Malam
tahun baru memang identik dengan selebrasi, tak jarang perayaannya sangat berlebihan.
Namun kali ini aku dan beberapa teman Pers Mahasiswa “Keadilan” mempunyai cara
berbeda dalam menyambut tahun baru 2012.
Lampion, penggambaran sebuah harapan |
Sabtu,
hari terakhir di tahun 2011. Saat itu mendung terlihat menggumpal,
bergerak dari barat menuju timur, membelah bukit-bukit yang hijau bagaikan
lemak yang menerobos daging untuk melekat pada sisi dalam kulit.
Dari depan reparasi motor di Jalan Imogiri Timur ini—tempat
aku dan teman-teman Keadilan berdiri—aku menebak hujan telah turun di sekitar
bukit. Setelah mekanik mengganti ban dalam motor milik teman kami,
perjalanan dilanjutkan setelah kurang
lebih 20 menit berhenti.
Tebakanku membuahkan hasil, barang 10 kilometer roda kami
berputar dari reparasi, hujan turun membabi-buta. Teman yang ban dalamnya bocor tadi tak bawa jas
hujan, padahal berboncengan. Jadi mau tidak mau kami harus berteduh, sekaligus
menjaga bekal yang kami bawa agar tetap kering.
***
Aroma baksonya memang tak terlalu kentara, namun melihat
bulatnya bakso sebesar itu, lidahku kemecer
(Jawa:bergetar). Inilah resikonya berteduh di depan warung bakso.
Ketika hujan sedikit menghela napas, perjalanan dilanjutkan.
Rombongan sempat tercecer setelah melintas di depan pasar, maklum saja jalannya
bercabang lebih dari empat. Lagi-lagi hujan yang mempertemukan kami, dan lokasi
berteduh kali ini rasa-rasanya tepat. Sebuah toko kelontong berukuran sedang, ternyata jual jas hujan, beruntung sekali.
Aku sempat berpikir, apakah tahun baru kali—2012—ini harus
berlalu di bawah riuhnya dentingan hujan? Kata hatiku menjawab, “Tidak.”
Harapanku memang sedikit cerah, teman yang sudah sampai di Pantai
Sadranan siang tadi, mengirim pesan singkat. Isinya memberitakan bahwa lokasi
tak hujan, namun butuh lotion anti nyamuk.
Hujan memang masih deras, namun isi pesan singkat tadi
mampu mematahkan kelesuan akibat hujan. Sedari Yogya, aku memang berkendara
sendiri. Tanpa pembonceng, artinya tak ada teman ngobrol pas perjalanan. Sangat
menjemukan, jalan pegunungan bak ular piton yang membelit mangsa ini ku lalui
tanpa bicara sepatah kata pun. Pusing tak dapat dicegah lagi, ingin melepas
helm, namun bagaimana jika nanti jatuh? Jika tetap di kepala, sangat menyiksa. Hujan
pun plin-plan, kadang deras hingga sakitnya terasa di wajah, sering juga hanya
gerimis yang sendu dan pilu.
Sesampainya di Pantai Sadranan, beberapa teman yang datang
duluan menyambut kami. Tapi sebelum bergabung di tenda yang dibangun di bibir
pantai, aku menyempatkan diri untuk ke kamar mandi. Kali ini tak sendiri, ada
beberapa yang mengikuti.
***
Sempat kebingungan karena tenda rombongan tidak diketahui
keberadaannya, lagi-lagi dengan teman yang ban motornya bocor tadi. Dari
ujung ke ujung, hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, kemarin
temanku bilang jika ia pasang tenda bukan di bibir pantai, namun di balik
dedaunan yang mirip pandan. Setelah menelisik akhirnya ketemu juga. “Thek…Kethek…,”
teriakku yang kemudian disahut oleh
teman-teman kami.
Lokasi perkemahan kami sederhana, empat tenda dum berukuran
sedang dibangun saling berhadap-hadapan. Ditengahnya sengaja diberi ruang
kosong untuk menyalakan api unggun, tidak terlalu luas, namun setidak-tidaknya
cukup untuk menampung kami semua. Di sisi barat tenda terdapat beton cor yang
berbentuk mobil, kami pun tak ketinggalan untuk memanfaatkannya. Berbaring,
bercengkrama, bahkan berfoto di beton itu.
Pukul 12 tinggal menghitung menit, sementara kami masih
terlarut dalam kebersamaan. Gitar dan pita suara tak henti-hentinya bergetar,
membawakan lagu rindu dan kebersamaan. Memang masa-masa seperti ini akan selalu
kita rindukan, bukan sekarang, tapi di waktu yang akan menjelang. Demi Tuhan,
kalian pasti akan merindukannya.
Tiba-tiba heningnya pantai berubah jadi gegap gembita,
suara kembang api saling bersahut-sahutan, beradu dengan derasnya ombak di laut
selatan. Semua larut dalam keceriaan, bersorak dan berlarian. Ketika aku
menolehkan kepala ke kiri, dari atas beton cor berbentuk mobil ini kudapati dua
pasangan muda-mudi tengah khusuk berdoa sembari berpelukan, setelah itu baru
mereka menyalakan kembang api. Pembukaan tahun yang manis sekali bukan? Heuheu.
Ya memang manis, sebuah resolusi akan mereka awali dari detik dan dari tempat
ini.
Bagiku sebuah harapan besar tak harus timbul dari segala
sesuatu yang bersifat besar, seperti perayaan tahun baru ini misalnya.
Seminimalis apapun tempat kita merayakan tahun baru, asalkan substansinya tetap
sebuah harapan positif, hasilnya akan tetap sama, kita akan memeperoleh suatu
kepositifan hidup yang didamba.
Mereka yang tinggal
di pelosok daerah kemudian merayakan tahun baru melalui siaran televise pun
takkan kalah besar harapannya dibanding dengan manusia lain yang merayakan
tahun baru di pusat hiburan kota-kota besar. Harapan mereka akan teraktualisasi
melalui daya juang kehidupan.
***
Beranjak 45 menit dari pergantian tahun, kami serombongan
tengah asik menikmati ayam bakar yang dibakar bersama-sama. Proses pembakaran
berjalan cepat, karena hanya sekedar memberi efek hangat saja, pasalnya
ayam-ayam tersebut sudah matang direbus dari rumah. Kami makan hanya berpiring
kertas minyak, semua harus makan tanpa terkecuali.
Setelah makan bukannya tidur, tapi justru asik dalam
kebersamaan. Sementara aku memilih berbaring di dalam tenda, menghemat energi untuk mengawali hari pertama
di tahun 2012. Sempat aku nikmati tenangnya suasana daerah ini dalam pergantian
tahun baru, jauh dari hingar-bingar. Termasuk asap kendaraan, suara mesin, dan
raungan knalpot yang sengaja dibuat keras. Sebuah pengalaman yang mengajarkan
aku tentang makna tahun baru yang sebenarnya. Sebuah resolusi, bukan hanya
sebatas selebrasi. Tak ingat seberapa jauh kenikmatan itu, lalu aku terlelap
dalam deru ombak tahun baru di pantai Sadranan. [*]
Baca Selengkapnya...