“KARENA
pekerjaan yang lain nggak bisa,” jawabnya padaku tentang alasan kenapa
memilih jadi petani. “Saya dulu pengennya jadi tentara, pernah mendaftar
setelah lulus SMA, tapi gak masuk.”
Uniknya, sampai sekarang pun Supri tak
tahu kenapa dulu pernah punya cita-cita demikian. “Gak tahu, pengen aja,” katanya,
lagi. Adanya dukungan saudara sedikit-banyak juga turut memperngaruhi. “Udah
daftarin sana ,”
ujar Supri menirukan suruhan saudaranya dengan tatapan jauh, seperti sedang
mengenang cita-cita yang hilang.
Supri gagal di-tes ketiga pada
pendaftaran pertama. Padahal, ia sudah “dititipkan” pada seorang perwira.
Dengar-dengar uang “titipan”-nya kurang, kalah besar dengan pesaingnya. “Yang
kedua karena umurnya udah lewat,”
ujarnya.
Nasib Supri tak semujur adik kandungnya,
tapi aku lupa tak sempat menanyakan nama. Si adik kini jadi anggota TNI,
berdinas di Malang ,
Jawa Timur. “Dulu dia masuk bintara, habisnya Rp 10juta,” kata Supri.
Aku tertegun, ternyata kebiasaan suap
sudah ada sejak dulu. “Sepuluh juta, uang ‘sogokan’ yang sangat murah dalam
kondisi kekinian, tapi, bisa dipastikan sangat mahal pada tahun 80’an. Sepuluh
juta saat itu bisa jadi seratus juta untuk saat ini, bahkan lebih,” kataku
dalam hati.
Setelah harapan jadi prajurit kandas,
Supri mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta : Duta Graha Indah. Ia bekerja dari tahun
1981 sampai 1996, kala ia masih bujangan. Di tahun 1997, Supri meminang Sutini,
gadis yang ia kenal di perantauan.
Setelah Duta Graha Indah hampir
bangkrut, ia memutuskan untuk resign,
lalu membawa Sutini pulang ke kampung halaman. Inilah awal mula Supri dan
Sutini memulai kehidupan baru.
*
Sore tadi, mesin Jepang membawaku
melintasi desa Ngipik Sari, Kaliurang. Jalannya berkelok dan menanjak, pohon
tinggi-besar membuat desa ini teduh. Di kanan-kiri, banyak penginapan kecil
yang menyewakan kamar, tak aneh jika papan nama bergantungan dimana-mana.
Di penghujung desa, aspal hitam berubah
jadi batu yang tertata, bau kotoran sapi samar-samar mulai terasa, tapi sayang
kicauan burung liar nyaris tiada.
Di batas jalan itulah ladang Supri
berada, ku lihat ia hampir tenggelam di antara riuhnya ilalang, ia sedang
memancang—menancapkan potongan bambu—di sebidang tanah yang sudah ia beri tanda
seutas tali raffia. Supri hendak mempersiapkan media untuk menanam Sengon.
Aku tertarik untuk berbicara dengannya,
dan ia menyetujui ajakanku. Kami mulai berjabat tangan, bertukar sapa lalu
mengenalkan nama. Itulah awal mulanya aku tahu ia petani yang pernah punya
impian jadi tentara.
Sembari beristirahat di samping ladang, memandangi
lahan garapan yang hampir tak begitu luas, Supri meratapi dua kegagalannya jadi
tentara. Padahal beberapa saat tadi, kelesuan senja sehabis hujan tak sedikit
pun menyurutkan niatnya untuk tetap mengolah lahan. Kedatanganku membuatnya
mengenang masa pahit itu lagi.
Kepalanya oval, bibir tebal, dan
perawakan tak terlalu kekar, senyum lebar serta aksen Jawa yang sangat kental. Supri
memakai topi hitam, selaras dengan kulitnya. Baju dan celana berwarna putih,
kali ini sangat kontras dengan warna tubuhnya. Fisiknya sangat petani, bukan tentara, karena tak ada sedikit pun tersirat
bodi pasukan.
Sampai sekarang, ia masih mendambakan
jadi seorang pegawai. Alasannya simpel, hasil dari apa yang ia kerjakan sebagai
petani, belum cukup untuk membiayai hidup keluarga. “Sebenarnya kurang, tapi
karena adanya ini, ya dicukup-cukupkan,” kata Supri. Ia satu-satunya tulang
punggung keluarga, istrinya hanya seorang ibu rumah tangga, yang kadang kala
juga ikut bekerja di ladang.
*
Menjadi petani memang bukan perkara
mudah, apalagi di Indonesia .
