Senin, 25 Juli 2011

Tiada Ziarah Bersamanya (Sekali Lagi)*

                   Aku tidak ingat hari apa dan tanggal berapa kala itu. Tapi yang jelas, ketika suatu sore beberapa hari menjelang bulan ramadhan tahun lalu. Aku mengantarkan nenek berziarah ke sebuah pemakaman orang tua dan kerabat-kerabatnya—berziarah sebelum bulan puasa tiba merupakan tradisi di daerah kami. Tak ku duga, itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya aku mengantarkannya berziarah. Karena hari ini (27/6), tepat empat puluh hari setelah nenekku—menemui sesuatu yang pasti di dunia—meninggal.

            Malam itu sepulangku dari kampus setelah mengikuti pelepasan pertukaran mahasiswa dari negeri tetangga, sesegera mungkin ku buka laptop untuk mengerjakan tugas. Di bawah temaram lampu kost, sedikit demi sedikit aku mulai merampungkan tugas hukum lingkungan yang harus aku presentasikan esok hari. “Aigh, akhirnya jadi juga powerpoint yang satu ini”, teriakku dalam hati sembari merebahkan badan di kasur busa yang tipis bukan main.

            Tak lama setelah aku terbangun dari rebahan, kudapati telepon genggam atau telepon selluler (ponsel) bergetar tanpa dering. Tertulis nama ayah di layar ponsel, jantungku berdegup kencang? Serasa ada marching band dari kekuatan Militer yang membentuk formasi lalu berunjuk gigi di dalam halusinasi. Ini sudah lebih dari jam sebelas malam, rasa-rasanya tak mungkin Ayah meneleponku jika tidak ada apa-apa atau sesuatu yang penting. Semakin aku menduga-duga, semakin berkecamuk perasaan yang ada.

            Benar, memang ada apa-apa dari telepon singkat ayahku tadi. “Ki tak kandani, tapi koe gak usah kaget yo! Simbah putri meninggal, koe manthok sesok esok wae(kamu aku beritahu, tapi jangan kaget! Simbah putri meninggal, kamu pulang besok pagi saja!)” kurang lebih seperti itu awal percakapan kami. Ayah mengatakan sebenarnya nenekku—ibu dari ibukku—tidak dalam keadaan sakit, ayah juga kurang tahu tentang kronologis meninggalnya nenek. Akhirnya percakapan kita berakhir ketika salam terucap dari ayah dan kemudian aku jawab.

            Bagaikan tiada tulang yang menyangga, sontak badanku lemas tak terkira. Ku matikan sound yang mendendangkan beberapa lagu dari Efek Rumah Kaca sedari tadi, laptop yang memfasilitasiku menyelesaikan tugas juga menyusul ku matikan. Cahaya kamar kost nomor 7 di jalan Sidokabul 30 padam, memang sengaja aku padamkan. Aku mencoba tidur, menenangkan diri. Berharap agar semua tadi salah atau ayah membohongiku.

            Perasaan sudah lama aku tertidur, namun waktu masih menunjukkan pukul 03.00 WIB. “Astaga, baru 3 jam aku tertidur. Tapi mengapa rasanya sudah lama sekali,” batinku. Lalu aku mencoba memejamkan mata kembali.

            Ketika fajar belum menampakkan cahayanya, dengan bantuan salah seorang teman kost aku segera bergegas menuju terminal. Perjalanan menuju kota kelahiran terbilang cukup lancar, hanya dua jam. Sesampainya di rumah, dengan bantuan sepeda motor aku melanjutkan perjalanan menuju rumah simbah. Ternyata apa yang aku harapkan tidak terjadi, tidak ada yang salah dari telepon ayah semalam.

            Ibu tersendu-sendu di sudut ruangan, kakek-pun tak kalah kalutnya. Ya allah, begini kah kuasanya Engkau? Hingga aku-pun tak dapat berkutik dengan apa yang terjadi. Dengan bantuan malaikatmu, Kau ambil orang yang sesungguhnya sangat kami sayangi. Allah, teganya Engkau membuat kakek sendiri .Tiada yang menemani lagi. Kau memang benar-benar Maha Segalanya.

            Ketika aku menulis tentang hal ini, tersirat sebuah kenangan bersama nenek. Aku tidak ingat hari apa dan tanggal berapa kala itu. Tapi yang jelas, ketika suatu sore beberapa hari menjelang bulan ramadhan tahun lalu. Aku mengantarkan nenek berziarah ke sebuah pemakaman orang tua dan kerabat-kerabatnya—berziarah sebelum bulan puasa tiba merupakan tradisi di daerah kami. Tak ku duga, itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya aku mengantarkan nenek berziarah. Karena hari ini (27/6), tepat empat puluh hari setelah nenekku—menemui sesuatu yang pasti di dunia—meninggal.

            Bagiku kehidupan ibarat sebuah pementasan wayang. Dimana manusia selain sebagai dalang, juga sebagai wayangnya. Sebagai wayang, aku sangat terpukul akan kepergian nenekku ini. Secara fisik aku harus bersedih, menampakkan wajah kehilangan karena takkan bertemu lagi. Namun, sebagai dalang secara batin aku harus tetap tegar dan tersenyum karena hal seperti ini sudah diatur dan ada yang mengatur. Terlebih kematian adalah sesuatu yang pasti di muka bumi, dan sesuatu yang pasti itu itu tak banyak di alam material ini. Selamat jalan nenek, semoga amal ibadahmu diterima oleh Allah, Tuhanmu (Amien). Mugo gusti tansah maringi dalan padang kagem simbah putri lan sedaya keluarga ingkang ditinggalaken.

*Tulisan ini dibuat guna memenuhi persyaratan pelatihan jurnalistik tingkat lanjut LPM Keadilan FH-UII.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar