“Indonesia
adalah bagian dari desa saya – Emha Ainun Najib”
AKU
TAK TAHU, apakah masih relevan di hari pembacaan karya pada sore
hari ini, tetap
mengambil tema kampung halaman, apalagi jika hasil tulisan kita tak lebih dari sekedar buku diary.
Maaf, bagiku alangkah baiknya kalian simpan
sebagai catatan pribadi, dan membacanya sendiri sebelum tidur nanti. Belum
lagi, meskipun aku bukan dukun, perkenankan
aku mencoba sedikit menebak: sebagian besar di antara kita pasti baru menulis barang satu atau dua hari yang
lalu, bahkan hari ini.
Dan aku juga tak paham,
mengapa pihak penyelenggara tetap mempertahankan tema yang pada dasarnya—jika
sesuai jadwal—akan dibacakan pada jauh-jauh hari sebelum sekarang? Malas berpikir, sudah berpikir tapi tak
ada ide atau kah memang ini pilihan terbaik, jujur aku belum menemukan
jawabnya.
Baiklah, acuhkan sejenak dua
paragraf di atas, karena mungkin sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan
judul dan lead, tapi entah mengapa aku merasa perlu untuk menuliskannya sebagai
pembuka tulisan, mohon dimaklumi.
Sekarang mari kita bincangkan tentang sesuatu yang telah
menjadi tema.
Bicara
kampung halaman, bicara
tentang polosnya masa
kecil dan sejuta kenangan.
Tak peduli manis, asam, bahkan pahit sekalipun.
Semakin beranjak dewasa, otak kita semakin didikte oleh prestige dan kemauan pasar, kecuali bagi yang tidak, dan persetan, itu urusan pribadi masing-masing.
Aku
membaca tulisan ini di hadapan beberapa mahasiswa perantau, ada kalanya
kita—karena aku juga mahasiswa rantau—akan dipaksa kembali ke kota asal, entah sebentar atau
pada suatu saat nanti akan tetap di sana sampai
menua, kemudian tutup usia.
Ketika pulang, takkan kita dapati sesuatu yang
benar-benar sama seperti sedia kala, pasti ada sesuatu yang berubah, berbeda,
bahkan tiada. Lalu, seberapa penting kau memilikinya?
Puisi Emha Ainun Najib dengan
judul Antara Tiga Kota pun pasti berbanding terbalik dengan kondisi sekarang
yang dulu pernah ditujukkan untuk Yogyakarta. Ia pernah menulis begini:
Di Yogya aku lelap tertidur
Angin di sisiku mendengkur
Seluruh kota pun bagai dalam kubur
Pohon-pohon semua mengantuk
Di sini kamu harus belajar berlatih
Tetap hidup sambil mengantuk
Bagi mereka yang pernah muda
sejaman dengan Emha Ainun Najib, sudah pasti akan mengamini puisi indah di
atas. Tapi masihkah mereka setuju ketika pada detik ini juga, mereka dihadirkan
di Yogyakarta yang benar-benar sedang dilanda tsunami pembangunan tapi minus
perencanaan dan pengendalian serta akan
berdampak pada mengikisnya
identitas secara terencana dan laten? Mungkin puisi Emha akan sedikit berubah, berlanjut dengan pelintiran
seperti ini:
Melecut menghantam pundakku
Tiada ruang bagi diamku
Matahari memelototiku
Bising suaranya mencampakkanku
Jatuh bergelut debu
Yogya kini, sedang menuju
pertumbuhan ekonomi yang hanya didasari pada ambisi investor—yang kebanyakan
bukan warga asli Yogya—dan antisipasi pasar, bukan kebutuhan riil kota pelajar.
Aku memang tak lebih dari pendatang, tapi aku tetap tak rela jika Yogyakarta
berubah dan sedikit demi sedikit luntur
keistimewaannya. Lalu seberapa pentingkah kau memilikinya?
Tapi
mengapa
Emha Ainun Najib tak menetap di Jombang? Bukankah
di sana kampung halamannya?
Mengapa pula ia lebih memilih membuat rumah singgah di Kadipiro, Yogyakarta?
Meski di satu sisi ia sering berkelana ke berbagai wilayah di nusantara? Apakah
karena di sini ia bisa hidup dengan mengantuk seperti puisi yang ia buat di
atas? Dan bukankah kini semua hampir berbanding terbalik menuju lanjutan puisi
yang membuat jatuh bergelut debu? Agh, aku
tak perlu tahu alasan apa di balik itu semua.
Satu
yang menggajal dalam hatiku, bak sobekan daging yang nylilit di sela-sela dua gigi: Akankah Yogya, kampung halaman
sekaligus denyut nadi dinamika mahasiswa di Indonesia, menjadi abu-abu dan,
terlihat seperti lahan gersang yang dulunya pernah subur, tak bisa bertahan
dari girasnya ambisi investor. Inilah
penutup Antara Tiga Kota karya Emha:
Surabaya seperti di
tengahnya
Tak tidur seperti kerbau
tua
Tak juga membelalakkan
mata
Tetapi di sana ada kasihku
Yang hilang kembangnya
Jika aku mendekatinya
Kemanakah harus ku hdapkan
muka
Agar seimbang antara tidur
dan jaga?
Emha
pernah menulis buku berjudul Indonesia adalah Bagian dari Desaku. Desa yang tak
lagi memilih siapa dan dimana keberadaannya. Dari situ ia yakin akan tercipta
negeri kesabaran, propinsi ketekunan, kabupaten kerja keras, kecamatan mandiri,
dan desa barokah kita sendiri. Dan itu semua bisa dilakukannoleh siapapun, tak
hanya Emha.
Setiap orang pasti akan
mempunyai kecintaan yang berbeda pada kampung halamannya, dan setiap orang
bebas memilih mana kampung halaman yang ia sukai dan akan ia tinggali. Tapi,
apapun yang terjadi, Indonesia akan tetap jadi bagian dari kampung halamanmu,
kampung halamanmu, dan kampung halaman kita bersama. Maaf jika tulisan ini tak sesuai dengan tema,
kesempurnaan (katanya) milik Tuhan, bukan manusia.
Agh, entahlah, tak perlu
perdebatan si sini. Bagiku kampung halaman tak lebih dari gudang nostalgia dan
tumpukkan album tua berisi trilyunan ruang rindu. Kampung halaman bagaikan
angin yang menjadi pujaan hujan, yang selalu berkata tidurlah ketika malam
mulai resah. Ia mampu bercerita tantang gunung, juga laut. Meski tak lagi
berdua saja, kampung halaman tetap akan mengingatkan pada perempuan yang pernah
dalam pelukan, meski kini tak lebih dari sisa-sisa keikhlasan yang tak
diikhlaskan. (*)