Sabtu, 09 April 2011

Mobilitas

          Berkumis tebal, namun tak berjenggot. Rambutnya hitam dan lurus, tertata rapi dengan sibakan di pinggir. Matanya sipit. Hanya dengan melihatnya bicara, kesipitan itu akan tampak jelas bagi lawan bicara, lebih-lebih ketika tertawa. Bahkan, kacamata yang menggantung di atas hidung mancungnya, tak mampu menutupi mata sipit pria keturunan itu.

         Sore itu ia mengenakan kemeja putih, dasi bergaris, serta celana hitam legam. Gaya bicaranya khas, berintonasi tajam kemudian sesekali lembut. Bagiku, mengenai gayanya berbicara tak dapat dilepaskan dari tuntutan profesi sebagai seorang dosen hukum internasional.

        Sekalipun bisa dikatakan ia seorang pakar hukum internasional, namun ketertarikan pada antropologi terlihat jelas dalam bukunya Hukum Kekerasan dan Kearifan Lokal. Ia mengambil Sulawesi Selatan sebagai sample penelitian, empat tahun silam. Sebagai muslim, sepertinya tak cukup jika hanya menguasai dua kecenderungan ilmu itu saja. Terbukti yang bersangkutan juga intens memantau peradaban islam, tidak sedikit tulisannya menanggapi permasalahan seputar Islam. Islam, Neo-Imperialisme dan Terorisme menjadi salah satu tulisan tentang Islam yang ia buku-kan.

            Dibandingkan dengan dosen lain secara umum, terkait dengan rutinitas, memang terkesan “hiperaktif”. Ia memiliki mobilitas tinggi, tak jemu untuk melalang buana dari satu universitas ke universitas lain. Entah mengajar, berburu ilmu, atau berkarir. Karena itulah tugasnya yang utama sering terlewatkan. Ia sering absen mengajar, padahal sejatinya ia dosen tetap Fakultas Hukum-Universitas Islam Indonesia (FH-UII) Yogyakarta. Tapi semua itu tak jadi masalah ketika pria paruh baya kelahiran Bandung, 8 September 1956 ini mengganti pertemuan yang terlewatkan dilain waktu.

            Hhm. Hari ini merupakan hari terakhir kelas kami bertatap muka dengannya, sebelum ujian tengah semester (UTS) yang akan dilaksanakan minggu depan. Sial, ia selalu memberikan banyak tugas untuk dikumpulkan saat UTS. Mayoritas mahasiswa FH-UII tahu betul tentang ini. Dan sebagian besar mengeluhkan tanggungan tugas yang ia berikan, tapi itulah cirinya. Ciri yang tak ditemukan pada dosen FH-UII lain, sekalipun sama gelarnya.

            Kegagalannya menjadi anggota komisi yudisial seakan terlupakan dengan mobilitas. Setelah perkuliahan selesai, aku mencoba berbincang-bincang. “Minggu ini perkuliahan kita habiskan karena minggu depan saya harus mengajar di Unair Surabaya”, kurang lebih begitu jawabannya terhadap beberapa pertanyaanku tentang mobilitas sang dosen itu sendiri. Akibat dari semua itu perkuliahan diringkas dalam waktu seminggu, keletihan begitu terasa bagi mahasiswa, tapi tidak untuknya. Seperti inikah semangat pria paruh baya? Bukannya lebih indah menikmati suasana senja di Yogyakarta? Upz maaf, ini hanya celotehan-ku saja.

            Langit sore semakin merah, sepertinya matahari ingin segera beristirahat di singgasana ufuk barat. Senja meninggalkan pelajaran penting tentang mobilitas, mobilitas teratur dengan tujuan tertentu, namun pasti. Semakin tinggi mobilitas, maka semakin banyak pula pengalaman yang didapatkan. Namun, mobilitas idealnya memang harus terkontrol. Agar apa yang menjadi kewajiban utama tak dikesampingkan begitu saja. Dan setidak-tidaknya Profesor yang berumur 56 tahun ini memiliki tanggung jawab yang begitu besar di balik mobilitasnya yang luar biasa. Buktinya tujuh kali peertemuan tetap ia penuhi, walaupun rasa-rasanya tetap berbeda.

            Mobil sedan hitam yang dikemudikan sopir berekemeja hitam itu mengantarnya pulang, mungkin sopir itu pula yang sering mendapatkan keluh-kesahnya. Owh iya, nama pria paruh baya itu Prof. Jawahir Thontowi, S.H, Ph.D.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar