Aku duduk membelakangi almari coklat—berisikan pakaian, sedangkan
bagian atasnya beralih fungsi menjadi rak buku—sembari melihat berita dari
televisi (TV) yang hanya 45 derajat di sebelah kiriku, jaraknya pun tak lebih
dari semester. Walaupun kipas angin yang berada di belakang laptop tempatku
menulis ini berputar dengan kencang, namun suhu panas tetap terasa di kamar
kost dengan ukuran 3 x 4 ini.
Sudah lebih dari sebulan TV-ku tak mampu bersuara, mungkin ada
kerusakan ringan pada kabel atau speakernya, dan semoga saja begitu. Tapi
setidaknya aku masih bisa melihat gambar dengan jernih. Adanya teks di tiap
berita mempermudah aku untuk mengetahui apa maksud pemberitaan tersebut,
lainnya berita sulit kupahami.
Melalui TV merk LG ini mulai ku rasakan beritanya tak berubah dibeberapa
hari terakhir, tetap itu-itu saja: kecelakaan pesawat Sukhoi super jet saat
melakukan demo penerbangan. Praktis, berita politik dan hukum yang biasanya
memenuhi tayangan berita dari awal sampai akhir sedikit berkurang intensitasnya.
Stasiun TV yang tak pernah menayangkan berita singkat, atau sering
disebut breaking news—biasanya hanya
menayangkan dua sampai tiga judul berita saja—kali ini mencoba menginformasikan
kondisi terkini kecelakaan melalui cara pemberitaan secara demikian. Seluruh
stasiun TV berlomba-lomba memberitahukan informasi sedetail-detailnya, tak
jarang mereka melaporkan langsung dari lokasi-lokasi sentral terkait dengan
kecelakaan pesawat: sekitar tempat kejadian perkara, rumah sakit Polri, dan
bandara Halim Perdanakusuma. Bahkan beberapa media TV sampai mengundang para
ahli yang memang berkompeten mengenai masalah pesawat, penerbangan, serta
pencarian dan penyelamatan korban untuk berdiskusi dalam salah satu sesi
berita. Dan aku yakin kejadian ini bakal jadi judul dalam “adu mulut” para
pengacara di stasiun TV yang identik
dengan warna merah, semoga saja tidak.
Melalui pemberitaan ini, dapat kita ketahui bersama jika peran
media—terutama media audio-visual—sangat
besar. Bahkan keluarga korban juga mengandalkan informasi dari pemberitaan media.
Pernah ku lihat dalam breaking news,
seorang keluarga yang menanti kepastian nasib saudaranya diwawancarai oleh
seorang pewarta, ia mengatakan selalu menanti informasi actual di layar kaca, seakan-akan
matanya tak ingin lepas fokus dari TV yang ada di ruang tunggu tempat mereka
mencari informasi, sekaligus berharap akan keajaiban dan kuasa Tuhan agar tetap
dipertemukan lagi dengan sanak-saudaranya yang menumpang pesawat Sukhoi,
tentunya dalam kondisi hidup.
Di sisi lain media cetak juga tak ingin kalah pamor, mereka mencoba
menampilkan foto-foto terbaru di halaman pertama sekaligus menempatkan kejadian
tersebut sebagai headline. Terkadang
disertai gambar-gambar pendukung berita yang menerangkan kronologis kecelakaan,
mungkin berita media cetak lebih mendalam dibanding laporan langsung oleh media
TV, walau hanya beberapa media, selebihnya sama saja atau justru kurang lengkap
sama sekali.
Bagiku semua informasi takkan bisa sampai ke masyarakat jika kerja
pewarta tak mendapat akses yang mudah dari berbagai pihak. Mereka kadang masih
dianggap sebagai penggangu dalam segala acara, mungkin karena jumlahnya banyak
dan peralatan yang dibawa bagaikan “senjata” bagi para pecinta ketidakadilan.
Padahal kerja mereka bukan tanpa resiko, salah satunya harus behari-hari
berpisah dengan kelurga, demi mengirimkan informasi pada masyarakat—selain karena
tuntutan ekonomi. Tapi menurutku, mereka yang benar-benar paham tugas dan
fungsi jurnalistik takkan berorientasi pada uang, melainkan tanggungjawab pada
masyarakat.
Sampai tulisan ini dibuat, saya masih yakin bila mereka
menginformasikan kejadian ini secara besar-besaran bukan karena ingin
mengalihkan isu, tapi karena paham akan fungsi dan tugas seorang pewarta.
Selalu ada mereka di balik berita. Bersama penyelamat dan relawan, mereka semuanya selalu dalam lindungan
Tuhan, karena Tuhan bersama para jurnalis yang pemberani. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar