Aku
duduk pada sebuah bangku menghadap meja belajar yang berantakan.
Sembari melihat tumpukan kertas—entah tertumpuk dari tahun berapa—aku tak
henti-hentinya berpikir dan berpikir. Aku sadar ini bukan sebuah renungan yang
melankolis, lebih-lebih puitis. Hanya kegundahan yang timbul karena kekacauan
pola pikir manusia yang semakin hari semakin “cerdas”.
Sedari sore tadi, aku banyak mendengarkan ceramah baik
melalui televisi atau bahkan mendengar kultum langsung ketika jeda sholat
tarawih. Dengan tema sama: Lailatul Qadar, hanya penyampaiannya yang beda.
Dari ceramah-ceramah itulah pikiranku terbang melayang
entah kemana. Sekarang (Senin, 13 Agustus 2012) memang malam ganjil –malam ke
25 Ramadhan 1433—bagiku, tapi bagaimana dengan mereka yang berpuasa sehari
lebih cepat dariku? Dengan kata lain mereka telah melewati malam 25 Ramadhan
kemarin.
Lucu dan menggelitik. Mengingat malam Lailatul Qadar dalam
surat Al-Qadar ayat 2 “Lailatul Qadri
Khairun min Alfi Syahr” yang jika di-Indonesiakan
berarti malam yang lebih baik dari seribu bulan ini, di negeri kita akan
terjadi pembenaran kapan turunnya malam tersebut, tentunya oleh mereka yang
berbeda pendapat tentang kapan 1 Ramadhan tiba.
*
Sebuah percakapan antara santri dengan ustad hadir dalam
menanggapi hal ini. Ketika menjelang waktu berbuka, ada sebuah diskusi kecil
antara keduanya dan disaksikan oleh santri-santri yang lain.
“Jika memang harus malam ganjil perintah Allah diturunkan
melalui para Malaikat dan Jibril sampai terbitnya fajar, berarti salah satu
dari sekian kelompok tersebut akan sia-sia untuk meraih yang lebih baik dari
seribu bulan, ya ustad?” tanya santri penasaran.
Dengan agak gelagapan sang ustad menjawab, “Bukan, bukan
begitu kesimpulannya. Jangan terlalu terburu-buru. Karena tak ada sebuah ibadah
yang sia-sia jika memang manusia paham hakekat ibadah sebagai apa.”
“Namun setidak-tidaknya mereka kurang beruntung ustad,”
sahut santrinya cepat. Lalu sang ustad tersenyum dan menunduk ke kiri,
sepertinya ustad ragu: antara akan mengangguk atau menggeleng.
Kemudian ustad menerangkan panjang lebar bahwa perbedaan
adalah rahmat, yang harus dijaga dan dihormati. “Ini masalah kepercayaan, tak
perlu mencari kambing hitam, toh kita juga tak tahu selama ini apa yang kita
kerjakan diterima atau tidak? Yang penting dengan iman kita wajib sadar akan
hakekat manusia,” jawab ustad.
Murid tersebut merasa jawaban sang guru tidak menjawab
substansi pertanyaannya, terlalu melebar kearah perbedaan secara umum bukan
mengupas perbedaan jatuhnya malam Lailatul Qadar. Hingga akhirnya adzan maghrib
berkumandang sebelum si santri mengeluarkan kata-kata lagi. Dan ustad pun
segera mengakhiri diskusi tersebut, tentunya dengan hati yang tegang,
salah-salah ia yang kewalahan jika waktu berbuka tak segera tiba.
“Ayah, ayah bangun ayah sudah ashar. Santri-santri sudah
siap sholat, tinggal menunggu Ayah untuk imam,” ujar istri ustad membangunkan
dari tidur siang.
“Astagfirullah, adzan maghrib. Sudah buka Umi, kok masih
terang?” sahutnya.
“Belum, baru Ashar.”
“Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Berarti yang aku
dengarkan dalam mimpi suara adzan Ashar ini.”
“Ayah mungkin kecapekan, mari wudlu, kasihan kalau
santri-santri menunggu terlalu lama,” ajak istri dan sang ustad mengikutinya.
Ternyata pertanyaan-pertanyaan tadi hanyalah mimpi, dari
kegalauan pikiran seorang ustad terhadap persoalan perbedaan penentuan Ramadhan,
hingga berujung kebingungannya terhadap kapan malam ganjil datang.
*
Hal tersebut barulah sebagian kecil dari upaya pencarian
kebenaran kapan datangnya malam ganjil, itu pun bagi mereka yang paham tentang
seluk-beluk ilmu agama. Jika seperti aku yang tak begitu pandai dalam hal
keagamaan ini, perasaan galau akan lebih menyayat batin tentang kekacauan
berpikir. Mau ikut siapa? Dan bisa berbuat apa tentang ketidakpahaman yang
dicampur dengan kekacauan seperti ini.
Sebagai manusia biasa, aku hanya bisa berharap, dan tak
lebih dari sebuah harapan. Semoga perbedaan ini memang atas dasar keyakinan,
bukan karena gengsi golongan atau maksud politis lainnya. Mengingat hal-hal
seperti ini sangat mungkin dipolitisasi oleh mereka yang memang punya
kesempatan untuk itu, lebih-lebih ada dua ormas yang sering menyuplai paham dalam hal ini.
Seperti apa yang diungkapkan ustad dalam mimpinya di atas
tadi, bahwa perbedaan adalah rahmat, dan kita sebagai manusia harus paham
tentang hakekat manusia dalam hal keimanan: terciptanya manusia adalah sebuah
misteri, begitu juga dengan keberadaan Tuhan. Jadi selama misteri itu tetap
menjadi misteri, selama itu pula kita perlu Tuhan. Maka kita pasrahkan hidup
kita pada-Nya, melalui iman dan takwa.
Mataku mulai lelah, namun waktu sahur sudah tiba. Kumatikan
alat pengetik tulisan ini untuk segera bergegas membangungkan keluarga. {*}
Baca Selengkapnya...