Catatan
ringan. Perjalanan pulang dari Semarang menuju Yogyakarta. Ada saja kenangan
yang sulit terlupakan, mulai dari hujan sampai berurusan dengan Polisi Lalu
Lintas Resort Sleman.
Ilutrasi: Jalan Searah |
Senin,
12 Desember 2011. Langit sudah berselimut mendung kala bus
Nusantara yang aku tumpangi mulai masuk kawasan Yogyakarta. Gerimis tipis
membuat jendela bus dipenuhi bintikan air, untungnya kondisi seperti itu tak
bertahan lama. Setibanya di terminal Jombor, walaupun angkasa masih menyisakan
mendung yang hitam legam, namun hujan tak lagi turun.
Semua penumpang turun,
kebanyakan melanjutkan perjalanan dengan ojek, bus, atau angkutan umum lainnya.
Sementara aku bergegas menuju tempat penitipan sepeda yang masih berada di
dalam kompleks terminal. Aku menyerahkan karcis pada penjaga penitipan. “Motor
e opo, Mas (Sepeda motornya apa, Mas)?” ujarnya. Dengan menunjuk salah satu
motor, pria muda itu bukan hanya tahu apa motorku, melainkan juga tahu yang
mana motorku.
Aku mulai menyalakan mesin motor setelah sebelumnya penjaga
penitipan membersihkan debu di bodi. Ku tarik tuas chuck, sembari melihat ke
arah mana aku harus keluar—pasalnya baru sekali ini aku berada di kawasan
terminal Jombor. Benakku sempat ingin bertanya pada orang di sekitar, namun
niat itu ku urungkan. Terbesit pikiran untuk mengikuti kemana arah para
pengendara lainnya, tapi nyaris tak ada seorang pun yang bisa dibuntuti. Wanita
dengan motor matik dibelakangku pun tak kunjung keluar dari penitipan, padahal
itu satu-satunya pengendara yang bisa aku kuntit.
Akhirnya dengan semangat wani teros (berani terus), aku kembalikan tuas chuck, lalu menarik
handpart gas, kemudian mengarahkan laju motor keluar penitipan dan membelokkan
ke kiri serta ke kiri lagi.
Baru melaju kira-kira selemparan batu dari kawasan
terminal, seorang Polisi Lalu Lintas (Polantas) menghentikan laju motorku. Ia
mengucapkan salam sambil hormat, lalu menanyakan surat-surat. Eitz, tak semudah
itu aku berikan? Pasalnya jika tak ada razia resmi, jangan sekali-kali
menyerahkan surat sebelum tahu apa kesalahan kita. Maka dari itu, aku bertanya
pada Polantas itu apa kesalahanku? Disertai nada ketus dan sedikit membentak ia
katakan bahwa aku menerobos jalan satu arah. Dengan santai kembali ku tanyakan,
mana rambu-rambu yang melarang? Dan Polantas itu menunjuk tangan ke arah plang rambu yang memang benar-benar tak
terlihat olehku. “Itu loh, Mas. Dari sana ada, sebelumnya juga ada,” ujarnya.
Kuberikan SIM dan STNK padanya, lalu aku digiring untuk menepi. Nampaknya ia tak
sendiri, seorang kawan sesama Polantas sudah berada di dalam kios—sepertinya
itu kios penjual plat nomor yang dialih-fungsikan Polantas sebagai kantor, lucu
sekali bukan? Heuheu. Menurut pendapatku Polantas sengaja berjaga di situ—walau
tak ada pos Polisi—karena daerah tersebut berpotensi menjadi lahan basah bagi
Polantas, semacam jebakan yang menguntungkan.
Polantas yang menstop
aku tadi mempersilahkan masuk ke kios. Tanpa pikir panjang aku lepas helm lalu
masuk ke kiosnya Polantas. Upz, salah? Maksudnya kios yang digunakan Polantas
untuk bertugas.
“Selamat siang, Mas Bobby,”
Polantas itu mengawali pembicaraan.
“Iya Pak, siang,” jawabku tak
kalah lantang.
“Mas Bobby melanggar jalan
satu arah, sidangnya besok tanggal 30 Desember ya?”
“Siap Pak.”
“Di Pengadilan Negeri Sleman”
“Beres.”
Entah mengapa aku tak ada niatan sedikit pun untuk menawar
atau istilahnya bayar di tempat, aku benar-benar begitu yakin untuk
menyidangkan perkara ini.
“Dari mana?”
“Semarang.”
“Kok lewat sini?”
“Ya kan dari terminal, Pak. Saya
tadi naik bus, terus turun Jombor. Saya nggak tahu kalau jalan ini satu arah,
rambunya juga gak kelihatan. Lha emang kalau dari terminal keluarnya harus
lewat mana Pak? Saya masuknya lewat sini kemarin, gak tahu kalau ini bukan
jalan keluar yang tepat.”
“Kuliahnya dimana? Semester
berapa?”
“UII, semester 5.”
Kemudian dengan nada sedikit halus Polantas itu bertanya
apakah aku baru sekali ini ke daerah ini, aku pun sontak menjawabnya iya. Entah
apa yang ada di pikiran Polantas itu, tiba-tiba ia bertanya pada kawan
seprofesinya yang di depan kios. “409 yo, Lek,” kurang lebih begitu tanyanya.
Aku juga tak paham apa artinya, yang jelas itu sandi Kepolisian.
“Mas Bobby, ini nggak usah sidang saja,” katanya. Pikiranku
sempat bertanya-tanya, apakah Polantas ini akan meminta uang damai? Mengingat
apa yang dikatakannya tadi. “Silahkan melanjutkan perjalanan, tapi harus lewat
jalan yang benar, bukan lewat sini,” tambahnya. “Owh, gitu Pak? sahutku. Dengan
perasaan yang sedari awal tadi tenang, tidak gugup, dan selalu memberi jawaban
lantang, akhirnya kini berubah jadi sedikit senang sembari melempar senyuman.
Setidaknya tak ada uang yang mubadzir (sia-sia) karena masalah konyol.
Ku taruh SIM dan STNK ke dompet lagi. Dengan salam komando
ala militer aku mengajak kedua Polantas itu untuk berjabat tangan.
Dengan menyisakan beribu-ribu pertanyaan aku mulai
mengarahkan laju motor ke arah yang menurut Polantas benar, pertanyaan itu tak
lain tak bukan adalah mengapa aku tak jadi ditilang?
Ada dua hipotesis yang bisa aku simpulkan, takut, segan dan
kasihan. Sudah aku katakan sebelumnya bahwa aku sedari awal tak ada perasaan
gugup, aku pun selalu menjawab pertanyaan dengan lantang dan meyakinkan.
Ditambah penampilanku yang urakan—gondrong, pakaian tak terlalu bersih, dan
terkesan sangar. Itulah alasanku yang menyimpulkan Polantas itu takut dan
segan.
Kemudian mengapa aku juga simpulkan Polantas itu kasihan?
Mungkin ia melihat SIM dan STNK, di situ terpampang jelas alamat asal. Terminal
Jombor tak terdapat satu pun bus menuju kota asalku, jadi ia percaya bahwa aku
tak berbohong ketika aku berkata baru sekali ke daerah di mana aku melakukan
kesalahan ini.
Takut dan segan, atau memang kasihan? Anda sendiri yang
menyimpulkan, yang jelas aku bebas dari tilang dan sidang. [*]