Sabtu, 25 Desember 2010

Sisi Lain Ketika Aksi

          Melakukan aksi dengan cara turun ke jalan, atau demonstrasi sudah menjadi hal yang biasa bagi setiap mahasiswa yang eksis di dunia pergerakan. Memang dalam beberapa masanya pergerakan semacam itu efektif, keefektifan itu tak terlepas dari tuntuntan yang jelas sebagai tujuan aksi tersebut.
          Tipe Aksi menurut Bobby A Andrean ada 3, yaitu:
1.      Aksi dari Pergerakan Murni, murni karena dalam melaksanakan kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar kampus dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya untuk berperan sebagai agen kontrol sosial dan agen perubahan.
2.      Aksi dari Pergerakan Eksistensi, secara garis besar mempunyai persamaan arti dengan pergerakan murni tetapi bentuknya kebanyakan berupa organisasi. Namun dalam pelaksanaannya terkadang ada tujuan lain, sebuah aksi biasanya dilaksanakan hanya sebagai formalitas. Untuk menunjukkan organisasi itu tetap eksis, sehingga peran mahasiswa sebagai agen kontrol sosial dan agen perubahan hanya dalam teori semata.
3.      Aksi dari Pergerakan Brutal, aksi seperti ini tak butuh penjelasan yang panjang. Dengan adanya fakta-fakta melalui tayangan media, kita semua bisa menilai aksi seperti ini. Dimana sebuah aksi selalu diakhiri dengan tindak kekerasan, entah aparat atau peserta aksi yang memulainya lebih dulu.
          Sadar atau tidak, pergerakan melalui aksi turun ke jalan ini sudah melenceng dari fungsi mahasiswa dan tujuan pergerakan itu sendiri. Karena akhir-akhir ini kita selalu disuguhi pergerakan melalui tipe kedua dan ketiga. Tipe ketiga terkadang dalam awal aksinya mengusung suara rakyat kecil, tapi di sisi lain karena kebrutalan itu menjadikan rakyat kecil semakin sengsara. Seperti contoh sopir-sopir yang tak bisa melalui jalan yang seharusnya dilalui angkutannya, sehingga harus berhenti bekerja atau mencari jalan lain yang lebih jauh, dengan akibat bertambahnya dana untuk membeli bahan bakar. Ketua lembaga eksekutif di kampusku justru bengga ketika mahasiswa salah satu universitas di luar pulau mampu memblokir jalan dan membolos kuliah hanya untuk sebuah aksi anarkis yang serba merugikan, ironis sekali. Ini baru satu contoh, belum lagi masih banyak yang dirugikan karena aksi brutal semacam itu. Nuwun.
Baca Selengkapnya...

Jumat, 24 Desember 2010

Gengsi dan Harga Diri "Sang Garuda"


          Berbeda dengan partai perdana kejuaraan piala AFF Suzuki Cup 2010 awal bulan lalu, dimana Indonesia mampu melumat Malaysia dengan skor 5-1. Tetapi peta kekuatan di lapangan sekarang ini sudah berbeda dari pertemuan kedua kesebelasan sebelumnya, Malaysia setelah kalah memalukan dari Indonesia langsung berbenah diri hingga akhirnya menembus partai final. Sementara Indonesia masih perkasa, tanpa satupun kekalahan yang diderita. Namun “Sang Garuda” enggan untuk terlalu larut dalam kemenangan itu, dan menganggap Malaysia tetap sebagai lawan berat di partai final.
          Partai final leg pertama (26/12) yang akan dilaksanakan di kandang “Harimau Melayu” bukan hanya menyuguhkan pertandingan final semata. Indonesia dan Malaysia selama ini kita kenal negara serumpun tapi tak pernah akur, mulai dari perbatasan hingga kebudayaan dijadikan objek permasalahan bagi kedua negara. Sehingga dengan latar belakang masalah tersebut, final nanti akan panas luar dan dalam. Apapun yang terjadi di Stadion Bukit Jalil takkan mengurangi panasnya leg kedua (29/12) di Stadion Gelora Bung Karno nanti.
          Kepuasaan menjadi harga mati untuk gengsi dan harga diri, mengingat di luar lapangan sentimen dari kedua warga negara yang timnas sepakbolanya akan bertarung hidup dan mati di final nanti. Sementara nanti di sisi dalam, “Sang Garuda” akan beradu taktik dan strategi dengan “Harimau Melayu” dalam lapangan, untuk membuat sejarah baru di kancah persepakbolaan Asia Tenggara. Akankah "Sang Garuda" mampu mewujudkan ambisi dengan prestasi, atau justru hanya sebagai pecundang sejati. Nuwun.

Baca Selengkapnya...

Selasa, 30 November 2010

Negeri ini Sungguh Gokil, Coy...!!!

Aku merasakan sedikit keganjalan ketika malam ini tak sengaja melihat tayangan sebuah saluran televisi swasta. Dalam tayangan televise swasta tersebut, seorang reporter menginterogasi beberapa dari sekian manusia yang merokok di tempat umum. Memang salah satu Pemerintah Daerah di Indonesia menerapkan sebuah larangan merokok di tempat umum, dengan dalih asap rokok akan menggangu mereka yang tidak merokok atau yang lebih sering disebut perokok pasif. Menurut penelitian oleh orang yang dianggap berkompeten dalam bidangnya, asap rokok akan lebih berbahaya pada perokok pasif . Mungkin itu yang menjadi latarbelakang dari aturan ini, lalu dimana anehnya? Toh itu juga demi kebaikan bersama? Sabar dahulu Bung, mari kita lanjutkan ceritanya.


Keanehan itu muncul ketika sebuah aturan tersebut tidak diimbangi dengan usaha dari pemerintah yang berwenang, untuk menanggulangi pelanggaran akan aturan yang telah disahkan itu sendiri. Bagi mereka yang melanggar aturan ini, sanksi berupa denda sudah mengintai jika razia dilaksanakan oleh aparat yang berwenang. Sepertinya pemerintah mengharapkan adanya pelanggaran dalam hal ini, karena sampai detik ini tidak ada planing lain selain denda. 


Seharusnya, pemerintah membuat sebuah ruangan merokok di tempat-tempat dimana aturan dilarang merokok itu ada. Apakah aturan itu dibuat hanya untuk pemasukan Pemerintah Daerah berkat denda dari si pelanggar aturan? Dan tidak menutup kemungkinan untuk kemudian dikorupsi bersama? Jika memang begitu faktanya, negeri ini sungguh gokil
Baca Selengkapnya...

Keindahan sebuah Kenangan

          Mengingat masa lalu memang indah, seindah khayalan dalam setiap lamunan. Tapi apakah setiap lamunan itu akan menjadi nyata? Semuanya hanya misteri sampai lamunanmu itu akan terjawab dengan sebuah tindakan nyata.
          Ketika beranjak dari Sekolah Dasar (SD) menuju Sekolah Menengah Pertama (SMP), pasti kenangan saat berada di SD selalu hadir dalam setiap waktu yang tepat untuk mengingatnya. Setelah lulus dari SMP kemungkinan besar akan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA), kenangan saat SMP akan senantiasa terngiang diawal masa SMA. Sering terucap dari hati jika ingin kembali di saat-saat indah pada masa sebelumnya, kejadian seperti itu akan selalu berulang hingga sampai suatu ketika nanti semua akan menjadi semu kembali.
          Sebagian orang beranggapan bahwa masa-masa SMA menjadi kenangan paling indah, itu memang benar adanya. Tetapi jika dilihat dari sedikit untaian sebelumnya, maka penulis beranggapan bahwa sesuatu yang telah berlalu dan hilang dari pandangan kita secara kasat mata akan menjadi lebih berarti daripada sebelum menjadi memori. 
Baca Selengkapnya...

Minggu, 28 November 2010

Realita Politik dan Cinta

          Kesatuan politik berangkat dari kebersamaan untuk merangkai sebuah tujuan awal yang mengesankan, hingga akhirnya tercipta sebuah keselarasan berpikir di antara para koleganya. Bahu-membahu bekerja untuk kelompoknya, dengan kamuflase demi rakyat semua. Namun sayang seribu sayang, jika telah tercipta suasana yang tak bersahabat lagi satu per satu akan melepaskan diri karena sakit hati. Banyak kolega yang tersakiti itu akan membuat sebuah tandingan untuk menunjukkan rasa sakit hatinya.
          Saling mengumbar rasa, menyatakan Aku milikmu dan Kau milikku. Betapa indahnya dunia serasa saat itu, jangankan hanya dunia? Seluruh alam semesta ini serasa milik berdua. Sungguh disayangkan, jika telah terjadi sebuah prahara dalam cinta, tapi tiada keseimbangan antara rasa pengertian dan saling menghargai? Maka tercipta sakit hati, dan kemudian cinta itu melebur tersapu waktu. Hingga akhirnya berlabuh pada hati yang lain, dan hati yang berbeda. Karena itulah Panglima Tian Feng berkata, "itulah cinta, deritanya tiada akhir".
          Pada intinya, sakit hati akan selalu muncul ketika rasa kecewa itu hadir dalam sebuah kehidupan berkelompok atau bersama. Bagaimana kita menjalaninya, menjaga hubungan dengan manusia lain secara harmonis dan sejalan dengan apa yang dikehendaki bersama. Ingatlah, kehendak bersama? Bukan kehendak ego individu.
Baca Selengkapnya...

Selasa, 02 November 2010

Dulu Primadona, Kini dipandang Sebelah Mata

Sejak Alexander Graham Bell menemukan telephone pada tahun 1877, alat komunikasi ini terus berkembang sesuai kemajuan tekhnologi zaman. Kemudian di tahun 1889 untuk pertama kalinya ditemukan telephone umum oleh William Gray yang dipasang pada sebuah bank di Connecticut, Amerika Serikat. Di era-globalisasi ini, masyarakat Indonesia tak lagi menjadikan telephone umum sebagai primadona komunikasi, pasalnya kini telah tercipta berbagai alat komunikasi yang lebih modern. Telephone genggam atau yang lebih beken disebut dengan handphone, merupakan sebuah terobosan baru untuk menyingkirkan keberadaan telephone umum. Telephone genggam cenderung praktis, modis, dan instan. Dimanapun, kapanpun, dan siapapun bisa menikmati tekhnologi canggih berupa telephone genggam tersebut. Ketika seseorang sudah mempunyai telephone genggam, muncul perasaan tak memiliki telephone umum, jadi masyarakat lupa untuk menjaga dan merawatnya. Alhasil tak aneh jika sekarang banyak telephone umum yang tak berfungsi, tetapi justru terbengkalai tanpa perawatan sama sekali.




 Di bawah teriknya sorotan sinar matahari, kesepian senantiasa menghinggapi fasilitas umum yang satu ini.

  Setia dengan telephone umum di halaman sekolahnya.

 Memanfaatkan fasilitas untuk menghubungi keluarga.

   Telephone umum yang terpasang di kantor pos sekitar kawasan nol kilometer, Yogyakarta.

 Tak lepas dari tangan jahil manusia yang senantiasa selalu merusak.

  Terbengkalai di bawah rindangnya pohon-pohon jalanan kota.

 Seorang pemuda melintas di depan telephone umum SMPN 4 Yogyakarta.

Ketahuilah, sebenarnya telephone umum-pun tak ingin ditelantarkan.
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 30 Oktober 2010

Perlawanan dari Selatan

Perjalanan setelah malam tadi, sebatas mengintari gegap-gembitanya suasana Jogja.
Seorang Ibu mengantarkan anaknya berangkat ke sekolah melalui jalanan yang penuh abu vulkanik pasca letusan semalam (30/11), penggunaan masker pada keduanya sangat melindungi Ibu dan anak ini dari gangguan pernapasan.

          
          Sorosutan-Dapos. Ketika itu, hari telah berganti menjadi Sabtu. Sempat terlihat pada jam analog yang ada di telepon genggam sudah menunjukkan pukul 00.45 WIB. Aku bersama lima orang temanku, yakni: Bom-bom, Oki, Kethek, Andi, dan Yeyen masih terlena dalam percakapan ringan yang disertai banyak hinaan. Seorang dari kami mengajak untuk menikmati sebuah hidangan malam di sudut kota Jogja, karena Ia merasakan lapar pada perut kecilnya. Kami bergegas dengan sepeda motor masing-masing meluncur ke lengangnya jalanan kota Jogja, laju motor kami terhenti di warung nasi koyor Bu Parman yang terkenal sejak tahun 1968. Setelah selesai  menikmati santap malam, kami bersantai sejenak dan kemudian meninggalkan warung tersebut setelah menyelesaikan proses administrasi.
            Kami kembali di pekubuan, tetapi salah satu dari kami memutuskan untuk tidur dengan alibi matanya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Akhirnya praktis hanya tersisa kami berlima, canda dan tawa selalu menghiasi hinaan demi hinaan. Entah mengapa angin begitu syahdunya bertiup mendayu-dayu dari arah utara menuju selatan, tak ayal rasa dingin menyelimuti kulit kami. Seorang dari kami memekik saat  membuka sebuah situs jejaring sosial, Ia mengatakan jika telah terjadi hujan abu vulkanik di sisi utara menuju selatan, hingga telah mencapai Jalan Kaliurang (Jakal) kilometer 1.
            Dengan semangat petualang yang besatu dengan naluri jurnalistik kami berlima seketika itu juga segera menancapkan gas motor menuju ke Jakal, singgah sejenak di sebuah apotek untuk membeli masker. Sesampainya di Jakal, abu vulkanik sudah mampu menyelimuti semua badan jalan dan apapun juga yang tak tertutup. Petualangan kami sempat terhenti di kilometer 6, di ring road utara tepatnya. Seorang Polisi melarang kami untuk tetap melaju, akhirnya kami berhenti beberapa menit untuk mensiasati sesuatu agar tetap melaju ke utara.
            Kami berhasil melalui blockade Polisi tersebut dengan sedikit kelihaian mencari jalur tikus (jalur kecil, biasanya berupa gang), setelah berhasil meloloskan diri dari Polisi yang sibuk mengatur kacaunya lalu lintas di perempatan Kentungan itu, kami kembali melaju tanpa hambatan menuju utara tanpa tujuan.
            Abu vulkanik yang membumbung tinggi karena lalu-lalang kendaraan mulai menganggu pandangan kami, sementara seperti apa kabarnya Merapi tak kami ketahui. Jarak pandang tak lebih dari 100 meter, itupun harus menggunakan bantuan lampu motor. Karena kami rasa sudah tak memungkinkan lagi untuk terus melaju, akhirnya kami sepakati untuk kembali dan melihat riuhnya suasana kota akan pengungsi. Tetapi alun-alun utara yang awalnya ramai dengan pengungsi, kini mulai ditinggalkan oleh para pengungsi tempat itu. Akhirnya terpaksa kami kembali ke pekubuan sembari membagi masker pada para pedagang yang hendak mengadu nasib di peraduan. Sosial dikala fajar menyingsing, menandai adanya sisi lain dari kegilaan kami.*

Baca Selengkapnya...

Rabu, 06 Oktober 2010

Kenangan Berseragam




Bergegaslah kawan.., tuk sambut masa depan.., tetap berpegang tangan..., saling berpelukan. Berikan senyuman.., tuk sebuah perpisahan.., kenanglah sahabat.., kita untuk slamanya..!!


Sebuah cuplikan lirik lagu yang senantiasa selalu mengingatkan kita akan suatu masa, masa dimana sebuah cerita persahabatan bahkan percintaan tercipta. Apakah tak ada yang merindu saat-saat itu? Di kala fajar menyingsing berias diri, selesai di tengah hari, sembilan tahun lamanya. Gedung tua peninggalan itu jadi peraduan bagi yang berseragam. Tak peduli itu merah, biru, ataupun abu-abu, selalu setia untuk menggapai cita bersama.

Awalnya hanya dengan berjalan menuju peraduan, selanjutnya selalu ada perubahan dari sepeda angin sampai sepeda dengan mesin. Rindu akan suasana hening senin pagi di halaman gedung, ingin mengulang ketika harus memakai oblong untuk sekedar berlarian di tanah lapang. Lalu saling berbagi sebungkus minuman dalam plastik bening, alangkah serunya memahami arti sahabat kala itu. Dibalik lugunya wajah dan perawakan, sang berseragam tak gentar menerjang kehidupan liar. Kehidupan liar yang penuh keceriaan, canda, tawa, serta kenangan.

Hanya kenangan, tapi membekas sampai akhir hayat. Kini telah beranjak dewasa, tak usah bergeming menghadapi hidup. Pastilah indah pada waktunya, takkan menyerah yang ikhlas tanpa batas, berharap sekarang kan lebih baik dari kemarin. Selamat berjuang untuk tempat baru yang asing, dengan sahabat baru, dan berkembangnya intelektual dari pikiran muda itu. Nuwun Sedulur.

Baca Selengkapnya...

Jumat, 01 Oktober 2010

Egois Senja Menjelang Petang di Kampus Perjuangan

            Rintikan air samar-samar terdengar tak jauh dari tempatku berpijak. Semakin lama, semakin keras dan kasar ritmenya. Sepertinya hujan ingin menyegarkan daratan yang dilanda dehidrasi, atau hanya sekedar menghilangkan debu untuk siang yang terik tadi. Hujan telah membuat semua aktivitas seakan berhenti dalam sesaat, tiada yang lebih hangat ketika kita berada di sebuah ruangan. Sebelum semua terjadi seperti yang tidak diinginkan, secepat-kilat Aku mengambil buku dan secarik kertas untuk catatan kuliah sore ini. Bergegas ku duduki jok sepeda motor yang siap meluncur menuju kampus megah, walau dengan nafas sedikit terengah-engah Aku tak boleh lengah.

            Tak ku sangka setibanya di kampus ternyata sang pengajar (dosen) sudah hadir di kelas, padahal biasanya Beliau terlambat. Aku mengetuk pintu lalu masuk kelas yang telaah terisi oleh beberapa mahasiswa, Aku urung menutup pintu karena ada seorang teman yang membuntuti langkahku. Kami berdua diberi tugas untuk menjelaskan beberapa istilah mata kuliah akibat dari keterlambatan kami, sejenak Aku berpikir jika kami berdualah yang paling terlambat masuk di kelas ini. Tapi dugaanku salah, ternyata banyak mahasiswa yang terlambat lebih dari kami.

            Bahkan setelah lebih dari 40 menit, muncul seorang mahasiswa dengan perawakan tinggi, kurus, dan berkacamata sedikit tebal, serta berkawat gigi, meminta izin untuk mengikuti kuliah sore itu. Sang dosen yang sudah dilanda emosi sejak awal meminta pada mahasiswa itu untuk menutup pintu dari luar, mahasiswa menolak dan merengek untuk tetap kuliah dengan alibi Ia kehujanan dijalan. Kemudian dosen memberikan sebuah persyaratan, Ia boleh masuk dan mengikuti kuliah tapi tak diperbolehkan mengisi tanda tangan presensi. Setidaknya keputusan dosen sangat bijak, tak membatasi mahasiswanya untuk kehilangan sepercik ilmu-pun. Anehnya, mahasiswa itu memilih untuk keluar dari kelas kemudian meninggalkan kami, setelah mengetahui tak diizinkan melakukan presensi. Tanpa memikirkan mahasiswa yang terlambat itu, dosen kembali melanjutkan kewajibannya untuk mentransfer ilmu pada anak didiknya.

            Setelah dirasa waktu sudah tak lagi bersahabat, akhirnya kuliah yang aneh ini diakhiri bersama. Aku terkejut melihat mahasiswa yang terlambat tadi masih berada di luar kelas hendak menemui dosen di dalam kelas, ternyata benar seperti dugaanku jika mahasiswa itu tetap ngotot untuk tetap ingin menandatangani presensinya? Padahal kewajibannya tak Ia penuhi, tetapi hak tetap digrogoti. Dengan realita seperti ini tidak begitu aneh jika kualitas pendidikan terus menyusut seiring berkembangnya pemikiran yang oportunistis dari seorang yang terpelajar, sebagian dari kami lebih mementingkan tanda tangan presensi daripada ilmu. Hanya mementingkan sebuah gelar formal sarjana lengkap plus penghalalan segala cara untuk sebuah jalan menuju masa depan, seperti itukah wajah bangsa Indonesia?  Sepertinya ini penyakit hati di era globalisasi. Nuwun Sedulur.
Baca Selengkapnya...

Minggu, 26 September 2010

Oh Alam, Benarkah Engkau Korban Keangkuhan?

Sabtu, 25 September 2010. Pagi itu mendung mengglayuti langit kota Yogyakarta, tak aneh memang? Karena sudah beberapa hari ini Kota Gudeg selalu diselimuti mendung dari pagi sampai siang hingga turun hujan dikala senja menjelang petang. Tetapi ada yang berbeda dihari ini, sekitar pukul 14.00 WIB ada suara gemuruh yang mengacaukan konsentrasiku dalam mengerjakan tugas siang itu. Aku terpenjerat, lalu seketika itu pula Aku berlari menuju teras untuk melihat apa yang sedang terjadi. Segala perasaan tak bahagia muncul di teras itu tatkala Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, segerombolan angin kencang berhembus dari arah timur begitu dahsyat, seakan-akan ingin membantai semua yang menghadang lajunya, kurang lebih selama satu jam mereka menari indah di atas tangisan manusia. Pepohonan, tiang listrik, bahkan baliho besar tak luput dari amukan Sang Anemoi (para dewa angin dalam mitologi Yunani).

Mungkinkah ini semua karena ulah saudara kita sendiri? Bencana di sana-sini silih berganti, tak pandang bulu menerjang entah kaya atau miskin. Mereka menebang paru-paru dunia untuk kepentingan serta ego pribadi, selalu mengorbankan alam untuk kepuasannya sendiri. Jangan salahkan alam jika sulit untuk kembali bersahabat dengan kita lagi, mereka sangat marah tapi sebenarnya mencoba mengingatkan kita untuk lebih merawat, melestarikan, dan menyayangi alam.

Ibarat realitanya dapat digambarkan jika buah durian hanya akan berbuah di bulan-bulan tertentu, tetapi perilaku kita yang murka menginginkan buah durian setiap bulan? Sama halnya ketika di sisi lain kita selalu bertanya-tanya mengapa hujan turun di musim kemarau? Bukan sebuah kesalahan jika alam juga menginginkan hujan setiap hari karena keangkuhan manusia yang mengangap uang adalah segala-galanya. Mari kita renungkan, setelah itu semaksimal mungkin kita melestarikannya karena harus kita sadari, kita sulit hidup tanpa berdampingan dengan alam. Nuwun Sedulur.
          
Baca Selengkapnya...

Luka Pergerakan Mahasiswa di Jalanan

Pendidikan merupakan sesuatu hal yang wajib ditempuh oleh setiap anak bangsa, guna menumbuhkan intelektual calon penerus bangsa. seperti selayaknya simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) seorang anak bangsa membutuhkan pendidikan dan pendidikan itu juga tidak akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa anak bangsa. 

Dalam akhir-akhir waktu ini sering terdapat noda dalam dunia pendidikan, seperti kebijakan BHP yang mengundang kontroversi dan demonstrasi di berbagai kota besar yang mempunyai banyak oganisasi mahasiswa. Noda itu bukan hanya akan selalu memancing adanya ketidak percayaan akan sebuah pemerintahan dalam penyelenggaraan pendidikan, tetapi bisa juga menjadi perpecahan dalam bangsa yang dikatakan besar ini.

Selama ini pergerakan mahasiswa mampu menjadi pilihan alternatif, pada saat tragedi 1998 lalu mahasiswa menjadi tumpuan utama sebagai tokoh revolusioner, mahasiswa bersama rakyat dapat menggulingkan keberingasan orde baru yang dikenal sangat otoriter dan mengarahkannya ke ranah reformasi. Hal ini merupakan sebuah implementasi dari apa yang mereka dapatkan dari bangku perkuliahaan dan organisasi kemahasiswaan yang diikutinya, sebagai intelektual muda mereka tidak rela jika terus-terusan dibodohi oleh rezim yang radikal. Walaupun dalam fakta di lapangan banyak sekali pelanggaran yang dilakukan baik dari mahasiswa/rakyat ataupun pihak aparat (ABRI), alhasil tidak sedikit aktivis yang diduga diculik aparat masih belum ditemukan hingga saat ini. Berapa banyaknya korban yang berjatuhan hasil tragedi 1998, mungkin itu sebuah resiko mengakhiri rezim keji Orde Baru atau bisa jadi sebuah resiko pahitnya menjadi seorang aktivis.

Memang pergerakan mahasiswa seperti 1998 berdampak baik dan berguna bagi rakyat Indonesia, maka setelah itu muncul berbagai pertanyaan apakah semua pergerakan dapat membantu menyelesaikan persoalan negara? Jawaban “belum tentu” pasti akan banyak ditemui di tengah kacaunya negeri ini, karena pergerakan sekarang tidak mempunyai arah yang jelas. Mahasiswa lebih memilih bendera organisasinya dari pada bendera NKRI dalam setiap demonstrasinya, jika sebagai identitas agar mudah mengkondisikannya tidak masalah. Yang dikhawatirkan mereka menggunakan bendera organisasi untuk eksisnya organisasi mahasiswa itu, hasilnya juga harus sesuai dengan apa yang menjadi tujuan organisasi itu sendiri bukan untuk kemaslahatan rakyat. Seperti contoh kemarin banyak demonstran yang memasang bendera organisasinya dipagar gedung DPR/MPR RI, kalau demonstran mempunyai pandangan yang sama seharusnya pengibaran bendera organisasi hanya sebatas koordinasi saja, bukan sebagai ajang eksis agar dijepret wartawan cetak ataupun mengharapkan shoot wartawan audio visual? Kita juga tidak tahu.

Ironis sekali ketika melihat pergerakan yang awalnya sangat terkoordinasi akhirnya pecah menjadi sebuah konflik, baik secara horizontal dengan sesama demonstran maupun secara vertikal dengan petugas keamanan dan aparat penegak hukum. Jika kita melakukan pengamatan melalui layar kaca maka, tindakan represif dari polisi yang bertugas mengamankan demonstrasi tidak lepas dari mahasiswa yang mengawali melakukan lemparan batu terlebih dahulu. Hal tersebut mengakibatkan polisi dengan cadasnya melakukan tindakan represif, jika demonstrasi berjalan dengan tertib sesuai dengan tata tertibnya maka masyarakat tidak terganggu dari kegiatan wajibnya sehari-hari, dan yang tidak kalah penting tidak perlu tambahan dana untuk perbaikan gedung, taman kota, sarana-prasarana lokasi demonstrasi yang sering kali menjadi sasaran atas luapan emosi para demonstran. Ini merupakan luka pergerakan di jalanan, sampai kapankah akan ada?.

Menyampaikan pendapat dengan cara yang baik dan benar, selalu berpegang teguh pada tata tertib, anti tindakan anarkis merupakan awal dari sebuah prestasi mahasiswa Indonesia dan kedewasaan Demokrasi di Indonesia. Nuwun Sedulur. Baca Selengkapnya...