Senin, 24 Oktober 2011

Anak Kuliahan atau Mahasiswa

          Teriknya sinar matahari menghadirkan  pengetahuan dalam sesi formal di siang hari, pengetahuan yang terbatas akan sekat-sekat ruangan dan atap kelas. Realitanya, hanya sebagai rutinitas. Masuk kelas, lalu duduk sembari menanti namanya dipanggil dalam presensi. Sebagian besar berorientasi pada sebuah penilaian formal—izinkan aku untuk menyebut mereka anak kuliahan.

          Sementara di sisi lain, ada yang ingin terbebas dari semua itu. Tak peduli waktu terus berputar dari pagi sampai ke pagi lagi. Hari-harinya dihabiskan di luar kelas, tak ayal ilmu serta pengetahuan yang diperoleh jauh lebih nyata dibanding teori-teori. Tidak berlebihan jika aku menyebutnya mahasiswa—inilah aktivis.

          Perbedaan diantara keduanya sangatlah jelas. Dimana yang pertama hanya memikirkan pendidikan untuk dirinya sendiri, sementara yang kedua secara tidak langsung masih menyisakan harapan bagi kelangsungan hidup orang lain, berkat sebuah rasa kepedulian yang mereka miliki.

          Kata “maha” setelah “siswa” berarti menandakan sesuatu yang lebih. Ketika seorang mahasiswa masih menjalani rutinitas pendidikan layaknya anak sekolah dasar dan menengah, apakah sudah “pantas” mereka disebut mahasiswa? Sebuah pertanyaan yang menyimpan tanda tanya besar.

          Sesuai dengan dua paragraph awal, dapat diasumsikan bahwa mahasiswa adalah bagian dari anak kuliahan, tapi anak kuliahan belum tentu menjadi mahasiswa. Karena pada dasarnya mahasiswa tidak hanya membaca buku untuk diri sendiri, namun mereka juga harus mampu membaca hati dan tangis manusia yang terpinggirkan.

          Paradigma pendidikan di negeri kita memang sudah sedemikian mawut-nya, semua dilihat dari segi keformalan. Parahnya lagi biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyak mahasiswa menjadi pragmatis, yang dikejar hanya indeks prestasi dan cepat lulus, terkadang tak peduli dengan kemampuan yang dimilikinya. Terkait biaya memang tak bisa dipungkiri, sistem telah membuat mahasiswa mempunyai pola pikir seperti itu.

Agen perubahan dan Kontrol Sosial

          Ada sebuah jargon yang selalu hadir saat kampus menyambut mahasiswa baru. Mahasiswa itu harus jadi agen of change and control social. Dua peranan penting tersebut wajib ada dalam sanubari mahasiswa baru, lebih-lebih yang ingin jadi aktivis. Perubahan untuk siapa? Setidak-tidaknya perubahan untuk dirinya sendiri dalam mengambil sudut pandang berpikir—sebagai mahasiswa, bukan anak kuliahan—syukur-syukur perubahan itu bagian dari pencerahan untuk orang lain.

          Mahasiswa harus tahu jika hidup bukanlah sebuah dikotomi, hitam-putih ataupun benar-salah saja. Hidup merupakan perjalanan dinamika, rasa kepedulian yang diawali dari dunia kampus niscaya akan membawa kita menjadi manusia yang dapat memanusiakan manusia.

          Kampus didirikan tidak bertujuan untuk menciptakan robot-robot kapitalis, tapi untuk mereka yang kritis terhadap potensi diri dan gejolak sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Tak usah ragu untuk menjadi seorang aktivis. Aktivis memang rentan kena DO, namun itu hanya berlaku bagi aktivis yang malas dan disorientasi. DO merupakan resiko yang harus ditanggung bukan hanya oleh mahasiswa aktivis, tapi semua mahasiswa bisa mengalaminya.

          Aku lebih memilih mendapat predikat indeks prestasi (IP) rendah dengan skill tinggi daripada sebaliknya. Karena dengan kemampuan, kita dapat membuat berkarya yang nantinya tidak menutup kemungkinan akan mempekerjakan mahasiswa dengan predikat lulus cumlaude.

          Namun, menjadi aktivis juga perlu perhitungan. Tidak sedikit aktivis yang dis-orientasi tehadap apa yang ia lakukan di organisasinya. Sikap selektif untuk memilih organisasi mutlak diperlukan, agar hal-hal yang sekiranya tidak mencerminkan tingkah-laku mahasiswa dapat dihindari. (Boy). [#]

1 komentar: