Cerita perjalanan
ringan hingga akhirnya menyadari ada sebuah memori yang tertinggal.
Ketika waktu mulai beranjak tiga puluh menit dari
pukul empat sore, aku mulai bergegas mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat
Lanjut (PJTL) di Kaliurang. Tapi sejuknya putaran kipas angin di dalam kamar
kos ukuran 3X4 meter membuat aku malas untuk berkemas. Mungkin karena kaca
ventilasi kamar yang ada di lantai dua ini telah memberitahuku tentang betapa
masih panasnya suhu di luar sana. Namun lambat-lambat kuambil juga sebuah ransel.
Hanya butuh beberapa menit untuk
membuat ransel yang aku miliki sejak zaman SMA itu penuh akan barang bawaan.
Tiga potong baju ganti, lalu empat celana-dalam siap pakai berada di susunan
paling bawah. Mayoritas berwarna gelap. Laptop merk MSI lengkap dengan chargernya
ada di atas tumpukan baju, barang elektronik itu ku atur berdiri agar menempel
di punggung ketika dicangklong nanti.
Disusul sebuah kamera D-SLR tipe 450D keluaran Canon—aku berharap bisa hunting foto dan mengabadikan kegiatan
pelatihan nanti. Agar terlindung dari air hujan, semua barang bawaan aku
bungkus dengan satu plastik putih transparan, bekas wadah laundry.
Selesai mandi dan aku rasa tak ada
barang yang tertinggal lagi, mulailah ku langkahkan kaki menuju tangga.
Sesampainya di depan kamar Arif—mahasiswa ekonomi semester lima, berambut
kribo, kulitnya putih, dan murah senyum—aku lambaikan tangan pada beberapa
teman kos yang sedang asik bermain game.
“Metu sek yow (keluar dulu ya),” pamitku
pada mereka.
“Ameh nang ndi rika? Muleh opo, Bob (mau
kemana kamu? Pulang ya, Bob)?” teriak Arif dengan logat ngapak khas Cilacap.
“Ameh dolan, sek yow (mau main, duluan
ya).”
“Owh yo, ati-ati Bob (owh iya, ati-ati
Bob).”
Setelah bertele-tele karena terkendala
berbagai masalah, akhirnya aku sampai juga di lokasi PJTL berada. Wisma
Al-Kindi namanya, berada tepat di depan laboratorium tumbuhan hutan milik Perhutani.
Aku parkirkan mesin rakit buatan Jepang yang sering disebut sepeda motor di
sebelah kanan wisma.
Hmm. Jika dilihat, wisma yang terletak
di Jalan Boyong ini umurnya sudah tua. Bangunannya belum ada sentuhan
modernitas seperti perumahan-perumahan masa kini. Dengan halaman parkir yang
tidak terlalu luas, di bagian depan pojok kiri wisma terdapat kolam ikan yang
warna airnya sudah menghijau seperti lumut.
Ketika masuk ke dalam, kulihat ada dua
orang yang menurutku asing. Ternyata dialah pemateri PJTL malam ini hingga
beberapa hari ke depan. Mas Fahri Salam.
Seorang wartawan independent yang bekerja di Yayasan Pantau. Badannya kurus,
dan berperawakan sedikit jangkung. Rambutnya hampir mirip dengan temanku Arif,
namun masih sedikit rapi Mas Fahri. Matanya sedikit melotot ketika berbicara.
Dari logat bicaranya, aku tak mampu menebak dari mana asalnya. Jawa bukan
Sumatera juga bukan? Apalagi Sulawesi, lebih ngaco lagi.
Malam itu hanya diisi dengan perkenalan,
baik dari Mas Fahri ataupun peserta. Setelah itu bebas, terserah peserta mau
apa.
“Ayo ke pocian, yuk,” ajak seorang
teman. Tak ragu lagi, dengan anggukan kepala aku menyanggupi ajakannya. Dengan
beberapa motor kami menembus dinginnya angin pegunungan, membuat tubuh
menggigil jika berlama-lama berada di jalanan, kabut yang membawa tetesan air
membuat pakaian kami sedikit basah.
“Puh, sepi benar malam ini,” batinku
dalam hati. Baru semenit berada di warung poci, kabut tipis yang membalut tubuh
kami di jalan tadi sudah berubah jadi hujan. Tuntas sudah harapan warga Yogya
pada umumnya, awan jenuh yang tak kuat menahan beban akhirnya memuntahkan
butiran air yang biasa kita sebut hujan. Semoga di kota Yogya juga demikian,
agar debu-debu liar jalanan tersingkirkan. Seperti di Kaliurang ini.
Intensitas hujan bervariasi. Kadang
gerimis, yang hanya menimbulkan suara tik tik tik…. saat menyentuh atap. Kadang
bisa segede biji jagung, trang trang trang…bresssssssssss…. Derasnya luar
biasa.
Warung yang dominan dengan ornamen warna
merah muda itu juga sepi sekali. Ruangannya berkisar antara 5X9 meter. Hanya
ada kami, aku tak ingat berapa banyaknya kami. Ada satu meja di pojok kanan
warung yang dikelilingi kursi sofa, duduklah kami di situ.
Kurang lebih sejam berada di warung
yang hanya punya meja tak lebih dari delapan buah itu. Kami putuskan untuk
pulang setelah selesai menikmati pesanan yang telah habis kami lahap. Lagi-lagi
harus berhadapan dengan angin pegunungan, kali ini sehabis hujan.
Setelah sampai di wisma. Aku ingat
lagi kejadian sore tadi. Ceritanya begini, ketika salah seorang teman membuka
file-file foto di laptop aku sempat berpikir, tak lebih dari lima detik aku
bisa menyimpulkan ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu itu adalah kartu memori
kamera. Payah benar ingatanku. Sebenarnya bisa, tapi tak mungkin juga jika aku
harus kembali ke kos hanya untuk mengambil sebuah kartu memori. Aku memang
pelupa, justru hal-hal kecil seperti ini yang sering terlupakan. Rencana untuk
hunting dan mengabadikan momen harus tertunda, sayang sekali.
Ugh, kesal sekali rasanya. Memangnya
bisa apa kamera digital tanpa kartu memori? Ibarat kata bagaikan macan ompong
dan tak berkuku, hanya meraung, jika lelah akan membisu. Hal ini mengingatkan
aku pada kinerja di organisasi, tentang semua elemen itu penting. Tak ada
satupun yang dianggap pelengkap, semua adalah bagian sekalipun tidak berperan
sentral. “Agh, melantur apa aku ini?” batinku sembari berharap cepat sadar dari
lamunan.
Di ruang tamu, ada dua bantal putih
yang ditumpuk di atas karpet usang. Tanpa perlu pikir panjang, tak peduli aroma
apa yang melekat pada karpet 2X3 meter itu. Aku merebahkan diri untuk sejenak
melepas lelah. Semakin lama mata semakin berat, rasanya seperti diganduli besi satu kilo saja. “Hoe, emange
bantale nyepakne koe po (Hey, memangnya bantal itu nyediain kamu)?” teriak
temanku Yeyen. Dia yang sebenarnya menyiapkan bantal itu untuk tidurnya. Namun
aku tak ambil peduli, mata yang tinggal 5 watt ini sudah tak bisa diajak
kompromi lagi. Memori yang tertinggal juga sudah tak ku hiraukan lagi.
Lalu lepas dari terjaga, terlelaplah
aku.*