Selasa, 29 April 2014

Buku

Bisu dan tuli, tapi banyak arti

Sudah seminggu lebih buku ini ada di tangan, pinjaman dari seorang pemuda Banten yang berhasil memprovokasiku malam itu. Ia memang gemar bercerita tentang apa yang baru ia baca, sebuah hobi yang bermanfaat untuk teman dungu sepertiku. Meski harus diakui wawasan kita terbatas, lebih-lebih setelah aku membaca buku pinjaman darinya sekarang. Selama ini aku merasa seperti terlalu menikmati lucunya warna-warni ikan dan terumbu karang indah di dasar laut, tanpa pernah ingin tahu dunia apa yang ada di permukaan air.

Terima kasih kawan, kegemaranmu mencerahkan. Ya, setidaknya nongkrong sampai pagi tak hanya sebatas forum haha-hihi. Selalu ada sesuatu yang bisa dikupas secara mendalam, sesederhana apapun objeknya.

Buku dengan sampul warna putih, dan bergambar mawar yang terinjak jejak sepatu tentara itu menceritakan perjalanan seorang aktivis. Dari mulai masa kanak-kanak, hingga menjadi pemberontak, sampai kini menjadi bagian dari partai oposisi. Bukan tentang siapa dia saat ini yang membuatku kagum, tapi tentang cita-cita dan perjuangan yang ia lakukan untuk cita-cita tersebut.

“Momentum saat seorang bertemu buku itu adalah saat dirinya sedang ditinggikan melebihi ukuran badannya,” bunyi salah satu kalimat yang menginspirasi dalam buku itu. Ada beberapa perumpamaan lagi selain ditinggikan melebihi ukuran badan, meski substansinya sama: momentum bertemunya manusia dengan buku.

Sayang, selesai membaca saja belum, lebih-lebih mengembalikan. Maafkan aku, kawan. Anak-Anak Revolusi itu aku pinjam terlalu lama, akan ku kembalikan secepatnya setelah tamat.

Aku sendiri bertemu dengan buku lalu akrab dengannya baru ketika menginjak semester satu, tepatnya lima tahun yang lalu. Awalnya aku meminjam dari kakak tingkat, sebuah tertralogi: empat buku. Aku berniat meminta keempat buku sekaligus, tapi ia melarang. “Satu dulu dirampungin, baru baca yang lain,” ujarnya jengkel.

Tampaknya larangan itu ada benarnya, untuk melahap satu buku saja aku butuh waktu lebih dari sebulan, dasar tak pernah membaca buku! Aku memang bukan kutu buku, dan itu pertama kalinya dalam hidup, aku baca buku dengan tebal lima ratus halaman. Masa kanak-kanak sampai habis remajaku tak pernah dekat dengan buku, mungkin karena orang tua tak pernah mengenalkannya padaku.

Bapak dan ibuku juga jauh dari buku, mereka hanya lulusan SMP yang gigih memperbaiki taraf hidup masa depan mereka: aku dan adikku. Justru tahun lalu akulah yang memperkenalkan buku dengan mereka, juga untuk adikku. Bagi bapak dan ibu, tiada hari tanpa bekerja, meski tanggal merah sekalipun. Semua dilakoni agar aku dan adikku melebihi pendidikan mereka. “Meski bapak ibumu hanya lulusan SMP, tapi kami bertekad untuk mengantarkanmu, juga adikmu sampai ke perguruan tinggi,” janji bapak dulu.

Tekad yang luar biasa, bahkan salah satu putranya sudah menyandang gelar sarjana dengan predikat cumlaude. Predikat yang ku yakini bapak dan ibu tak paham, sebelum akhirnya aku jelaskan. Aku pun sadar bahwa tak ada yang perlu dibanggakan dari predikat itu, karena bagiku: untuk apa cumlaude jika otak kita tetap saja kolot? Seperti yang tertulis di atas meja tivi kamar koskuc sejak setahun lalu. Posisinya persis di dinding ujung kasur, harapannya agar selalu terbaca saat hendak terpejam sekaligus ketika nanti aku membuka mata.

Buku memang jendela dunia. Pernah suatu ketika, aku berjumpa dengan seorang teman lama dalam acara buka bersama. Ia teman SMP, lalu melanjutkan sekolah di pondok pesantren ternama di kota Solo, lantas aku tanyakan padanya tentang apakah ustad-ustad ini (ada dua nama ustad besar) masih mengajar di sana? Sambil aku sisipi pertanyaan tentang misi dua ustad itu selain mendakwah? Ia kaget bukan kepalang, seketika itu pula ia tanya balik, apa aku jadi santri juga di sana? Setidaknya jadi santri di kawasan kota Solo?

Jelas tidak mungkin, nyata-nyata aku tak pernah sekolah atau kuliah di sana. Aku tahu nama dua ustad itu dari buku: Temanku Teroris? Karya Noor Huda Ismail. Novel non-fiksi tentang perjalanan hidup penulis dengan teman-temannya saat dan setelah menjadi santri di salah satu pondok pesantren di Solo bagian selatan. Hingga akhirnya Noor Huda mengetahui salah satu terdakwa bom Bali adalah temannya kala menjadi santri. Mereka dipertemukan lagi setelah lama berpisah, tapi dengan atmosfer yang beda. Huda menjadi jurnalis, sementara temannya divonis mati.

Sejak peristiwa tiga tahun lalu tersebut, aku benar-benar merasakan ternyata buku bisa mengantarkan kita satu tingkat lebih awal dari kenyataan, luar biasa. Aku ingin menularkan kegemaran baru ini pada bapak, ibu, adik, pun juga untuk bekas teman dekat. Keluargaku tertarik, bahkan bapak dan adikku mulai kecanduan membaca. Tapi sayang, sepertinya bekas teman dekatku tak bernasib sama, ia tak suka. Mungkin sampai sekarang buku yang aku beri belum ditamatkannya, maaf ya hadiah ulang tahunmu kala itu terlalu biasa, beda dengan lainnya. Mungkin aku terlalu memaksamu untuk suka membaca sastra.

Jangan besar kepala ya, karena aku ingin memperkenalkan sastra bukan hanya padamu saja, namun pada semua manusia, mengingat Pramoedya Ananta Toer pernah bilang bahwa kita boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kita tinggal hanya hewan yang pandai. Anis Baswedan pun pernah menulis di twitter pada 3 Juli 2013: Baca buku teks itu harus, baca buku bidang studi-nya itu baik dan perlu, tapi baca karya sastra itu baru mantap.#bacaan kuliah. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar