Kemarin itu akhir bulan, akhir tahun, dan akhir kisah cinta kita berdua.
Sore itu langit nampak murung, seakan-akan ingin memperlihatkan rasa sedihnya ketika harus meninggalkan 2012. Dari kawasan Jalan Taman Siswa 158, aku beserta teman-teman Keadilan bergegas ke selatan, menuju pantai Ngobaran, kami harus cepat sebelum hujan mengguyur sepanjang perjalanan. Keberangkatan dibagi jadi 2 rombongan, kami kloter kedua.
Kloter kami sampai di Ngobaran ketika maghrib mulai
menjelang. Begitu menginjakkan kaki di bibir pantai, aku melihat sudah banyak
tenda yang berdiri meski tak semua megah. Ku lanjutkan langkah kakiku menuju lima tenda yang
berdampingan, di sana teman-teman kloter pertama berada.
*
Selepas Isya’, kami mulai memanggang sesuatu yang bisa
dimakan. Setelah semua beres, waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Santap
saji terasa istimewa sekali, walau hanya ada sambel, sedikit kuah dan secuil
lauk-pauk. Lebih-lebih dengan adanya lima biji pete bakar, untuk hidangan yang
satu ini, hanya aku dan tiga temanku yang doyan.
Lainnya memang sengaja tak doyan atau
cuma gengsi, aku tak tahu dan itu bukan urusanku. Tak ada yang berpiring dan
makan di tempat seadanya itu sudah biasa. Bahkan ada yang berdiri karena tak
kebagian tempat untuk duduk.
*
Gerimis tipis mulai turun, padahal waktu telah menunjukkan
pukul sembilan malam, artinya tiga jam menjelang tahun baru. Terpaksa kita
harus menunggu hujan reda, tak enak sekali rasanya. Saat-saat seperti ini
justru digunakan teman-teman untuk bermain kartu atau hanya saling melempar
canda di gubug kecil belakang tenda, karena memang bahagia itu harus dibuat, bukan dicari.
Sedang aku lebih memilih berdiam diri di tenda yang paling
dekat dengan air laut. Bukan, bukan untuk menggalau sendu. Selain mengawasi
ancaman pasang air laut yang hampir menyentuh tenda itu, aku juga cuma sekedar
merenungi dan meratapi apa yang setahun lalu terjadi. Semacam meracik resolusi
untuk tahun depan, walau aku tak seratus persen paham tentang apa itu resolusi.
Beberapa saat kemudian, datang lalu duduk di sampingku
seorang sahabat Keadilan, dia yang
sepertinya sedang manggalau sendu. Wajar saja, mantan terindahnya akan naik
pelaminan, tapi bukan dengan dirinya. Owh, aku bisa merasakan nyeseknya perasaan temanku itu.
Terdengar dia melantunkan sebuah puisi, aku yakin itu buatannya sendiri.
“Tenang, kawan. Jalanmu masih panjang, doakan yang terbaik untuknya,” ungkapku
dalam hati.
Temanku pergi, kini aku sendiri lagi. “Debung…,” suara
ombak menghantam karam pinggir pantai. Membuyarkan lamunan yang sedari tadi
pergi kesana-kemari. Kadang melambung tinggi menyentuh mendung, tak jarang juga
menyelam menuju dasar laut Selatan. Sejauh apapun itu, ternyata lamunanku masih
itu-itu saja, aku sulit lupakan, bahkan tak bisa.
Tuhan, sudahi siksa ini. Aku tahu dia bukan tercipta
untukku, begitu juga sebaliknya. Hilangkan rasa itu, ganti dengan rasa lainnya.
Agh, disaat-saat seperti ini masih saja aku meracau dalam kegundahan yang tak
sewajarnya aku pikirkan. Maaf, maaf beribu-ribu maaf untuk ketidakjelasan ini.
*
Seorang teman lain menghampiri tenda. “Jam berapa sekarang?
Ayo siap-siap buat api unggun,” ajaknya dengan semangat. Jam di hp-ku menunjukkan pukul sebelas malam,
benar juga ajakannya, kita memang harus siap-siap. Tapi bukankah di luar masih
gerimis, bahkan terkadang lebih dari gerimis: hujan.
Di samping hujan, minyak tanah yang tersisa sudah tak
banyak lagi, selain memang bawanya sedikit, juga banyak terkuras untuk membuat
panggangan lauk sore tadi. Kami belum lihai membuat api unggun tanpa minyak
tanah. Aku sempat panik, jangan-jangan takkan ada api unggun di malam
pergantian tahun nanti? Walaupun itu bukan esensi.
Entah bagaimana caranya, aku juga sedikit lupa. Pokoknya
tak ada yang berdiam diri diantara kami, beberapa teman lelaki berupaya
menyalakan api, lelaki lainnya dan semua perempuan sepertinya sedang berdoa agar
api bisa menyala. Dan benar saja, sedikit demi sedikit akhirnya api berkobar
dengan gagahnya.
Ia tetap berkobar meski hujan mencoba memadamkannya. Semua
karena usaha teman-teman untuk berusaha menyalakannya, terlebih komitmen untuk tetap menjaga nyalanya dalam hujan. Hanya ada satu kata: kalian luar biasa! Aku salut dengan usaha kalian, wahai teman-teman. Hujan tak menyurutkan
sedikit pun semangat kita untuk tetap mengobarkan api.
Dari lubuk hatiku yang paling dalam aku berharap komitmen
kita dalam menjalankan roda organisasi sama seperti komitmen kita dalam
menyalakan api unggun ini. Apapun yang terjadi nantinya, semangat kalian harus
tetap berkobar seperti api.
Besar atau kecil, kobaran api unggun dalam rintikan hujan
telah memberi pelajaran berharga dimalam tahun baru ini. Halangan dan rintangan
pasti akan datang, tapi bukan untuk dihindari, namun kita hadapi.
Kita harus berterimakasih pada Tuhan, karena telah
menciptakan alam yang memberi kita sejuta makna dan pelajaran. Kita juga harus
sadar, bahwa kita ini kecil. Selama ini kita telah jumawa dengan apa yang kita
miliki, apa yang kita kuasai, apa yang kita taklukan. Tapi kuasa apa kita
terhadap alam, terhadap hujan? Terhadap tetesan air yang kecil? Kita tak mampu
menghentikannya, kawan.
Seperti yang pernah aku baca di Misteri Soliter karangan
Jostein Garder, bahwa jika dunia ini adalah sebuah tipuan sulap, maka harus ada
seorang tukang sulap agung di balik itu semua. Siapa pesulap agungnya? Setiap
orang pasti punya jawaban berbeda. Tak perlu seragam untuk sebuah kepercayaan.
Setelah api berkobar besar, kami semua melingkar, ada
beberapa teman yang beresolusi untuk masa depan, paling tidak untuk setahun
mendatang. Setelahnya kami semua mendongak ke atas, merenungi ada apa di balik
hitam Sang Angkasa. Lalu kami mulai berhitung mundur bersama-sama, kembang api
mengudara ketika hitungan sampai pada angkat satu. Walau hanya sedikit, angkasa
kini berwarna-warni. Walau hanya sekejap, langit kini gemerlap.
Ada sedikit kekecewaan yang aku rasakan, seorang teman yang
sedari awal paling berjasa terhadap jalannya acara ini, justru harus terbaring
di dalam tenda karena sakit kepala yang dideranya. Terpaksa, ia tak melewati
momen renungan bersama yang lainnya.
*
Menjelang dini hari, aku duduk menghadap laut berteman
segelas kopi susu instan yang panas. Hujan dan ombak berbaur meski beda unsur, tepat
seperti bersatunya rasa lelah dan kantuk yang tak dibarengi dengan terpejamnya
mata. Aku ingat saat itu angin berbisik lirih padaku, selirih teriakan cintaku dulu
yang bertaut jarak dan waktu.
“Ombak titip salam buat seseorang yang sampai saat ini
masih ada di hatimu. Walaupun sekarang bukan hanya jauh di mata, namun juga jauh di hati,” bisiknya
lembut.
Aku tertegun, tak tahu harus menjawab seperti apa.
“Terima kasih angin, salammu akan ku sampaikan jika aku
mampu,” jawabku tak kalah lirih.
Aku rasai tubuh ini butuh istirahat, merebahkan tubuh dalam
tenda tak ada salahnya. Entah saat itu waktu menunjukkan pukul berapa, yang
jelas aku rindu padanya.
Setelah bangun tidur nanti dan ku akhiri tulisan ini, ada
satu kalimat yang ingin kusampaikan padamu:“Hey
kamu, iya kamu yang ada di pesisir pantai utara Jawa. Semalam angin berbisik
padaku, dia bilang ombak pantai selatan titip salam buat kamu.” Namun entah hanya dalam mimpi atau langsung
aku juga tak tahu, sekarang yang penting aku tahu apa yang harus ku tuju. (*)
luar biasa kapten
BalasHapusbiarkan "dy" bahagia disana
"dy" yg lain masih menunggu untuk kau temukan