Kamis, 17 Oktober 2013

Gelisah Karena Dakwah

Ramadhan, masa sebelum lebaran, bulan ketika penceramah muncul bak suara katak sehabis hujan. Meski temanya selalu diulang, namun tak pernah ku lihat ada protes yang datang.

SEBENARNYA TULISAN tentang peringatan hari kemerdekaan lebih menarik hati, mengapa tidak? Sekarang ini dan bahkan selama masa kemerdekaaan, negara selalu memperingati kemerdekaan dengan budaya militeristik nan formal, seolah-olah 17 Agustus hanya tentang mengibarkan dan menurunkan Sang Merah Putih semata, bukan tentang pemaknaan spiritualitas kemerdekaan. Agh, tapi tema kali ini tak ada hubungannya dengan itu, mungkin aku tulis sendiri di lain hari.

Sepekan sebelum hari kemerdekaan, umat muslim di pelosok negeri terlebih dahulu disibukkan dengan perayaan hari kemenangan pasca Ramadhan. Selama sebulan itu pula, ritual-ritual wajib maupun sunnah mereka jalankan, entah dengan ikhlas atau pakasaan bukan urusan, bukan hak kita untuk ikut campur, biarkan hanya person dan Tuhan yang tahu.

Selalu ada cerita saat Ramadhan, bisa menyenangkan, tak jarang juga mengusik hati, tinggal bagaimana perasaan dan keadaaan dalam menjalani.

Aku menikmati separuh awal Ramadhan di kota pelajar, lalu menghabiskannya di kampung halaman, meski sebenarnya niatan untuk pulang tak benar-benar bulat, entah karena apa, rasa-rasanya berlebaran di kota asal tak semenarik dua atau tiga tahun yang lalu.

Di rumah, aku baru sadar ternyata televisi begitu heboh dengan segala tayangan berbau Ramadhan. Mengingat selama di perantauan aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama kawan-kawan seperjuangan. Televisi menyajikan siaran beraneka-ragam, mulai dari iklan-iklan makanan dan minuman yang menggoda kala siang, laporan langsung arus-mudik menjelang lebaran, serta ceramah-ceramah dari ustad dadakan dengan intensitas yang meningkat signifikan. Aku mengurutkan dari yang aku senangi hingga yang tidak.

Aku beranggapan bahwa iklan makanan dan minuman yang tiap detik menggoda kita dan warung yang tetap buka di siang hari, justru merupakan sebenar-benarnya ujian bagi umat Islam yang sedang berpuasa.

Aku juga sempat terusik dengan kata-kata yang berbaris rapi di jalanan: “hormatilah orang yang berpuasa”, lucu sekali bukan? Terlepas diterima atau tidaknya puasa mereka, bukankah orang yang sedang berpuasa itu di mata Tuhan sudah terhormat tanpa harus dihormati dan tanpa harus meminta penghormatan dari orang yang tidak berpuasa? Justru di sinilah esensi tentang menahan diri harus lebih dikembangkan oleh umat Islam secara keseluruhan, bukan setengah-setengah.

Kemudian mengapa aku suka laporan arus-mudik? Karena laporan langsung atau bahasa bekennya live report bagiku seksi sekali, sedari kecil aku memang suka dengan yang satu ini. Jika kau tanyakan mengapa? Maaf, aku tak punya jawaban pasti tentang hal ini, dan aku rasa sangat tidak penting untuk dibahas di sini.

Bagiku lebih menarik kita bincangkan tentang meningkatnya volume ceramah di layar kaca saat bulan puasa, bukan begitu, bukan?

Pernah dalam suatu sahur, sebuah stasiun televisi swasta menayangkan kompetisi da’i. Bukannya senang, aku justru sedikit mengernyitkan dahi. Pesan yang disampaikan begitu datar, tak terlalu sampai ke hati, yang dipentingkan hanya penampilan dan pembawaan diri, bagiku isinya jauh panggang dari api, materinya kaku sekali, seakan-akan hanya ada agama Islam di muka bumi ini. Mungkin iya seperti itu yang terjadi, atau bisa saja aku yang terlalu kemaki.

Sebenarnya aku tak terlalu mempermasalahkan isi dan apa yang dibawakan oleh para da’i, hanya saja ada sebuah pertanyaan kecil yang mengganjal hati: pantaskah dakwah dijadikan kompetisi? Bila iya, wajar saja kini muncul banyak penceramah yang komersial nan eksis bak artis di televisi, begitu miris menyayat hati.

Ramadhan kemarin, tiap kali mendengarkan ceramah keagamaan—entah di masjid, televisi, atau forum keagamaan—aku lebih banyak mendengar tentang azab, kutukan, serta hal-hal menakutkan yang akan datang dari Tuhan suatu ketika nanti jika aku tak menjalankan perintah-Nya. Tuhan digambarkan begitu angkuh dan gila hormat, seperti kebanyakan raja nusantara pada jamannya. Padahal, bukankah Tuhannya orang Islam itu Rahman-Rahim, pengasih dan penyayang? Lalu kenapa yang ditonjolkan selalu sisi kemurkaannya? Apakah umat Islam sebegitu terpaksanya memeluk Islam, sehingga harus diintimidasi dengan bahasa yang sedemikian rupa agar mau menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya?

Aku jadi ingat, perbedaan perkataan Rama Cluring dan Liem Mo Han pada Wiranggaleng dalam Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Pengetahuan dari Rama Cluring masuk dengan begitu binal menjompak-jompak, sehingga kebanyakan penduduk Awis Krambil geram dengannya, sementara pengetahuan yang datang dari Liem Mo Han begitu tenang dan seakan-akan tak terjadi apa-apa, maka masuklah pengetahuan itu dalam hati Wiranggaleng.

Mungkin bukan sebuah perbandingan yang mudah dipahami, namun intinya aku lebih tertarik dengan dakwah yang lebih mengedepankan tentang bagaimana umat Islam beribadah dengan ikhlas karena penuh cinta, dan kasih sayang kepada Tuhan, bukan karena takut pada Tuhan.

Aku bukannya ingin menyangkal tentang azab dan kemurkaan Tuhan, aku hanya ingin para penceramah memposisikan cinta dan kasih sayang kepada Tuhan pada garda terdepan, sehingga umat Islam menjalankan ibadah tanpa rasa takut, melainkan rasa cinta dan kasih sayang pada Tuhannya.

Tuhanku Maha Pengasih dan Penyayang. Maka, Tuhanku adalah destinasi yang tepat sebagai sandaran hati, sampai nanti sampai mati. Tuhanku merupakan tujuan yang tidak salah untuk menuruti permintaan hati, sampai nanti sampai mati. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar