Kita sering menjumpai putusan hakim yang kontroversial di mata masyarakat, hal ini tak lain dan tak bukan karena adanya benturan antara kepastian hukum yang diagung-agungkan oleh kebanyakan Hakim, sementara masyarakat menginginkan keadilan.
Selalu ada tikungan di setiap jalan yang lurus, begitu juga seharusnya penegak hukum bekerja. Kepastian hukum harus fleksibel mengikuti rasa keadilan. (Foto by Bobby A. Andrean) |
Keadilan. Sebuah kata sederhana, namun sarat akan polemik yang berkepanjangan. Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Mengingat setiap keadilan pada satu pihak, di sisi lain selalu ada pihak yang merasa dan merasakan ketidakadilan. Ketika ada sebuah pertanyaan tentang dari mana datangnya keadilan, manusia humanis akan mengatakan keadilan datang dari hati nurani yang bermartabat. Tapi hati nuraninya siapa? Pasalnya setiap manusia mempunyai kapasitas hati nurani yang berbeda: penjahat takkan sehati nurani dengan penjahit, begitu juga sebaliknya.
Sedari dulu, kata keadilan sangat identik dengan putusan-putusan Lembaga Peradilan, sehingga banyak yang mengartikan bahwa putusan Pengadilan haruslah bersumber dari hati nurani. Lalu darimana datangnya hati nurani Pengadilan? Apakah Tuhan dengan serta-merta menciptakan keadilan di Lembaga-Lembaga Peradilan dengan begitu saja, tentu tidak dan itu jawaban yang terlalu berlebihan. Tuhan memang Maha Adil—tak ada tawar-menawar tentang hal tersebut, meskipun ada, rasa-rasanya tak etis—namun bukan pengadilan dunia konteksnya, melainkan dosa dan pahala untuk keabadian ciptaan-Nya di akherat. Keadilan sebuah putusan Lembaga Peradilan akan bergantung pada penegaknya, kewenangan ini diamanahkan pada sebuah organ inti setiap Lembaga Peradilan, yakni pada Hakim.
Sangat ironis memang, di negara yang sudah terbebas dari penjajah setengah abad lebih ini, Hakim di Lembaga Peradilannya masih dan hanya bertindak sebagai corong undang-undang, namun hati nuraninya mati oleh tumpukan kertas yang disusun manusia pendahulunya. Hakim menilai putusan yang dibuatnya sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, artinya putusan tersebut telah memenuhi standar asas kepastian hukum. Sehingga di zaman modern ini, masyarakat sering menemukan putusan-putusan yang kontroverisal karena Hakim menempatkan asas kepastian hukum di posisi terdepan, bukan asas keadilan.
Kepastian hukum selayaknya dan seharusnya melahirkan sebuah putusan menjadi lebih adil, dengan kata lain kedua asas tersebut bisa saling melengkapi. Namun, realita kekinian sangat bertolak delakang dengan hal tersebut. Hakim mengedepankan kepastian hukum,sementara keadaan sosial mengharapkan keadilan. Keadilan dan Kepastian hukum bagaikan air dan minyak, walaupun ditempatkan dalam satu wadah, tapi keduanya tak dapat bercampur, seperti mengeksklusifkan unsurnya masing-masing.
Dalam berbagai kasus hukum, banyak sekali pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Terakhir publik dikejutkan dengan peradilan yang menyidangkan seorang remaja dengan dakwaan mengambil sandal gunung milik anggota Kepolisian di Palu. Walaupun persidangan sudah sesuai dengan protap, namun kebenaran remaja tersebut kedapatan mencuri sebenarnya masih dipertanyakan. Karena remaja tersebut mengaku bahwa mengambil sandal di jalan depan rumah, sehingga ia mengira sandal itu tak bertuan. Teman remaja itu juga mengakui demikian, di persidangan pun barang bukti yang dihadirkan juga berbeda dari ukuran serta mereknya. Lalu adilkah ketika awalnya remaja itu didakwa dengan pasal pencurian 362 KUHP dengan kurungan penjara 5 tahun? Secara kepastian hukum memang benar, namun adilkah hal tersebut? Kita wajib bertanya pada hati nurani kita masing-masing. Untung saja walaupun Hakim menyatakan remaja itu bersalah, namun ia membebaskannya. Dahulu diakhir tahun 2009, seorang nenek yang mengambil biji coklat juga harus menjalani persidangan. Padahal biji itu tak jadi ia ambil, ia sudah mengembalikan biji itu pada petugas keamanan. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian seperti ini.
Berita terbaru saat ini, mantan Bupati di kabupatenku mendapat vonis bebas. Hakim beralasan bahwa perintah lisan tak dapat dijadikan alat bukti tanpa disertai alat bukti lain, padahal bukti lain masih bisa dicari lebih lanjut untuk menunjukkan keterlibatan mantan Bupati tersebut. Anehnya, dua terdakwa lain yang sekaligus mantan bawahannya divonis hukuman penjara. Ini merupakan keputusan janggal, Jaksa Penuntut Umum harus melakukan banding, dan itu wajib hukumnya. Karena aku dan seluruh warga kabupatenku paham betul bagaimana watak mantan Bupati itu: kala menjabat dulu, semua bawahan harus menuruti perintahnya, jika tidak, ia akan marah besar, dan tak segan memutasi bawahan yang mbalelo. Kasus ini semakin menguatkan fakta jika kebanyakan hakim telah mati rasa hati nuraninya.
Seorang Hakim sekaligus Dosen mata kuliah praktik peradilan di kampus ini menilai bahwa pertentangan antara kedua asas ini tak luput dari peran media. Menurutnya media telah membentuk pertentangan antara kedua asas tersebut, sehingga kasus yang mulanya kecil bisa menimbulkan gejolak sosial yang berkepanjangan. Salah satunya kasus pada paragraf di atas. Sementara Dosen lain di kampus ini yang juga berprofesi sebagai Hakim mengatakan bahwa putusan hakim lebih mengacu pada dakwaan Jaksa, sehingga Hakim bukan satu-satunya organ yang bertanggungjawab dan berpengaruh dalam suatu putusan pengadilan.
Akan tetapi ketika seorang Hakim membuat putusan dengan menggunakan metode “memerdekakan” dirinya sendiri dari semata-mata kepastian hukum, sepertinya media dan pengamat hukum serta masyarakat takkan menganggap putusan tersebut kontroversial.
Beberapa puluh tahun yang lalu, tepatnya diakhir tahun 80-an para hakim dikejutkan oleh rekan seprofesinya sendiri, Bismar Siregar. Kala itu Bismar menganalogikan pemerkosaan dengan pencurian, banyak hakim tak sependapat dengan langkah yang dibuatnya tersebut. Kendati demikian Bismar tetap pada pendiriannya, ia menilai kepastian hukum hanya sebagai sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Bahkan ia berpendapat bahwa, ia akan mengorbankan kepastian hukum demi terwujudnya keadilan, artinya ia akan mengorbankan sarana untuk sebuah tujuan.
Kini setelah lebih dari 20 tahun setelah putusan Bismar, mengapa tujuan selalu dikorbankan hanya karena sarana? Miris memang. Pada dasarnya hukum hukum diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Idealnya hukum ditempatkan sebagai alat, bukan tujuan.
Hukum harus peka terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, baik lokal, nasional, maupun universal. Di Indonesia dengan tingkat korupsi sangat tinggi, sangat wajar ketika media dan pengamat hukum, serta masyarakat aktif untuk ikut andil mengawasi kinerja penegak hukumnya. Bayangkan bila seorang pencuri sandal, biji coklat, dan semangka harus menjalani hukuman yang sama dengan para koruptor? Padahal berapa jarak kerugian yang ditimbulkan dari keduanya, sangat jauh bukan? Perbandingan inilah yang menyulut amarah para pencari keadilan, hukum hanya kejam bagi rakyat jelata yang tak mampu membayar pengacara.
Hukum harus dikembalikan kepada tujuan utamanya, yakni kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Dengan mengorbankan sarana, keadilan sebagai tujuan akan mempermudah terciptanya kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat sebagai subyek hukum itu sendiri. Sehingga masyarakat tak menilai putusan-putusan Pengadilan hanya lancip dan tajam pada masyarakat golongan bawah semata, melainkan juga harus kejam serta menikam para penjahat kelas kakap macam koruptor, pengemplang pajak, serta pemeras melalui wewenanng yang diperolehnya. Dengan demikian masyarakat merasa terlindungi oleh sistem hukum dan penegakkannya, agar takkan muncul lagi kepastian hukum yang mencederai keadilan. Sekian dan terima kasih. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar