Sragen memanas. Panasnya bukan karena musim kemarau, melainkan karena pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Sragen 2011. Situasi kabupaten yang berada sekitar 30 km sebelah timur Kota Surakarta memang sedang tidak kondusif seperti biasanya. Hingar-bingar pemilukada terlihat jelas di seluruh pelosok kabupaten dengan kepadatan penduduk 909 jiwa/km² ini.
Siapapun di antara mereka yang naik tahta, wajib melunasi hutang-janji pada rakyatnya. |
Seminggu yang lalu, ketika aku pulang. Aku melihat keanehan demokrasi di kota kelahiranku itu. Sebentar, aku lupa tanggalnya. Tapi yang jelas hari itu adalah hari libur nasional, hari raya nyepi tahun baru Saka 1933 tepatnya. Nach, pada saat itulah keanehan itu muncul. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, iring-iringan kendaraan bermotor dengan pakaian serba kuning melambaikan tangannya. Lambaian yang akhirnya ku ketahui mengisyaratkan angka 5 (lima), dapat anda bayangkan sendiri lambaian itu.
Ketika toleransi diabaikan, bangsa plural akan kehilangan panjinya. Dahulu sewaktu sekolah dasar (SD) diajarkan tentang tri kerukunan umat beragama dan toleransi, tragisnya saat melihat kekuasaan pelajaran itu seakan sirna. Ingat, minoritas bukan berarti tak ada dan jangan pernah dianggap tiada.
Owh, betapa pilunya pemilukada ini? Hari yang seharusnya difungsikan untuk memberi ruang beribadah bagi umat beragama lain harus tercoreng oleh kejadian itu. Aku menghujat manusia penuh lambaian yang serasa tak berdosa itu, jangankan ketika beribadah? Saat bekerja-pun pasti akan merasa terganggu dengan raungan knalpot motor dan dentuman soundsystem. Sekarang hujatanku tak lagi tertuju pada manusia dengan jersey tertentu lagi. Tapi, pada aparat yang berwenang, hati ini menggugat.
Bagaimana tidak? Mengacu dengan Peraturan KPU No14/2010, masing-masing peserta Pilkada wajib memberitahukan agenda kampanye mereka dan izin kepolisian kepada Panwaskab. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan kampanye bisa terpantau serta mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan yang mungkin terjadi selama kampanye.
Sepertinya aparat tidak pernah mau belajar tentang keberagaman bangsa Indonesia, keberagaman yang bisa menyulut konflik berkepanjangan. Isu SARA yang selalu memicu gejolak sosial hanya seperti angin lalu. Ketika semua ini dipelihara, bukan tidak mungkin suatu saat nanti kita dan bangsa Indonesia menerima akibatnya. Layaknya bom waktu, dimana dan kapan saja bisa diledakkan.
Bagiku toleransi bukan hanya tanggungjawab negara, tapi juga internal pemeluk agama dan antar kerukunan umat beragama secara eksternal. Dengan demikian kebebasan beragama dan berkeyakinan akan lebih terjamin di negeri yang plural ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar