Sekarang
adalah waktu dimana aku sudah berada di ujung masa kuliah. Melahirkan gelisah,
takut menentukan arah, meski pasrah hanya akan berujung kalah.
SELASA
DINI hari tanggal
ketiga bulan Desember. Rembulan sembunyi di balik mendung, burung peliharaan
menekuk kepala dalam kandang. Sejam yang lalu ayam tetangga berkokok
berkali-kali. Kini suara jangkrik mulai berisik, meski muadzin sedang
mengumandangkan adzan Subuh semerdu mungkin.
Aku masih terjaga, sepertinya
mata ingin melihat fajar yang sebentar lagi tiba. Kantuk yang sedari tengah
malam tadi terasa, kini sudah lenyap. Pikiran yang mustinya diistirahatkan,
dikecualikan untuk mengusir kegundahan. Sebuah aplikasi di komputer lipat
menjadi sarana untuk bercerita, Cerita ini mudah dimengerti oleh orang yang
mudah paham, namun bukan konsumsi untuk kalian yang tak pernah mau tahu apa
yang sedang orang lain lakukan. Mungkin begini awalnya:
Setelah pindahnya tali toga di
kepala, satu per satu dari mereka mulai angkat kaki, namun entah mengapa aku merasa
masih harus tetap berdiri di posisi ini. Lalu komentar selalu datang bertubi,
dari kanan juga kiri, dan hampir semua tak paham dengan penjelasan yang memang
sulit dimengerti.
Ini bukan tentang gengsi atau
eksistensi, tapi terlalu berlebihan jika dikatakan tentang isi hati, takutnya
dibilang sok suci atau sok punya komitmen tinggi. Meski pada nyatanya, hidup
hanyalah mampir sok-sok’an semata. Kita pun tinggal pilih mau jadi sok apa,
karena tulus yang katanya berasal dari hati itu juga sulit diukur, terlebih ketika
semua bisa dibungkus dengan kepalsuan.
Kurang dari dua minggu lagi,
semua akan berakhir. Bukan lepas, hanya sedikit berubah. Baru dua bulan setelah
bulan kedua tahun depan semua akan benar-benar hilang, lalu jadi kenangan. Ya,
sulit dimengerti bukan? Baiknya anda sudahi saja membaca cerita ini.
Hari pertama Desember kemarin
membuatku merasa terharu, ada kejadian dimana aku merasa bangga menjadi bagian
dari kalian, dan begitu takut untuk kehilangan. Mungkin ini berlebihan, tapi
jujur itu yang benar-benar aku rasakan. Walaupun aku tahu ini tak lebih dari
sekedar melankolia, dramatisasi, dan konsekuensi dari berpikir dengan perasaan.
Aku pernah merasa tersesat di
sini, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku sedang tersesat di jalan yang
benar dan masuk akal. Semua berjalan begitu saja, cepat sekali, dan lagi-lagi
sulit dimengerti. Inilah cerita yang tak bisa bercerita selama empat setengah
tahun ini, dan harus ku akhiri di sini karena tak semua layak untuk
diceritakan, juga aku tak mumpuni untuk menceritakan.
Terima kasih untuk kepercayaan
selama ini, aku berhutang untuk semua. Maaf bila aku tak bisa menjadi lilin
ketika gelap, karena aku percaya kegelapan akan melahirkan matahari: selalu
memberi tak harap kembali.
Langit mulai memerah, kokok
ayam bersahutan di pekarangan. Suara air yang beradu dengan gayung dan badan
manusia sudah terdengar di sana-sini. Selamat beraktivitas. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar