Ramadhan,
masa sebelum lebaran, bulan ketika penceramah muncul bak suara katak sehabis
hujan. Meski temanya selalu diulang, namun tak pernah ku lihat ada protes yang
datang.
SEBENARNYA
TULISAN tentang peringatan hari kemerdekaan lebih menarik hati,
mengapa tidak? Sekarang ini dan bahkan selama masa kemerdekaaan, negara selalu
memperingati kemerdekaan dengan budaya militeristik nan formal, seolah-olah 17
Agustus hanya tentang mengibarkan dan menurunkan Sang Merah Putih semata, bukan
tentang pemaknaan spiritualitas kemerdekaan. Agh, tapi tema kali ini tak ada
hubungannya dengan itu, mungkin aku tulis sendiri di lain hari.
Sepekan sebelum hari
kemerdekaan, umat muslim di pelosok negeri terlebih dahulu disibukkan dengan
perayaan hari kemenangan pasca Ramadhan. Selama sebulan itu pula, ritual-ritual
wajib maupun sunnah mereka jalankan, entah dengan ikhlas atau pakasaan bukan
urusan, bukan hak kita untuk ikut campur, biarkan hanya person dan Tuhan yang
tahu.
Selalu ada cerita saat Ramadhan,
bisa menyenangkan, tak jarang juga mengusik hati, tinggal bagaimana perasaan
dan keadaaan dalam menjalani.
Aku menikmati separuh awal
Ramadhan di kota pelajar, lalu menghabiskannya di kampung halaman, meski
sebenarnya niatan untuk pulang tak benar-benar bulat, entah karena apa,
rasa-rasanya berlebaran di kota asal tak semenarik dua atau tiga tahun yang
lalu.
Di rumah, aku baru sadar
ternyata televisi begitu heboh dengan segala tayangan berbau Ramadhan.
Mengingat selama di perantauan aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama kawan-kawan
seperjuangan. Televisi menyajikan siaran beraneka-ragam, mulai dari iklan-iklan
makanan dan minuman yang menggoda kala siang, laporan langsung arus-mudik
menjelang lebaran, serta ceramah-ceramah dari ustad dadakan dengan intensitas
yang meningkat signifikan. Aku mengurutkan dari yang aku senangi hingga yang
tidak.
Aku beranggapan bahwa iklan
makanan dan minuman yang tiap detik menggoda kita dan warung yang tetap buka di
siang hari, justru merupakan sebenar-benarnya ujian bagi umat Islam yang sedang
berpuasa.
Aku juga sempat terusik dengan
kata-kata yang berbaris rapi di jalanan: “hormatilah orang yang berpuasa”, lucu
sekali bukan? Terlepas diterima atau tidaknya puasa mereka, bukankah orang yang
sedang berpuasa itu di mata Tuhan sudah terhormat tanpa harus dihormati dan
tanpa harus meminta penghormatan dari orang yang tidak berpuasa? Justru di
sinilah esensi tentang menahan diri harus lebih dikembangkan oleh umat Islam
secara keseluruhan, bukan setengah-setengah.
Kemudian mengapa aku suka
laporan arus-mudik? Karena laporan langsung atau bahasa bekennya live report bagiku seksi sekali, sedari
kecil aku memang suka dengan yang satu ini. Jika kau tanyakan mengapa? Maaf,
aku tak punya jawaban pasti tentang hal ini, dan aku rasa sangat tidak penting
untuk dibahas di sini.
Bagiku lebih menarik kita
bincangkan tentang meningkatnya volume ceramah di layar kaca saat bulan puasa,
bukan begitu, bukan?
Pernah dalam suatu sahur,
sebuah stasiun televisi swasta menayangkan kompetisi da’i. Bukannya senang, aku
justru sedikit mengernyitkan dahi. Pesan yang disampaikan begitu datar, tak
terlalu sampai ke hati, yang dipentingkan hanya penampilan dan pembawaan diri,
bagiku isinya jauh panggang dari api, materinya kaku sekali, seakan-akan hanya
ada agama Islam di muka bumi ini. Mungkin iya seperti itu yang terjadi, atau
bisa saja aku yang terlalu kemaki.
Sebenarnya aku tak terlalu
mempermasalahkan isi dan apa yang dibawakan oleh para da’i, hanya saja ada
sebuah pertanyaan kecil yang mengganjal hati: pantaskah dakwah dijadikan
kompetisi? Bila iya, wajar saja kini muncul banyak penceramah yang komersial
nan eksis bak artis di televisi, begitu miris menyayat hati.
Ramadhan kemarin, tiap kali
mendengarkan ceramah keagamaan—entah di masjid, televisi, atau forum keagamaan—aku
lebih banyak mendengar tentang azab, kutukan, serta hal-hal menakutkan yang
akan datang dari Tuhan suatu ketika nanti jika aku tak menjalankan perintah-Nya.
Tuhan digambarkan begitu angkuh dan gila hormat, seperti kebanyakan raja
nusantara pada jamannya. Padahal, bukankah Tuhannya orang Islam itu Rahman-Rahim, pengasih dan penyayang?
Lalu kenapa yang ditonjolkan selalu sisi kemurkaannya? Apakah umat Islam
sebegitu terpaksanya memeluk Islam, sehingga harus diintimidasi dengan bahasa
yang sedemikian rupa agar mau menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya?
Aku jadi ingat, perbedaan
perkataan Rama Cluring dan Liem Mo Han pada Wiranggaleng dalam Arus Balik karya
Pramoedya Ananta Toer. Pengetahuan dari Rama Cluring masuk dengan begitu binal
menjompak-jompak, sehingga kebanyakan penduduk Awis Krambil geram dengannya,
sementara pengetahuan yang datang dari Liem Mo Han begitu tenang dan
seakan-akan tak terjadi apa-apa, maka masuklah pengetahuan itu dalam hati
Wiranggaleng.
Mungkin bukan sebuah perbandingan
yang mudah dipahami, namun intinya aku lebih tertarik dengan dakwah yang lebih
mengedepankan tentang bagaimana umat Islam beribadah dengan ikhlas karena penuh
cinta, dan kasih sayang kepada Tuhan, bukan karena takut pada Tuhan.
Aku bukannya ingin menyangkal
tentang azab dan kemurkaan Tuhan, aku hanya ingin para penceramah memposisikan
cinta dan kasih sayang kepada Tuhan pada garda terdepan, sehingga umat Islam
menjalankan ibadah tanpa rasa takut, melainkan rasa cinta dan kasih sayang pada
Tuhannya.
Tuhanku Maha Pengasih dan
Penyayang. Maka, Tuhanku adalah destinasi yang tepat sebagai sandaran hati,
sampai nanti sampai mati. Tuhanku merupakan tujuan yang tidak salah untuk
menuruti permintaan hati, sampai nanti sampai mati. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar