Susah,
berat dan mahalnya mendapatkan air bersih pasca erupsi Merapi 2010.
Ilustrasi |
Sepulang dari barak pengungsian, permasalahan air menjadi
permasalahan pelik bagi eks-pengungsi erupsi Merapi,. Saat itu saluran air yang
biasanya disuplai PT. Arga Jasa mati total. Tak ada pilihan lain bagi Siti,
kecuali menunggu hujan.
Ngangsu—mengambil air dari mata air dengan gentong, gallon,
jerigen, dll—di Telaga Putri juga sering dilakukan Siti dan tetangganya ketika
mengetahui saluran air tak mengalir lagi . Bantuan dari pemerintah hanya
berjalan beberapa bulan pasca erupsi. Antrian panjang ketika mobil tangki yang
membawa air bersih datang sudah tak terelakan lagi, paling cepat Siti
membutuhkan waktu tigapuluh menit. Ini khusus untuk dikonsumsi, lainnya tidak
diperkenankan.
Setelah tangki-tangki bantuan
pemerintah habis masa kontraknya, Siti mulai gelisah. “Bantuan dari pemerintah
itu cuma kontrak untuk beberapa bulan saja,” kata Siti. PT. Arga Jasa sempat berjanji perbaiki
saluran mati selama tiga bulan. Seiring waktu, janji itu hanya isapan jempol.
Kabar yang santer beredar, ada batu besar yang membuat saluran macet. PT. Arga
Jasa tak sanggup menanggung biaya untuk memecah batu itu.
Hujan sudah jarang, namun Siti tak
habis akal. Ia berusaha menyediakan air bersih di tempatnya bekerja.
Satu-satunya alternatif adalah membelinya dari mobil tangki secara pribadi.
Satu kali kirim 5.000 Liter, harganya berkisar antara Rp 50.000-70.000.
Penduduk sekitar Kaliurang harus rela
merogoh kocek lebih dalam untuk urusan
ini, termasuk Siti. Siti adalah pelanggan jasa tangki air tersebut, oleh karena
itu dia sedikit mendapat keringanan biaya. “Kalau saya kan langganan, jadi cuma
Rp 50.000 per tangki, kalau yang lain bisa 70.000,” Siti tertawa.
Ngungsi, bukan hanya pas Merapi sedang
bergejolak. Beberapa bulan pasca erupsi, Siti juga harus ngungsi ke sungai
untuk sekedar mencuci baju. “Pokoknya hanya ngangsu dan ngungsi,” ceritanya.
Kini untuk mencukupi kebutuhan air di
penginapan yang ia kelola, Siti memang sudah tak repot lagi. Pasalnya sudah ada
saluran air baru, walaupun tidak mengalir setiap saat seperti dulu. “Sekarang
sudah ada saluran baru, tapi beda PT., bukan Arga Jasa lagi. Katanya biar rata,
mengalirnya pas jam enam sampai sembilan pagi saja,” jelas Siti. Itupun
sebenarnya jatah untuk rumah Siti—hanya warga asli Kaliurang yang mendapat
jatah saluran—letaknya tak jauh dari penginapan yang ia kelola. “Saya rela
saluran dipasang di sini, mau bagaimana lagi? Saya kerjanya di sini,”
ungkapnya.
Untuk keperluan sehari-hari di rumah, senenarnya
Siti juga memerlukan air bersih. Mertuanya yang sakit stroke kini tinggal di
rumah bersama suami, mertuanya membutuhkan sarana dan pra-sarana yang sehat.
Salah satunya air, baik untuk dikonsumsi atau keperluan lain. Padahal jika ada
tamu yang menyewa penginapan, ia harus meniggalkan segala urusan rumah. Mau tak
mau semua urusan diserahkan suaminya.
Siti hanyalah satu di antara seluruh
penduduk lereng Merapi yang harus bersusah payah mendapatkan air bersih.
Pegunungan identik dengan airnya yang melimpah, namun kini harus belanja untuk
urusan yang satu ini. Bantuan pemerintah hanya sebatas kontrak bulanan, selebihnya
tak ada lagi. Walau kini sudah mengalir, tapi intensitasnya tak seperti dulu
lagi. Jarak antara berhentinya bantuan pemerintah dengan jadinya saluran baru
adalah masa-masa dimana Siti harus bersusah-payah untuk mendapat air demi
kelangsungan pekerjaannya sebagai pengelola penginapan. Besar harapan Siti agar
saluran yang baru kembali mengalir 24 jam non-stop.#
sekarang udah musim ujan, mudah2an air di merapi bisa mengalir seperti biasa...
BalasHapusAmien, semoga saja demikian.
BalasHapus