Bisu dan tuli, tapi banyak arti
Sudah
seminggu lebih buku ini ada di tangan, pinjaman dari seorang pemuda Banten yang
berhasil memprovokasiku malam itu. Ia memang gemar bercerita tentang apa yang
baru ia baca, sebuah hobi yang bermanfaat untuk teman dungu sepertiku. Meski
harus diakui wawasan kita terbatas, lebih-lebih setelah aku membaca buku
pinjaman darinya sekarang. Selama ini aku merasa seperti terlalu menikmati
lucunya warna-warni ikan dan terumbu karang indah di dasar laut, tanpa pernah
ingin tahu dunia apa yang ada di permukaan air.
Terima
kasih kawan, kegemaranmu mencerahkan. Ya, setidaknya nongkrong sampai pagi tak
hanya sebatas forum haha-hihi. Selalu ada sesuatu yang bisa dikupas secara
mendalam, sesederhana apapun objeknya.
Buku
dengan sampul warna putih, dan bergambar mawar yang terinjak jejak sepatu
tentara itu menceritakan perjalanan seorang aktivis. Dari mulai masa
kanak-kanak, hingga menjadi pemberontak, sampai kini menjadi bagian dari partai
oposisi. Bukan tentang siapa dia saat ini yang membuatku kagum, tapi tentang
cita-cita dan perjuangan yang ia lakukan untuk cita-cita tersebut.
“Momentum
saat seorang bertemu buku itu adalah saat dirinya sedang ditinggikan melebihi
ukuran badannya,” bunyi salah satu kalimat yang menginspirasi dalam buku itu. Ada
beberapa perumpamaan lagi selain ditinggikan melebihi ukuran badan, meski
substansinya sama: momentum bertemunya manusia dengan buku.
Sayang,
selesai membaca saja belum, lebih-lebih mengembalikan. Maafkan aku, kawan. Anak-Anak
Revolusi itu aku pinjam terlalu lama, akan ku kembalikan secepatnya setelah tamat.
Aku
sendiri bertemu dengan buku lalu akrab dengannya baru ketika menginjak semester
satu, tepatnya lima tahun yang lalu. Awalnya aku meminjam dari kakak tingkat,
sebuah tertralogi: empat buku. Aku berniat meminta keempat buku sekaligus, tapi
ia melarang. “Satu dulu dirampungin,
baru baca yang lain,” ujarnya jengkel.
Tampaknya
larangan itu ada benarnya, untuk melahap satu buku saja aku butuh waktu lebih
dari sebulan, dasar tak pernah membaca buku! Aku memang bukan kutu buku, dan itu
pertama kalinya dalam hidup, aku baca buku dengan tebal lima ratus halaman.
Masa kanak-kanak sampai habis remajaku tak pernah dekat dengan buku, mungkin
karena orang tua tak pernah mengenalkannya padaku.
Bapak
dan ibuku juga jauh dari buku, mereka hanya lulusan SMP yang gigih memperbaiki
taraf hidup masa depan mereka: aku dan adikku. Justru tahun lalu akulah yang
memperkenalkan buku dengan mereka, juga untuk adikku. Bagi bapak dan ibu, tiada
hari tanpa bekerja, meski tanggal merah sekalipun. Semua dilakoni agar aku dan
adikku melebihi pendidikan mereka. “Meski bapak ibumu hanya lulusan SMP, tapi
kami bertekad untuk mengantarkanmu, juga adikmu sampai ke perguruan tinggi,”
janji bapak dulu.
Tekad
yang luar biasa, bahkan salah satu putranya sudah menyandang gelar sarjana
dengan predikat cumlaude. Predikat
yang ku yakini bapak dan ibu tak paham, sebelum akhirnya aku jelaskan. Aku pun sadar bahwa tak ada yang perlu dibanggakan dari predikat
itu, karena bagiku: untuk apa cumlaude
jika otak kita tetap saja kolot? Seperti yang tertulis di atas meja tivi kamar
koskuc sejak setahun lalu. Posisinya persis di dinding ujung kasur, harapannya
agar selalu terbaca saat hendak terpejam sekaligus ketika nanti aku membuka mata.
Buku
memang jendela dunia. Pernah suatu ketika, aku berjumpa dengan seorang teman
lama dalam acara buka bersama. Ia teman SMP, lalu melanjutkan sekolah di pondok
pesantren ternama di kota Solo, lantas aku tanyakan padanya tentang apakah
ustad-ustad ini (ada dua nama ustad besar) masih mengajar di sana? Sambil aku
sisipi pertanyaan tentang misi dua ustad itu selain mendakwah? Ia kaget bukan
kepalang, seketika itu pula ia tanya balik, apa aku jadi santri juga di sana?
Setidaknya jadi santri di kawasan kota Solo?
Jelas
tidak mungkin, nyata-nyata aku tak pernah sekolah atau kuliah di sana. Aku tahu
nama dua ustad itu dari buku: Temanku Teroris? Karya Noor Huda Ismail. Novel
non-fiksi tentang perjalanan hidup penulis dengan teman-temannya saat dan
setelah menjadi santri di salah satu pondok pesantren di Solo bagian selatan.
Hingga akhirnya Noor Huda mengetahui salah satu terdakwa bom Bali adalah
temannya kala menjadi santri. Mereka dipertemukan lagi setelah lama berpisah,
tapi dengan atmosfer yang beda. Huda menjadi jurnalis, sementara temannya
divonis mati.
Sejak
peristiwa tiga tahun lalu tersebut, aku benar-benar merasakan ternyata buku
bisa mengantarkan kita satu tingkat lebih awal dari kenyataan, luar biasa. Aku
ingin menularkan kegemaran baru ini pada bapak, ibu, adik, pun juga untuk bekas
teman dekat. Keluargaku tertarik, bahkan bapak dan adikku mulai kecanduan
membaca. Tapi sayang, sepertinya bekas teman dekatku tak bernasib sama, ia tak
suka. Mungkin sampai sekarang buku yang aku beri belum ditamatkannya, maaf ya
hadiah ulang tahunmu kala itu terlalu biasa, beda dengan lainnya. Mungkin aku
terlalu memaksamu untuk suka membaca sastra.
Jangan
besar kepala ya, karena aku ingin memperkenalkan sastra bukan hanya padamu
saja, namun pada semua manusia, mengingat Pramoedya Ananta Toer pernah bilang
bahwa kita boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar
kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kita tinggal hanya hewan
yang pandai. Anis Baswedan pun pernah menulis di twitter pada 3 Juli 2013: Baca
buku teks itu harus, baca buku bidang studi-nya itu baik dan perlu, tapi baca
karya sastra itu baru mantap.#bacaan kuliah.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar