Liburan silahkan, tidak pun tak jadi soal. Karena liburan bukan
sebuah kewajiban.
Selama
Februari, pikiran Icuk diselimuti kegundahan. Masalahnya sepele, bukan karena
ia harus melewati Valentine tanpa kekasih—karena setiap tahun pun juga
demikian—tapi karena recent updates di
Blackberry Messager, time line di
Twitter dan beranda di Facebooknya selalu penuh dengan status
tentang destinasi liburan.
Bahkan yang lebih membuatnya kesal, foto-foto
narsis di lokasi liburan turut meramaikan Instagram. Pengunggahnya beragam,
mulai dari kawan hingga orang yang sama sekali tidak ia kenal. Tak cukup sampai
di situ, kuliner dan tempat perbelanjaan yang di-share ke beberapa media sosial di atas juga membuatnya semakin ngiler tak karuan.
Sedari awal bulan, Icuk sudah mulai
menyadari bahwa semua ini gara-gara smartphone
yang dibeli dengan duit pemberian orangtuanya sebulan yang lalu. Karena akses
ke media sosial tersebut selalu ia dapat dari smartphone tersebut Ia tak
pernah menduga, barang yang selama ini dipamer-pamerkan ke teman kuliah berkat
kecanggihannya, kini justru jadi biang kegalauan.
Icuk memang tergolong orang yang suka
berpetualang, meskipun dengan mental dan uang yang pas-pas’an, jadi wajar jika
di waktu libur kuliah semester ganjil ini, pikirannya sedang diselimuti mendung
hitam yang tak berawan bernama liburan.
Ia tak memikirkan biaya, karena
tabungannya cukup untuk sekali liburan, bahkan ke luar negeri sekalipun.
Permasalahannya cuma satu: waktu. Di balik kata itu, terdapat sejuta alasan
yang tak memberinya banyak ruang untuk sekedar menikmati liburan. Meski
kalender akademik kampusnya jelas-jelas mengisyaratkan libur, namun sebuah
tanggungjawab besar sudah menanti Icuk jauh-jauh hari, malahan bisa dibilang komitmen Icuk untuk hal ini sudah hadir
sebelum 2013 datang.
Kegundahannya semakin menjadi-jadi
ketika Ucik—sahabat karib di kampus sekaligus kawan backpacker-an—meminta diantarkan ke terminal Giwangan untuk
melakukan ekspedisi tunggal ke tempat yang masih dirahasiakan. Biasanya mereka
berangkat berdua, namun kali ini Icuk tak bisa ikut serta karena komitmen dan
tugasnya.
“Cuk,” ucap Ucik, setibanya di terminal.
“Dua sampai tiga minggu lagi gue baru balik.”
“Emang lu mau nglancong kemana sih?”
“Kan udah gue bilang rahasia, nanti bakal
gue bikin tulisan, dan lu bisa nikmatin tulisan gue. Gue akan buktiin bukan
hanya anak sastra saja yang bisa bikin tulisan indah.”
“Okey, terserah lu aja deh, yang penting
ati-ati. Kalau udah otw pulang, lu sms aja biar gue jemput lagi di mari,” timpal
Icuk.
“Gak usah, Cuk. Gue udah banyak
ngrepotin lu, gue bisa ngojek.”
“Woey Anj*ng,” sahut Icuk, suaranya
meninggi. “Lu udah gue anggep saudara, Man. Gak nganggep gue lu? Lu udah berapa
tahun kenal gue sih?”
“Sorry, Sob. Bukan maksud gue gitu. Oke
deh kalau lu maksa, besok gue sms kalau udah otw Yogya. Makasih ya, Sob. Lu
emang sahabat gue yang ciamik dech.”
“Santai aja, Man. Titipin salamku untuk
semua orang yang kau temui,” titip Icuk sok formal.
Sepeninggalan Ucik, Icuk kembali
tenggelam dalam kesibukannya, tiada hari tanpa duduk melingkar untuk
menumpahkan isi otak alias pikiran bersama kawan-kawan seperjuangan. Tapi entah
kenapa ia menikmatinya, hari-hari di bulan kedua 2013 ia lalui dengan senang,
meski tanpa liburan. Meminjam judul lagu Sheila on 7, Icuk menilai apa yang
dilakukannya kini adalah sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Pada suatu Sabtu malam di pertengahan
Februari, ia memilih menyendiri, merenungi tentang segala apa yang terjadi.
