Kamis, 29 Mei 2014

Terima Kasih Gondrong

Jika ibumu masih nyuruh aku potong, bilang saja meskipun aku gondrong aku tak pernah nyolong dan sudah insyaf jadi pembohong.

            Rabu dini hari, 30 April 2013. Sudah dua hari ini aku puasa. sedikit bermasalah setelah buka hari pertama, pasti karena terlalu serakah. Setelah menenggak beberapa gelas air putih di kamar kos, aku menuju warung makan langganan. Terong, lele, dan sambel korek bersatu-padu menggoyang lidah. Dua kali aku tambah nasi, di sini nasi ambil sendiri, jadi rugi kalau cuma nyentong sekali.

            Selesai makan aku tak pulang, kampuslah yang jadi tujuan. Dua potong roti bakar tergeletak di atas kertas minyak, roti itu milik teman, tanpa pikir panjang aku telan sepotong. Ternyata satu gigit bikin ketagihan, akhirnya kita beli lagi dengan uang iuran. Tak hanya roti bakar, ada juga dua plastik bakso tusuk. Aku kembali membabi-buta, perut dan mulut saling sikut.

Hanya beberapa menit setelah itu, perut berasa melilit, berujung sakit. Akumulasi dari semua rasa itu meledak menjelang dini hari, beberapa menit sebelum sahur untuk puasa hari kedua. Dua kali aku bolak-balik ke kamar mandi, rasanya tak karuan, untuk duduk saja susah bukan kepalang.

Pengalaman hari pertama membuatku lebih berhati-hati di hari kedua, kini aku mencoba buka secukupnya. Saat ini aku sedang bersiap santap sahur untuk hari ketiga, sembari melihat tayangan Liga Champion Eropa di layar kaca. Dua tim ibukota beda negara sedang berlaga.

Rencananya puasa ini akan kontinyu sampai hari ke tujuh. Setelah itu, aku akan memotong rambut. Sudah hampir lima tahun aku tak pernah ke tukang cukur, panjangnya sudah hampir sepinggul.

*

Niat untuk memanjangkan rambut datang begitu saja, tak pernah dirancang serius. Seingatku, saat itu kuliah baru memasuki semester satu. Rambutku masih pendek seperti umumnya mahasiswa baru. Lalu sampailah pada suatu ketika, seorang dosen pengantar ilmu hukum yang kini sudah profesor, bercerita tentang masa-masa ia menjadi mahasiswa. Mulai dari kegiatan-kegiatan yang ia jalani, dinamika kuliah yang dilalui, sampai tentang penampilan dari ujung rambut sampai sekitar mata kaki. Ia bercerita dengan intonasi yang menggebu-gebu, sembari memberitahukan jika rambutnya pernah panjang sebahu.

Awalnya cerita dosen itu aku anggap angin lalu, tak lebih dari seorang pejuang yang sedang bernostalgia dengan romantisme perjuangan di medan laga. Tapi entah sejak kapan dan karena apa, setahun setelah itu panjang rambutku sudah sebahu. Perlu diketahui, aku sempat dua kali meluruskan rambut. Pertama, ketika panjang rambut kurang-lebih 10cm. Kedua, ya ketika sebahu itu. Pelurusan itu bukan untuk gaya-gayaan, tapi perawatan (kamuflase).

Menjadi gondrong adalah sebuah pilihan. Pilihan mudah namun implementasinya sulit. Penilaian bahkan penghakiman orang lain akan menghukum kegondrongan kita tanpa proses pengadilan.

Ruwet, nakal, dan tidak mapan. Tiga kata yang cukup mewakili gambaran lelaki gondrong, meski masih banyak konotasi negatif lainnya. Gondrong memang membuat setiap lelaki terlihat sangar, tak terkecuali diriku waktu itu. Tapi percayalah, tampilan fisik hanya 20% mewakili isi jiwa seseorang. Banyak manusia hidup dengan topeng kepalsuan.

Lead yang membuka tulisan ini (bergaris miring setelah judul) tidak datang dari ruang kosong. Kalimat yang sudah pernah aku tulis di media sosial Twitter itu ibarat eksepsi (jawaban tergugat atau terdakwa atas gugatan atau dakwaan Jaksa). Pernah ada seorang perempuan, selalu membujuk untuk mengakhiri kegondronganku, ia pernah bilang bahwa ibunya juga berpesan demikian. Namun sampai kita tak dekat lagi, saling menjauh atau salah satu menjauh—bisa jadi karena aku tak mau potong rambut atau mungkin ada yang lebih rapi dan mapan—aku tak tahu. Sampai kita tak bersama-sama lagi, niat untuk potong rambut belum juga tumbuh dari jiwaku.

Bagiku, jika suatu saat nanti aku harus potong rambut. Niat itu harus berangkat dari hati yang tulus dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Dan terbukti di awal bulan empat tahun ini. Setelah berdiskusi dengan bapak, akhirnya ada beberapa hal yang harus aku persiapkan untuk berpisah dengan mahkota yang lima tahun menjadi sahabat bagi tulang belakang.

*

            Sabtu dini hari, 24 Mei 2014. Sudah dua puluh empat hari tulisan ini tanpa proggres, kesibukan dan rasa malas menjadi penyebab utama. Jemari, pikiran, dan niat memudar. Padahal, delapan belas hari yang lalu aku telah memotong rambut, tepatnya pada Seloso Kliwon kemarin: 6 Mei 2014.

            Sore itu, menjelang asyar. Aku diantar delapan teman menuju Adam Barber, Jalan Kaliurang. Aku terakhir potong lima tahun yang lalu, bulan puasa 2009, tanggalnya lupa, yang jelas sehari setelah kelahiran Aira, cucu dari pakdhe Wijo—kakak ipar bapakku. Awalnya kami sempat bingung untuk menentukan tempat pangkas mana yang akan menjadi tempat bersejarah.  Niatnya aku ingin memotong rambut di tukang cukur bawah pohon, tapi setelah observasi kesana-kemari, hasilnya nihil. Adam Barber di Jalan Kaliurang ini tak begitu besar, dan hanya ada dua kapster didalamnya.

            “Mau ngapain, mas?” tanya salah satu kapster sembari melempar senyum. Senyuman dan kernyitan dahinya menyiratkan bahwa ia sedang bertanya-tanya penasaran. Aku sampaikan niatku, tapi ia malah terheran-heran dan tak percaya. Lalu ku ulangi sampai tiga kali maksud kedatanganku sore itu. Dengan senyum lebar tanda puas dengan jawaban, akhirnya ia mempersilahkan aku duduk di kursi empuk menghadap kaca besar. Nama kapster itu Erik, masih muda, jika ku taksir umur kita tak jauh beda, tapi lebih tua dia.

            Proses potong rambut sangat singkat. Pertama rambut aku ikat satu di belakang kepala, biasa orang menyebutnya ikat kuncir-kuda. Erik menutupi tubuhku dengan kain biru, agar potongan rambut tak mengotori pakaian. Ada seorang teman, namanya Sadhan, dari dulu pengen banget jadi jagal untuk rambutku, alasannya gemes dan gregetan. Setelah Erik memberi Sadhan gunting, akhirnya rambut yang sudah aku rawat selama lima tahun, hilang tak lebih dari lima menit. Lalu Erik mulai merapikan bagian-bagian tertentu, dan dalam sekejap wajahku berubah menjadi lima tahun lebih muda.

            Banyak pertanyaan muncul setelah aku potong rambut. Kebanyakan tentang alasan, penyesalan, dan bahkan keberadaan rambutku yang dulu. Awalnya aku semangat menjawab pertanyaan seperti itu, meski akhirnya bosan menjelaskan sesuatu secara berulang-ulang.

            Puasa tujuh hari sebelum potong rambut membuat aku lebih menerima keadaan yang sekarang, tanpa penyesalan. Selain mangklingi (membuat orang lain tidak mengenali karena perbedaan sebelum dan sesudah potong cukup signifikan), suasana secara keseluruhan juga ikut berganti. Seperti hidup, ia harus dinamis bukan stagnan pada suatu titik nyaman.

            Dahulu di zaman pasca Majapahit, ketika Islam mulai masuk ke Nusantara dan berkembang di daerah pesisir utara Jawa. Buku Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer menggambarkan betapa pada masa itu lelaki gondrong sudah tak sebanyak masa Hindu-Buddha. Buku bertebal 760 halaman itu bercerita tentang hancurnya kedigdayaan kerajaan Tuban dan perjalanan hidup Wiranggaleng, pemuda desa yang diangkat menjadi senopati Tuban dan beristrikan Idayu, penari pujaan Tuban.

Pada suatu ketika Wiranggaleng mendapat tugas untuk menerjemahkan isi surat berbahasa Arab. Sampailah ia di Gresik. Keberadaannya menjadi pusat perhatian karena rambutnya panjang. Setelah berpikir tiga hari, ia berpuasa mohon ampun dari para dewa dan leluhur, lalu dimintanya seseorang untuk mencukur rambutnya. Ternyata tak mudah, tak ada seorang pun yang mau menjadi tukang cukur, karena pada saat itu tempat pangkas rambut yang sah dan meyakinkan adalah pesantren, sementara ia masih Hindu.

Ketika itu masyarakat Gresik mempunyai kepercayaan jika memotong rambut bukan oleh orang dan tempat yang sudah ditentukan, leluhur akan gusar, akibatnya yang memangkas dan yang dipangkas bisa kena kutukan.

Seorang kenalan di pelabuhan menemaninya menghadap kiai di sebuah pesantren. Semestinya sebagai seorang yang berambut panjang, ia datang bersama sanak-keluarga untuk ikut menyatakan kerelaan akan pemotongan rambut itu. Jika keluarga menolak, bisa membawa teman-temannya sebagai saksi. Syarat lainnya: seekor ayam jantan putih, beras tujuh tempurung, dan tiga depa bahan pakaian putih. Tapi Wiranggaleng bebas dari syarat-syarat itu, sang kiai tahu ia berasal jauh dari luar Gresik.

Rambut Wiranggaleng dipotong dan pada saat itu pula ia diharuskan meniru syahadad dari sang kiai. Tak butuh waktu lama, karena memang ala kadarnya. Setelah selesai, ia punguti rambut dan disimpannya dalam sarung. Ia akan menanamnya setelah membuat upacara yang patut. “Kau sudah sepenuhnya Islam, pergunakanlah sekarang nama Islam, Salasa. Bisa menghafalnya? Salasa, karena kau datang kemari di hari ketiga,” pesan sang kiai. Di masa itu memotong rambut adalah simbol bagi seseorang yang berniat masuk Islam.

Sejak membaca buku itu, aku sudah berniat jika potong rambut nanti, setidak-tidaknya harus ada penghormatan bagi mahkota yang sudah lima tahun menghiasi kepala. Dan selain puasa tujuh hari, aku juga puasa tak makan nasi dan garam tiga hari, lalu menutupnya dengan syukuran nasi tumpeng sederhana bersama teman-teman Lembaga Pers Mahasiswa Keadilan (LPM Keadilan) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, dua hari setelah hari pemangkasan. Kebetulan juga pada waktu itu tepat di hari ulang tahun LPM Keadilan, jadi ada dua tumpeng yang kita santap bersama.

Rangkain foto sebelum dan sesudah potong rambut di Adam Barber, Jalan Kaliurang. Setidaknya ada delapan kawan yang ikut menemaniku sore itu, mereka mengabadikan momen melalui foto dan video. Aku haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada kalian: Dimas, Alam, Jefri, Ucup, Meila, Mail, Rini, Sadhan.
Dan tulisan ini merupakan penghormatan utamaku. Mungkin tak sesakral yang dilakukan Wiranggaleng, membuat upacara sebelum menanamnya rambutnya. Tapi tulisan ini Akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari, takkan padam ditelan angin.

Terima kasih gondrong, kau berikan kenangan di masa kuliah yang mengasikkan. Kau menjadikan aku contoh buruk agar tak ditiru oleh orang lain. Rambut gondrong, celana sobek-sobek, kaos oblong, dan sendal jepit akan membuat semua ibu-ibu mewanti-wanti anak kecilnya untuk tidak menirukan gayaku jika mereka besar nanti. Bagiku, jika kita tak bisa menjadi contoh baik, jadilah contoh yang buruk, tapi hatimu jangan.

Kini biarkan aku menikmati suasana baru, kelak jika aku rindu, izinkanlah aku kembali padamu: gondrong. Sembah hormatku padamu, dari seseorang yang menemukan dirinya sendiri bersamamu. Terima kasih, restui aku untuk tetap bertahan menjadi diri sendiri. Tabik.
Baca Selengkapnya...