Belum
genap dua kali sahur di ramadhan ini, mentari pun masih sangat malu
untuk menari di waktu-waktu dekat nanti. Aigh,hampir saja aku lupa menyebutnya.
Mungkin beberapa jam lagi sudah menjadi sahur ketiga bagi beberapa muslim di
Indonesia. Ya, tahun ini di negeri kita ini lagi-lagi kaum muslim berbeda
pendapat tentang kapan jatuhnya 1 Ramadhan.
Politis, kekolotan aliran, atau hanya pramatisme semata merupakan penyebab
utama yang ada di balik perbedaan itu.
Walaupun terkadang kebersamaan di atas perbedaan itu indah,
namun untuk hal yang satu ini aku masih harus berpikir ulang. Mengingat
penetapan puasa yang begitu aduhai—politisnya—dari pemerintah, bahkan disiarkan
langsung melalui televisi, dan sepertinya hanya menampilkan pembenaran-pembenaran.
Semua beradu kepandaian ilmu agamanya di forum tersebut, tentunya mewakili
(kepentingan) kelompok masing-masing. Dari tayangan langsung tersebut dapat
diambil konklusi bahwa di negeri subur ini banyak orang pandai, tapi apakah
mereka juga berintegritas, berdedikasi, bahkan beridealisme secara tepat?
Mungkin iya, tapi tak menutup kemungkinan banyak tidaknya.
Selama ini penetapan hari-hari penting hijriyah terkesan
seperti ajang eksistensi antara dua organisasi massa (ormas), kita pasti sudah
tahu siapa mereka tanpa harus menyebutnya lagi di tulisan ini. Kekolotan
pemikiran sulit ditanggalkan, semua karena mereka ingin menjadi yang terdepan
dalam bidang ilmu keagamaan. Mereka berlomba-lomba berebut benar yang tak
terlihat dari kesalahan-kesalahan yang nampak.
Sampai kapan masyarakat awam akan terbelenggu dengan
kekonyolan seperti ini, mereka kira kaum kebanyakan akan paham tentang
perbedaan itu? Tidak, kebanyakan akan bingung karenanya. Dimana ujung
kekolotan-kekolotan ini? Lalu apa baiknya selain hanya keeksisan golongan?
Jangan biarkan bangsa ini terus-terusan koma, Tuan.
Baca Selengkapnya...