Kuliahnya, tentang mau dibawa kemana hidupnya, dan tentang siapa yang akan
berada di sampingnya kelak.
“Hey gelap malam, apakah orang-orang
hebat itu masa mudanya hanya berleha-leha?” tanya Icuk pada malam. “Agh, tak
usah kau jawab pun aku sudah tahu jawabannya, pasti tidak kan?” jawabnya
sendiri sekaligus menimbulkan pertanyaan baru. Bukan tanpa alasan ia bertanya
pada malam, karena malam selalu tahu siapa yang masih terjaga dan siapa yang
sudah terlena karena gelapnya.
Orang yang melihat akan mengatakan ia
gila, karena sedari tadi ia bergumam sendiri, bertanya tapi selalu memberi
jawaban sendiri, kadang memaki kadang memuji. “Kau malam, selalu mengajariku
tentang kehidupan. Terlebih gelapmu, sudah menjadi barang tentu jika kegelapanmu
akan selalu melahirkan Matahari setelah subuh nanti. Uyyyyeeeeee…….!” ucap Icuk
setengah berteriak seakan-akan ingin menggantikan tugas ayam jantan berkokok.
Dalam renungannya, ia mulai sadar jika
Yogyakarta bukanlah Jakarta—kota asal dan tempat Icuk dibesarkan. Ibukota
mewajibkan manusianya untuk berlibur ketika liburan, setelah menjadi robot saat
hari biasa. Wajar jika mereka menempatkan berlibur saat liburan adalah suatu
keniscayaan. Sekarang ia sedang di Yogya, di kota pelajar sekaligus budaya ini
liburan hanya untuk mereka yang perlu, karena baginya “everyday is holiday in Yogya City”. “Jogja memang berhati nyaman,”
gumamnya pelan.
Hampir tak ia sadari tengah malam telah
lewat jauh sekali, kopi-susu instan dan sebungkus jagung goreng sudah tak
bersisa, ia segera mangakhiri persetubuhannya dengan kegelapan. “Hidup ini
lucu, kita diberi kehidupan tapi suatu saat nanti kehidupan ini akan dicabut
kembali,” tulisnya pada buku catatan harian yang baru ia beli sore tadi. Entah
apa yang sedang dipikirkannya, hingga ia tulis kalimat itu.
***
Menjelang
tengah malam ketika Maret mulai menyambut, cahaya purnama dan angin musim
penghujan menemani Icuk yang tengah mencoba memejamkan mata. “Tilululut…tilululut…tilulululut…,”
telepon genggam Icuk berdering disertai getar berkali-kali. Ia sedikit
terkejut, hingga akhirnya ia mengerutkan dahi ketika mulai membaca pesan
singkat yang baru saja masuk. “Kurang ajar ini si Ucik, malam-malam gini pamer
ke gue,” gerutunya kesal. Ternyata Ucik memberitakan bahwa besok hari terakhir
ekspedisinya di Pulau Dewata, karena ia harus melanjutkan perjalanan ke Lombok.
Tapi kesal Icuk tak sampai hati, karena
ia tahu benar sifat Ucik: bukan tukang pamer. Ucik hanya sekedar meminta doa
restu seperti yang tertulis di akhir pesan singkatnya. “Hati-hati, kawan. Jaga
dirimu baik-baik, suatu saat kita pasti akan backpakeran bareng lagi. Jangan
lupa titipanku: titip salam untuk semua yang kau temui di sana,” balas Icuk
saat itu juga.
Icuk kembali berbaring di kasur
tipisnya, matanya menerawang ke langit-langit dan hanya sesekali berkedip.
Seperti penjaga gawang yang baru saja kebobolan. “Liburmu kali ini bukan
liburku, kawan,” ucapnya pelan seperti tak bersuara. Lambat laun matanya mulai
sayu, lalu terpejam, kini mulutnya yang terbuka, kemudian suara dengkur mulai memenuhi
kamar kos-nya. (Bobby A. Andrean/Awal
Tahun 2013)
Baca Selengkapnya...