Teriknya
sinar matahari menghadirkan pengetahuan
dalam sesi formal di siang hari, pengetahuan yang terbatas akan sekat-sekat
ruangan dan atap kelas. Realitanya, hanya sebagai rutinitas. Masuk kelas, lalu
duduk sembari menanti namanya dipanggil dalam presensi. Sebagian besar
berorientasi pada sebuah penilaian formal—izinkan aku untuk menyebut mereka
anak kuliahan.
Sementara
di sisi lain, ada yang ingin terbebas dari semua itu. Tak peduli waktu terus
berputar dari pagi sampai ke pagi lagi. Hari-harinya dihabiskan di luar kelas,
tak ayal ilmu serta pengetahuan yang diperoleh jauh lebih nyata dibanding
teori-teori. Tidak berlebihan jika aku menyebutnya mahasiswa—inilah aktivis.
Perbedaan
diantara keduanya sangatlah jelas. Dimana yang pertama hanya memikirkan
pendidikan untuk dirinya sendiri, sementara yang kedua secara tidak langsung
masih menyisakan harapan bagi kelangsungan hidup orang lain, berkat sebuah rasa
kepedulian yang mereka miliki.
Kata
“maha” setelah “siswa” berarti menandakan sesuatu yang lebih. Ketika seorang
mahasiswa masih menjalani rutinitas pendidikan layaknya anak sekolah dasar dan
menengah, apakah sudah “pantas” mereka disebut mahasiswa? Sebuah pertanyaan
yang menyimpan tanda tanya besar.
Sesuai
dengan dua paragraph awal, dapat diasumsikan bahwa mahasiswa adalah bagian dari
anak kuliahan, tapi anak kuliahan belum tentu menjadi mahasiswa. Karena pada
dasarnya mahasiswa tidak hanya membaca buku untuk diri sendiri, namun mereka
juga harus mampu membaca hati dan tangis manusia yang terpinggirkan.
Paradigma
pendidikan di negeri kita memang sudah sedemikian mawut-nya, semua dilihat dari segi keformalan. Parahnya lagi biaya
pendidikan yang mahal menyebabkan banyak mahasiswa menjadi pragmatis, yang
dikejar hanya indeks prestasi dan cepat lulus, terkadang tak peduli dengan
kemampuan yang dimilikinya. Terkait biaya memang tak bisa dipungkiri, sistem
telah membuat mahasiswa mempunyai pola pikir seperti itu.
Agen
perubahan dan Kontrol Sosial
Ada
sebuah jargon yang selalu hadir saat kampus menyambut mahasiswa baru. Mahasiswa
itu harus jadi agen of change and control
social. Dua peranan penting tersebut wajib ada dalam sanubari mahasiswa
baru, lebih-lebih yang ingin jadi aktivis. Perubahan untuk siapa?
Setidak-tidaknya perubahan untuk dirinya sendiri dalam mengambil sudut pandang
berpikir—sebagai mahasiswa, bukan anak kuliahan—syukur-syukur perubahan itu
bagian dari pencerahan untuk orang lain.
Mahasiswa
harus tahu jika hidup bukanlah sebuah dikotomi, hitam-putih ataupun benar-salah
saja. Hidup merupakan perjalanan dinamika, rasa kepedulian yang diawali dari
dunia kampus niscaya akan membawa kita menjadi manusia yang dapat memanusiakan
manusia.
Kampus
didirikan tidak bertujuan untuk menciptakan robot-robot kapitalis, tapi untuk
mereka yang kritis terhadap potensi diri dan gejolak sosial yang terjadi di
dalam masyarakat. Tak usah ragu untuk menjadi seorang aktivis. Aktivis memang
rentan kena DO, namun itu hanya berlaku bagi aktivis yang malas dan
disorientasi. DO merupakan resiko yang harus ditanggung bukan hanya oleh
mahasiswa aktivis, tapi semua mahasiswa bisa mengalaminya.
Aku
lebih memilih mendapat predikat indeks prestasi (IP) rendah dengan skill tinggi daripada sebaliknya. Karena
dengan kemampuan, kita dapat membuat berkarya yang nantinya tidak menutup
kemungkinan akan mempekerjakan mahasiswa dengan predikat lulus cumlaude.
Namun,
menjadi aktivis juga perlu perhitungan. Tidak sedikit aktivis yang dis-orientasi tehadap apa yang ia
lakukan di organisasinya. Sikap selektif untuk memilih organisasi mutlak
diperlukan, agar hal-hal yang sekiranya tidak mencerminkan tingkah-laku
mahasiswa dapat dihindari. (Boy). [#]
Mantaaaaap....
BalasHapus