Seorang petani harus berkutat dengan berbagai permasalahan. Dari majalah
Keadilan edisi I/XXXVII/2012, ada sebuah fakta yang menunjukkan bahwa saat ini
arah kebijakan pemerintah tak melindungi Supri dan kaum senasibnya.
Kesejahteraan petani terabaikan, mereka tak berdaya menghadapi permainan
pemodal.
Henry Saragih, ketua Serikat Petani Indonesia
juga mengatakan bahwa pemerintah memang memperhatikan petani, tapi dengan cara
pikir lain. Yang diperhatikan bukan petani-petani kecil seperti Supri, tapi
justru perusahaan-perusahaan besar.
“Akankah
suatu saat nanti petani Indonesia
hanya akan menjadi legenda bagi anak dan cucu kita?” dosen hukum Agraria-ku
pernah bertanya seperti itu, dan sampai aku belum bisa menjawabnya. Tapi jika
kebijakan masih tak berpihak pada petani, cepat atau lambat, kata-kata di atas
akan terjawab dengan sendirinya.
Menurut Ahmad Yak’ub, Ketua Departemen
Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia, dalam artikelnya berjudul Reforma
Agraria, menjelaskan bahwa, ketidakadilan mengacu pada suatu kondisi dimana
kekayaan agraria telah terkonsentrasi pada segelintir pihak saja.
Sayang, Supri tak termasuk dari
segelintir pihak tersebut. Jangankan untuk untung, untuk balik modal saja ia
sudah ngos-ngosan. Ia butuh banyak
uang untuk sejahtera.Ya uang, barang satu itu memang sakti: walaupun uang bukan
segala-galanya, tapi tanpa uang Supri tak mampu berbuat apa-apa. Namun Supri
sadar, jika suatu saat nanti sungai tak lagi mengalir, ikan juga takkan lagi
berenang dengan riang. Jika semua hutan telah habis, ekosistemnya hilang. Manusia
baru akan sadar jika uang tak bisa dimakan.
*
Supri mengakui dengan jujur bahwa ia tak
menyukai pekerjaannya, namun keadaan dan tanggungjawab sebagai Ayah,
mengharuskan Supri istikomah. “Sebetulnya saya juga nggak suka, karena jadi
petani itu sulit. Hasilnya nggak
tentu, tapi karena keadaan, kita punya anak, ya harus biayain anak,” keluh
Supri.
Si sulung: Ana. Sudah menginjak kelas 2
SMA, Supri mengatakan bahwa Ana bercita-cita menjadi perawat. Sedang Yoda, anak
kedua, tahun ajaran baru nanti akan masuk SMP. Putri, kakak si bungsu, baru
kelas 3 SD, sementara Angga, putra paling poncot, belum sekolah.
Begitu berat beban yang harus dipikul
Supri. Di satu sisi Supri bingung, jangankan untuk menyekolahkan anak ke
jenjang yang lebih tinggi, untuk biaya sehari-hari saja ia kewalahan. Di sisi
yang lain, ia ingin anak-anaknya tetap sekolah agar nasibnya tak seperti sang Ayah.
Supri paham, ia harus tetap mensyukuri
apapun yang terjadi. Ia cukup tahu diri untuk menghapus cita-citanya sebagai
tentara di masa remaja. Kini, walaupun sebagai petani, ia harus mampu membawa
keluarganya ke arah yang lebih baik.
Bagi Supri, petani sulit sejahtera,
anaknya harus jadi pegawai. “Kalau bisa ya harus jadi pegawai semua, nggak
mungkin anak disekolahin nanti cuma disuruh nyangkul di sawah,” katanya penuh
harap.
Aku galau mendengar kata-katanya
barusan. Jika petani saja berharap demikian, maka pertanyaan dosen Agraria-ku
di atas tadi sudah terjawab: petani benar-benar akan jadi legenda bagi anak dan
cucu kita nanti, petani tak sejahtera.
“Kalau bisa (kehidupan) saya harus lebih baik dari sekarang,”
harap Supri.
Ia Supri petani, bukan Supri TNI. Ia
tinggal di dusun Ngipik Sari, RT 02/XII, Hargo Binangun, Pakem, Sleman, bukan
penghuni tangsi atau asrama TNI. Senjata di tangan Supri bukan SS-1, SS-2 atau
AK-47, melainkan cangkul, sabit, caping dan semangat yang terus berkobar di
dalam dada. Supri juga sedang berperang, ia berperang dengan keadaan dan harus
berdamai ketika waktunya datang. (*)
Baca Selengkapnya...