-jauh hari, malahan bisa dibilang komitmen Icuk untuk hal ini sudah hadir sebelum 2013 datang.
Kegundahannya semakin menjadi-jadi ketika Ucik—sahabat karib di kampus sekaligus kawan backpacker-an—meminta diantarkan ke terminal Giwangan untuk melakukan ekspedisi tunggal ke tempat yang masih dirahasiakan. Biasanya mereka berangkat berdua, namun kali ini Icuk tak bisa ikut serta karena komitmen dan tugasnya.
“Cuk,” ucap Ucik, setibanya di terminal. “Dua sampai tiga minggu lagi gue baru balik.”
“Emang lu mau nglancong kemana sih?”
“Kan udah gue bilang rahasia, nanti bakal gue bikin tulisan, dan lu bisa nikmatin tulisan gue. Gue akan buktiin bukan hanya anak sastra saja yang bisa bikin tulisan indah.”
“Okey, terserah lu aja deh, yang penting ati-ati. Kalau udah otw pulang, lu sms aja biar gue jemput lagi di mari,” timpal Icuk.
“Gak usah, Cuk. Gue udah banyak ngrepotin lu, gue bisa ngojek.”
“Woey Anj*ng,” sahut Icuk, suaranya meninggi. “Lu udah gue anggep saudara, Man. Gak nganggep gue lu? Lu udah berapa tahun kenal gue sih?”
“Sorry, Sob. Bukan maksud gue gitu. Oke deh kalau lu maksa, besok gue sms kalau udah otw Yogya. Makasih ya, Sob. Lu emang sahabat gue yang ciamik dech.”
“Santai aja, Man. Titipin salamku untuk semua orang yang kau temui,” titip Icuk sok formal.
Sepeninggalan Ucik, Icuk kembali tenggelam dalam kesibukannya, tiada hari tanpa duduk melingkar untuk menumpahkan isi otak alias pikiran bersama kawan-kawan seperjuangan. Tapi entah kenapa ia menikmatinya, hari-hari di bulan kedua 2013 ia lalui dengan senang, meski tanpa liburan. Meminjam judul lagu Sheila on 7, Icuk menilai apa yang dilakukannya kini adalah sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Pada suatu Sabtu malam di pertengahan Februari, ia memilih menyendiri, merenungi tentang segala apa yang terjadi. Kuliahnya, tentang mau dibawa kemana hidupnya, dan tentang siapa yang akan berada di sampingnya kelak.
“Hey gelap malam, apakah orang-orang hebat itu masa mudanya hanya berleha-leha?” tanya Icuk pada malam. “Agh, tak usah kau jawab pun aku sudah tahu jawabannya, pasti tidak kan?” jawabnya sendiri sekaligus menimbulkan pertanyaan baru. Bukan tanpa alasan ia bertanya pada malam, karena malam selalu tahu siapa yang masih terjaga dan siapa yang sudah terlena karena gelapnya.
Orang yang melihat akan mengatakan ia gila, karena sedari tadi ia bergumam sendiri, bertanya tapi selalu memberi jawaban sendiri, kadang memaki kadang memuji. “Kau malam, selalu mengajariku tentang kehidupan. Terlebih gelapmu, sudah menjadi barang tentu jika kegelapanmu akan selalu melahirkan Matahari setelah subuh nanti. Uyyyyeeeeee…….!” ucap Icuk setengah berteriak seakan-akan ingin menggantikan tugas ayam jantan berkokok.
Dalam renungannya, ia mulai sadar jika Yogyakarta bukanlah Jakarta—kota asal dan tempat Icuk dibesarkan. Ibukota mewajibkan manusianya untuk berlibur ketika liburan, setelah menjadi robot saat hari biasa. Wajar jika mereka menempatkan berlibur saat liburan adalah suatu keniscayaan. Sekarang ia sedang di Yogya, di kota pelajar sekaligus budaya ini liburan hanya untuk mereka yang perlu, karena baginya “everyday is holiday in Yogya City”. “Jogja memang berhati nyaman,” gumamnya pelan.
Hampir tak ia sadari tengah malam telah lewat jauh sekali, kopi-susu instan dan sebungkus jagung goreng sudah tak bersisa, ia segera mangakhiri persetubuhannya dengan kegelapan. “Hidup ini lucu, kita diberi kehidupan tapi suatu saat nanti kehidupan ini akan dicabut kembali,” tulisnya pada buku catatan harian yang baru ia beli sore tadi. Entah apa yang sedang dipikirkannya, hingga ia tulis kalimat itu.
***
Menjelang tengah malam ketika Maret mulai menyambut, cahaya purnama dan angin musim penghujan menemani Icuk yang tengah mencoba memejamkan mata. “Tilululut…tilululut…tilulululut…,” telepon genggam Icuk berdering disertai getar berkali-kali. Ia sedikit terkejut, hingga akhirnya ia mengerutkan dahi ketika mulai membaca pesan singkat yang baru saja masuk. “Kurang ajar ini si Ucik, malam-malam gini pamer ke gue,” gerutunya kesal. Ternyata Ucik memberitakan bahwa besok hari terakhir ekspedisinya di Pulau Dewata, karena ia harus melanjutkan perjalanan ke Lombok.
Tapi kesal Icuk tak sampai hati, karena ia tahu benar sifat Ucik: bukan tukang pamer. Ucik hanya sekedar meminta doa restu seperti yang tertulis di akhir pesan singkatnya. “Hati-hati, kawan. Jaga dirimu baik-baik, suatu saat kita pasti akan backpakeran bareng lagi. Jangan lupa titipanku: titip salam untuk semua yang kau temui di sana,” balas Icuk saat itu juga.
Icuk kembali berbaring di kasur tipisnya, matanya menerawang ke langit-langit dan hanya sesekali berkedip. Seperti penjaga gawang yang baru saja kebobolan. “Liburmu kali ini bukan liburku, kawan,” ucapnya pelan seperti tak bersuara. Lambat laun matanya mulai sayu, lalu terpejam, kini mulutnya yang terbuka, kemudian suara dengkur mulai memenuhi kamar kos-nya. (Bobby A. Andrean/Awal Tahun 2013)
Baca Selengkapnya...

Jumat, 18 Januari 2013

Dia Seorang T(a)NI

Supri, 40 tahun, setelah gagal jadi TNI, kini ia bertani

“KARENA pekerjaan yang lain nggak bisa,” jawabnya padaku tentang alasan kenapa memilih jadi petani. “Saya dulu pengennya jadi tentara, pernah mendaftar setelah lulus SMA, tapi gak masuk.”
Uniknya, sampai sekarang pun Supri tak tahu kenapa dulu pernah punya cita-cita demikian. “Gak tahu, pengen aja,” katanya, lagi. Adanya dukungan saudara sedikit-banyak juga turut memperngaruhi. “Udah daftarin sana,” ujar Supri menirukan suruhan saudaranya dengan tatapan jauh, seperti sedang mengenang cita-cita yang hilang.
Supri gagal di-tes ketiga pada pendaftaran pertama. Padahal, ia sudah “dititipkan” pada seorang perwira. Dengar-dengar uang “titipan”-nya kurang, kalah besar dengan pesaingnya. “Yang kedua karena umurnya udah lewat,”  ujarnya.
Nasib Supri tak semujur adik kandungnya, tapi aku lupa tak sempat menanyakan nama. Si adik kini jadi anggota TNI, berdinas di Malang, Jawa Timur. “Dulu dia masuk bintara, habisnya Rp 10juta,” kata Supri.
Aku tertegun, ternyata kebiasaan suap sudah ada sejak dulu. “Sepuluh juta, uang ‘sogokan’ yang sangat murah dalam kondisi kekinian, tapi, bisa dipastikan sangat mahal pada tahun 80’an. Sepuluh juta saat itu bisa jadi seratus juta untuk saat ini, bahkan lebih,” kataku dalam hati.
Setelah harapan jadi prajurit kandas, Supri mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta: Duta Graha Indah. Ia bekerja dari tahun 1981 sampai 1996, kala ia masih bujangan. Di tahun 1997, Supri meminang Sutini, gadis yang ia kenal di perantauan.
Setelah Duta Graha Indah hampir bangkrut, ia memutuskan untuk resign, lalu membawa Sutini pulang ke kampung halaman. Inilah awal mula Supri dan Sutini memulai kehidupan baru.
*
Sore tadi, mesin Jepang membawaku melintasi desa Ngipik Sari, Kaliurang. Jalannya berkelok dan menanjak, pohon tinggi-besar membuat desa ini teduh. Di kanan-kiri, banyak penginapan kecil yang menyewakan kamar, tak aneh jika papan nama bergantungan dimana-mana.
Di penghujung desa, aspal hitam berubah jadi batu yang tertata, bau kotoran sapi samar-samar mulai terasa, tapi sayang kicauan burung liar nyaris tiada.
Di batas jalan itulah ladang Supri berada, ku lihat ia hampir tenggelam di antara riuhnya ilalang, ia sedang memancang—menancapkan potongan bambu—di sebidang tanah yang sudah ia beri tanda seutas tali raffia. Supri hendak mempersiapkan media untuk menanam Sengon.
Aku tertarik untuk berbicara dengannya, dan ia menyetujui ajakanku. Kami mulai berjabat tangan, bertukar sapa lalu mengenalkan nama. Itulah awal mulanya aku tahu ia petani yang pernah punya impian jadi tentara.
Sembari beristirahat di samping ladang, memandangi lahan garapan yang hampir tak begitu luas, Supri meratapi dua kegagalannya jadi tentara. Padahal beberapa saat tadi, kelesuan senja sehabis hujan tak sedikit pun menyurutkan niatnya untuk tetap mengolah lahan. Kedatanganku membuatnya mengenang masa pahit itu lagi.
Kepalanya oval, bibir tebal, dan perawakan tak terlalu kekar, senyum lebar serta aksen Jawa yang sangat kental. Supri memakai topi hitam, selaras dengan kulitnya. Baju dan celana berwarna putih, kali ini sangat kontras dengan warna tubuhnya. Fisiknya sangat petani, bukan tentara, karena tak ada sedikit pun tersirat bodi pasukan.
Sampai sekarang, ia masih mendambakan jadi seorang pegawai. Alasannya simpel, hasil dari apa yang ia kerjakan sebagai petani, belum cukup untuk membiayai hidup keluarga. “Sebenarnya kurang, tapi karena adanya ini, ya dicukup-cukupkan,” kata Supri. Ia satu-satunya tulang punggung keluarga, istrinya hanya seorang ibu rumah tangga, yang kadang kala juga ikut bekerja di ladang.
*
Menjadi petani memang bukan perkara mudah, apalagi di Indonesia. Seorang petani harus berkutat dengan berbagai permasalahan. Dari majalah Keadilan edisi I/XXXVII/2012, ada sebuah fakta yang menunjukkan bahwa saat ini arah kebijakan pemerintah tak melindungi Supri dan kaum senasibnya. Kesejahteraan petani terabaikan, mereka tak berdaya menghadapi permainan pemodal.
Henry Saragih, ketua Serikat Petani Indonesia juga mengatakan bahwa pemerintah memang memperhatikan petani, tapi dengan cara pikir lain. Yang diperhatikan bukan petani-petani kecil seperti Supri, tapi justru perusahaan-perusahaan besar.
 “Akankah suatu saat nanti petani Indonesia hanya akan menjadi legenda bagi anak dan cucu kita?” dosen hukum Agraria-ku pernah bertanya seperti itu, dan sampai aku belum bisa menjawabnya. Tapi jika kebijakan masih tak berpihak pada petani, cepat atau lambat, kata-kata di atas akan terjawab dengan sendirinya.
Menurut Ahmad Yak’ub, Ketua Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia, dalam artikelnya berjudul Reforma Agraria, menjelaskan bahwa, ketidakadilan mengacu pada suatu kondisi dimana kekayaan agraria telah terkonsentrasi pada segelintir pihak saja.
Sayang, Supri tak termasuk dari segelintir pihak tersebut. Jangankan untuk untung, untuk balik modal saja ia sudah ngos-ngosan. Ia butuh banyak uang untuk sejahtera.Ya uang, barang satu itu memang sakti: walaupun uang bukan segala-galanya, tapi tanpa uang Supri tak mampu berbuat apa-apa. Namun Supri sadar, jika suatu saat nanti sungai tak lagi mengalir, ikan juga takkan lagi berenang dengan riang. Jika semua hutan telah habis, ekosistemnya hilang. Manusia baru akan sadar jika uang tak bisa dimakan.
*
Supri mengakui dengan jujur bahwa ia tak menyukai pekerjaannya, namun keadaan dan tanggungjawab sebagai Ayah, mengharuskan Supri istikomah. “Sebetulnya saya juga nggak suka, karena jadi petani itu sulit. Hasilnya nggak tentu, tapi karena keadaan, kita punya anak, ya harus biayain anak,” keluh Supri.
Si sulung: Ana. Sudah menginjak kelas 2 SMA, Supri mengatakan bahwa Ana bercita-cita menjadi perawat. Sedang Yoda, anak kedua, tahun ajaran baru nanti akan masuk SMP. Putri, kakak si bungsu, baru kelas 3 SD, sementara Angga, putra paling poncot, belum sekolah.
Begitu berat beban yang harus dipikul Supri. Di satu sisi Supri bingung, jangankan untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi, untuk biaya sehari-hari saja ia kewalahan. Di sisi yang lain, ia ingin anak-anaknya tetap sekolah agar nasibnya tak seperti sang Ayah.
Supri paham, ia harus tetap mensyukuri apapun yang terjadi. Ia cukup tahu diri untuk menghapus cita-citanya sebagai tentara di masa remaja. Kini, walaupun sebagai petani, ia harus mampu membawa keluarganya ke arah yang lebih baik.
Bagi Supri, petani sulit sejahtera, anaknya harus jadi pegawai. “Kalau bisa ya harus jadi pegawai semua, nggak mungkin anak disekolahin nanti cuma disuruh nyangkul di sawah,” katanya penuh harap.
Aku galau mendengar kata-katanya barusan. Jika petani saja berharap demikian, maka pertanyaan dosen Agraria-ku di atas tadi sudah terjawab: petani benar-benar akan jadi legenda bagi anak dan cucu kita nanti, petani tak sejahtera.
“Kalau bisa  (kehidupan) saya harus lebih baik dari sekarang,” harap Supri.
Ia Supri petani, bukan Supri TNI. Ia tinggal di dusun Ngipik Sari, RT 02/XII, Hargo Binangun, Pakem, Sleman, bukan penghuni tangsi atau asrama TNI. Senjata di tangan Supri bukan SS-1, SS-2 atau AK-47, melainkan cangkul, sabit, caping dan semangat yang terus berkobar di dalam dada. Supri juga sedang berperang, ia berperang dengan keadaan dan harus berdamai ketika waktunya datang. (*)
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 05 Januari 2013

Ombak Pantai Selatan Titip Salam

Kemarin itu akhir bulan, akhir tahun, dan akhir kisah cinta kita berdua.

Sore itu langit nampak murung, seakan-akan ingin memperlihatkan rasa sedihnya ketika harus meninggalkan 2012. Dari kawasan Jalan Taman Siswa 158, aku beserta teman-teman Keadilan bergegas ke selatan, menuju pantai Ngobaran, kami harus cepat sebelum hujan mengguyur sepanjang perjalanan. Keberangkatan dibagi jadi 2 rombongan, kami kloter kedua.

Kloter kami sampai di Ngobaran ketika maghrib mulai menjelang. Begitu menginjakkan kaki di bibir pantai, aku melihat sudah banyak tenda yang berdiri meski tak semua megah. Ku lanjutkan langkah kakiku menuju lima tenda yang berdampingan, di sana teman-teman kloter pertama berada.

*

Selepas Isya’, kami mulai memanggang sesuatu yang bisa dimakan. Setelah semua beres, waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Santap saji terasa istimewa sekali, walau hanya ada sambel, sedikit kuah dan secuil lauk-pauk. Lebih-lebih dengan adanya lima biji pete bakar, untuk hidangan yang satu ini, hanya aku dan tiga temanku yang doyan. Lainnya memang sengaja tak doyan atau cuma gengsi, aku tak tahu dan itu bukan urusanku. Tak ada yang berpiring dan makan di tempat seadanya itu sudah biasa. Bahkan ada yang berdiri karena tak kebagian tempat untuk duduk.

*

Gerimis tipis mulai turun, padahal waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam, artinya tiga jam menjelang tahun baru. Terpaksa kita harus menunggu hujan reda, tak enak sekali rasanya. Saat-saat seperti ini justru digunakan teman-teman untuk bermain kartu atau hanya saling melempar canda di gubug kecil belakang tenda, karena memang bahagia itu harus dibuat, bukan dicari.

Sedang aku lebih memilih berdiam diri di tenda yang paling dekat dengan air laut. Bukan, bukan untuk menggalau sendu. Selain mengawasi ancaman pasang air laut yang hampir menyentuh tenda itu, aku juga cuma sekedar merenungi dan meratapi apa yang setahun lalu terjadi. Semacam meracik resolusi untuk tahun depan, walau aku tak seratus persen paham tentang apa itu resolusi.

Beberapa saat kemudian, datang lalu duduk di sampingku seorang sahabat Keadilan, dia yang sepertinya sedang manggalau sendu. Wajar saja, mantan terindahnya akan naik pelaminan, tapi bukan dengan dirinya. Owh, aku bisa merasakan nyeseknya perasaan temanku itu. Terdengar dia melantunkan sebuah puisi, aku yakin itu buatannya sendiri. “Tenang, kawan. Jalanmu masih panjang, doakan yang terbaik untuknya,” ungkapku dalam hati.

Temanku pergi, kini aku sendiri lagi. “Debung…,” suara ombak menghantam karam pinggir pantai. Membuyarkan lamunan yang sedari tadi pergi kesana-kemari. Kadang melambung tinggi menyentuh mendung, tak jarang juga menyelam menuju dasar laut Selatan. Sejauh apapun itu, ternyata lamunanku masih itu-itu saja, aku sulit lupakan, bahkan tak bisa.

Tuhan, sudahi siksa ini. Aku tahu dia bukan tercipta untukku, begitu juga sebaliknya. Hilangkan rasa itu, ganti dengan rasa lainnya. Agh, disaat-saat seperti ini masih saja aku meracau dalam kegundahan yang tak sewajarnya aku pikirkan. Maaf, maaf beribu-ribu maaf untuk ketidakjelasan ini.

*

Seorang teman lain menghampiri tenda. “Jam berapa sekarang? Ayo siap-siap buat api unggun,” ajaknya dengan semangat. Jam di hp-ku menunjukkan pukul sebelas malam, benar juga ajakannya, kita memang harus siap-siap. Tapi bukankah di luar masih gerimis, bahkan terkadang lebih dari gerimis: hujan.

Di samping hujan, minyak tanah yang tersisa sudah tak banyak lagi, selain memang bawanya sedikit, juga banyak terkuras untuk membuat panggangan lauk sore tadi. Kami belum lihai membuat api unggun tanpa minyak tanah. Aku sempat panik, jangan-jangan takkan ada api unggun di malam pergantian tahun nanti? Walaupun itu bukan esensi.

Entah bagaimana caranya, aku juga sedikit lupa. Pokoknya tak ada yang berdiam diri diantara kami, beberapa teman lelaki berupaya menyalakan api, lelaki lainnya dan semua perempuan sepertinya sedang berdoa agar api bisa menyala. Dan benar saja, sedikit demi sedikit akhirnya api berkobar dengan gagahnya.

Ia tetap berkobar meski hujan mencoba memadamkannya. Semua karena usaha teman-teman untuk berusaha menyalakannya, terlebih komitmen untuk tetap menjaga nyalanya dalam hujan. Hanya ada satu kata: kalian luar biasa! Aku salut dengan usaha kalian, wahai teman-teman. Hujan tak menyurutkan sedikit pun semangat kita untuk tetap mengobarkan api.

Dari lubuk hatiku yang paling dalam aku berharap komitmen kita dalam menjalankan roda organisasi sama seperti komitmen kita dalam menyalakan api unggun ini. Apapun yang terjadi nantinya, semangat kalian harus tetap berkobar seperti api.

Besar atau kecil, kobaran api unggun dalam rintikan hujan telah memberi pelajaran berharga dimalam tahun baru ini. Halangan dan rintangan pasti akan datang, tapi bukan untuk dihindari, namun kita hadapi.

Kita harus berterimakasih pada Tuhan, karena telah menciptakan alam yang memberi kita sejuta makna dan pelajaran. Kita juga harus sadar, bahwa kita ini kecil. Selama ini kita telah jumawa dengan apa yang kita miliki, apa yang kita kuasai, apa yang kita taklukan. Tapi kuasa apa kita terhadap alam, terhadap hujan? Terhadap tetesan air yang kecil? Kita tak mampu menghentikannya, kawan.

Seperti yang pernah aku baca di Misteri Soliter karangan Jostein Garder, bahwa jika dunia ini adalah sebuah tipuan sulap, maka harus ada seorang tukang sulap agung di balik itu semua. Siapa pesulap agungnya? Setiap orang pasti punya jawaban berbeda. Tak perlu seragam untuk sebuah kepercayaan.

Setelah api berkobar besar, kami semua melingkar, ada beberapa teman yang beresolusi untuk masa depan, paling tidak untuk setahun mendatang. Setelahnya kami semua mendongak ke atas, merenungi ada apa di balik hitam Sang Angkasa. Lalu kami mulai berhitung mundur bersama-sama, kembang api mengudara ketika hitungan sampai pada angkat satu. Walau hanya sedikit, angkasa kini berwarna-warni. Walau hanya sekejap, langit kini gemerlap.

Ada sedikit kekecewaan yang aku rasakan, seorang teman yang sedari awal paling berjasa terhadap jalannya acara ini, justru harus terbaring di dalam tenda karena sakit kepala yang dideranya. Terpaksa, ia tak melewati momen renungan bersama yang lainnya.

*

Menjelang dini hari, aku duduk menghadap laut berteman segelas kopi susu instan yang panas. Hujan dan ombak berbaur meski beda unsur, tepat seperti bersatunya rasa lelah dan kantuk yang tak dibarengi dengan terpejamnya mata. Aku ingat saat itu angin berbisik lirih padaku, selirih teriakan cintaku dulu yang bertaut jarak dan waktu.

“Ombak titip salam buat seseorang yang sampai saat ini masih ada di hatimu. Walaupun sekarang bukan hanya jauh  di mata, namun juga jauh di hati,” bisiknya lembut.

Aku tertegun, tak tahu harus menjawab seperti apa.

“Terima kasih angin, salammu akan ku sampaikan jika aku mampu,” jawabku tak kalah lirih.

Aku rasai tubuh ini butuh istirahat, merebahkan tubuh dalam tenda tak ada salahnya. Entah saat itu waktu menunjukkan pukul berapa, yang jelas aku rindu padanya.

Setelah bangun tidur nanti dan ku akhiri tulisan ini, ada satu kalimat yang ingin kusampaikan padamu:“Hey kamu, iya kamu yang ada di pesisir pantai utara Jawa. Semalam angin berbisik padaku, dia bilang ombak pantai selatan titip salam buat kamu.”  Namun entah hanya dalam mimpi atau langsung aku juga tak tahu, sekarang yang penting aku tahu apa yang harus ku tuju. (*)
Baca Selengkapnya...