Sabtu, 05 Januari 2013

Ombak Pantai Selatan Titip Salam

Kemarin itu akhir bulan, akhir tahun, dan akhir kisah cinta kita berdua.

Sore itu langit nampak murung, seakan-akan ingin memperlihatkan rasa sedihnya ketika harus meninggalkan 2012. Dari kawasan Jalan Taman Siswa 158, aku beserta teman-teman Keadilan bergegas ke selatan, menuju pantai Ngobaran, kami harus cepat sebelum hujan mengguyur sepanjang perjalanan. Keberangkatan dibagi jadi 2 rombongan, kami kloter kedua.

Kloter kami sampai di Ngobaran ketika maghrib mulai menjelang. Begitu menginjakkan kaki di bibir pantai, aku melihat sudah banyak tenda yang berdiri meski tak semua megah. Ku lanjutkan langkah kakiku menuju lima tenda yang berdampingan, di sana teman-teman kloter pertama berada.

*

Selepas Isya’, kami mulai memanggang sesuatu yang bisa dimakan. Setelah semua beres, waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Santap saji terasa istimewa sekali, walau hanya ada sambel, sedikit kuah dan secuil lauk-pauk. Lebih-lebih dengan adanya lima biji pete bakar, untuk hidangan yang satu ini, hanya aku dan tiga temanku yang doyan. Lainnya memang sengaja tak doyan atau cuma gengsi, aku tak tahu dan itu bukan urusanku. Tak ada yang berpiring dan makan di tempat seadanya itu sudah biasa. Bahkan ada yang berdiri karena tak kebagian tempat untuk duduk.

*

Gerimis tipis mulai turun, padahal waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam, artinya tiga jam menjelang tahun baru. Terpaksa kita harus menunggu hujan reda, tak enak sekali rasanya. Saat-saat seperti ini justru digunakan teman-teman untuk bermain kartu atau hanya saling melempar canda di gubug kecil belakang tenda, karena memang bahagia itu harus dibuat, bukan dicari.

Sedang aku lebih memilih berdiam diri di tenda yang paling dekat dengan air laut. Bukan, bukan untuk menggalau sendu. Selain mengawasi ancaman pasang air laut yang hampir menyentuh tenda itu, aku juga cuma sekedar merenungi dan meratapi apa yang setahun lalu terjadi. Semacam meracik resolusi untuk tahun depan, walau aku tak seratus persen paham tentang apa itu resolusi.

Beberapa saat kemudian, datang lalu duduk di sampingku seorang sahabat Keadilan, dia yang sepertinya sedang manggalau sendu. Wajar saja, mantan terindahnya akan naik pelaminan, tapi bukan dengan dirinya. Owh, aku bisa merasakan nyeseknya perasaan temanku itu. Terdengar dia melantunkan sebuah puisi, aku yakin itu buatannya sendiri. “Tenang, kawan. Jalanmu masih panjang, doakan yang terbaik untuknya,” ungkapku dalam hati.

Temanku pergi, kini aku sendiri lagi. “Debung…,” suara ombak menghantam karam pinggir pantai. Membuyarkan lamunan yang sedari tadi pergi kesana-kemari. Kadang melambung tinggi menyentuh mendung, tak jarang juga menyelam menuju dasar laut Selatan. Sejauh apapun itu, ternyata lamunanku masih itu-itu saja, aku sulit lupakan, bahkan tak bisa.

Tuhan, sudahi siksa ini. Aku tahu dia bukan tercipta untukku, begitu juga sebaliknya. Hilangkan rasa itu, ganti dengan rasa lainnya. Agh, disaat-saat seperti ini masih saja aku meracau dalam kegundahan yang tak sewajarnya aku pikirkan. Maaf, maaf beribu-ribu maaf untuk ketidakjelasan ini.

*

Seorang teman lain menghampiri tenda. “Jam berapa sekarang? Ayo siap-siap buat api unggun,” ajaknya dengan semangat. Jam di hp-ku menunjukkan pukul sebelas malam, benar juga ajakannya, kita memang harus siap-siap. Tapi bukankah di luar masih gerimis, bahkan terkadang lebih dari gerimis: hujan.

Di samping hujan, minyak tanah yang tersisa sudah tak banyak lagi, selain memang bawanya sedikit, juga banyak terkuras untuk membuat panggangan lauk sore tadi. Kami belum lihai membuat api unggun tanpa minyak tanah. Aku sempat panik, jangan-jangan takkan ada api unggun di malam pergantian tahun nanti? Walaupun itu bukan esensi.

Entah bagaimana caranya, aku juga sedikit lupa. Pokoknya tak ada yang berdiam diri diantara kami, beberapa teman lelaki berupaya menyalakan api, lelaki lainnya dan semua perempuan sepertinya sedang berdoa agar api bisa menyala. Dan benar saja, sedikit demi sedikit akhirnya api berkobar dengan gagahnya.

Ia tetap berkobar meski hujan mencoba memadamkannya. Semua karena usaha teman-teman untuk berusaha menyalakannya, terlebih komitmen untuk tetap menjaga nyalanya dalam hujan. Hanya ada satu kata: kalian luar biasa! Aku salut dengan usaha kalian, wahai teman-teman. Hujan tak menyurutkan sedikit pun semangat kita untuk tetap mengobarkan api.

Dari lubuk hatiku yang paling dalam aku berharap komitmen kita dalam menjalankan roda organisasi sama seperti komitmen kita dalam menyalakan api unggun ini. Apapun yang terjadi nantinya, semangat kalian harus tetap berkobar seperti api.

Besar atau kecil, kobaran api unggun dalam rintikan hujan telah memberi pelajaran berharga dimalam tahun baru ini. Halangan dan rintangan pasti akan datang, tapi bukan untuk dihindari, namun kita hadapi.

Kita harus berterimakasih pada Tuhan, karena telah menciptakan alam yang memberi kita sejuta makna dan pelajaran. Kita juga harus sadar, bahwa kita ini kecil. Selama ini kita telah jumawa dengan apa yang kita miliki, apa yang kita kuasai, apa yang kita taklukan. Tapi kuasa apa kita terhadap alam, terhadap hujan? Terhadap tetesan air yang kecil? Kita tak mampu menghentikannya, kawan.

Seperti yang pernah aku baca di Misteri Soliter karangan Jostein Garder, bahwa jika dunia ini adalah sebuah tipuan sulap, maka harus ada seorang tukang sulap agung di balik itu semua. Siapa pesulap agungnya? Setiap orang pasti punya jawaban berbeda. Tak perlu seragam untuk sebuah kepercayaan.

Setelah api berkobar besar, kami semua melingkar, ada beberapa teman yang beresolusi untuk masa depan, paling tidak untuk setahun mendatang. Setelahnya kami semua mendongak ke atas, merenungi ada apa di balik hitam Sang Angkasa. Lalu kami mulai berhitung mundur bersama-sama, kembang api mengudara ketika hitungan sampai pada angkat satu. Walau hanya sedikit, angkasa kini berwarna-warni. Walau hanya sekejap, langit kini gemerlap.

Ada sedikit kekecewaan yang aku rasakan, seorang teman yang sedari awal paling berjasa terhadap jalannya acara ini, justru harus terbaring di dalam tenda karena sakit kepala yang dideranya. Terpaksa, ia tak melewati momen renungan bersama yang lainnya.

*

Menjelang dini hari, aku duduk menghadap laut berteman segelas kopi susu instan yang panas. Hujan dan ombak berbaur meski beda unsur, tepat seperti bersatunya rasa lelah dan kantuk yang tak dibarengi dengan terpejamnya mata. Aku ingat saat itu angin berbisik lirih padaku, selirih teriakan cintaku dulu yang bertaut jarak dan waktu.

“Ombak titip salam buat seseorang yang sampai saat ini masih ada di hatimu. Walaupun sekarang bukan hanya jauh  di mata, namun juga jauh di hati,” bisiknya lembut.

Aku tertegun, tak tahu harus menjawab seperti apa.

“Terima kasih angin, salammu akan ku sampaikan jika aku mampu,” jawabku tak kalah lirih.

Aku rasai tubuh ini butuh istirahat, merebahkan tubuh dalam tenda tak ada salahnya. Entah saat itu waktu menunjukkan pukul berapa, yang jelas aku rindu padanya.

Setelah bangun tidur nanti dan ku akhiri tulisan ini, ada satu kalimat yang ingin kusampaikan padamu:“Hey kamu, iya kamu yang ada di pesisir pantai utara Jawa. Semalam angin berbisik padaku, dia bilang ombak pantai selatan titip salam buat kamu.”  Namun entah hanya dalam mimpi atau langsung aku juga tak tahu, sekarang yang penting aku tahu apa yang harus ku tuju. (*)

1 komentar:

  1. luar biasa kapten
    biarkan "dy" bahagia disana
    "dy" yg lain masih menunggu untuk kau temukan

    BalasHapus