Kamis, 26 Desember 2013

Tungku

“Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
(Soe Hok Gie - Sebuah Tanya, 1969)”

Salam Persma!

Petikan bait pertama puisi Sebuah Tanya di atas tergolong dalam majas alusio, artinya ungkapan yang dapat diketahui secara mudah, bahkan untuk orang awam sekalipun. Dan kalimat tersebut sekaligus menjadi legitimasi untuk pelantikan kepengurusan baru di sore ini—sore gerimis tapi romantis, yang suatu saat nanti akan terjadi lagi, lagi, dan lagi.

Senin dini hari, delapan hari yang lalu, setelah melalui mekanisme pemilihan, pimpinan sidang musyawarah anggota melalui surat keputusan No. 13/TUS/MA/LPM FH UII/XII/2013 menetapkan seorang mandataris baru LPM KEADILAN periode 2013-2014. Seminggu kemudian, melalui rapat formatur, terbentuklah Struktur Kepengurusan LPM KEADILAN FH UII Periode 2013-2014 seperti yang telah dibacakan tadi.

Banyak sekali dinamika yang terjadi dalam periode 2012-2013 yang lalu. Awalnya kita bagaikan sayur segar yang siap dipetik, berwarna-warni—merah, putih, hijau, bahkan abu-abu—lalu bertemu di sebuah tungku yang tidak terlalu besar bernama KEADILAN. Di tungku tersebut kita larut dalam air kekeluargaan yang memang benar-benar mencairkan. Ketika nyala api dialektika di bawah tungku semakin besar, intrik dan konflik menjadi bumbu penyedap agar sayur ini matangnya tak berasa hambar. Dan semua ini akan terulang, dengan bahan baku dan bumbu penyedap yang berasal dari tempat yang berbeda, tapi tidak dengan kualinya.

Terima kasih atas kepercayaan dan kerjasamanya selama 15 yang lalu, mari kita songsong kepengurusan baru dengan jiwa yang sehat tanpa dibuat-buat, kuat tanpa harus berkarat, serta solid tanpa musti berkelit-kelit. Terima kasih juga untuk KEADILAN yang telah mengajari kami tentang profesionalisme, pergerakan, juga arti kekeluargaan. Satu pelajaran penting yang akan kami bawa sampai kapan pun juga, yakni tentang beraneka ragamnya sayur di kebun akan terasa lebih nikmat ketika dimasak matang dengan bumbu yang pas, api cukup, dan tungku yang proporsional.

Jika esok harus lebih baik dari sekarang: rawatlah kebun sayur, perhatikan komposisi bumbu dan pertahankan nyala api, agar tungku KEADILAN tetap menghasilkan sumber daya manusia dan produk-produk sesuai dengan yang kita cita-citakan. Kini sepenuhnya KEADILAN telah berada di pundak kawan-kawan, tak akan ada yang mati di sini, mungkin hanya sedikit menepi. Seperti bait terakhir puisi Sebuah Tanya milik Gie:

Manisku, aku akan berjalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru

Idealisme bukan hanya sekedar perkataan dan tulisan di pakaian, tapi juga tindakan dan kelakuan. Percuma saja jika mulut gagah tapi komitmen payah. Memelihara kemalasan, ujung-ujungnya cari alasan. Lihat Rumah Kaca halaman 409 milik Pram, kurang lebih begini bunyinya: Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. Kawan, baca tetralogi sekali lagi!
Baca Selengkapnya...

Kamis, 19 Desember 2013

Cerita

Sekarang adalah waktu dimana aku sudah berada di ujung masa kuliah. Melahirkan gelisah, takut menentukan arah, meski pasrah hanya akan berujung kalah.

SELASA DINI hari tanggal ketiga bulan Desember. Rembulan sembunyi di balik mendung, burung peliharaan menekuk kepala dalam kandang. Sejam yang lalu ayam tetangga berkokok berkali-kali. Kini suara jangkrik mulai berisik, meski muadzin sedang mengumandangkan adzan Subuh semerdu mungkin.

Aku masih terjaga, sepertinya mata ingin melihat fajar yang sebentar lagi tiba. Kantuk yang sedari tengah malam tadi terasa, kini sudah lenyap. Pikiran yang mustinya diistirahatkan, dikecualikan untuk mengusir kegundahan. Sebuah aplikasi di komputer lipat menjadi sarana untuk bercerita, Cerita ini mudah dimengerti oleh orang yang mudah paham, namun bukan konsumsi untuk kalian yang tak pernah mau tahu apa yang sedang orang lain lakukan. Mungkin begini awalnya:

Setelah pindahnya tali toga di kepala, satu per satu dari mereka mulai angkat kaki, namun entah mengapa aku merasa masih harus tetap berdiri di posisi ini. Lalu komentar selalu datang bertubi, dari kanan juga kiri, dan hampir semua tak paham dengan penjelasan yang memang sulit dimengerti.

Ini bukan tentang gengsi atau eksistensi, tapi terlalu berlebihan jika dikatakan tentang isi hati, takutnya dibilang sok suci atau sok punya komitmen tinggi. Meski pada nyatanya, hidup hanyalah mampir sok-sok’an semata. Kita pun tinggal pilih mau jadi sok apa, karena tulus yang katanya berasal dari hati itu juga sulit diukur, terlebih ketika semua bisa dibungkus dengan kepalsuan.

Kurang dari dua minggu lagi, semua akan berakhir. Bukan lepas, hanya sedikit berubah. Baru dua bulan setelah bulan kedua tahun depan semua akan benar-benar hilang, lalu jadi kenangan. Ya, sulit dimengerti bukan? Baiknya anda sudahi saja membaca cerita ini.

Hari pertama Desember kemarin membuatku merasa terharu, ada kejadian dimana aku merasa bangga menjadi bagian dari kalian, dan begitu takut untuk kehilangan. Mungkin ini berlebihan, tapi jujur itu yang benar-benar aku rasakan. Walaupun aku tahu ini tak lebih dari sekedar melankolia, dramatisasi, dan konsekuensi dari berpikir dengan perasaan.

Aku pernah merasa tersesat di sini, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku sedang tersesat di jalan yang benar dan masuk akal. Semua berjalan begitu saja, cepat sekali, dan lagi-lagi sulit dimengerti. Inilah cerita yang tak bisa bercerita selama empat setengah tahun ini, dan harus ku akhiri di sini karena tak semua layak untuk diceritakan, juga aku tak mumpuni untuk menceritakan.

Terima kasih untuk kepercayaan selama ini, aku berhutang untuk semua. Maaf bila aku tak bisa menjadi lilin ketika gelap, karena aku percaya kegelapan akan melahirkan matahari: selalu memberi tak harap kembali.

Langit mulai memerah, kokok ayam bersahutan di pekarangan. Suara air yang beradu dengan gayung dan badan manusia sudah terdengar di sana-sini. Selamat beraktivitas. (*)
Baca Selengkapnya...