Keris, senjata tikam tradisional yang beralih fungsi menjadi sarana budaya di kawasan Nusantara, khususnya bagian tengah dan timur (Jawa). Bagiku keris Jawa berbeda dengan senjata tajam lainnya. Cukup sulit untuk membedakan antara yang satu dengan lainnya, tapi setidak-tidaknya unsur keris Jawa bisa dijadikan alasan tentang berbagai pertanyaaan-pertanyaan di luar sana.
Bentuknya khas, tiada dua di dunia. Terdiri dari berbagai bagian: bilah, gagang, dan sarung atau pembungkus. Bilah (wilah:Jawa atau daun keris) dibuat berkelok-kelok, berkeloknya bilah dipercaya untuk meminimalkan penderitaaan sang tertikam. Ini menandakan bahwa orang Jawa begitu lembut, sekalipun dalam peperangan.
Bilah tak dapat berdiri sendiri tanpa adanya penopang, atau gagang keris, dan juga sering disebut hulu keris. Keris yang menawan tak bisa dipisahkan dengan nilai estetika, karena itulah ukiran indah selalu menghiasi gagang keris. Salah satu ciri peradaban seni Jawa, terlepas semua itu terdapat campur tangan budaya asing atau tidak.
Ilustrasi Keris |
Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris (warangka:Jawa). Sebagai pertanda ketidak-seronokan masyarakat Jawa, sebuah keris-pun harus dibungkus sedemikian rupa. Kesan menyeramkan dan tak elok (saru:Jawa) pada senjata tajam akan luntur, ketika keris berada dalam sarung yang berukir indah dan dilengkapi padanan warna yang tepat. Hanya keindahan yang tersisa.
Masyarakat jawa memang tak bisa dipisahkan dengan mitos, begitupun juga dalam pembuatan keris. Konon masyarakat Jawa percaya pembuatan keris sebagai senjata tajam membutuhkan berbagai syarat yang pelik, diantaranya prihatin. Prihatin dalam Jawa biasa diartikan perih yang hanya disimpan dan dirasakan di dalam batin. Bentuknya bermacam-macam -puasa, bertapa, atau hanya sekedar membakar dupa-. Ini memang mitos, suatu keseimbangan yang rawan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.
Setelah bagian-bagian serta berbagai hal yang bersyarat menjadi satu kesatuan dengan nama keris. Dari situlah keris sering dipercaya memiliki kekuatan gaib. Tidak sedikit yang menilai kekuatan gaib berada di luar ranah kelogikaan manusia. Memang benar, tetapi aku-pun juga berhak beranggapan jika kelogikaan manusia itu ada batasnya.
Banyak kalangan yang selalu menertawakan, mencibir, bahkan menyalahkan mitos Jawa, tapi siapa yang berhak menyebut kepercayaan orang lain itu takhayul? Bagiku sah-sah saja ketika kita beranggapan diri sendiri benar, tapi bukan paling benar, dan yang terpenting tidak menilai orang lain salah.
Ketika anda beranggapan jika tulisan di atas hanya imajinasi penulis, itu benar. Tapi ketika anda menilai tulisan itu salah, sepertinya anda harus membuat tulisan tandingan sebagai pencerahan, untuk mencari sesuatu yang hilang dalam mimpi yang sempurna. Sekian dan terima kasih.
Baca Selengkapnya...